bagi Aceh
2Danil Akbar Taqwadin
o
Isu internasional seperti pergerakan Islamic State of Iraq & Syria (ISIS), konflik laut China Selatan, peningkatan hubungan diplomasi antara Indonesia dan China, konflik Palestina dan Israel, program nuklir Iran maupun Korea, hingga kontroversialnya Trump sebagai Presiden Amerika Serikat, menjadi isu yang popular di kalangan masyarakat Aceh. Akibatnya, isu yang memang berdampak langsung terhadap daerah sendiri pun turut luput dari perhatian, salah satunya adalah IMT-GT atau Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle.
Kerjasama Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle telah diresmikan sejak 1993. Kerjasama ini diinisiasi oleh mantan Perdana Menteri Malaysia, Tun Mahathir Muhammad, mantan Presiden Indonesia, Soeharto, dan mantan Perdana Menteri Thailand, Chuan Leekpai. IMT-GT menyediakan kerangka sub-regional untuk mempercepat pertumbuhan kerjasama ekonomi dan 2 www.acehtrend.com, 21/07/2016.
integrasi antar para anggotanya. Saat ini anggotanya terdiri dari 32 provinsi maupun negara bagian dari tiga Negara ini, antara lain, 10 dari Indonesia (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Bangka Belitung, Kepulauan Riau dan Lampung), 8 dari Malaysia (Perlis, Kedah, Pulau Pinang, Perak, Selangor, Kelantan, Melaka, dan Negeri Sembilan) dan 14 dari Thailand (Yala, Pattani, Songkhla, Narathiwat, Satun, Trang, Phattaling, Nakhon si Tammarat, Chumphon, Ranong dan Surat Thani). Alasannya, sub-regional ini memiliki berbagai persamaan dan kedekatan emosional yang ditilik dari sisi geografis, sejarah, budaya dan bahasa.
Berbeda halnya dengan bentuk yang lain, kerjasama ini lebih memfokuskan untuk meningkatkan pertumbuhan sektor swasta dan memfasilitasi pembangunan para anggotanya. Kerjasama sub-regional seperti ini juga dilakukan antara Thailand, Laos, Kamboja, Myanmar serta beberapa provinsi bagian selatan Republik Rakyat Tiongkok dalam kerangka Greater Mekong Subregion. Serta kerjasama BIMP-EAGA (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philipines – East Asean Growth Area). Ketiga bentuk kerjasama sub-regional ini nyatanya berusaha untuk meningkatkan kapabilitas negara-negara ASEAN dalam rangka integrasi ekonomi dan masyarakat Asia Tenggara dalam koridor Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Pada 11-14 September 2014, Aceh dipercaya menyelenggarakan konferensi IMT-GT yang dihadiri oleh partisipan dari 32 provinsi dan negara bagian di Indonesia, Malaysia dan Thailand. Dalam pertemuan ini dilahirkan beberapa proyek dalam kerangka IMT-GT antara lain: Ro-Ro Melaka-Dumai, Melaka-Pekanbaru Power Interconnection, Toll Road Sumatera, Pengembangan Pelabuhan di Sumatera, Green Cities Initiatives, dan Special Border Economic Zones.
internasional lainnya. Bukan hanya masyarakat umum, bahkan kalangan aparatur Pemerintah pun tidak terlalu mengenal akan nomenclature ini. Kalaupun ada, hanya segelintir pimpinan terkait saja yang paham, seperti Gubernur, Badan Investasi dan Promosi (Bainprom), serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Aceh (Akmal, 2016). Menariknya beberapa program IMT-GT telah/tengah dilaksanakan di Provinsi Aceh.
Dalam Blueprint IMT-GT 2012-2016, disebutkan bahwa Aceh akan “kebagian” proyek pembangunan jalan tol dari Banda Aceh ke Kuala Simpang. Realitanya, proyek ini baru berjalan 2017 ini. Namun demikian, beberapa tahun terakhir peningkatan kualitas jalan raya di seluruh Provinsi Aceh (terutama di pesisir utara-timur dan barat-selatan) sudah sangat baik, dibandingkan dengan Provinsi Sumatera Utara. Hanya saja, peningkatan kualitas jalan raya di wilayah tengah Aceh masih banyak mengalami kendala, seperti keadaan kontur tanah yang kurang stabil, jalur jalan yang curam dan mendaki, dsb. Singkatnya, kualitas sebagian besar jalan raya yang cukup baik telah memudahkan dan memperlancar transportasi komoditas Aceh untuk dipasarkan ke dalam dan luar negeri. Terutama bagian tengah Aceh yang merupakan daerah produsen kopi dengan kualitas terbaik. Dalam data realisasi ekspor dari tahun 2010-2015 yang dikeluarkan oleh Bainprom Aceh, kopi merupakan komoditas ekspor non-migas paling besar bagi Aceh (Bainprom Aceh, 2016).
Walaupun, insfrastuktur pendukung transportasi sudah semakin baik, pintu masuk dan keluar untuk ekspor impor terutama Pelabuhan laut masih menjadi permasalahan serius bagi Aceh. Dalam Blueprint IMT-GT 2012-2016, pelabuhan Malahayati (Aceh Besar) dan Ulee Lheeu (Banda Aceh) dicanangkan akan dibangun konektivitasnya dengan pelabuhan Belawan, Sumatera Utara, sebagai pintu ekspor. Dengan kata lain, kedua pelabuhan
(Malahayati dan Ulee Lheeu) dibatasi untuk menjadi pintu keluar produk ekspor bagi Aceh. Begitu pula dengan Kawasan Pelabuhan Bebas Sabang ataupun pelabuhan Krueng Geukueh (Lhokseumawe) yang sudah di-upgrade statusnya menjadi pelabuhan impor pada tahun 2013 silam. Ironisnya, manajemen yang buruk dan infrastruktur pendukung yang kurang memadai seringkali menuntut para eksportir dan importir lebih memilih menggunakan Pelabuhan Belawan sebagai main gate produk mereka.
Dalam hal membentuk maritime connectivity antara para anggota IMT-GT, upaya Pemerintah Pusat maupun Aceh dapat dikatakan belum maksimal. Walaupun begitu dalam konteks tourism connectivity, wilayah kota Sabang agak lebih maju dibandingkan daerah Aceh lainnya. Dalam tahun 2015 saja telah 6 kali kapal pesiar dengan membawa sekitar 78.883 wisman. Kapal-kapal pesiar ini umumnya mengambil rute Phuket-Langkawi-Sabang sebagai bagian dari destinasi wisata mereka. Kemudian, hampir 8-10 yacht setiap bulannya juga datang dan bersandar di Sabang. Umumnya, yacht ini berasal dari Langkawi ataupun Phuket (www. theglobejournal.com, 2015)
Dalam konteks konektivitas udara antara Phuket/Krabi/ Langkawi/Sabang, jaringan transportasi udara antara keempat wilayah tersebut belum tersambung secara langsung. Namun, jalur udara dari Banda Aceh – Kuala Lumpur dan Banda Aceh – Penang telah tersedia. Lagipula, jarak antara Banda Aceh dan Sabang cukup dekat. Sedangkan konektivitas Phuket – Krabi – Langkawi telah tersambung via Kuala Lumpur – Langkawi, Kuala Lumpur – Krabi, maupun Kuala Lumpur – Phuket. Dalam hal ini, diperlukan kerjasama yang lebih intensif antara keempat kota ini yang difasilitasi oleh Pemerintah-Pemerintah anggota IMT-GT.
kelompok kerja sama IMT-GT pada 3-6 Juni 2015. Pelaksanaan ini diikuti oleh beberapa delegasi dari beberapa perguruan tinggi di wilayah IMT-GT ini. Tujuannya adalah merevitalisasi eksistensi University Network (Uninet) yang merupakan salah satu bagian kerja program IMT-GT untuk mempersiapkan strategi rencana aksi untuk tiga tahun ke depan (2016-2018). Hasil kegiatan ini menjadi bahan workshop lanjutan pada pertemuan IMT-GT Uninet di Universitas Sains Malaysia, Penang pada Agustus 2015 silam. Hasil workshop ini kemudian diteruskan pada ministerial meeting IMT-GT pada November 2015 di Langkawi, Kedah. Hematnya, keterlibatan Unsyiah dalam skema IMT-GT Uninet cukup menegaskan bahwa Aceh memiliki ruang untuk memberikan sumbangsih secara langsung dalam kerjasama internasional ini (www.unsyiah.ac.id, 2015).
Selanjutnya, terkait dengan Ministerial Meeting IMT-GT pada November 2015 di Alor Star, Kedah, perwakilan Aceh dalam kesempatan itu memaparkan update perkembangan program-program IMT-GT yang diinisiasi pada April 2015 di Langkawi, Malaysia, serta mempresentasikan proposal Syariah Compliance Tourism (www.theglobejournal.com, 2015).
Pertemuan lanjutan setingkat Kepala Negara kemudian dilaksanakan pada April 2017 lalu di Manila, Filippina. Dalam pertemuan ini disepakati berbagai perencanaan pembangunan 4 tahun dalam “IMT-GT Implementation Blueprint 2017-2021.” Sekitar 40 proyek pembangunan senilai US$ 47 Milyar disetujui oleh para Kepala Negara (www.nst.com.my, 2017). Rencana ini merujuk pada “IMT-GT Vision 2036” untuk mengintegrasikan para anggota dalam kerjasama yang inovatif, inklusif dan berkelanjutan pada 2036. Menindak lanjuti hal ini, IMT-GT Uninet kembali diselenggarakan di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh pada 23-24 Mei 2017. Dalam pertemuan ini pembahasan difokuskan pada
peningkatan potensi pembangunan di bidang pertanian, pariwisata, dan industry (www.unsyiah.ac.id, 2017).
Hematnya, Aceh memiliki potensi, peluang dan capaian tersendiri apabila dikaitkan dengan konteks IMT-GT. Yang menjadi masalah, kurangnya kesadaran masyarakat termasuk aparatur Pemeritah akan hadirnya peluang dan potensi tersebut. Boleh jadi karena hal ini tidak masuk dalam agenda dan persepsi high politic– nya masyarakat.
IMT-GT: Pembangunan Negara vs. Pembangunan Manusia
Bagaimanapun pandangannya, kondisi Aceh saat ini masih berada dalam fase demokratisasi paska damai. Sebelumnya berkaitan dengan demokrasi di Aceh, telah penulis ulas dalam kolom Opini AcehTrend (25/12/2015) berjudul “Aceh Paska Konflik dalam Demokrasi Abu-Abu.” Penulis menggambarkan Aceh berada dalam kondisi non-otoritarian non-demokrasi atau demokrasi abu-abu. Kondisi non-otoritarian ini tergambarkan bahwa Pemerintahan Aceh telah dipegang oleh kalangan sipil, semakin terbukanya peluang untuk mendirikan pemerintahan yang poliarki, serta inklusi masyarakat dalam segala aspek politik, ekonomi, dan sosial budaya. Namun, kondisi penegakan hukum yang masih terpaku pada “politik sebagai panglima,” juga kerapnya penggunaan kekerasan – ataupun kekerasan struktural – oleh masyarakat sipil kepada golongan mereka sendiri atau Pemerintah, menjadi alasan bahwa Aceh dapat dikatakan masih dalam kondisi non-demokratis. Hal ini cukup mempengaruhi iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi masyarakat sebagai upaya berintegrasi dalam kerangka IMT-GT.
Secara khusus mengenai iklim investasi, permasalahan-permasalahan yang hadir paska damai masih menghantui para
investor. Gangguan dari oknum bersenjata, rent-seeking atau sharing-sharing bawah tangan para pejabat, uang keamanan kepada para aparatur negara, hingga birokrasi yang berbelit-belit menjadi tembok yang sulit dihancurkan. Beberapa kali investasi yang ingin ditanamkan di Aceh pada akhirnya ditarik kembali karena alasan-alasan tersebut (salah satunya investasi Geothermal di Seulawah yang kemudian diwacanakan kembali untuk dibangun tahun ini, MedcoOil di Aceh Timur yang seringkali mendapatkan tentangan dari masyarakat, dsb.).
Namun, beberapa investasi yang cukup berhasil di Aceh juga tidak memberikan dampak yang signifikan kepada masyarakat. Di antaranya adalah berdirinya perkebunan-perkebunan Sawit milik investor Malaysia dan Singapura. Beberapa kasus di Kota Subulussalam dan Aceh Singkil ditemukan bahwa masyarakat tidak merasakan dampak dari investasi ini. Bahkan tanah masyarakat masuk ke dalam wilayah HGU perusahaan perkebunan sehingga merampas hak-hak masyarakat. Mereka yang berontak kemudian diancam oleh oknum perusahaan. Belum lagi pekerja perkebunan yang mayoritas berasal dari Sumatera Utara dan Kristian, yang semakin banyak. Terutama terkait persoalan antar umat beragama, pertumbuhan penduduk Kristian akhirnya menuntut mereka mendirikan rumah-rumah ibadah baru, bahkan tanpa seizin Pemerintah. Pada akhirnya hal ini memicu konflik antara umat beragama di Aceh Singkil yang sempat viral di media massa beberapa waktu yang lalu. Hematnya, bentuk investasi seperti ini juga rentan melahirkan konflik dan menjejaskan kesejahteraan masyarakat. Sehingga pertanyaan besar muncul, apakah tujuan besar IMT-GT (dalam koridor MEA) ini berorientasi pada pembangunan daerah (state-development) atau pembangunan manusia (human-development)? Karena keduanya punya konsekuensi yang berbeda bagi masyarakat, tentunya. {-}