Beberapa spirit yang dapat dipetik dari peristiwa isra’ mi’raj yakni: Pertama, penyucian jiwa (tazkiyatun nufus). Dikisahkan sebelum Nabi Muhammad Saw mengikuti seluruh rangkaian isra’ mi’raj, beliau terlebih dahulu dibedah dadanya oleh Malaikat Jibril. Prosesi pembedahan dada ini untuk mengambil dan menghilangkan kotoran-kotoran batin, lalu disucikan dengan air zam-zam, kemudian diganti dengan ilmu dan hikmah. Ini merupakan rangkaian awal yang harus didahului oleh Nabi Muhammad Saw sebelum melanjutkan rangkaian selanjutnya. Ini menunjukkan penyucian jiwa merupakan satu indikator penting dalam menghadap Allah SWT.
Oleh sebab itu, proses ini memberikan refleksi konkrit bahwa hendaknya kita menjadi manusia yang bersih jiwa. Bersih jiwa merupakan syarat utama untuk mengharmonisasi hubungan ke-Tuhan-an dan kemanusiaan. Dalam konteks kepemimpinan, kesucian jiwa harus dimiliki oleh pemimpin Aceh yang baru dalam menjalankan roda pemerintahan. Artinya, untuk menjadi pelayan seluruh rakyat diperlukan kebeningan hati, sehingga mampu menentukan dan memutuskan program-program pro-rakyat Aceh,
bukan pro-pribadi dan keluarga serta golongan semata.
Karena tatkala pemimpin baru Aceh telah meninggalkan seluruh materi dunia (zuhud) dalam kepemimpinan, sungguh ia tidak akan tergoda dengan materi yang bukan haknya. Ia mampu memetakan antara hak pribadi, keluarga, dan golongan, dengan hak rakyat. Ia mampu memilah dan memilih kepentingan yang bersifat pribadi dan publik. Bahkan semestinya bekerja di atas kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan. Sehingga roda pemerintahan dapat memberikan kontribusi penuh dalam pembangunan dan kemajuan Aceh dalam masa kepemimpinannya.
Tetapi, jika pemimpin masih sibuk dengan keuntungan proyek bagi pribadi, sibuk mengurusi dana aspirasi hingga melupakan aspirasi, sibuk mengkalkulasi keuntungan yang harus dimiliki selama kepemimpinannnya, hingga terjerumus pada perilaku nista dan hina, semisal korupsi, maka hal ini merupakan satu indikator bahwa jiwa para pemimpin masih kotor. Dan, isra’ mi’raj harus menjadi spirit dalam penyucian jiwa sebelum tampuk kepemimpinan diserahkan kepada mereka. Karenanya, isra’ mi’raj mampu memberikan refleksi kesucian jiwa bagi para pemimpin ke depan dalam mewujudkan pembangunan dan Kemajuan Aceh.
Kedua, punya integritas. Dikisahkan dalam perjalanan isra’ mi’raj, Nabi Muhammad SAW menerima tawaran dua jenis minuman, yakni susu dan arak, dan beliau memilih susu. Artinya hal ini, menggambarkan filosofi bahwa orientasi kehidupan umatnya akan bersungguh-sungguh dalam menjalankan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Tapi, apabila beliau memilih arak, maka sungguh umatnya akan mengalami disorientasi dalam kehidupan mereka, yakni hanya terlena dan mabuk dengan gemerlapnya dunia. Bahkan dalam Durratun Nashihin diungkapkan bahwa dalam perjalanan isra’ mi’raj pula, beliau mendengar suara
Panggilan dari sisi kanan bermakna provokasi Yahudi, dan dari sisi kiri bermakna provokasi Nasrani. Ketika itu, Nabi Muhammad SAW tidak sekalipun menghiraukan panggilan itu. Sebab, jika beliau menghiraukan panggilan itu sungguh umatnya akan mudah terprovokasi dan condong kepada Yahudi dan Nasrani. Selain itu, beliau juga mendapatkan berbagai panggilan yang bersifat materialis, sekular, dan liberal.
Dua kisah ini menunjukkan integritas yang dimiliki Nabi Muhammad Saw dalam perjalanan isra’ mi’raj. Dalam konteks kepemimpinan, integritas hal penting yang harus dimiliki oleh pemimpin. Sebab, ketika pemimpin tidak memiliki integritas, maka akan mudah tersulut untuk berperilaku destruktif dan amoral, semisal korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sepintar apapun seseorang, ketika tidak memiliki integritas, ia akan mudah terjerumus pada perilaku negatif. Karena itu, integritas harus dimiliki oleh para pemimpin Aceh baru ke depan, agar masa kepemimpinannya terjaga dari perilaku-perilaku tercela.
Ketiga, punya kepekaan dan kepedulian. Pada peristiwa isra’ mi’raj juga diriwayatkan adanya negosiasi jumlah waktu shalat oleh Nabi Muhammad Saw dengan Allah SWT. Awalnya, shalat diwajibkan 50 waktu, lalu terjadilah proses ‘negosiasi’ yang diinisiasi oleh Nabi Musa AS, sehingga kewajiban shalat menjadi 5 waktu. Tapi, walaupun hanya 5 waktu, pahalanya sama seperti melaksanakan shalat 50 waktu. Proses ‘negosiasi’ ini menunjukkan adanya keinginan Nabi Muhammad Saw untuk meringankan beban yang akan dipikul oleh ummatnya. Sebab, ummat pasti sangat kesulitan untuk melaksanakan perintah shalat 50 waktu.
Inilah spirit yang harus dimiliki oleh pemimpin Aceh baru ke depan. Yakni harus berusaha untuk meringankan beban yang sedang dihadapi rakyat. Bukankah Aceh saat ini sedang diliputi oleh berbagai persoalan fundamental, semisal persoalan kesejahteraan.
Jika pemimpin tidak memiliki kepekaan dan kepedulian untuk menyelesaikan persoalan ini, sungguh rakyat Aceh akan terus merana dan menderita. Dan, hal ini menunjukkan bahwa buah dari MoU Helsinki belum dinikmati oleh seluruh rakyat Aceh.
Kebersamaan
Keempat, pembangunan berbasis kebersamaan. Dalam sejarah dicatat hanya beberapa lama berselang peristiwa isra’ mi’raj, Nabi Muhammad SAW kemudian berhijrah ke Madinah. Hingga mampu menjadikan Madinah sebagai wilayah yang berperadaban. Di Madinah, Nabi Muhammad SAW mampu mempersaudarakan kaum Muhajirin (pendatang Mekkah) dan Anshar (pribumi Madinah), serta mampu menyatukan berbagai kabilah tanpa kecuali Yahudi dan Nasrani. Penduduk Madinah dibawah kepemimpinan Nabi Muhamamd Saw hidup sangat toleran walaupun berbeda etnis, suku, dan keyakinan.
Sebab itu, isra’ mi’raj dapat memberikan spirit kepada pemimpin Aceh yang baru bahwa Aceh akan maju jika sang pemimpin mampu menyatukan seluruh komponen rakyat. Karena rakyat Aceh merupakan masyarakat yang heterogen, terdiri dari berbagai sifat, watak, jenis, suku, partai politik, organisasi, pemahaman keagamaan, dan lainnya. Maka heterogenitas ini harus menjadi energi dalam pembangunan dan kemajuan Aceh ke depan. Artinya, perkembangan ini hanya akan diperoleh dengan semangat kebersamaan, persatuan, dan persaudaraan. Semoga! {-}