• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fikih Islam

Dalam dokumen Isi Pendidikan Dalam Perspektif Al-Quran (Halaman 111-117)

ققتح دقف امهنيب Perkataan Malik raḥimahullāh, siapa yang bertasawwuf namun tidak berfikih

2. Fikih Islam

Ilmu fikih adalah buah dari ilmu uṣūl fikih. Telah disebutkan keterangan dari ilmu usul fikih secara luas. Secara etimologis fikih itu artinya paham. Sedangkan secara terminologis, fikh itu merupakan satu ilmu yang berisikan hukum-hukum syari’at amaliah yang diusahakan/digali dari dalil-dalil secara terperinci.132 Faidah dari ilmu ini untuk dapat melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangannya dengan baik dan benar. Sumber dari hukum ini sudah jelas dari Alquran dan Sunnah.

Ayat-ayat yang berhubungan dengan ilmu ini sejalan dengan ayat-ayat yang disebutkan pada pembahasan ilmu uṣūl fikih. Salah satunya, isyarat dari Allah Swt. terhadap sebagian sahabat yang bertahan di kota dan tidak ikut berperang. Firmannya:

ْاوُهذقَفَتَ ِ

َ ٞةَفِئٓاَط ۡمُهۡنِ م ةَقۡرِف ِ ُك نِم َرَفََ َلَّۡوَلَف َۚ ٗةذفآَك ْاوُرِفنََِ َنوُنِمۡؤُمۡلٱ َنَكَ اَمَو۞

ِنيِ لدٱ ِفِ

نُ ََِو

َنوُرَذۡ َيَ ۡمُهذلَعَل ۡمِهَِۡإ َ ْآوُعَجَر اَذِإ ۡمُهَمۡوَق ْاوُرِذ

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. At-Taubah, 9: 122).

Ayat ini menjelaskan bahwa ada sebagian orang yang tidak pergi ke medan perang dengan tujuan mempertahankan ilmu-ilmu agama. Sebagian memepertahankan kedaulatan sedang yang lain memepertahankan ilmu agar tetap keilmuan semakin berkembang. Paham dalam agama tentu dalam hal ini maksudnya adalah ilmu syariat salah satunya. Dengan ilmu syariat maka pengabdian kepada Allah akan sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi saw. hikmah dari pencipataan manusia disebutkan dalam Alquran sebagai pengabdian. Firman Allah:

ِنوُدُبۡعَ َِ لَِّإ َسنِذ لۡٱَو ذنِۡ لۡٱ ُتۡقَلَخ اَمَوۡ

132

Abū Bakar Uṡman ibn Muḥammad Syaṭa ad-Dimyāṭi al-Bakrī (w. 1300 H), Hāsyiyah

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Aż-Żāriyāt, 51: 56).

Kehidupan ini juga disebut dalam Alquran sebagai ujian dari Allah terhadapa semua hamba-Nya, siapa yang paling banyak melakukan kebaikan. Hidup sendiri atau bersama dengan keluarga dan masyarakat pada umumnya, hari-hari yang dijalani tetap mendapatkan ujian dari Allah Swt. Bahkan yang tidak semua orang memahami, kehidupan itu sendiri adalah ujian dari-Nya. Firman-Nya dalam Kitab Suci:

َةَٰوَيَلۡٱَو َتۡوَمۡلٱ َقَلَخ يِۡ لَّٱذ

ُروُفَغۡلٱ ُزيِزَعۡلٱ َوُهَو َۚ ٗلَٗمَع ُنَسۡحَأ ۡمُكُّيَن ۡمُكَوُلۡبََِ

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al-Mulk, 67: 2).

Al-Bagawī menuliskan dalam tafsirnya terkait dengan komentar terhadap sebutan hidup dan mati pada ayat ini mengutip kepada Qatādah ra.:

فو ةايح راد ايندلا الله لعج ايندلا في هتايحو ناسنلإا توم دارأ :ةداتق لاقو

راد ةرخلآا لعجو ،ءان

ءاقبو ءازج

.

هنلأ تولما مدق انَّإ ليق

ءادتبلاا في ءايشلأا نلأ مدقأ هنلأ همدق :ليقو :برقأ رهقلا لىإ

.ةايلَا اهيلع تضترعا ثم اهمونَو باترلاو ةهطنلاك تولما مكح في تناك

Berkata Qatadah: Maksud Allah, kematian dan kehidupan manusia di dunia adalah Allah jadikan dunia sebagai tempat hidup dan kefanaan dan Ia menjadikan akhirat sebagai tempat pembalasan dan keabadian. Dikatakan: pendahuluan sebutan kematian alasannya karena kematian itu paling dekat. Dikatakan: kematian didahulukan karena ia yang lebih dulu, segala sesuatu itu pada awalnya ditetapkan sebagaimana hukum bagi yang mati, seperti sperma, tanah dan selainnya kemudian berubahlah ia menjadi hidup.133

Pengabdian kepada Allah dan menjalan hidup ini agar perbuatan yang dilakukan mulia di sisi Allah tentunya haruslah sesuai dengan ilmu syariat. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah ilmu fikih. Dengan ilmu fikih muamalah seseorang kepada khalik dan makhluk akan membuahkan imtiṣālu awāmirih wajtinābu nawāhih (pengaplikasian perintah Allah dan penjauhan terhadap semua larangannya). Karena itu, ilmu fikih ini termsuk ilmu yang mesti dipahami oleh

133

setiap Muslim, khususnya yang berkaitan dengan ibadah-ibadah yang kefarduannya untuk setiap individu.

Fikih dengan usul fikih memiliki kesamaan dan memiliki perbedaan. Dua ilmu ini sama-sama dibutuhkan dalam Islam. Ilmu fikih merupakan kumpulan dari hukum-hukum syariat yang tergolong furū’iyyah (cabang) yang berkaitan dengan segala perbuatan hamba, ibadah mereka, mu’amalah mereka, hubunga keluarga, urusan perdata, interaksi antar sesama kaum Muslim antara sebagian dengan sebagian yang lain, antara kaum Muslim dengan yang non Muslim, sikap dalam kondisi aman, perang dan lain sebagainya.134 Hukum terhadap semua perbuatan-perbuatan tersebut ada yang wajib, haram, mandub, makruh, mubah, sahih, fasidah dan seterusnya.

Ilmu fikih adalah ilmu yang menjelaskan bahwa salat lima waktu satu hari satu malam wajib, syarat-syarat wajib melaksanakannya, masuknya waktu, hal-hal yang membatalkannya, segala yang membatalkan wudu dan sebagainya. Menjelaskan bahwa daging babi haram dimakan juga bagian dari ilmu fikih. Dengan demikian, ilmu ini adalah ilmu yang merupakan khitab langsung kepada segala perbuatan manusia. Perbuatan yang dimaksudkan itu sama saja apakah dituntut melaksanakannya atau dituntut untuk meninggalkannya. Termasuk ilmu fikih ini juga ilmu dengan dalil syar’i dari Alquran dan Sunnah.135 Salah satu ayat yang dimaksudkan, firman Allah Swt:

ذر ُط ۡضٱ ِنَمَف ِۡۖ ذللَّٱ ِ ۡيرَغِل ۦِهِب ذلِهُأ ٓاَمَو ِريِنزِۡلِٱ َمَۡلَۡو َمذلدٱَو َةَتۡيَمۡلٱ ُمُكۡيَلَع َمذرَح اَمذَِإ

َ ۡيرَغ

َ

لََّو غاَب

ٌميِحذر ٞروُفَغ َ ذللَّٱ ذنِإ ِٖۚهۡيَلَع َمۡثِإ ٓ َلَٗف دَعَ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah, 2: 173).

134

Muḥammad Sulaimān al-Asyqar, al-Wāḍiḥ fi Uṣūl al-Fiqh li al-Mubtadiīn (Kuait: Dār as-Salafiah, 1407 H/1987 M), h. 8.

135

ِريِنزِلِٱ ُمۡۡ لَۡو ُمذلدٱَو ُةَتۡيَمۡلٱ ُمُكۡيَلَع ۡتَمِ رُحَ

ُةَذوُقۡوَمۡلٱَو ُةَقِنَخۡنُمۡلٱَو ۦِهِب ِ ذللَّٱ ِ ۡيرَغِل ذلِهُأ ٓاَمَو

ِسۡقَت ۡسَت نَأَو ِب ُصُّلنٱ َ َعَل َحِبُذ اَمَو ۡمُتۡيذكَذ اَم ذلَِّإ ُعُبذسلٱ َلَكَأ ٓاَمَو ُةَحيِطذلنٱَو ُةَيِ دَ َتَُمۡلٱَو

ِٖۚمََٰلۡزَ ۡلۡٱِب ْاوُم

َسِئَي َمۡوََٱ ۗ ٌق ۡسِف ۡمُكِلََٰذۡ

ۡمُكَل ُتۡلَمۡكَأ َمۡوََٱ ِٖۚنۡو َشۡخٱَو ۡمُهۡو َشۡۡ تَ َلَٗف ۡمُكِنيِد نِم َ ْاوُرَفَك َنيِلَّٱذ

َ ۡيرَغ ٍة َصَمۡ َمَ ِفِ ذر ُط ۡضٱ ِنَمَف َۚاٗنيِد َمََٰلۡسِۡلۡٱ ُمُكَل ُتيِضَرَو ِتَِمۡعِن ۡمُكۡيَلَع ُتۡمَمۡتَنَو ۡمُكَنيِد

َغ َ ذللَّٱ ذنِإَف مۡثِِ لۡ فِناَجَتُم

ٞميِحذر ٞروُف

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Māidah, 5: 3)

ۡسَي

ُمِ لَعُت َيِۡبِ َكَُم ِحِراَوَۡلۡٱ َنِ م مُتۡمذلَع اَمَو ُتََٰبِ يذطلٱ ُمُكَل ذلِحُأ ۡلُق ۡۖۡمُهَل ذلِحُأ ٓاَذاَم َكَنوُلَٔ ٔ

اذمِم ذنُهََو

ٱ ُمُكَمذلَع

يِ َسَ َ ذللَّٱ ذنِإ ََۚ ذللَّٱ ْاوُقذتٱَو ِۖهۡيَلَع ِ ذللَّٱ َمۡسٱ ْاوُرُكۡذٱَو ۡمُكۡيَلَع َنۡك َسۡمَأ ٓاذمِم ْاوُ ُكََف ُۡۖ ذللَّ

ُع

ِبا َسِلۡٱۡ

Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya. (QS. Al-Māidah, 5: 4).

ُمُهۡنِم َلَعَجَو ِهۡيَلَع َب ِضَغَو ُ ذللَّٱ ُهَنَعذل نَم َِۚ ذللَّٱ َدنِع ًةَبوُثَم َكِلََٰذ نِ م َشِۡب مُكُئِ بَنن ۡلَه ۡلُقُ

َةَدَرِقۡلٱ

ِليِب ذسلٱ ِءٓاَوَس نَع ُّلَضَأَو اَٗ َكَذم ٞ َشِ َكِئَٰٓ َلْوُأ َۚ َتوُغَٰ ذطلٱ َدَبَعَو َريِزاَنَۡلِٱَو

Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang fasik) itu disisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan

kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?". Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (QS. Al-Māidah, 5: 60).

ۡسذم اٗمَد ۡوَأ ًةَتۡيَم َنوُكَي نَأ ٓلَِّإ ٓۥُهُمَع ۡطَي مِعا َط َٰذ َ َعَل اًمذرَ ُمُ ذَلَِإ َ ِحۡوُأ ٓاَم ِفِ ُدِجَأ ٓ ذلَّ لُق

َۡ

لۡ ۡوَأ اًحوُف

َم

ذبَر ذنِإَف دَعَ َلََّو غاَب َ ۡيرَغ ذرُط ۡضٱ ِنَمَف َۚۦِهِب ِ ذللَّٱ ِ ۡيرَغِل ذلِهُأ اًق ۡسِف ۡوَأ ٌسۡجِر ۥُهذنِإَف ريِنزِخ

ٞروُفَغ َك

ٞميِحذر

Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -- karena sesungguhnya semua itu kotor -- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. Al-An’ām, 6: 145).

ِنَمَف ۡۖۦِهِب ِ ذللَّٱ ِ ۡيرَغِل ذلِهُأ ٓاَمَو ِريِنزِۡلِٱ َمَۡلَۡو َمذلدٱَو َةَتۡيَمۡلٱ ُمُكۡيَلَع َمذرَح اَمذَِإ

َ

لََّو غاَب َ ۡيرَغ ذر ُط ۡضٱ

ٞميِحذر ٞروُفَغ َ ذللَّٱ ذنِإَف دَعَ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Naḥl, 16: 115).

Beberapa ayat yang disebutkan ini dengan tegas adanya ketetapan dari Allah secara tegas mengatakan haram melakukan perbuatan-perbutan yang disebutkan dalam ayat ini. Semua ayat yang disebutkan ini juga menjelaskan bahwa boleh hukumnya melakukan perbuatan yang dilarang itu bilamana dalam kondisi terpaksa. Hukum yang sudah ditetapkan ini adalah bagian dari pembahasan dalam ilmu fikih sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Adapun ilmu uṣūl fikih merupakan ilmu yang menjelaskan bagaimana sifat-sifat hukum syariat itu secara garis besar, apa saja ciri-ciri khusus dari setiap macaman hukum-hukum tersebut, bagaimana korelasi antara yang satu dengan lainnya. Ilmu ini juga menjelaskan apakah yang bisa dijadikan sebagai dalil menurut kita dan mana yang tidak bisa. Ia juga menjelaskan bagaimana sebenarnya cara untuk mengistinbatkan hukum dari dalil yang dimaksudkan, seperti mengistinbatkan dari teks ẓahir ayat Alquran atau Hadis Nabi saw, mengistinbaṭkan dari mafhumnya (pemahamannya), istinbaṭ dengan qias dan

seterusnya. Ilmu ini juga menjelaskan bagaimana cara memperlakukan dalil yang merupakan perbuatan Nabi saw. Ilmu ini juga menejelaskan karakter orang yang bisa untuk melakukan istinbat hukum, siapa yang betul-betul disebut sebagai ahlinya, bagaimana cara mengatasi dua atau beberapa dalil yang kontradiktif, dan beberapa masalah lainnya.136

Pembahasan ilmu uṣūl fikih sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Berdasarkan apa yang disebutkan dari definisi dan perbedaan antara ilmu uṣūl fikih dengan fikih, sudah jelas bahwa keduanya merupakan ilmu yang sangat penting dalam kehidupan kaum Muslim dan dua-duanya saling keterkaitan. Dengan demikian, hukum mempelajari ilmu fikih adalah fardu ain sekedar untuk sahnya ibadah yang ia lakukan, seperti ilmu bersuci, salat, puasa, dan juga untuk sahnya mu’amalah seperti jual beli dan nikah.137 Akan tetapi, untuk selebih dari yang disebutkan ini sampai kepada tingkatan berfatwa, hukumnya fardu kifāyah. Dan mempelajari selebihnya lagi dihukumi sunnah138 Karena itu, memahami ilmu fikih adalah kewajiban bagi kaum Muslim sesuai dengan nalar kemampuan masing-masing. Bilamana sudah berusaha belajar dengan sungguh-sungguh namun tidak menjadi orang pintar, maka selesailah sudah tugas wajibnya dalam belajar. Firman Allah Swt:

ُو لَِّإ ا ًسۡفََ ُ ذللَّٱ ُفِذ لَكُي َلَّ

ٓاَنيِسذن نِإ ٓاَنۡذِخاَؤُت َلَّ اَنذبَر ۗ ۡتَبَسَتۡكٱ اَم اَهۡيَلَعَو ۡتَبَسَك اَم اَهَل َۚاَهَعۡس

َ

لََّو اَنذبَر َۚاَنِلۡبَق نِم َنيِلَّٱ ذ َ َعَل ۥُهَتۡلَ َحۡ اَمَك اٗ ۡصِۡإ ٓاَنۡيَلَع ۡلِمۡ َتُ َلََّو اَنذبَر َۚاَنۡأَطۡخَأ ۡوَأ

َةَقا َط لَّ اَم اَنۡلِ مََ تُُ

ََ

لن

َنيِرِفََٰكۡلٱ ِمۡوَقۡلٱ َ َعَل اَنۡ ُصۡنٱَف اَنَٰىَلۡوَم َتنَأ َۚٓاَنۡ َحۡۡرٱَو اَ َلن ۡرِفۡغٱَو اذنَع ُفۡعٱَو ۡۖۦِهِب ا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (QS. Al-Baqarah, 2: 286).

136

Sulaiman, al-Wādiḥ, h. 9.

137Ḥasan ibn Aḥmad ibn Muḥammad ibn Sālim Kāf, aṭ-Ṭaqrīrah aṣ-Ṣadīdah fi

al-Masāil al-Mufīdah (Surabaya: Dār al-Ulum al-Islamiah, 1427 H/2006 M), h. 48.

138

Dalam dokumen Isi Pendidikan Dalam Perspektif Al-Quran (Halaman 111-117)