• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Tahap Penilaian Sanitasi Higiene Tempat Pembongkaran Ikan (Transit) dan Penilaian Kelayakan Dasar Unit Pengolahan Ikan (UPI) dan Penilaian Kelayakan Dasar Unit Pengolahan Ikan (UPI)

4.2.4 Penyimpangan Kritis

4.3.2.2 Frekuensi dan durasi kejadian keracunan histamin

Tabel 6. Data tingkat konsumsi seafood di Amerika Serikat Tahun 2003-2007

Tahun Jenis produk seafood (kg per kapita/tahun)

Fresh and Frozen Canned Cured Total

2003 11,4 4,6 0,3 16,3 2004 11,8 4,5 0,3 16,6 2005 11,6 4,3 0,3 16,2 2006 12,3 3,9 0,3 16,5 2007 12,1 3,9 0,3 16,3 Sumber: NOAA (2007)

4.3.2.2 Frekuensi dan durasi kejadian keracunan histamin

Sejak tahun 1970, kasus keracunan histamin (HFP) sudah banyak terjadi seperti di Jepang, Amerika Serikat, Australia, New Zealand, dan Inggris. Sours dan Smith (1980) dalam Lehane dan Olley (1999) melaporkan bahwa pada tahun 1980 sampai dengan tahun 1997, kasus keracunan histamin menjadi masalah yang besar dan merata. Hughes et al. (1977) dalam Lehane dan Olley (1999) melaporkan bahwa selama tahun 1970 sampai 1974 telah terjadi 68 kasus keracunan makanan dan 45% diantaranya disebabkan oleh keracunan histamin yang sebagian diantaranya karena mengkonsumsi ikan tuna dan mahi-mahi.

Jepang, Amerika Serikat (USA), dan Inggris Raya (United Kingdom, UK) merupakan negara dengan jumlah tertinggi yang menderita keracunan histamin (Sumner et al. 2004). Di Amerika Serikat, sejak tahun 1969 sampai dengan

tahun 1979 telah terjadi 74 kasus keracunan histamin akibat mengonsumsi ikan golongan scombroid. Dari 74 kasus tersebut 24 diantaranya disebabkan

konsumsi ikan tuna. Dari tahun 1976 sampai dengan tahun 1982 di Inggris telah terjadi 100 kasus keracunan histamin akibat konsumsi ikan golongan scombroid. Di Jepang, dari tahun 1970 sampai tahun 1980 telah terjadi 43 kasus keracunan histamin akibat konsumsi ikan golongan scombroid (Taylor 1983).

Di Amerika Serikat, antara tahun 1973 sampai dengan tahun 1986 telah terjadi 178 outbreaks keracunan scombrotoxin dari 1096 kasus yang dilaporkan ke CDC’s Food Disease Outbreaks Surveillance System (Anonim 1989 dalam Taylor dan Alasalvar 2002). Antara tahun 1988 dan 1997, 145 outbreaks dari 811 kasus dilaporkan. Sebagian besar melaporkan kejadian keracunan pada seafood termasuk mahi-mahi, tuna dan bluefish (Olsen et al. 2000 dalam

 

di Amerika Serikat telah terjadi 103 outbreaks histamine fish poisoning (HFP)

(Smith de Wall et al. 2000 dalam Sumner et al. 2004). Sedangkan di United Kingdom pada periode tahun 1992 sampai dengan tahun 1999,

telah terjadi 47 outbreaks histamine fish poisoning (HFP) (Scoging et al. 1998

dalam Sumner et al. 2004). Selain itu, kejadian keracunan histamin ini juga dilaporkan terjadi di negara-negara Eropa, Asia, Kanada, Selandia Baru (New Zealand), dan Australia (Sumner et al. 2004).

4.3.3 Hazard characterization (karakterisasi bahaya)

Hazard characterization merupakan evaluasi kualitatif dan atau kuantitatif dari efek yang merugikan kesehatan dalam hubungannya dengan agen biologi, kimia, dan fisik yang mungkin terdapat dalam makanan. Ada dua faktor penting dalam hazard characterization yaitu gambaran dari efek bahaya (mikroorganisme atau toksinnya) dan dosis yang dapat diterima (dose-response). Dose-response assessment merupakan penentuan hubungan antara besaran paparan (dosis) agen kimia, biologi, dan fisika dan tingkat keparahan dan atau frekuensi untuk menimbulkan efek yang merugikan kesehatan (Sumner et al. 2004).

Dalam penelitian ini dilakukan karakterisasi terhadap bahaya histamin pada ikan tuna yang selanjutnya akan dihubungkan dengan dosis histamin yang dapat diterima oleh tubuh manusia (dose-response histamin), yaitu penduduk Jepang sebagai konsumen produk tuna segar dan penduduk Amerika Serikat sebagai konsumen produk tuna loin beku. Kejadian keracunan histamin di dalam tubuh manusia secara umum dipengaruhi oleh tingkat konsumsi dan tingkat kadar histamin yang terbentuk.

Berdasarkan hasil analisis kadar histamin pada penelitian ini, diketahui rata-rata kadar histamin produk tuna segar untuk tujuan ekspor Jepang (tuna grade A dan B) adalah sebesar 2,4770 ppm (0,25 mg/100 g) dan rata-rata tingkat konsumsi ikan dan produk perikanan di Jepang pada tahun 2003 hingga 2005 adalah 63,2 kg per kapita/tahun atau 0,4 kg per kapita/2 hari (dengan asumsi frekuensi konsumsi produk tuna segar oleh orang Jepang adalah 1 minggu 3 kali konsumsi). Asumsi berat tubuh rata-rata orang Jepang adalah 60 kg. Berdasarkan data dan asumsi tersebut, maka dapat diketahui bahwa konsumsi produk tuna segar sebanyak 0,4 kg per kapita/2 hari yang memiliki

 

kadar histamin 2,4770 ppm akan memberikan dosis histamin ke dalam tubuh orang Jepang sebesar 0,0017 mg/kg berat badan.

Rata-rata kadar histamin produk tuna tuna loin beku untuk tujuan ekspor Amerika Serikat adalah 4,0524 ppm (0,4 mg/100 g) dan tingkat konsumsi seafood (frozen dan canned) di Amerika Serikat pada tahun 2007 adalah 9,95 kg per kapita/tahun atau sebesar 0,83 kg per kapita/bulan (dengan asumsi frekuensi konsumsi produk tuna loin beku oleh orang Amerika Serikat adalah

setiap bulan sekali konsumsi). Asumsi berat tubuh rata-rata orang Amerika Serikat adalah 80 kg. Berdasarkan data dan asumsi tersebut, maka dapat diketahui bahwa konsumsi produk tuna loin beku sebanyak 0,83 kg per kapita/bulan yang memiliki kadar histamin 4,0524 ppm akan memberikan dosis histamin ke dalam tubuh orang Amerika Serikat 0,0042 mg/kg berat badan.

Granerus (1968) dalam Lehane dan Olley (1999) melaporkan bahwa histamin sebesar 67,5 mg tidak memberikan efek keracunan pada manusia. Sedangkan Motil dan Scrimshaw (1979) dalam Lehane dan Olley (1999) melaporkan bahwa 100-180 mg histamin dalam 100 g tuna kualitas tinggi atau dosis histamin sebesar 1,6-3 mg/kg berat badan dapat menyebabkan gejala ringan keracunan histamin seperti sakit kepala, kemerahan pada wajah, dan lain-lain, dengan asumsi rata-rata berat tubuh manusia adalah 60 kg. Selain itu, Clifford et al. (1989) dalam Lehane dan Olley (1999) juga melaporkan bahwa 50 g ikan mackarel segar yang mengandung 300 mg histamin (dengan dosis sekitar 5 mg/kg berat badan) yang diberikan pada sukarelawan, memberikan gejala ringan keracunan histamin seperti pusing, kemerahan pada wajah, dan mual.

Scoging (1998) dalam Lehane dan Olley (1999) melaporkan bahwa antara tahun 1987 hingga tahun 1996 telah terjadi 405 kasus Histamine Fish Poisoning (HFP) pada produk ikan tuna segar dan tuna kaleng. Sebanyak 148 kasus dari 405 kasus keracunan tersebut disebabkan oleh kadar histamin > 5 mg/100 g dan 117 kasus dari 148 kasus keracunan tersebut disebabkan oleh kadar histamin > 100 mg/100 g.

 

Food and drug administration (FDA) Amerika Serikat menetapkan batas kadar histamin pada ikan tuna, mahi-mahi, dan spesies sejenis yang dapat menimbulkan efek toksik yaitu sebesar 50 mg/100 g dan batas terendah dari efek histamin adalah sebesar 5 mg/100 g. Jika terdapat ikan dengan kandungan histamin 5 mg/100 g daging ikan pada satu unit, maka kemungkinan pada unit yang lain, level histamin dapat mencapai lebih dari 50 mg/100 g (FDA 2002).

Simidu dan Hibiki (1955) dalam Sumner et al. (2004) menyatakan bahwa ambang batas kadar histamin pada ikan adalah sekitar 60 mg. Sedangkan Shalaby (1996) dalam Sumner et al. (2004) melaporkan bahwa kadar histamin dalam makanan yang dapat menyebabkan keracunan umumnya sebesar ≤ 40 mg (efek ringan), > 40 mg (efek sedang), dan > 100 mg (efek berbahaya). Berdasarkan analisis tersebut, Shalaby (1996) dalam Sumner et al. (2004)

menetapkan level toksik histamin pada ikan yaitu: < 5 mg/100 g (aman dikonsumsi), 5-20 mg/100 g (kemungkinan toksik), 20-100 mg/100 g

(berpeluang toksik), dan > 100 mg/100 g (toksik). Sumner et al. (2004) melaporkan bahwa pemerintah Australia dan New Zealand menetapkan level kadar histamin untuk ikan atau produk ikan adalah tidak boleh > 20 mg/100 g.

Selain itu, Scoging (1998) dalam Sumner et al. (2004) juga menyatakan

terdapat empat macam tingkatan level histamin di United Kingdom, yaitu aman konsumsi (kadar histamin 10 mg/100 g), kemungkinan toksik (kadar histamin 10-50 mg/100 g), berpeluang toksik (kadar histamin 50-100 mg/100 g), dan toksik (kadar histamin > 100 mg/100 g).

Uni Eropa menggunakan sistem pengujian 9 sampel ikan tuna untuk membatasi dampak keracunan histamin, dari 9 sampel tersebut ada tiga syarat

yang harus dipenuhi, yaitu: nilai tengah dari semua sampel tidak boleh > 10 mg/100 g, dua sampel boleh memiliki kadar histamin > 10 mg/100 g tetapi

harus < 20 mg/100 g, dan tidak boleh ada sampel yang memiliki kadar histamin > 20 mg/100 g (EU 1991 dalam Sumner et al. 2004).

Kadar histamin pada ikan tuna segar dengan berbagai kualitas mutu serta kadar histamin ikan tuna selama proses pengolahan tuna loin beku pada penelitian ini rata-rata masih dibawah 10 ppm (1 mg/100 g), sehingga masih lebih rendah

 

jika dibandingkan dengan standar kadar histamin yang ditetapkan oleh FDA,

Uni Eropa, atau Jepang. Oleh karena itu, ikan tuna segar dan produk tuna loin beku tersebut masih aman dan layak untuk dikonsumsi.

4.3.4 Risk characterization (karakterisasi risiko)

Risk characterization merupakan proses penentuan secara kualitatif dan atau kuantitatif yang mencakup ketidakpastian, kemungkinan kejadian dan keparahan dari potensi yang merugikan kesehatan yang diketahui atau dikenal

dalam suatu populasi yang ditentukan berdasarkan hazard identification, exposure assessment, dan hazard characterization (Sumner et al. 2004).

Penentuan ranking atau tingkat risiko ini dilakukan dengan analisis secara semikuantitatif menggunakan model perhitungan risk ranger (Ross dan Sumner 2002). Prinsip analisis semikuantitatif ini adalah mengubah data kualitatif menjadi data kuantitatif. Kisaran ranking risiko dari yang terendah hingga yang tertinggi

digambarkan dengan nilai 0-100, ranking 0 berarti bahaya histamin tidak menyebabkan risiko terhadap seluruh populasi hingga ranking 100 yang berarti bahaya histamin dapat menimbulkan risiko kematian pada seluruh populasi.

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa ikan tuna segar yang didaratkan di transit sebagian langsung diekspor ke Jepang sebagai produk tuna segar dan sebagian lagi diolah di perusahaan pengolahan sebagai produk tuna loin beku, dalam hal ini di PT Makmur Jaya Sejahtera, untuk selanjutnya di ekspor ke Amerika Serikat. Oleh karena itu, analisis penentuan ranking risiko dilakukan terhadap negara Jepang dan Amerika Serikat. Proses penentuan ranking risiko bahaya histamin di negara Jepang dan Amerika Serikat dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8.

 

Tabel 7. Penilaian risiko secara semi kuantitatif dari bahaya histamin pada ikan tuna segar bagi penduduk Jepang

No. Kriteria risiko dan keterangannya