BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
2.1.3 Semiotika Roland Barthes
a. Sejarah Semiotika dan Perkembangannya
Secara etimologis, Sudjiman dan van Zoest (dalam Sobur, 2018) menyatakan bahwa semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion yang memiliki arti tanda. Tanda didefinisikan sebagai sesuatu atas dasar konvensi sosial yang dibangun sebelumnya dan dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Wibowo, 2018). Dalam Sobur (2018), semiotika adalah suatu metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda merupakan perangkat yang dipakai secara umum dalam usaha memaknai sesuatu di dunia ini, diantara manusia dan bersama-sama manusia. Sobur menambahkan bahwa semiotika berusaha menjelaskan hubungan tanda atau ilmu tanda, secara sistemik menjelaskan isi, ciri-ciri, dan bentuk tanda, serta proses signifikasi yang menyertainya (Sobur, 2018). Segres (dalam Sobur, 2018) mendefinisikan semiotika adalah suatu disiplin ilmu yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana tanda dan berdasarkan pada sistem tanda..
Semiotika berasal dari studi klasik dan skolastik mengenai seni logika, retorika, dan poetika (Kurniawan dalam Sobur, 2018). Semiotika sebagai studi memiliki pengaruh besar. Menurut Cobley dan Jansz (Sobur, 2018), semiotika sebagai ilmu analisis tanda atau studi yang membahas bagaimana sistem penandaan berfungsi. Tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna adalah relasi antara objek atau gagasan pokok dan suatu tanda (Littlejohn dalam Sobur, 2018). Semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari objek yang luas, berbagai peristiwa, dan seluruh kebudayaan sebagai tanda (Wibowo, 2018). Maka dengan semiotika, orang berusaha memahami lebih dalam suatu tanda, mencari suatu makna di dalam tanda tersebut, dan menemukan hal-hal yang tidak terlihat dari tanda tersebut.
Pada dasarnya, semiotika sebagai alat analisis berusaha untuk merasakan sesuatu yang janggal, mengenai sesuatu yang perlu dipertanyakan lebih lanjut ketika membaca teks atau narasi/wacana. Semiotika dalam studi
38 media massa, menganalisis dengan berupaya menemukan makna (Wibowo, 2018). Menurut Umberto Eco (dalam Wibowo, 2018) menyatakan bahwa kajian semiotika hingga saat ini dapat dibedakan menjadi dua jenis semiotika, yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Semiotika komunikasi berfokus pada teori mengenai produksi tanda, di antaranya terdapat asumsi terhadap enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode, sistem tanda, pesan, saluran komunikasi, dan acuan yang menjadi bahan perbincangan. Sedangkan semiotika signifikansi tidak membahas adanya tujuan untuk berkomunikasi. Semiotika signifikansi mengutamakan segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisi lebih berfokus pada penerima tanda dibanding prosesnya (Wibowo, 2018).
Semiotika terpengaruh oleh peran Charles Sander Peirce dan Ferdinand De Saussure. Keduanya meletakkan dasar-dasar semiotika. Teori Peirce dalam semiotika disebut sebagai teori utama. Gagasan Peirce bersifat menyeluruh, deskriptif berstruktur dari semua sistem penandaan. Peirce ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda kemudian menggambungkan kembali semua partikel dasar tersebut menjadi komponen dalam struktur tunggal (Wibowo, 2018). Pendekatan semiotika menurut Saussure, lebih terfokus pada semiotika linguistik. Saussure melihat bahasa sebagai karya musik (simfoni) dan memahaminya dengan memperhatikan keutuhan karya musik secara keseluruhan dan bukan kepada permainan musik individual setiap pemain musik. Pandangan Saussure yang terkenal yaitu terhadap penanda dan petanda (signifier and signified), bentuk dan isi (form and content), bahasa dan tuturan (langue and parole), sinkronik dan diakronik (synchronic and diachronic), serta sintagmatik dan paradigmatik (syntagmatic and paradigmatic) (Wibowo, 2018).
b. Semiotika dan Pemikiran Roland Barthes
Penelitian ini menggunakan semiotika melalui pemikiran Roland Barthes, yang mengadaptasi dan terpengaruh oleh gagasan Saussure. Roland Barthes sebagai murid atau pengikut dari Saussure, banyak menyerap ilmu sekaligus mendedikasikan pemikirannya dalam ilmu semiotik. Barthes yang berkebangsaan Perancis, memiliki pemikiran Barat yang kental dengan nuansa kritis Eropa (Prasetya, 2019). Barthes mengembangkan gagasan Saussure
39 tentang semiotika dan mengimplementasikannya dalam konsep budaya.
Roland Barthes banyak menggunakan terminologi Saussurean, seperti penanda (signifier) dan petanda (signified). Bagi Saussure, relasi penanda dan petanda bersifat arbitrer (bebas), baik secara tidak sengaja maupun disengaja (Berger, 2015). Penanda dan petanda merupakan komponen tanda, penanda membentuk taraf ekspreksi dan penanda membentuk taraf isi (Barthes, 2017). Barthes (2017) dalam bukunya “Elemen-Elemen Semiologi” menyebutkan tanda-tanda semiotika yang asalnya utilitarian dan fungsional, sebagai fungsi-fungsi tanda.
Tanda yang dibuat, dapat masyarakat fungsionalisasikan kembali dengan sangat baik, dam membahasnnya seolah-olah tanda tersebut dibuat hanya untuk dapat digunakan.
Barthes memaparkan model semiotika miliknya yang merupakan hasil pengembangan dari model semiotika Saussure (Fiske, 2017).
Gambar 2. 1 Peta Tanda Semiotika Roland Barthes (Sumber: Barthes, 2011)
Model di atas menjelaskan tentang bagaimana makna diamati dari sebuah objek. Konsep narasi dalam pemikiran Roland Barthes lebih menekankan terhadap pembentukan makna. Konsep pemaknaan tanda ini, mengadopsi gagasan Saussure dengan melanjutkan dengan memasukkan konsep denotasi dan konotasi (Fiske, 2017). Dua konsep tersebut merupakan kajian utama dalam meneliti mengenai semiotika. Barthes juga menyertakan konsep mitos, yang berada dalam tataran konotasi (sistem kedua).
Konsep-40 konsep tersebut merupakan sebuah penemuan dan revolusioner dalam studi semiotika, membuat pemikirannya dianggap paling operasional sehingga sering digunakan dalam penelitian (Fiske, 2017). Konsep pemikiran Barthes yang operasional ini disebut sebagai Dua Tatanan Pertandaan (Two Order of Signification).
Gambar 2. 2 Two Order of Signification Roland Barthes (Sumber: Fiske, 2018)
Dalam Two Order of Signification atau Dua Tatanan Pertandaan, sebuah makna mampu dinarasikan secara tegas, jelas, dan lugas. Model di atas merupakan model yang digunakan dalam penelitian (Prasetya, 2019). Lewat model ini, Barthes sebagai pemilik model menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama/tatanan pertama merupakan relasi antara signifier/penanda (ekspresi) dan signified/petanda (isi) di dalam sebuah tanda terhadap realitas external, Barthes menyebutnya sebagai denotasi yakni makna paling nyata dari tanda (Barthes, 2017). Tatanan Pertama ini merupakan landasan kerja Saussure (Fiske, 2017). Denotasi merupakan makna sesungguhnya atau sebuah fenomena yang mampu diterima oleh panca indera, atau dapat disebut sebagai deskripsi dasar (Prasetya, 2019). Makna denotasi bersifat langsung dan dapat disebut sebagai gambaran dari suatu petanda (Berger, 2015). Dalam pemikiran Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi
41 tahap pertama. Dalam hal ini, denotasi justru lebih dihubungkan dengan ketertutupan makna (Sobur, 2018). Tataran denotasi disebut sebagai signifikasi tahap pertama, yaitu tanda yang dimaknai secara harfiah (Prasetya, 2019).
Tanda denotatif, terdiri atas penanda dan petanda, yang disaat bersamaan adalah penanda konotatif dan penanda mitos, sehingga tanda dentoasi merupakan unsur material (Sobur, 2018).
Tahap selanjutnya dalam pemaknaan tanda Roland Barthes adalah signifikasi tahap kedua atau tatanan kedua, yang dikenal sebagai konotasi.
Konotasi adalah makna-makna kultural yang muncul karena adanya konstruksi budaya sehingga terdapat sebuah pergeseran, namun tetap melekat pada simbol atau tanda tersebut (Prasetya, 2019). Konotasi merupakan istilah yang digunakan oleh Roland Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua, menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan emsoi dari pembaca serta nilai-niali dari kebudayaan (Wibowo, 2018). Dalam pemikiran Barthes, tahap kedua dalam model ini adalah bentuk, konotasi, mitos, dan simbol. Signifikasi tahap kedua ini mampu menjelaskan bagaimana mitos-mitos dan ideologi beroperasi dalam teks melalui tanda-tanda (Barthes, 2017).
Dalam signifikasi tahap kedua, makna konotasi dipahami sebagai makna setelah melewati tataran penanda dan petanda (signifikasi tahap pertama).
Tataran konotasi merupakan konsep yang paling sering digunakan dalam penelitian tentang semiotika. Dalam tataran ini, suatu pemahaman perlu lebih mendalam dalam penelitian (Prasetya, 2019). Menurut Wibowo (2018), makna konotasi memiliki makna intersubjektif, yaitu bagaimana cara menggambarkan makna. Konotasi merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes dalam studinya menambah satu area penting tentang tanda adalah peran pembaca (Sobur, 2018). Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif, sehingga eksistensinya tidak disadari. Seorang pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif (Wibowo, 2018). Maka dari itu, salah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan sebuah metode/teknik analisis dan kerangka berpikir serta mengatasi terjadinya salah dalam menerjemahkan makna suatu tanda (Fiske, 2017).
42 Dalam tatanan kedua, mitos. Fiske (2017) menjelaskan bahwa Barthes menggunakan mitos sebagai seorang yang percaya, artinya yaitu yang orisinal.
Mitos merupakan cerita yang digunakan pada suatu kebudayaan untuk menjelaskan serta memahami beberapa aspek dari alam atau realitas. Mitos adalah sistem komunikasi, bahwa mitos merupakan sebuah pesan (Barthes, 2011). Mitos adalah suatu pesan yang di dalamnya terkandung ideologi. Mitos secara semiotika adalah sistem yang khas serta dikonstruksi dari sistem semiotika tatanan pertama (Barthes, 2017). Makna konotatif dari beberapa tanda akan menjadi mitos sehingga makna-makna konotasi menjadi perwujudan mitos yang sangat berpengaruh (Berger, 2015). Mitos tidak bisa menjadi sebuah objek, konsep, maupun ide. Karena Barthes memahami mitos sebagai cara penandaan (signifikasi) suatu bentuk. Mitos perlu diingat bahwa nerupakan sistem ganda bersifat ubikuitas (ada di mana-mana) yang titik berangkatnya ditentukan dari titik kedatangan maknanya (Barthes, 2011).
Bagi Barthes, mitos adalah cara berpikir dari suatu kebudayaan akan sesuatu, cara untuk memahami sesuatu. Barthes memikirkan mitos sebagai mata rantai dari konsep-konsep yang berkaitan (Fiske, 2017). Barthes (2011) menyatakan bahwa untuk menguraikan mitos, maka harus mengidentifikasikan konsepnya. Barthes mengatakan bahwa mitos merupakan bagian dari sebuah pembicaraan. Pembicaraan merupakan ranah bagi munculnya mitos, segalanya dapat menjadi mitos asal hal tersebut disampaikan melalui wacana (Prasetya, 2019). Pernyataan tersebut menjadikan mitos sebagai topik pembicaraan yang menunjuk pada ketidakpastian serta menjadikannya sebagai suatu wacana.
Mitos mengandung ideologi yang mengatarkan pola pikir masyarakat untuk membicarakannya sehingga membentuk suatu konteks pemaknaan yang didasari oleh budaya (Prasetya, 2019). Wibowo (2018) menjelaskan mitos sebagai suatu wahana ideologi berwujud. Budiman (dalam Sobur, 2018) menyatakan, Barthes memaparkan ideologi dengan mitos karena ideologi maupun mitos terdapat relasi antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi. Barthes menegaskan bahwa cara bekerja pokok mitos ialah untuk menaturalisasikam sejarah, yaitu membuat nilai-nilai kultural, historis dan kepercayaan menjadi tampak alami/wajar dan dianggap benar (Barthes, 2017). Mitos merupakan produk kelas sosial yang
43 mendominasi sejarah tertentu, melihat mitos mendistorsi asal-usulnya sehingga memiliki dimensi sosial. Barthes menjelaskan bahwa bila konotasi adalah pemaknaan tatanan kedua dari penanda, maka mitos adalah pemaknaan tatanan kedua dari petanda. Konotasi dan mitos adalah cara kerja pokok tanda-tanda yang berfungsi dalam tatanan kedua pertandaan, yaitu tatanan sebagai tempat berlangsungnya interaksi antara tanda dan budaya/penggunanya yang sangat aktif (Fiske, 2017).
Akhirnya peneliti menggunakan semiotika Roland Barthes karena mampu mengungkap dan mengkritisi mitos/ideologi dalam masyarakat, yang mendasari terciptanya lagu “Feel Special”, lagu dari JYP sebagai bentuk dukungan untuk TWICE yang sedang menghadapi masa sulit. Representasi pesan moral sebagai isi pesan pada video klip tersebut kemudian dapat ditemukan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes melalui tataran denotasi, tataran konotasi, dan tataran mitos.