• Tidak ada hasil yang ditemukan

يِۡبُّم Dan sesungguhnya Alquran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam,

Dalam dokumen Isi Pendidikan Dalam Perspektif Al-Quran (Halaman 61-66)

dia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. (QS. Asy-Syu’ara, 26: 192-195).

َٰ َحۡوُي ٞ ۡحَۡو لَِّإ َوُه ۡنِإ َٰٓىَوَهذ ۡلٱ ِنَع ُقِطنَي اَمَو

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Alquran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. An-Najm, 53: 3-4).

Al-Māwardi memberikan komentar terhadap ayat ini dalam tafsirnya an-Nakt wa al-‘Uyūn dengan pernyataan:

: ناهجو هيف } ىحوحْلها ِنحع ُقِطنحي احمحو {

، الله رمأ نع قطني وهو ، هاوه نع قطني امو : اهمدحأ

هلاق

. ةداتق

{.هل لىاعت الله نم ينهو رمبأ ىحوي يحو لاإ وه نإ ، ةوهشلاو ىولهبا قطني ام : نياثلا

. هيلإ ليبرج هيحويو ليبرج لىإ الله هيحوي يأ } ىححوُي ٌيْححو الاِإ حوُه ْنِإ

(Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Alquran) menurut kemauan hawa nafsunya), padanya ada dua pendapat. Pertama, Nabi tidak mengucapkan kata-kata mengikuti kemauannya, dan ia mengucapkan yang diperintahkan oleh Allah. Pendapat ini dari Qatadah. Kedua, Nabi tidak mengucapkan kata dengan nafsu dan syahwat, melainkan ucapannya hanyalah wahyu yang diwahyukan dengan perintah dan larangan dari Allah Swt baginya. “Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”, artinya Allah wahyukan kepada Jibril dan Jibril menyampaikan wahyu kepadanya.60

60Abū al-Ḥasan ‘Ali ibn Muḥammad ibn Muḥammad ibn Ḥabīb al-Baṣr al-Bagdādi/al-Māwardi, an-Nak t wa al-‘Uyūn (al-Maktabah asy-Syāmilah), juz. 4, h. 185.

Namun demikian, tugas kaum Muslim terkait ayat yang difirmankan bahwa Dia yang menjaga Alquran, tidaklah hanya meyakini semata tanpa melakukan kajian terhadap penjagaan Alquran dari tipu daya yang disebutkan. Akan tetapi, semestinya menjalankan tugas belajar bagaimana supaya Alquran bisa dipahami dengan baik dan benar dari segala sisinya, serta selamat dari tipu daya dari orang yang manusia berencana menjauhkan kaum Muslim dari keimanan terhadap Alquran. Ilmu yang dipelajari untuk itu semua tentulah ilmu Alquran.

Berdasarkan keterangan tersebut, janji Allah dalam ayat di atas sebagai penjaga terhadap Alquran, melahirkan paham agar kaum Muslim secara syariat tetap melakukan penjagaan terhadapnya. Dengan ilham dari Zat yang Maha Kuasa, lahirlah kajian Alquran yang menjadi jawaban secara ilmu atas keautentikan Alquran yang mulia itu. Dengan demikian, ayat yang dimaksudkan tersebut secara isyarat membuahkan perintah untuk mempelajari Ulūm al-Qurān.

Ilmu Alquran ini adalah salah satu dari ilmu-ilmu alat yang mesti dipahami oleh seorang alim. Dengan mempelajari ilmu ini, maka ia akan memahami perbedaan antara makki dan madani, sebab-sebab turunnya ayat, pengumpulan dan susunan Alquran, qiraah dan Alquran, perbedaan antara ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, ayat-ayat-ayat-ayat yang am dan khas, nāsikh dan mansūkh, muṭlak dan muqayyad, mantuq dan mafhum dan beberapa pembahasan yang berhubungan dengan Alquran.

Bilamana ia tidak mempelajari ilmu ini, padahal dia akan membahas beberapa kajian yang berhubungan dengan Alquran, kemungkinan besar beberapa pendapat darinya akan menyalahi kemukjizatan Alquran. Karena itu, bagi seseoarang yang akan membahas Alquran dan menyampaikannya kepada umat, hukum mempelajari ilmu ini fardu ain (wajib untuk individunya). Akan tetapi, secara umum dalam skop yang luas, mempelajari ilmu ini dihukumi fardu kifayah (satu orang saja yang mempelajarinya untuk satu desa itu, maka gugurlah tuntutan wajibnya untuk secara umum).

2. Ilmu Hadis/Ilmu Mustalah al-Hadīs

Hadis secara etimologis adalah al-jadīd (yang baru). Secara terminologis, ilmu ini adalah ilmu dengan seperangkat usul-usulnya serta qaidah-qaidahnya

untuk memahami dengan baik keadaan sanad hadis dan matannya yang membuahkan diterima atau tidaknya suatu hadis itu.61 Ilmu Muṣṭalaḥ al-Ḥadīṡ adalah nama lain bagi ilmu hadis. Ilmu yang dimaksudkan di sini adalah ilmu dengan beberapa dasar dan kaidah yang digunakan untuk mengetahui kualitas sanad dan matannya untuk memastikan diterima atau tidaknya suatu hadis.62 Hadis merupakan sumber utama dalam Islam setelah Alquran al-Karim. Kajian Ilmu Muṣṭalaḥ ini membahas bagaimana supaya informasi yang dinisbahkan datangnya dari Nabi saw. bisa dibenarkan atau tidak. Seorang Muslim tentu tidak boleh gegabah menerima informasi tanpa memeriksa siapa yang membawa informasi tersebut. Dalam Alquran Allah sudah mengingatkan hal tersebut:

ۡصُتَف ةَلَٰ َهَ ِبِ اَۢمۡوَق ْاوُبي ِصُت نَأ ْآوُنذيَبَتَف إَبَنِب ُۢقِساَف ۡمُكَءٓاَج نِإ ْآوُنَماَء َنيِ ذلَّٱ اَهُّيَأَٰٓ َي

اَم ََٰ َعَل ْاوُحِب

َيِۡمِدَٰ َن ۡمُتۡلَعَف

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Ḥujurāt, 49: 6).

Muḥammad Ṭāhir ibn Āsyūr memberikan komentar terhadap kata fāsiq yang disebutkan pada ayat ini dalam tafsirnya at-Taḥrīr wa at-Tanwīr:

حرِ سُفحو .ِرِئاحبحكْلا حنِم ُعْراشلا ُهُمِ رحُيُ احم ُلْعِف حوُهحو ، ِقوُسُهْلِبا ُفِصاتُمْلا :ُقِساحهْلاحو

ُنْبا ُهحلاحق ِبِذاحكْلِبا احنُه

.ِاللَّا ِدْبحع ُنْب ُلْهحسحو ٌلِتاحقُمحو ٍدْيحز

Fasik adalah orang yang disifati dengan fusuk. Fusuk itu merupakan perbuatan yang diharamkan syariat dan meruapakan perbuatan dosa besar. Di dalam ayat ini ditafsirkan juga dengan pembohong. Pendapat ini disebutkan oleh ibn Zaid, Muqatil dan Sahal ibn Abdillah.63

Ayat di atas mengarahkan agar dalam menerima informasi apapun harus dengan selektif. Bila semua informasi yang datang langsung diterima tanpa

61

Maḥmūd aṭ-Ṭaḥḥān, Taisīr Muṣṭalaḥ al-Ḥadīs (Jakarta: Dār al-Ḥikmah, 1985 M), h. 15.

62

Ibid.

63

Muḥammad Ṭāhir ibn Āsyūr, at-Taḥrīr wa at-Tanwīr (Tunisia: Dār at-Tunisia, 1984 M), juz. 26, h. 229.

melihat siapa yang menyampaikan dan berita apa yang disampaikan, bisa dipastikan sikapnya akan mudah berobah dari yang baik menjadi tidak baik. Dalam kajian hadis, informasi yang disampaikan oleh seseorang dari Nabi tidak dengan serta merta diterima. Mesti dilihat bagaimana sifat-sifat orang yang menyampaikan dan isi dari pesan yang disampaikan bisa bertentangan dengan akal atau tidak. Kajian ulama yang membahas individu-individu orang yang menisbahkan hadis kepada Nabi saw. bernama al-Jaraḥ (sisi negatif orangnya) wa at-Ta’dīl (positif orangnya).

Rasul dijaga oleh Allah Swt. dari segala sifat-sifat yang tidak baik. Semua ucapan yang disampaikannya berupa informasi dari Allah Swt. Karena itu, dalam aqidah ahlussunnah waljamā’ah semua Rasul itu bersifat ṣidq, artinya benar dalam segala ucapan walau dalam kondisi bersenda gurau. Atas kemuliaan Nabi inilah, ada kemungkinan seseorang yang berupaya untuk mencapai keinginannya menisbahkan ucapannya kepada Nabi saw. Tujuan seperti inilah awal dari munculnya hadis-hadis palsu. Perbuatan ini telah diancam oleh Nabi saw. dengan Neraka bagi orang yang menisbahkan ucapan atau perbuatan kepada Nabi padahal tidak pernah terjadi. Nabi saw. bersabda dalam hadis mutawatir64:

"رانلا نم هدعقم أوبتيلف ادمعتم يلع بذك نم": رتاوتلما حيحصلا ثيدلَا في لاق

Nabi saw. bersabda dalam hadis sahih mutawatir, “siapa yang mendustakan atas nama saya, maka hendaklah dia mengambil tempat baginya di Neraka”.65

Keakuratan ucapan yang disampaikan oleh Nabi saw. dinyatakan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:

َٰ َحۡوُي ٞ ۡحَۡو لَِّإ َوُه ۡنِإ َٰٓىَوَهذ ۡلٱ ِنَع ُقِطنَي اَمَو

64Hadis mutawātir adalah hadis yang diriwayatkan perawi yang banyak sehingga tidak ada kemungkinan secara adat semua mereka sepakat untuk melakukan kebohongan terhadap satu khabar itu. Syarat hadis mutawatir ini ada empat: Pertama, hadisnya diriwayatkan banyak perawi setiap tabaqah. Menurut pendapat yang paling kuat, setiap tabaqah ada perawinya sepuluh orang.

Kedua, jumlah yang disebutkan perawinya di setiap tabaqah. Ketiga, secara adat tidak mungkin

mereka bersepakat untuk berbohong atas satu hadis itu. Keempat, khabar yang disampaikan oleh perawi haru menerimanya dengan panca indra. Contohnya, kami mendengar, kami melihat.

65

Muslim ibn Ḥajjāj abu Husain Qusyairi an-Naisabūri, Jāmi’ aṣ-Ṣaḥīḥ

al-Musamma Ṣaḥīḥ Muslim (al-Maktabah asy-Syāmilah), juz. 1, h. 12. Hadis bernomor 4 dan Hadis

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Alquran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. An-Najm, 53: 3-4).

Ayat ini dengan jelas bisa membuat seseorang langsung percaya bila dinisbahkan pembawa khabar datangnya dari Nabi yang mulia. Nyatanya, tidak sedikit setelah terjadi fitnah dalam Islam (perang Ṣiffin dan perang Jamal) orang-orang yang menyebutkan satu ucapan dari Nabi dengan tujuan untuk memperkuat pendapat yang dia anut. Sebagai pengamalan terhadap firman Allah dalam surah al-Hujurat di atas, maka kajian ini sangat dipentingkan dalam Islam.

Nabi saw. yang juga disebut sebagai tibyān (penjelas) bagi Alquran, diakui oleh semua kaum Muslim. Akan tetapi, berita yang dinisbahkan kepadanya mestilah dipastikan bahwa itu benar darinya. Dengan benarnya suatu khabar dinisbahkan kepada Nabi, maka pemahaman yang benar terhadap Alquran al-Karim dengannya akan menjadi jelas. Ulama hadis, dalam hal jaminan keabsahan ucapan Nabi akan dijaga oleh Allah Swt. termasuk juga kandungan dari isi firman Allah dalam surah al-Hijr ayat 9:

َنو ُظِفَٰ َحَل ۥُلَّ اذنوَإِ َرۡكِ لَّٱ اََ لنذزَن ُنۡۡ نَ اذنِإَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Alquran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Ḥijr, 15: 9).

Ayat ini berisikan bahwa ucapakan Nabi yang disebut dalam dalam surah an-Najm ayat 3-4 sejalan tidak bisa dilepaskan. Di ayat tersebut Allah sebutkan bahwa Nabi tidak menuturkan kata melainkan berdasarkan wahyu dari-Nya. Ayat ini juga (surah al-Ḥijr) menjelaskan bahwa Alquran dijamin oleh Allah keabsahannya. Dalam kajian Islam, Hadis disebutkan sebagai penjelas untuk Alquran agar makna-makna yang terkandung di dalamnya terbuka dengan jelas. Dua ayat di atas (an-Najm dan al-Ḥijr), juga menyimpan isyarat untuk ilmu yang dapat mendeteksi benar atau tidaknya ucapan Nabi saw. Belakangan, ilmu yang berisikan ini lahir dengan diberi nama Ilmu Hadis atau Ilmu Musṭalaḥ al-Ḥadīṡ.

Kehujjahan Sunnah merupakan dasar yang kedua dalam Islam, mengikuti, merujuk dan berpegang kepada Sunnah adalah perintah dari Allah Swt.66 Maka menjaga keautentikannya merupakan tugas wajib kaum Muslim. Mengetahui diterima tidaknya hadis yang dinisbahkan kepada Nabi tentu hanya dengan bersenjatakan ilmu hadis atau ilmu mustalah al-hadis. Karena itu mempelajari ilmu tersebut wajib ain bagi setiap individu yang yang profesinya sebagai penyampai hadis-hadis Nabi saw. Secara umum mempelajari ilmu ini hukumnya fardu kifayah. Beberapa ayat yang memerintahkan mengikuti Nabi saw. adalah:

َ ذللَّٱ ْاوُعيِطَأَو

ُيِۡبُمۡلٱ ُ ََٰلَ ۡلِٱ اَِلنوُسَر ََٰ َعَل اَمذََن ْآوُمَلۡعٱَف ۡمُتۡ ذََوَت نِإَف َْۚاوُرَذۡحٱَو َلوُسذرلٱ ْاوُعيِطَأَو

Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (QS. Al-Māidah, 5: 92).

Al-Khāzin dalam tafsirnya Lubāb at-Ta’wīl fi Ma’ān at-Tanzīl memberikan komentar terhadap ayat ini:

اميف ، نيعي } لوسرلا اوعيطأو الله اوعيطأو {

ةهلامخ اورذحاو يأ } اورذحاو { هنع مكانهو هب مكرمأ

هنع مكانهو هب مكرمأ اميف ملسو هيلع الله ىلص الله لوسر ةهلامخو الله

Dalam dokumen Isi Pendidikan Dalam Perspektif Al-Quran (Halaman 61-66)