• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kabinet Terakhir

Dalam dokumen Yang Tersisa Paska 12 Tahun MoU Helsinki (Halaman 145-150)

Doto Zaini

4

Mashudi SR

o

Babak baru politik terjadi di Aceh, setelah Gubernur dr. Zaini Abdullah secara mendadak melantik pejabat baru di lingkungan Pemerintahan Aceh, paska Pilkada 2017 silam. Kebijakan yang oleh banyak kalangan dinilai kontroversial karena tidak memiliki pijakan hukum yang kuat, membuat turbulensi politik paska pilkada kembali terjadi. Sejumlah pejabat yang diganti menyoal dan melakukan perlawanan. Sementara pejabat baru tidak bisa berbuat. Meskipun Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, membenarkan langkah Zaini, tetapi surat Dirjen Otonomi Daerah yang meminta Gubernur meninjau ulang keputusan yang dikeluarkan sejak 10 Maret lalu itu masih belum dicabut.

Langkah ‘Doto Zaini’ atau ‘Abu Doto’ (begitu dr Zaini Abdullah sering disapa) membongkar-pasang “kabinet” usai pelaksanaan pilkada itu, didasari karena ada beberapa kebijakan yang dilakukan para pembantunya selama ia menjalani cuti sebagai petahana yang dianggap merugikan dan menimbulkan

persoalan. Misalnya penetapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Lhokseumawe, SOTK dan melambatnya realisasi anggaran. Semua ini dianggap menggangu rencana pembangunan Aceh dan performa dirinya sebagai Kepala Daerah.

Namun demikian, tidak sedikit yang berpendapat pergantian jabatan tersebut sarat dengan muatan politik. Doto Zaini dianggap sedang melakukan “bersih-bersih” terhadap para pembantunya yang dinilai tidak netral, mempunyai loyalitas ganda atau bahkan tidak loyal sama sekali pada Pilkada lalu. Sebagai seorang petahana, Doto Zaini tentu punya banyak informasi terhadap kawan dan lawan politik, termasuk di tubuh birokrasi yang ia nakhodai.

Pergantian pejabat dalam jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (Eselon II) di lingkungan Pemerintah Daerah merupakan hal yang lumrah. Seorang Kepala Daerah diberi kewenangan untuk melakukannya kapan saja, sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam sistem pemilihan kepada daerah secara langsung, keleluasaan seperti ini sangat membantu Kepala Daerah terpilih merealisasikan visi, misi, program, dan janji politik yang telah disampaikan. Ia bisa memastikan pejabat yang dipilih dan diangkat dalam jabatan tertentu, mempunyai kecakapan, integritas, dan loyalitas.

Doto Zaini sendiri, sejak menjabat sebagai Gubernur, sudah melakukan pergantian anggota kabinetya lebih kurang 8 kali. Selama itu pula tidak banyak hambatan teknis-yuridis yang dialami. Semua berjalan lancar dan pejabat baru yang diangkat bisa bekerja tanpa ada keraguan apapun terkait status hukum posisi yang diemban. Rintangan yang muncul lebih bersifat politis, baik dari legislatif sebagai mitra kerja, maupun sekondannya, Wakil Gubernur Muzakkir Manaf. Termasuk sinisme publik. Semua gangguan politik itu telah dihitung dampaknya bagi Pemerintahan yang ia pimpin.

Tetapi tidak untuk perombakan yang baru dilakukan setelah dirinya mengikuti kontestasi kepala daerah pada medio Februari lalu. Kali ini, kebijakan bekas Menteri Kesehatan kelompok GAM ini justru menuai badai perlawanan dari sejumlah pejabat daerah yang ia non-job-kan. Legislatif Aceh pun segendang sepenarian dengan sikap yang dipertontonkan pegawai negeri sipil itu. Lewat ketua dan beberapa anggotanya, Dewan meminta gubernur membatalkan pengangkatan pejabat baru karena menyalahi prosedur hukum. Mereka tidak mengakui dan berkenan menerima pejabat baru yang baru dilantik tersebut untuk melakukan rapat membahas sejumlah persoalan anggaran dan pembangunan. Bahkan anggota yang mulia ini melakukan langkah politik lebih jauh dengan menggunakan “Hak Menyatakan Pendapat” terhadap kebijakan mutasi yang dilakukan Gubernur Zaini.

Yang dirugikan dari kebijakan tidak populer dan jauh dari sikap profesional seorang pemimpin itu, tentu saja masyarakat. Layanan publik tidak berfungsi, roda birokrasi tersendat, pelaksanaan program terhenti. Hak dan kepentingan masyarakat disandera oleh sikap politik yang tidak mendidik. Para pihak, atas nama kekuasaan dan harga diri, membangun tembok pertahanan tanpa memperhitungkan dampaknya bagi masyarakat yang konon sering kali mereka atas namakan.

Para birokrat yang diberi jabatan baru itupun sesungguhnya juga “dirugikan”. Hanya saja, kerugian ini bisa dihindari dari awal, jika ada kemauan dan keberanian untuk menolaknya. Bagi seorang birokrat pada tingkat eselon tinggi, pengetahuan tentang syarat wajib yang harus dipenuhi untuk melakukan rotasi, mutasi dan sebagainya oleh seorang pimpinan, sudah sangat memadai. Berbekal pengetahuan dan jam terbang tinggi itulah, sikap menerima atau menolak bisa diambil-lakukan.

baru itu tidak ubahnya seperti “Bika,” yang merasakan panas dari atas dan bawah. Bika, adalah salah satu jenis kue tradisional dari Minang, terbuat dari campuran tepung, sagu dan beberapa bumbu lain. Kue ini dimasak dengan cara meletakkan bara api di bawah dan di atas sebuah wadah yang di dalamnya telah berisi adonan. Melalui cara ini, hasil yang diperoleh sangat bagus, karena pembakarannya merata.

Begitulah, nasih para pejabat eselon dua yang baru itu. Disetrum dari semua sisi. Diam saja tanpa menjalankan kewenangan baru, bisa “dijewer” oleh Abu Doto. Sementara jika bekerja sebagaimana layaknya seorang kepala dinas, berhadapan dengan penolakan dewan. Pada akhirnya, semua serba “mengantung,” tidak ada kepastian, termasuk nasib mereka sendiri setelah sutradara utama berganti, ketika pelantikan gubernur baru dilakukan.

Kebijakan Abu Doto yang merombak susunan kabinet di penghujung masa jabatan, memang sangat tidak strategis. Idealnya ia bisa mempertahankan formasi kabinet itu sebagai kabinetnya yang terakhir, sambil memastikan mereka tetap bekerja untuk menyukseskan sisa program kerja yang telah disusun. Andai memang ada diantara mereka yang “nakal,” bermain politik ketika Pilkada berlangsung. Tentu ada mekanisme lain yang bisa ditempuh untuk diberikan punishment. Sebagai orang politik yang kaya pengalaman menghadapi situasi pelik, pilihan Abu Doto merombak kabinetnya di masa “injuriy-time” sangat disayangkan.

Hematnya, Abu Doto tidak bisa memanfaatkan waktu yang tersisa untuk memperbaiki berbagai kelemahan selama menjadi orang nomor satu di Aceh. Semestinya, Zaini Abdullah cukup melakukan aktivitas pemerintahan yang ringan-ringan saja, sambil mempersiapkan proses transisi kekuasaan kepada pemimpin yang baru. Syukur jika ada semacam progress report yang disisipi dengan rekomendasi berupa gagasan yang proresif untuk

dititipkan kepada gubernur baru agar diakomodir dalam program kebijakan pemerintahan baru. Ibarat pesawat yang akan mendarat, semestinya Doto Zaini mengupayakan berlangsung mulus, tanpa mengalami guncangan yang berarti. Sayangnya langkah politik “Sang Gubernur” dengan merombak kabinet terakhirnya telah menjadi “palu godam” politik yang menghancurkan semua capaian yang berhasil diraih selama pemerintahannya. {-}

Dalam dokumen Yang Tersisa Paska 12 Tahun MoU Helsinki (Halaman 145-150)