• Tidak ada hasil yang ditemukan

Generasi “Mental” 5 Syarifah Zainab

Dalam dokumen Yang Tersisa Paska 12 Tahun MoU Helsinki (Halaman 181-187)

o

Sering kita dengar slogan-slogan atau tema-tema dalam seminar, pelatihan, atau mungkin iklan-iklan pada spanduk sekolah yang bertuliskan “membentuk generasi hebat dan berakhlakul karimah,” dan lain semacamnya. Usaha melakukan promosi dalam peningkatan mutu pendidikan karakter terus digalakan sebagai usaha preventif akibat degradasi moral anak bangsa. Banyak upaya-upaya yang diusahakan sebagai jalan agar anak tidak terjerumus pada perilaku yang merusak fisik maupun psikis (mental) mereka.

Pentingnya pembentukan karakter menjadi lahan bagi sekolah-sekolah untuk merebut perhatian orang tua agar menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah mereka. Salah satunya yang menjamur di Aceh dewasa ini adalah Sekolah Islam Terpadu. Sekolah Islam Terpadu menjadi pilihan banyak orang tua disebabkan karena selain akademik, orang tua mulai menyadari bahwa pembentukan akhlak, moral, dan pengetahuan agama harus lebih baik di zaman ini. Melindungi anak dari lingkungan yang tidak tepat

merupakan tugas wajib orang tua. Termasuk memilih sekolah yang beratmosfirkan sesuai dengan prinsip hidup sebagai umat Islam di bumi ini.

Harapan para orang tua pada sekolah begitu besar. Menginginkan anak-anaknya dapat teredukasi dengan baik, memperoleh peningkatan hasil belajar baik dari segi akademik maupun pengembangan karakter, dan tentunya memiliki pencapaian nilai-nilai keagamaan yang baik, sehingga anak-anak akan menjadi generasi yang memiliki karakter - karakter profetik. Anak-anak yang menyejukkan mata para orang tua, generasi tangguh penerus bangsa. Tugas tersebut menjadi sangat berat jika hanya satu pihak yang dituntut melaksanakannya. Orang tua akan memilih sekolah terbaik untuk anak-anaknya, tentu saja dan sudah semestinya. Tetapi menjadi sangat disayangkan jika tidak ada kerjasama antara pihak sekolah dengan orang tua di rumah. Tidak saling mendukung dalam ucapan dan perbuatan. Sekolah berusaha memberi yang terbaik untuk anak, tetapi ketika kembali ke rumah, anak tidak diberi bukti nyata dari apa yang sudah didengarnya, pun begitu sebaliknya.

Di sekolah anak dibekali banyak pelajaran yang bertujuan untuk membantu perkembangan moral baik melalui kegiatan - kegiatan ekstrakurikuler, contoh dari sikap dan perilaku para guru, maupun dengan memaparkan berbagai contoh kasus yang sering terjadi di masyarakat. Guru menjelaskan bagaimana dan apa yang disebut perilaku baik dan buruk. Anak-anak dipenuhi dengan nasehat baik. Tapi apa yang kemudian terjadi? sekembalinya anak-anak dari sekolah, mereka melihat dan menyaksikan langsung perilaku - perilaku buruk yang tadinya diceritakan oleh para guru. Bagaimana generasi ini akan lebih baik jika informasi yang didengar dengan yang mereka lihat sangat berbeda.

Aceh saja, banyak perilaku orang tua yang “membalikkan” nasehat yang baru saja anak terima dari guru. Di sekolah anak diajarkan bahwa lampu merah adalah tanda kendaraan harus berhenti. Tetapi yang terjadi adalah banyak para orang tua yang berkendara membawa anaknya dengan santai menerobos traffic light yang masih menampilkan warna merah tanda berhenti. Lain lagi, di sekolah anak diberi penjelasan bahwa merokok berbahaya bagi kesehatan. Tetapi yang terjadi adalah tidak masalah merokok walau itu di hadapan anak sendiri. Banyak orang tua (khususnya ayah) yang merokok saat berkendara atau duduk bersama anaknya, santai mengepulkan asap mengenai wajah anak-anak. Di dalam rumah, di dalam mobil yang berisikan anggota keluarga, tanpa beban mencontohkan perilaku yang tidak baik pada anak-anak. Anak-anak diberi nasehat bahwa membuang sampah sembarangan merupakan perilaku yang tidak terpuji dan dapat mengakibatkan terjadinya bencana banjir atau penyakit berbahaya, tetapi yang anak lihat orang tua membawa mereka ikut serta pergi membuang sampah di jembatan - jembatan atau di tempat - tempat yang sudah diberi tanda larangan membuang sampah di lokasi tersebut.

Ketimpangan yang terjadi antara nasihat atau informasi yang anak terima dengan kenyataan yang disaksikan langsung dengan mata kepalanya sendiri menjadi sebuah kebingungan. Anak adalah peniru yang ulung atas apa yang dilihatnya melebihi apa yang ia dengarkan (modelling). Informasi yang ditangkap oleh indera penglihatan lebih cepat dan mudah tersimpan dalam memori daripada informasi yang ditangkap anak melalui indera pendengaran. Informasi yang diterima melalui mata atau yang disebut dengan istilah Iconic Memory diproses ke dalam memori hanya sekitar 2-3 detik, sedangkan informasi dari indera pendengaran yang biasanya disebut dengan istilah Echoic Memory akan masuk ke dalam memori sekitar 3-4 detik setelah informasi

diterima oleh telinga.

Tingkah laku yang anak-anak amati dari orang tua dan orang dewasa lainnya bertentangan dengan ucapan dan nasehat yang diterima anak. Perilaku buruk yang ditunjukkan pada anak memungkinkan anak membuat kesimpulan bahwa secara sosial perilaku tersebut sebenarnya tidak dipermasalahkan, diterima oleh masyarakat disekelilingnya. Hal tersebut menjadi penguat (reinforcement) bagi anak untuk tetap meneruskan perilaku yang sama dengan apa yang dilihatnya. Semakin banyak dan sering anak menyaksikan perilaku buruk, maka akan semakin besar kemungkinan anak mentransformasi perilaku tersebut pada dirinya di masa yang akan datang.

Setiap pilihan perilaku memiliki konsekuensi tersendiri. Namun seringkali yang terjadi adalah pemakluman perilaku salah, sedang perilaku benar tidak direspon dengan baik. Sehingga tidak ada pengetahuan atau informasi yang mana sebenarnya boleh dicontoh dan mana yang tidak. Mana perilaku yang mendatangkan kebaikan bagi diri dan mana yang akan merugikan diri sendiri dan orang lain. Anak belajar melalui observasi pada apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Jika yang disaksikannya dirasa “aman-aman saja” maka perilaku tersebut memiliki peluang besar untuk diulang atau dilakukan oleh anak. Ditambah lagi ketika anak melakukan perilaku buruk, tidak ada punishment yang berisi informasi bahwa hal tersebut tidak dibenarkan.

Mata benar - benar menjadi jendela dunia bagi anak-anak. Perilaku amoral, kasar, apatis, korupsi dan berbagai jenis perilaku negatif lain akan terus ada disetiap generasi jika yang anak lihat adalah perilaku - perilaku seperti itu juga. Jangan berpikir bahwa generasi muda adalah generasi harapan jika para orang tua dan orang dewasa lainnya masih menampilkan perilaku buruk dan salah. Jangan meminta generasi mengubah bangsa ini jika para

orang tua dan orang dewasa lainnya tidak terlebih dahulu berubah dan memberikan contoh yang baik bagi generasinya. Tidak hanya sekedar ucapan, tetapi juga perbuatan.

Memperbaiki generasi bukan dimulai oleh anak-anak kita. Tetapi setiap individu yang menginginkan negeri ini lebih baik kedepannya. Tidak akan selesai jika kita yang dewasa berharap perubahan tetapi mencontohkan dan mempertontonkan dengan bebas yang tidak baik pada generasi. Jika masih terus berkutat dengan perilaku buruk, ini akan menjadi sebuah lingkaran setan abadi. Berulang dan terus berpola sama, bahkan lebih buruk.

Manusia adalah makhluk yang dikarunia otak yang sempurna. Manusia diberi kemampuan berfikir dan tentunya dapat mengatur tingkah lakunya sendiri. Namun, tentu saja lingkungan berperan penting dalam pembentukan karakter generasi bangsa. Lingkungan pertama adalah keluarga, maka jadilah model yang baik bagi anak-anak kita.

Alangkah baik dan bijaksana jika orang tua dan orang dewasa menyadari perilakunya terlebih dahulu sebelum menuntut generasi ini menjadi lebih baik dan lebih sempurna satu tingkat di atas pendahulunya. Tidak ada guna hanya menasehati dan menyayangkan perilaku - perilaku negatif anak dan remaja sekarang jika kita sebagai orang tua atau orang dewasa masih tetap mempertahankan perilaku “jahiliyah.” Itu semua hanya akan membuat generasi selanjutnya menjadi generasi “mental”. Nasehat hanya menjadi semacam bola karet yang dilempar, mental.

Memulai, walau dengan hal kecil sekalipun akan memberi pengaruh besar pada pembentukan mental generasi berikutnya. Sedikit tetapi konsisten dilakukan lebih baik daripada tidak sama sekali. Aceh sebagai negeri Serambi Mekah akan lebih mudah terwujud dan dipertahankan jika para orang dewasa terlebih

dahulu dapat mengendalikan perilaku - perilaku yang seharusnya sudah diketahui bahwa itu bukanlah sesuatu yang baik. Generasi sekarang, anak-anak dan remaja sekarang banyak kehilangan teladan. Jangan biarkan mereka menjadi generasi yang lelah mendengar nasehat karena sudah terlebih dahulu kehilangan kepercayaan pada pemberi nasehat (orang tua). Ubah diri sendiri untuk generasi yang lebih baik dari kini. {-}

Pemulihan Pasca Bencana

6

Dalam dokumen Yang Tersisa Paska 12 Tahun MoU Helsinki (Halaman 181-187)