• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1. Wilayah dan Topografi

Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45’ 50’’ Bujur Timur dan 106 0 45’ 10’’ Bujur Timur, 6 0 49’ 29’’ Lintang Selatan dan 6 0 50’ 44’’ Lintang Selatan dan terletak di kaki Gunung Gede dan Gunung Pangrango yang ketinggiannya 584 meter di atas permukaan laut. Kota Sukabumi berjarak 120 Km dari Ibukota Negara (Jakarta) dan 96 Km dari Ibukota Propinsi (Bandung). Kota Sukabumi terbagi menjadi 7 kecamatan dan 33 Kelurahan.

Kelurahan Situmekar merupakan bagian administratif dari Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi. Kelurahan ini memiliki wilayah administratif dengan batas wilayah, yaitu sebelah utara berbatasan dengan Desa Gunungpuyuh Kabupaten Sukabumi, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Wangunreja Kabupaten Sukabumi, sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Lembursitu Kota Sukabumi, dan sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Cipanengah Kota Sukabumi.

Kelurahan Situmekar memiliki topografi lahan datar dengan kemiringan 5 persen. Letak geografis Kelurahan Situmekar berada pada ketinggian 500-521 meter di atas permukaan laut dan suhu berkisar antara 24°-30°C. Rata-rata curah hujan selama lima tahun terakhir (2003-2007) adalah 2.122 mm/tahun, jumlah hari hujan rata-rata 214 hari setahun, dari hujan 142 hari, 3 bulan kering dan 9 bulan basah.

5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di

Kelurahan Situmekar

Penduduk di Kelurahan Situmekar terbagi menjadi 3.080 KK dan 45 KK diantaranya adalah KK tani. Jika dilihat berdasarkan persentase, jumlah KK tani hanya sebesar 4,7 persen dari jumlah keseluruhan KK yang ada di Kelurahan Situmekar. Hal ini menunjukkan bahwa sumber daya pertanian yang ada di Kelurahan Situmekar hanya sedikit dan semakin diperparah dengan semakin berkurangnya lahan pertanian di wilayah ini. Selain itu, jumlah KK tani yang tidak begitu besar didominasi oleh petani lanjut usia dengan kisaran umur di atas

56 44 tahun. Tidak adanya generasi muda yang mau melanjutkan kegiatan pertanian di dalam keluarga tani disebabkan oleh pandangan bahwa kegiatan pertanian bukan merupakan kegiatan yang bergengsi dan kurang memberikan nilai keuntungan.

Petani di Kelurahan Situmekar berdasarkan status penguasaannya terbagi menjadi petani pemilik, petani pemilik dan penggarap, serta petani pemilik penggarap. Berdasarkan status penguasaan lahan, sebagian besar petani yang ada di lokasi penelitian adalah petani penggarap, yaitu sebesar 66,3 persen.

5.3. Potensi Lahan Usahatani Situmekar

Luas wilayah Kelurahan Situmekar 155,040 ha terdiri dari lahan sawah seluas 63,330 ha dan lahan darat seluas 91,710 ha. Potensi Lahan Sawah di Kelurahan Situmekar dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Potensi Lahan Sawah berdasarkan Jenis Pengairan di Kecamatan Lembursitu

Tahun 2008

Kelurahan

Luas Lahan (ha)

Jumlah Teknis ½ Teknis Sederhana Tadah Hujan

Lembursitu - - 140,050 - 140,050 Situmekar - - 63,330 - 63,330 Cipanengah - - 35,521 - 35,521 Sindangsari - - 51,070 - 51,070 Cikundul - - 50,050 3,5 54,000 Jumlah - - 340,471 3,5 343,971

Sumber: Data Base Penyuluh Pertanian Tahun 2008

Selain itu, berdasarkan pendata base tahun 2008 yang dilaksanakan oleh penyuluh pertanian se Kecamatan Lembursitu, wilayah Kelurahan Situmekar juga memiliki potensi lahan darat maupun kolam yang luasnya dapat dilihat pada Tabel Tabel 8. Lahan usahatani yang ada di Kelurahan Situmekar belum seluruhnya dimanfaatkan secara optimal, karena sistem pengairan yang ada masih sederhana. Hal ini mengakibatkan pada beberapa areal sawah saat musim kemarau banyak

57 yang tidak mendapatkan pengairan, seperti pada blok pangkalan perbatasan dengan Kelurahan Cipanengah.

Tabel 8. Potensi Lahan Darat dan Kolam berdasarkan Penggunaan Di Kecamatan Lembursitu Tahun 2008

Kelurahan

Luas Lahan (ha)

Jumlah Pemukiman/pekarangan Tegalan/Ladang Kolam Lain

Lembursitu 127,653 42,928 5,975 4,928 181,484 Situmekar 35,870 26,360 3,820 25,660 91,710 Cipanengah 86,325 20,825 2,880 2,175 112,205 Sindangsari 31,645 1,500 3,320 2,353 38,818 Cikundul 80,365 24,500 6,460 10,250 121,575 Jumlah 361,858 116,113 22,455 45,366 545,792

Sumber: Potensi Kecamatan dan Data Penyuluh Pertanian 2008

Pengelolaan air masih dilaksanakan oleh Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) Mitra Cai, sehingga perlu adanya peningkatan sistem pengairan dari sederhana menjadi ½ teknis dan teknis, sehingga masalah pengairan dan pengaturannya dapat teratasi. Oleh karena itu, untuk menunjang kegiatan pengairan maka di Kecamatan Lembursitu, tepatnya di Kelurahan Situmekar telah dibentuk kelompok P3A Mitra Cai Harum dan gabungan P3A Mitra Cai dari tiga kelurahan, yaitu Situmekar, Lembursitu, dan Cipanengah.

5.4. Usahatani Tanaman Pangan dan Sayuran

Tanaman padi merupakan jenis usahatani yang masih menjadi andalan bagi petani di Kelurahan Situmekar dalam menjalankan usahataninya. Selain itu, para petani juga menjalankan usaha tanaman sayuran sebagai penyelang. Sayuran yang diusahakan adalah sayuran jenis dataran rendah. Usahatani untuk tanaman palawija hanya dilakukan pada daerah-daerah darat seperti tegalan. Usahatani tanaman pangan dan sayuran dapat dilihat pada Tabel 9. Sebagian besar petani di Kelurahan Situmekar lebih memilih menanam padi, walaupun produktivitasnya masih perlu ditingkatkan.

58

Tabel 9. Keadaan Usahatani Tanaman Pangan dan Sayuran di Kelurahan Situmekar,

Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2009

No. Komoditas Produktivitas (ton/ha)

1. Tanaman Pangan: Padi Sawah PTT 8 Padi Organik 7,5 Padi Hibrida 8,5 2. Sayuran: Secim 14 Cabe merah 0,7 Kacang panjang 2,25 Bengkuang 4

Sumber: Data Base Penyuluh Pertanian Tahun 2009

5.5. Data Kelembagaan Petani

Adanya kelembagaan petani sebagai penunjang dalam program pembangunan pertanian dirasakan sangat penting sekali. Pada tahun 2008, di Kelurahan Situmekar telah terbentuk Gapoktan Situmekar yang mendapatkan dana bantuan pemerintah dalam Program Pengembangan Agribisnis Perdesaan (PUAP) sebesar Rp 100 juta. Gapoktan Situmekar selain sebagai tempat bagi petani untuk memenuhi kebutuhan sarana produksi pertanian, juga diharapkan dapat membantu petani untuk memasarkan hasil produksi yang dihasilkan. Oleh karena itu, keberadaan Gapoktan Situmekar ini harus selalu dijaga oleh seluruh pengurus dan anggota.

Salah satu kekurangan yang ada di kelurahan ini adalah belum adanya kios-kios saprodi yang memudahkan petani memenuhi kebutuhan saprodi untuk kegiatan usahataninya, sehingga pembelian pupuk masih dilakukan secara kolektif ataupun perorangan ke Gapoktan ataupun kios penyalur yang ditunjuk, yaitu Kios Dian di Kelurahan Lembursitu.

59

5.6. Karakteristik Kelompok Tani di Kelurahan Situmekar

Kelompok tani merupakan wadah yang sangat diperlukan dalam melaksanakan pembinaan kepada petani. Untuk itu, keberadaan dan keaktifan kelompok merupakan hal yang sangat penting untuk dapat menunjang keberhasilan baik usahatani ataupun keberhasilan pertanian di wilayah tersebut. Di Kelurahan Situmekar saat ini baru terdapat enam kelompok tani dan satu kelompok wanita tani. Karakteristik kelompok tani yang ada di Kelurahan Situmekar dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Karakteristik Kelompok Tani di Kelurahan Situmekar Tahun 2009

No. Nama Kelompok Tani Lahan (ha) Anggota Tahun berdiri Kelas Kelompok Tani Komoditi 1 Harum I 19,80 75 1978 Utama Pertanian dan Perikanan

2 Harum II 5,53 49 1978 Lanjut Pertanian

3 Harum III 7,00 43 1978 Lanjut Pertanian

4 Harum IV 7,15 32 1978 Lanjut

Pertanian dan

Peternakan, palawija

5 Harum V 6,18 27 1978 Lanjut Padi dan

Palawija

6 Mekarsari 5,59 24 2007 Pemula Pertanian

7 Dewi Sentani

(Wanita Tani) 11,85 69 1991 Lanjut

Pertanian dan

Hortikultura

60

5.7. Sosial Ekonomi Petani

Kemampuan Kelompok Tani Harum IV diukur dengan tiga jurus kemampuan yang dapat dilihat pada Tabel 11. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani di lapangan oleh Penyuluh Pertanian, sebagian besar kelompok tani masih belum terkoordinir dalam memasarkan hasil pertaniannya. Posisi tawar menawar petani masih rendah, sehingga kesejahteraan mereka belum sesuai dengan yang diharapkan. Seringkali pada waktu menjual hasil panen, petani tidak memperhitungkan harga yang menguntungkan bagi mereka. Hal ini terjadi karena kebutuhan petani yang tidak bisa ditunda-tunda dan akhirnya pembeli lah yang menentukan harga.

Tabel 11. Tingkat Kemampuan Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2009

No. Kriteria Persentase

1. Kemampuan merencanakan kegiatan untuk meningkatkan produktivitas usahatani para anggotanya dengan menerapkan rekomendasi yang tepat

75

2. Kemampuan pemupukan modal dan memanfaatkan pendapatan secara optimal

51,3

3. Kemampuan mencari dan memanfaatkan serta menggalang kerjasama kelompok

67

Sumber: Data Penyuluh Pertanian 2009

Kemampuan petani dalam pemupukan modal masih rendah, yaitu hanya sebesar 51,3 persen. Ketergantungan akan bantuan dari pihak luar menjadikan petani sulit menumbuhkan kemampuan untuk memupuk modal secara swadaya. Selain itu, kemampuan petani dalam merencanakan kegiatan untuk meningkatkan produktivitas usahatani para anggotanya dengan menerapkan rekomendasi yang tepat juga masih terbilang rendah, yaitu sebesar 75 persen. Oleh karena itu, peran kontak tani masih harus terus ditingkatkan sebagai motor penggerak dalam kelompok tani.

61 Masalah perilaku lain yang ada dalam petani di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar adalah: (1) belum optimalnya penggunaan sarana produksi pertanian yang tepat guna, sehingga produktivitas yang diharapkan belum berhasil dicapai, (2) belum berfungsinya penanganan pasca produksi, (3) kesadaran petani dalam melaksanakan penyuluhan penerapan teknologi masih rendah , dan (4) kurangnya memanfaatkan bahan yang tersedia untuk menanggulangi hama dan penyakit yang menyerang seperti pembuatan pestisida nabati dan agen hayati.

5.8. Sistem Penguasaan dan Pengusahaan Lahan

Menurut Suryono (2002), penguasaan lahan pada dasarnya dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu penguasaan lahan yang bersifat tetap dan penguasaan lahan yang bersifat sementara. Penguasaan lahan yang bersifat tetap diperoleh melalui sistem waris dan transaksi jual beli lahan. Sedangkan penguasaan lahan yang bersifat sementara dapat diperoleh melalui sistem sewa, bagi hasil, dan gadai.

Penguasaan lahan melalui sistem waris diperoleh dengan cara mewariskan lahan orang tua kepada anaknya. Implikasi dari penerapan sistem waris akan mengakibatkan terjadinya fragmentasi lahan dan kepemilikan lahan terpecah-pecah menjadi semakin kecil. Sedangkan penguasaan lahan melalui transaksi jual beli diperoleh melalui kesepakatan antara penjual dan pembeli lahan. Dengan adanya transaksi jual beli lahan, perubahan yang terjadi hanyalah status kepemilikannya saja, sedangkan luas lahannya tetap.

Sistem sewa adalah penyerahan sementara hak penguasaan tanah kepada orang lain sesuai dengan perjanjian yang dibuat bersama oleh pemilik dan penyewa lahan. Pembayaran sewa dapat dilakukan di awal maupun di akhir musim tanam tergantung perjanjian antara kedua belah pihak. Dilihat dari bentuknya, pembayaran sewa lahan dapat berupa uang tunai maupun natura yang besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan.

Sistem bagi hasil atau penyakapan adalah perpindahan hak garap sementara berdasarkan perjanjian kedua belah pihak dimana petani pemilik lahan memberikan ijin kepada petani lain untuk menggarap lahannya dan diantara pemilik dan penggarap lahan terjadi ikatan pengusahaan usahatani serta pembagian produksi. Dalam sistem bagi hasil, kontribusi pemilik lahan adalah

62 menyediakan lahan untuk digarap dan atau menyediakan sebagian input produksi. Sedangkan penggarap diberi kepercayaan untuk mengusahakan lahan dengan sebaik-baiknya. Namun, pada prakteknya sistem bagi hasil atau penyakapan tidak ditemukan pada lokasi penelitian, karena pada umumnya bagi petani lebih mudah memberikan hak garap dengan sistem sewa, karena dengan sistem ini pemilik lahan tidak perlu bersusah payah menyediakan pengadaan masukan (input) produksi melainkan hanya tinggal menerima biaya sewanya saja.

Sistem gadai terjadi ketika pemilik lahan menggadaikan lahan miliknya kepada orang lain (penerima gadai/akad). Petani sebagai penerima gadai membayar sejumlah uang kepada pemilik lahan sesuai perjanjian dengan status pinjaman. Selama pemilik lahan belum mengembalikan uang pinjaman (gadai), petani penerima gadai mempunyai hak penuh untuk mengusahakan lahan tersebut dengan hasil sepenuhnya milik petani penerima gadai.

Keragaan status penguasaan lahan petani padi di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 12. Berdasarkan tabel tersebut diperoleh informasi bahwa status penguasaan lahan petani responden di lokasi penelitian dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) petani pemilik, (2) petani penggarap, dan (3) petani pemilik dan penggarap. Petani pemilik memperoleh lahan melalui beberapa cara, yaitu melalui pembelian, waris, dan hadiah, sedangkan petani penggarap memperoleh lahan melalui beberapa cara, yaitu melalui sewa, gadai/akad, dan pinjam.

Sistem pinjam dalam penelitian ini adalah pengalihan hak garap kepada orang lain yang sifatnya sebagai pinjaman selama kurun waktu tertentu sesuai dengan perjanjian dengan pemilik lahan. Selama kurun waktu peminjaman, tidak ada kewajiban peminjam lahan untuk memberikan atau menyerahkan bagi hasil usahanya kepada pemilik lahan. Pihak yang meminjam lahan biasanya mempunyai hubungan kekerabatan dengan pemilik lahan atau memiliki akses terhadap pemilik lahan. Adanya akses terhadap pemilik lahan dalam penelitian ini seperti dicontohkan pada kasus yang dialami oleh Bapak Uki yang beralamat di Kampung Bangsanaya RT 03 RW 07 Kelurahan Situmekar Kecamatan Lembursitu Kota Sukabumi, dimana responden memperoleh lahan dengan cara diberi pinjaman oleh Dinas Kehutanan daerah setempat untuk digarap. Bapak Uki dipinjamkan tanah oleh Dinas Kehutanan selama 2 kali yaitu pada tahun 1967

63 sampai dengan tahun 1970 dengan luas 0,25 ha dan pada tahun 1974 sampai dengan tahun 1975 dengan luas 0,15 ha. Selama kurun waktu peminjaman lahan tersebut, Bapak Uki mengusahakan tanaman padi agar dapat menjamin ketersedian beras untuk rumah tangga. Bapak Uki tidak memiliki keharusan untuk membagikan hasil olahan tanah nya. Namun, jika sewaktu waktu, manakala lahan tersebut akan digunakan kembali oleh dinas kehutanan, Bapak Uki harus melepaskan hak penguasaannya.

Tabel 12. Distribusi Responden berdasarkan Status Penguasaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011

Kriteria

Total

N %

Pemilik 8 25.00

Pemilik dan Penggarap : 9 28.13

Pemilik dan Penggarap (sewa) 7 21.88

Pemilik dan Penggarap (akad) 2 6.25

Penggarap : 15 46.88

a. Penggarap (sewa) 11 34.38

b. Penggarap (pinjam) 2 6.25

c. Penggarap (sewa dan pinjam) 2 6.25

Total 32 100

Meski tidak dilakukan dalam suatu perjanjian tertulis, kegiatan pengusahaan lahan pertanian di lokasi penelitian berjalan cukup baik melalui instrument kesepakatan antara pemilik lahan dan penggarap lahan. Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan, motif pemberian lahan garapan yang dilakukan oleh pemilik lahan kepada penggarap disebabkan karena cukup luasnya lahan pertanian yang dimiliki sehingga jika lahan tersebut diusahakan atau digarap

64 oleh orang lain dapat memberikan kontribusi ekonomi bagi pemilik lahan. Sedangkan motif dari sisi penggarap lahan adalah untuk menambah lahan garapan atau karena tidak memiliki lahan sawah untuk diusahakan. Dalam sistem penggarapan ini, pemilik lahan dapat memberikan penilaian objektif atas lahan yang dikelola penggarap. Jika pengelolaan usahataninya tidak sungguh-sungguh atau tidak benar, maka pemilik lahan dapat mengakhiri kesepakatan tersebut dan mengalihkannya kepada penggarap lain. Sebaliknya, jika pengelolaan dilakukan secara sungguh-sungguh maka penggarap dapat secara terus menerus menggarap lahan tersebut.

65

Dokumen terkait