• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka

2.1.2 Filsafat Moral Utilitarianisme

Secara etimologis, etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti cara berpikir, akhlak, kebiasaan, perasaan, dan tempat yang baik. Etika secara terminologis adalah melihat dari sudut baik atau buruk suatu perbuatan manusia (Blackburn, 2021). Dalam istilah filsafat, etika adalah ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau dapat disebut ilmu tentang adat kebiasaan.

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), etika adalah ilmu pengetahuan menganai asas-asas akhlak (Mufid, 2009). Etika dalam

27 pandangan Magnis-Suseno sebagai sarana orientasi bagi upaya manusia untuk mampu menjawab suatu pertanyaan yang begitu fundamental Etika bertujuan untuk membantu manusia dalam menentukan tindakan dalam hidup, agar manusia dapat mempertanggungjawabkan kehidupannya, dan mengerti sendiri mengapa manusia harus bersikap seperti ini maupun seperti itu (Magnis-Suseno, 2019). Etika merupakan pemikiran sistematis tentang moralitas, yang dihasilkan secara langsung terhadap suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. Secara historis, etika sebagai upaya filsafat lahir karena keruntuhan tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani pada 2500 tahun yang lalu.

Karena suatu pandangan baik dan buruk saat itu mulai tidak dipercayai, filsuf-filsuf kala itu mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi perilaku manusia, untuk menentukan apa yang harus dianggap sebagai sebuah kewajiban (Magnis-Suseno, 2019).

Etika dibagi kedalam tiga pengertian pokok, yaitu ilmu tentang kebaikan dan kewajiban moral, kumpulan asas yang berkenaan dengan akhlak, dan nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu masyarakat ataupun golongan (Mufid, 2009). Untuk mencapai suatu pendirian dalam pandangan-pandangan moral, refleksi kritis etika dibutuhkan, karena etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika berusaha menjernihkan permasalahan moral dengan menuntut ungkapan pendapat-pendapat moral dipertanggungjawaban (Magnis-Suseno, 2019). Etika sering disebut sebagai filsafat moral, merupakan cabang yang membicarakan tindakan manusia dalam hubungannya dengan tujuan utama kehidupannya. Etika membahas baik-buruk atau benar-salah tingkah laku dan tindakan manusia sekaligus menyoroti kewajiban sebagai makhluk hidup yang berakal, yaitu sebagai manusia (Mufid, 2009). Etika menyelidiki dasar semua norma moral, sehingga etika mampu dibagi menjadi etika deskriptif dan etika normatif. Dalam etika deskriptif, etika memberi gambaran dari indikasi kesadaran moral, dari norma dan konsep-konsep yang etis. Sedangkan etika normatif berbicara apa yang sebenarnya harus atau wajib merupakan tindakan manusia, dengan menilai norma-norma setiap manusia ditentukan (Mufid, 2009).

Untuk memahami moral, perlu membedakan etika dan moral terlebih dahulu, sehingga pemaparan etika diatas adalah cara peneliti dalam memahami

28 moral. Magnis-Suseno (2019) menjelaskan etika sebagai sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Konsep yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bersikap, dan berperilaku, adalah moral. Lanjutnya, moral dapat diibaratkan seperti buku panduan bagaimana pengendara harus memperlakukan sepeda motor dengan baik, sedangkan etika memberikan pengendara sebuah pengertian mengenai sebuah struktur dan teknologi pada sepeda motor itu sendiri. Sehingga pemahaman singkat moral adalah sebuah ajaran yang menentukan manusia dalam berperilaku/bersikap. Kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia, dan moral merupakan bidang kehidupan manusia ditinjau dari segi kebaikannya sebagai manusia (Magnis-Suseno, 2019). Mufid (2009) memaparkan dua kaidah dasar moral, kaidah sikap baik dan kaidah keadilan. Kaidah sikap baik pada dasarnya menuntun manusia dalam bersikap baik terhadap apapun dengan bagaimana sikap baik tersebut dinyatakan dalam bentuk yang konkret. Dalam kaidah keadilan, adalah kesamaan yang masih mempertimbangkan kebutuhan orang lain, yaitu kesamaan beban yang dipikul harus sama dan disesuaikan dengan kadar masing-masing.

Kata moralitas dan moral sering disandingkan bersamaan. Secara sederhana, moralitas adalah sifat moral atau nilai yang berkenaan dengan baik-buruk (Mufid, 2009). Magnis-Suseno (2019) membagi moralitas (sifat moral) menjadi empat, yaitu kebebasan, tanggung jawab, hati nurani, dan prinsip-prinsip moral dasar. Kebebasan adalah kemampuan manusia dalam menentukan dirinya sendiri. Moralitas, hanya ada dalam diri manusia karena manusia itu bebas. Manusia mempergunakan kebebasan di bawah bobot kewajiban yang besar, sehingga manusia semakin bebas apabila semakin bertanggung jawab. Louis (dalam Mufid, 2009) memaparkan batasan untuk implementasi kebebasan dan tanggung jawab sosial melalui pencarian prinsip, salah satunya adalah prinsip moral. Prinsip ini mengukur baik-buruk ditentukan oleh masyarakat, bukan oleh individu. Karena kebaikan individu tidak akan berarti bila masyarakat menyatakan hal tersebut sebagai keburukan, begitu pun sebaliknya. Dalam mengukur kebaikan manusia, tolak ukur/penilaian yang dipakai oleh masyarakat disebut sebagai norma moral.

Penilaian moral selalu berbobot, karena nilai dilihat bukan dari salah satu segi, melainkan sebagai manusia (Magnis-Suseno, 2019). Magnis-Suseno (2019)

29 menambahkan bahwa penilaian moral bukan hanya masalah perasaan, tetapi masalah kebenaran objektif. Dalam Mufid (2009), penilaian tersebut dipahami sebagai prinsip kesadaran moral. Kesadaran moral identik dengan universalitas, yaitu berlaku umum. Kesadaran moral yang dewasa, meninjau dari sensor perasaan bersalah (Superego) yang sehat dengan berpedoman pada kesadaran nilai dari kemampuan menyesuaikan diri dengan apa yang dinilainya sebagai tepat (Magnis-Suseno, 2019). Setidaknya ada tiga prinsip dasar dalam prinsip kesadaran moral, yakni sikap baik, keadilan, dan hormat terhadap diri sendiri. Prinsip keadilan dan hormat pada diri sendiri adalah bentuk syarat pelaksanaan sikap baik, sedangkan prinsip sikap baik merupakan dasar mengapa individu bersikap adil dan hormat (Mufid, 2009).

Melalui kaidah sikap baik yang dipaparkan Mufid (2009), selaras dengan moralitas hati nurani. Hati nurani merupakan kesadaran moral manusia dalam situasi konkret. Pusat kepribadian manusia yang disebut hati, menyadari apa yang sebenrnya dituntut dari diri manusia. Secara moral, akhirnya manusia pun harus menentukan sendiri apa yang wajib untuk dilakukan sebagai kebebasan dan tanggung jawab dalam menjalani hidup tanpa dipengaruhi secara buta tuntutan ideologi orang lain ataupun masyarakat (Magnis-Suseno, 2019). Moralitas menjadi jelas artinya setelah menjabarkan bagiannya, sehingga dapat ditarik garis besar bahwa moralitas ialah sikap hati di diri manusia yang terungkap dalam tindakan lahiriah. Moralitas terdapat dalam sikap yang baik, karena manusia sadar akan kebebasan dan tanggung jawabnya. Maka, moralitas merupakan sikap dan perbuatan baik yang sebenar-benarnya tanpa pamrih, hanya moralitas yang bernilai secara moral (Magnis-Suseno, 2019). Namun untuk mencapai kesatuan paham moral, seorang individu harus bersedia untuk menempati “titik pangkal moral” atau “the moral point of view”. Dimaksudkan, bahwa individu tersebut harus bersedia untuk mengambil sikap moral, sehingga tercapailah dasar untuk bersama-sama dalam mencari penilaian yang tepat. Mengambil titik pangkal moral hanya mungkin jika individu memiliki kepribadian yang kuat dan matang (Magnis-Suseno, 2019). Untuk mencapai tahap itu, Magnis-Suseno (2019) memberikan opsi untuk memiliki kepribadian yang kuat dan matang (disebut sebagai tekad moral), yaitu kemurnian hati dan rasa. Melalui kemurnian hati, manusia

30 melatih sikap-sikap yang membebaskan diri dari penguasaan emosi dan dorongan irrasional, sehingga memiliki kepribadian yang lebih kuat, otonom, dan mampu menjalankan tanggung jawabnya. Mengenai rasa, membantu manusia untuk mengerti ke tujuan seperti apa manusia harus berusaha jika ingin menjadi seseorang. Mencapai rasa yang mendalam berarti individu tersebut sudah mantap dalam tekadnya untuk selalu memilih sesuatu yang baik dan benar (Magnis-Suseno, 2019).

Melihat pengertian etika normatif, yakni berbicara apa yang sebenarnya harus atau wajib merupakan tindakan manusia, dengan menilai norma-norma setiap manusia ditentukan (Mufid, 2009). Dalam Magnis-Suseno (2019), etika normatif diartikan sebagai nilai moral tindakan ditentukan dari tujuan yang mau dicapai. Etika normatif yang terkemuka, memiliki cara pendekatan dan bobot yang berbeda satu sama lain, namun setuju dalam satu anggapan yaitu tujuan kehidupan manusia adalah kebahagiaan. Maka menurut ketiga teori tersebut, prinsip dasar bagi segala tindakan manusia adalah kebahagiaan tercapai. Ketiga tersebut, adalah hedonisme, eudaimonisme (pengembangan diri), dan utilitarianisme (Magnis-Suseno, 2019). Perbedaan antara tiga teori tersebut adalah dua teori pertama mengusahakan kebahagiaan bagi manusia yang bertindak karena untuk dirinya, dalam buku-buku etika memasukkan teori tersebut ke dalam kelompok egoisme etis. Sedangkan teori ketiga, utilitarianisme menuntut kebahagiaan diusahakan bagi semua orang yang terdampak oleh tindakan kita. Melalui pengertian tersebut, utilitarianisme termasuk ke dalam kelompok universalisme etis (Magnis-Suseno, 2019).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan moral utilitarianisme sebagai titik pangkal moral terkait pada pesan moral. Peneliti memahami pesan moral yang disampaikan perlu ditujukan untuk mencapai kebahagiaan bersama, maka tepat untuk menggunakan moral utilitarianisme.

b. Utilitarianisme dalam Pemikiran John Stuart Mill

Mufid (2009) memahami utilitarianisme sebagai pemikiran etika yang melihat kaidah moral dan baik-buruk tindakan diukur dari akibat yang ditimbulkan. Tujuan tindakan adalah hasil atau konsekuensi yang timbul akibat perbuatan yang dikerjakan. Menurut Magnis-Suseno (2019), utilitarianisme

31 menuntut manusia harus bertindak sedemikian rupa sehingga menghasilkan dampak positif (akibat baik) sebanyak mungkin dan menghindari dampak negatif (akibat buruk) sebanyak mungkin. Menurut pandangan utilitarian, tujuan dari tindakan manusia merupakan standar moral sehingga tindakannya dapat didefinisikan dengan membuat sebuah aturan-aturan yang harus ditaati sekaligus menjamin tidak hanya kepada manusia, namun juga semua makhluk hidup. Utilitarianisme dalam pandangan peneliti, bahwa seluruh tindakan yang dilakukan dituntut untuk mengutamakan kebaikan dan menghindari keburukan, hal ini merupakan cara pandang peneliti dalam melihat kehidupan, dengan maksud membentuk lingkungan masyarakat yang damai dan makmur.

Utilitarianisme dalam maksud sebenarnya, ingin agar manusia selalu bertindak sedemikian rupa hingga sebanyak mungkin orang dapat sebahagia mungkin, maka utilitarianisme dapat disebut sebagai etika tingkat tinggi, selaras dengan utilitarianisme yang membenarkan bahwa sebuah pengorbanan akan kepentingan sendiri demi orang lain merupakan tindakan yang secara moral bernilai tinggi (Magnis-Suseno, 2019). Teori ini menuntut agar kebahagiaan diusahakan bagi semua orang yang terkena oleh akibat tindakan kita. Dalam keseharian, terkadang peneliti tidak memikirkan apa akibat dari tindakan yang dilakukan dapat mempengaruhi orang lain. Demikian teori ini mengingatkan peneliti pada suatu pepatah “Apa yang kau tabur, itulah yang kau tuai”, yang menyadarkan peneliti bahwa setiap tindakan perlu dipikirkan dan juga dirasakan akan setiap akibat yang timbul nantinya. Terkait perasaan, perasaan yang mengikat moral utilitarian pada orang yang memahami pandangan ini tidak diperlukan apabila tujuan dirinya adalah memberi suatu pengaruh sosial untuk kemudian membuat sebagian besar manusia menyadari akan kewajibannya (Mill, 2020). Yang menjadi khas bagi utilitarianisme, bahwa dampak-dampak positif tersebut tidak hanya dilihat dari kepentingan si pelaku, melainkan dari segi kepentingan semua orang yang terkena oleh akibat tindakan si pelaku. Melihat hal tersebut, maka semua tindakan yang benar adalah tindakan yang memperhitungkan sesuatu dari potensi paling memajukan kepentingan semua orang yang terdampak (Magnis-Suseno, 2019).

Utilitarianisme memberikan alasan yang jelas mengapa di antara dua kemungkinan akan suatu tindakan, individu harus memilih yang satu dan

32 menolak yang kedua. Karena utilitarianisme menuntut agar diberikan alasan-alasan rasional dengan membuka pemilihan keputusan moral pada dialog dan argumentasi.

Magnis-Suseno (2019) melihat hal tersebut dan meletakan jasa utilitarianisme dalam rasionalitas dan universalitasnya. Yang menjadi penting dalam jasa utilitarianisme, adalah manusia dituntut harus memperhatikan dampak-dampak dari tindakan yang mengungkapkan suatu prinsip moral yang fundamental, yakni manusia bertanggung jawab atas akibat-akibat dari apa yang dilakukannya. Prinsip utilitarianisme adalah kesimpulan dari kewajiban manusia untuk bertanggung jawab terhadap sesama, kewajiban yang berdasarkan prinsip moral yang paling fundametnal, yaitu bahwa terhadap siapa saja kita hendaknya untuk selalu mengambil sebuah sikap yang baik.

Prinsip tersebut, mengungkapkan sesuatu yang hakiki bagi suatu penilaian moral, dengan catatan diimbangi oleh prinsip keadilan (Magnis-Suseno, 2019).

Utilitarianisme disebut universal, yaitu mengaku adanya kewajiban terhadap semua orang. Hal tersebut dikarenakan yang menjadi norma moral bukanlah dampak positif bagi si pelaku, melainkan dampak positif di seluruh dunia.

Dengan demikian, utilitarianisme memuat prinsip moral lebih lanjut bahwa manusia bertanggung jawab terhadap sesamanya. Sehingga manusia tidak boleh untuk hidup seolah-olah sendirian di dunia, namun dengan sesama, manusia dalam segala tindakannya harus sedemikian rupa hingga manusia tidak merugikan manusia lainnya. Sesama merupakan setiap orang yang memiliki potensi terkena akibat dari tindakan kita (Magnis-Suseno, 2019).

Utilitarianisme dalam kaitannya dengan masyarakat, dilihat Mill (2020) ialah masyarakat yang setara hanya mampu hidup dengan sebuah pemahaman bahwa kepentingan semua pihak dianggap sama. Orang-orang yang tumbuh dewasa tentu tidak bisa mengabaikan kepentingan orang lain, mereka berada di bawah kewajiban untuk menganggap diri mereka untuk setidaknya meminimalisasi semua risiko. Dengan demikian, pandangan Mill terhadap utilitarianisme dengan masyarakat yang setara dan pandangan peneliti pada utilitarianisme yang mampu membentuk masyarakat yang damai dan makmur adalah dua hal yang sama.

33 Mill (2020) memahami utilitarianisme sebagai prinsip kebahagian terbesar, sehingga selaras dengan seperti apa yang dikatakan Magnis-Suseno (2019), bahwa untuk mencapai sebuah kebahagiaan, etika normatif melihat dalam tiga teori; yaitu hedonisme, eudaimonisme (pengembangan diri), dan utilitarianisme. Untuk mencapai kebahagiaan, dalam Magnis-Suseno (2019) dinyatakan bahwa utilitarianisme menjadi teori seperti ini dengan diawali pemahaman dua teori sebelumnya, yaitu hedonimse dan pengembangan diri.

Hedonisme berasal dari bahasa Yunani hedone yang berarti nikmat. Secara ringkas, hedonisme dipahami sebagai mencapai kebahagiaan apabila manusia merasakan kenikmatan. Peneliti melihat hedonisme sebagai sesuatu yang terlalu egois sehingga tidak sesuai dengan cara pandang peneliti. Dalam kajian pengembangan diri, Aristoteles menyatakan bahwa untuk menjadi bahagia, salah satu tuntutan yang harus dipenuhi oleh manusia adalah kebajikan (Aristoteles, 2012). Etika kebajikan adalah teori yang baik digunakan untuk menjelaskan dan memahami bahwa perilaku yang baik mengandung hal positif. Berdasarkan teori Aristotelian ini, perilaku tersebut memungkinkan kita untuk menjalani kehidupan yang bahagia dan melihat agen-agen bajik dalam berperilaku baik dan penuh kasih sayang (D’Olimpio, 2008). Sedangkan pada teori pengembangan diri, peneliti melihat merupakan cara pandang yang mantap untuk menjadi seorang manusia yang berkualitas. Namun, peneliti melihat sebuah manusia sebagai makhluk yang mampu bertanggung jawab atas dirinya dan diluar dirinya. Apa yang ada dalam teori pengembangan diri, faktor eksternal belum menjadi sebuah prioritas. Dari pemaparan diatas, utilitarianisme dibandingkan dengan dua etika normatif dalam memandang sebuah kebahagiaan ialah berbeda. Magnis-Suseno (2019) memaparkan, kedua teori pertama termasuk ke kelompok egoisme etis, sedangkan teori ketiga termasuk univeralisme etis. Dengan kebersamaan ketiga teori tersebut ialah nilai moral tindakan ditentukan oleh tujuannya, tindakan baik yang berusaha mencapai kebahagiaan dan tindakan buruk yang berusaha menghalangi pencapaian kebahagiaan.

Kebahagiaan dapat berlipat ganda menurut utilitarianisme menjadi objek sebuah kebajikan, dan orang-orang dengan kekuatan yang dimilikinya menyebarkan kebaikannya secara luas, atau dapat disebut sebagai dermawan

34 publik. Dalam Mill (2020), menyatakan mereka yang merujuk pada sesama makhluk, entah dasar kewajiban moralnya adalah kebahagiaan umum atau tidak, manusia hakikatnya menginginkan kebahagiaan, meski tidak sempurna dalam praktiknya, mereka berhadap orang lain juga menunjukkan penghargaan melalui tindaknnya terhadap diri mereka. Jika utilitas (kegunaan) merupakan sumber utama kewajiban moral, maka utilitas dapat digunakan untuk memutuskan tuntutan mana saja yang tidak sesuai, meski penerapan standar sulit untuk dilakukan, setidaknya lebih baik daripada tidak menerapkannya sama sekali. Sebagian besar moralitas sebenarnya dipertimbangkan berdasarkan kepentingan sesama manusia (Mill, 2020). Dengan pemahaman bahwa manusia adalah makhluk sosial, maka jelas jika tindakan perlu selalu dipertimbangkan demi kepentingan umum. Sebagai prinsip kebahagiaan terbesar, maka utilitarianisme dapat disebut sebagai kebahagiaan umum.

Ketika kebahagiaan umum diakui sebagai standar etika, maka akan menjadi kekuatan moralitas utilitarianisme. Kekuatan yang mendasari moralitas, adalah perasaan sosial manusia. Seperti dalam sosialisasi, merupakan kebutuhan alami manusia yang sudah menjadi prinsip kuat dalam sifat manusia (Mill, 2020).

Dalam prinsip utilitarianisme, konsekuensi suatu tindakan merupakan sebuah sanksi utama bagi penganut utilitarian. Sanksi tersebut, ialah sanksi sosial. Sanksi sosial merupakan keyakinan akhir dari moralitas kebahagiaan terbesar, dengan membuat pikiran dan perasaan seorang manusia berkembang dengan baik dan tidak bertentangan dalam merawat sesamanya (Mill, 2020).

Peneliti memberikan analogi sanksi sosial, dengan kita yakin ketika kita salah dalam suatu tindakan, kita akan memikiran kesalahan serta merasakan rasa salah tersebut. Maka dalam teori utilitarianisme, konsekuensi menganut teori ini adalah mendapatkan rasa kebahagiaan dan rasa sakit, secara bersamaan ataupun terpisah. Dalam penerapannya, apabila manusia tidak memiliki kehendak untuk berbuat kebajikan (sebagai upaya menuju kebahagaiaan), maka dapat dengan membuat manusia memikiran hal tersebut dalam situasi yang menyenangkan atau tanpa adanya rasa sakit, yaitu merelasikan perbuatan benar dengan kebahagiaan dan perbuatan salah dengan rasa sakit, sehingga tindakan yang dilakukannya menjadi kebajikan secara alamiah (Mill, 2020).

Sebuah tindakan yang alamiah, dipercaya Mill (2020) sebagai kebiasaan.

35 Kebiasaan ditinjau melalui perasaan maupun perilaku, adalah satu-satunya hal yang memberikan kepastian dan keinginan untuk melakukan hal yang benar harus dikoleksi dengan kemandirian kebiasaan. Maka, kehendak merupakan sarana untuk kebaikan, melihat manusia mendapatkan dampak baik jika tindakan itu menjadi sarana mendapatkan kebahagiaan dan menghindari rasa sakit. Peneliti memahami sesuatu yang biasa, dilakukan secara kontinu, maka akan menjadi sebuah kebiasaan. Dengan harapan utilitarianisme ini menjadi tolak ukur dalam bertindak, maka sebuah tindakan yang mulia (kebajikan) dengan konsekuensi mendapat kebahagiaan dan rasa sakit, menjadi sebuah kebiasaan. Sehingga hasil akhir yang didapat adalah masyarakat yang adil.

Banyak dari filsuf mengungkapkan bahwa utilitarianisme merupakan teori yang kurang pantas untuk dianut, karena prinsip kegunaan dalam keadilan menjadi subjektif (Mill, 2020). Keterkaitan utilitarianisme dengan keadilan, dijelaskan Mill (2020), bahwa keadilan sudah seharusnya menjadikan sebuah pemahaman utilitarianisme sebagai bagian utama, paling suci, sekaligus mengikat semua moralitas. Aturan moral yang melarang manusia untuk saling menyakiti lebih penting bagi kesejahteraan manusia daripada prinsip apa pun.

Seorang individu berpotensi untuk tidak selalu membutuhkan orang lain, namun dirinya selalu butuh untuk orang lain tidak menyakitinya. Maka, prinsip memberikan setiap orang apa yang pantas untuk mereka dapatkan diartikan menjadi orang yang melakukan kebaikan akan mendapat kebaikan melakukan kejahatan akan mendapatakan keburukuan (Mill, 2020). Dalam konteks pengadilan, maka pelaku tindakan kejahatan pantas untuk dihukum. Kant (dalam Mill, 2020) mengemukakan prinsip moral melalui tindakan, sebuah aturan dalam berperilaku yang bisa diadopsi sebagai hukum oleh semua makhluk yang rasional. Prinsip tersebut adalah tindakan manusia harus membentuk perilaku manusia dengan aturan yang dapat diadopsi oleh semua makhluk rasional dengan menguntungkan kepentingan kolektif mereka. Secara sederhana, tindakan yang menguntungkan kepentingan umum dapat diimplementasikan dalam hukum, sehingga setiap tindakan kita akan teratur secara alamiah (kebiasaan). Dengan keteraturan, manusia akan merasa aman.

Maka gagasan yang mengakui bahwa sesama makhluk sebaiknya bersatu untuk menciptakan keamanan lantas menjadi dasar dari eksistensi kita (Mill, 2020).

36 Dengan keamanan, eksistensi manusia terjaga hingga hari ini dan dengan keadilan, manusia dapat hidup secara teratur.

Secara garis besar, moral utilitarianisme adalah bagian etika normatif sebagai ajaran moral yang menuntut suatu tindakan baik-buruk dari akibat yang ditimbulkan dengan menghasilkan akibat baik sebanyak-banyaknya dan menghindari akibat buruk sebanyak-banyaknya terhadap orang lain yang terpengaruh oleh tindakan kita. Dengan moral sebagai upaya untuk menuntun manusia menuju kebaikan, maka kebahagiaan akan mengikuti. Melihat utilitarianisme bersifat rasional dan universalis, maka setiap orang yang terdampak oleh tindakan kita sebanyak-banyaknya mendapatkan kesenangan dan sebanyak-banyaknya menjauhi rasa sakit. Sebagai pemahaman bahwa kesenangan dan rasa sakit tidak bisa dipisahkan, maka utilitarianisme dalam mencapai kebahagiaan perlu sebuah pengorbanan dalam upayanya, dan pengorbanan tersebut, ditolak oleh hedonisme. Karena menurut teori tersebut, kenikmatan tidak bisa dirasakan secara lengkap bila terdapat rasa sakit di dalamnya (Magnis-Suseno, 2019). Jika disandingkan dengan teori utilitarianisme, teori pengembangan diri tidak menolak akan sebuah pengorbanan demi mencapai kualitas terbaik dalam diri sebagai seorang manusia. Namun Magnis-Suseno (2019), membandingkan utilitarianisme dengan teori pengembangan diri (eudaimonisme), bahwa tidak cukup jika seorang manusia hanya berfungsi jika berkualitas hanya untuk dirinya, tanpa berpartisipasi lebih sebagai makhluk sosial, memahami bahwa hal tersebut merupakan kodrat manusia.

Maka dalam penelitian ini, untuk melihat sebuah pesan moral utilitarianisme dalam video klip “Feel Special” TWICE dan tujuan pesan moral utilitarianisme melihat dari kegunaan nya untuk mencapai kebahagiaan bersama (umum), maka pesan moral yang titik pangkal moral nya utilitarianisme adalah tolak ukur yang tepat. Seperti dalam video klip “Feel Special” terdapat adegan yang merepresentasikan pesan moral utilitariansime yaitu sebuah kehadiran seseorang merupakan bentuk dari kepedulian, sehingga penting untuk masyarakat pahami bahwa kehadiran sebagai simbol kepedulian akan sesama. Jika diwakilkan dalam satu kata, maka tindakan tersebut adalah sebuah empati. Penelitian ini, merupakan cara peneliti untuk mengungkapkan

37 dan menyadarkan kepada masyarakat bahwa empati merupakan sebuah tindakan yang mulia bagi orang yang melakukan maupun orang yang menerimanya dan pastinya menciptakan kebahagiaan.

Dokumen terkait