• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lahan sebagai Faktor Produksi

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.2. Lahan sebagai Faktor Produksi

Lahan pada hakekatnya adalah permukaan bumi yang merupakan bagian dari alam, sehingga lahan tidak terlepas dari pengaruh alam sekitarnya, seperti: sinar matahari, curah hujan, angin, kelembaban udara dan lain sebagainya. Fungsi lahan dalam usahatani adalah tempat menyelenggarakan kegiatan produksi pertanian (usaha bercocok tanam dan pemeliharaan ternak) dan tempat pemukiman keluarga tani (Tjakrawiralaksana 1985).

Menurut Hernanto (1988) pada umumnya di Indonesia lahan merupakan faktor produksi yang relatif langka dibandingkan dengan faktor produksi lainnya dan distribusi penguasaannya tidak merata di masyarakat. Oleh karena itu lahan mempunyai beberapa sifat, antara lain: (a) bukan merupakan barang produksi; (b) luas relatif tetap atau dianggap tetap atau tidak dapat diperbanyak; (c) tidak dapat

27 dipindah-pindahkan; (d) dapat dipindahtangankan dan atau diperjualbelikan; (e) tidak ada penyusutan (tahan lama); dan (f) bunga atas lahan dipengaruhi oleh produktivitas lahan. Karena sifatnya yang khusus tersebut, lahan kemudian dianggap sebagai salah satu faktor produksi usahatani.

Lahan merupakan jenis modal yang sangat penting yang harus dibedakan dari jenis modal lainnya sehingga faktor lahan perlu digunakan atau dimanfaatkan secara efisien. Usaha-usaha untuk meningkatkan efisiensi pengusahaan lahan antara lain pemilihan komoditas cabang usahatani dan pengaturan pola tanam. Ukuran efisiensi penggunaan lahan adalah perbandingan antara output dan input. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam usahatani berkaitan dengan lahan yang digunakan adalah sumber dan status lahan, nilai lahan, fragmentasi lahan, lahan sebagai ukuran usahatani, serta perkembangan penguasaan lahan di Indonesia. (1) Sumber Pengusahaan Lahan

Hernanto (1988) mengutarakan bahwa lahan yang diusahakan petani diperoleh dari berbagai sumber, yakni: (a) lahan milik, dibuktikan dengan surat bukti pemilikan (sertifikat) yang dikeluarkan oleh negara melalui Direktorat Jenderal Agraria; (b) lahan sewa, sebaiknya bukti dibuat oleh pejabat yang berwenang agar apabila terjadi hal yang tidak diinginkan dapat diselesaikan secara hukum; (c) lahan sakap, telah diatur oleh undang-undang bagi hasil (UUBH) atau UU No. 2 tahun 1960; (d) lahan pemberian negara atau lahan milik negara yang diberikan kepada seseorang yang mengikuti program pemerintah dan berjasa kepada negara, dalam hal ini pemilikannya dapat melalui prosedur gratis, ganti rugi dan kredit; (e) lahan waris, lahan yang karena hukum tertentu (agama) dibagikan kepada ahli warisnya; (f) lahan wakaf, lahan yang diberikan atas seseorang atau badan kepada pihak lain untuk kegiatan sosial; dan (g) lahan yang dibuka sendiri.

(2) Status Penguasaan Lahan

Lahan-lahan yang diusahakan oleh para petani biasanya mempunyai status yang menunjukkan hubungan hukum antara petani dengan lahan yang diusahakannya. Dengan demikian status lahan tersebut akan memberikan kontribusi bagi penggarapnya. Tjakrawiralaksana (1985)

28 membagi status-status hukum lahan menjadi status hak milik, status hak sewa, status hak bagi hasil (sakap), status hak gadai dan status hak pakai atau hak guna usaha (HGU). Status lahan merupakan faktor penting dalam usaha pengembangan usahatani, karena faktor ini dapat mempengaruhi kesediaan para petani melakukan investasi pada lahan atau menggunakan teknologi baru yang menguntungkan.

Dalam hubungannya dengan pengelolaan usahatani dikaitkan dengan lahan sebagai faktor produksi, status lahan mempunyai keunggulan-keunggulan maupun kelemahan-kelemahan. Keunggulan lahan dengan hak milik petani, diantaranya adalah: (a) petani bebas mengusahkan lahannya; (b) petani bebas merencanakan seseuatu kepada lahannya baik jangka pendek maupun jangka panjang; (c) petani bebas menentukan cabang usaha untuk lahan sesuai dengan faktor-faktor fisik dan faktor ekonomi yang dimiliki; (d) petani bebas menggunakan teknologi dan cara budidaya tanpa campur tangan orang lain; dan (e) petani bebas memperjualbelikan, menyewakan, dan menggadaikan lahannya.

Lahan dengan hak sewa mempunyai kewenangan seperti lahan dengan hak milik di luar batas jangka waktu sewa yang disepakati. Penyewa tidak mempunyai kewenangan untuk menjual dan menjaminkan lahan sebagai anggunan. Dalam hal perencanaan usaha, penyewa harus mempertimbangkan jangka waktu sewa. Lahan dengan hak sakap tidak mempunyai kewenangan untuk menjual lahan. Dalam setiap kegiatan pengusahaan usahatani, seperti penentuan cabang usaha dan pilihan teknologi harus dikonsultasikan dengan pemilknya.

Status lahan yang terdapat di perdesaan Pulau Jawa menimbulkan semacam tangga pertanian (agricultural lader), yaitu status pemilikan lahan secara bertahap yang menunjukkan tingkatan atau status sosial di dalam masyarakat dari petani pemilik ke buruh tani, misalnya: petani dengan hak milik terhadap lahan pada tangga pertanian memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani dengan hak sakap terhadap lahan (Tjakrawiralaksana 1985).

29 (3) Nilai Lahan

Semakin terbatasnya lahan yang tersedia dan semakin terjaminnya kepastian akan pemilikan lahan, maka akan selalu terjadi jual beli lahan. Nilai lahan sangat bervariasi dari unsur waktu dan tempat. Di daerah perkotaan, lahan usahatani mempunyai nilai yang cukup tinggi, bahkan terkadang tidak sebanding dengan nilai ekonomis dari hasil lahan tersebut. Soeharjo dan Patong (1973) mengutarakan nilai lahan tergantung kepada: (a) tingkat kesuburan lahan, harga lahan yang lebih subur (baik fisik maupun kimiawi) lebih tinggi daripada lahan yang tidak subur; (b) fasilitas pengairan, nilai lahan yang berpengairan baik lebih tinggi daripada lahan yang tidak berpengairan; dan (c) posisi lokasi, nilai lahan yang dekat dengan jalan atau sarana penghubung lebih tinggi daripada lahan yang tidak dekat dengan jalan atau sarana penghubung.

(4) Fragmentasi Lahan

Lahan yang diusahakan oleh para petani seringkali tidak merupakan satu kesatuan bidang, melainkan terdiri dari beberapa pecahan yang letaknya tersebar. Keadaan lahan demikian sering diberi istilah fragmentasi lahan, sedangkan bagian-bagian pecahannya disebut fragmen atau persil. Tjakrawiralaksana (1985) mengutarakan bahwa terjadinya fragmentasi pada lahan usahatani dipengaruhi oleh: kepadatan penduduk, adat pewarisan harta benda yang berlaku dalam masyarakat, faktor alam (misalnya: tanah longsor serta pergeseran aliran sungai) dan aktivitas manusia (misalnya: pembuatan jalan, pembuatan terusan serta pembuatan saluran pengairan). Soeharjo dan Patong (1973) mengungkapkan kerugian yang ditimbulkan oleh fragmentasi lahan, diantaranya adalah: (a) semakin sempitnya lahan-lahan petani; (b) menimbulkan pemborosan waktu dan tenaga sehingga biaya produksi lebih tinggi; (c) menimbulkan kesulitan dalam pengawasan terutama serangan hama dan penyakit sehingga produksi tidak setinggi pencapaian yang diharapkan; (d) petani tidak leluasa memilih tanaman atau komoditas yang paling menguntungkan; (e) banyaknya lahan-lahan produktif yang hilang atau dikorbankan; (f) pembagian air pengairan sukar diatur; (g) alat-alat mekanisasi tidak dapat

30 digunakan; dan (h) kemungkinan percecokan antar petani lebih tinggi karena banyaknya tetangga lahan.

(5) Lahan Sebagai Ukuran Usahatani

Lahan sebagai unsur produksi seringkali juga dipakai untuk pengukuran besaran usahatani (size of business). Menurut Soeharjo dan Patong (1973) ukuran-ukuran tersebut antara lain: (a) luas total lahan usahatani, yakni mengukur semua lahan yang dimiliki sebagai satu kesatuan produksi; (b) luas tanam pertanaman, yakni mengukur luas tanaman yang diusahakan; (c) luas total tanaman, yakni memperhitungkan luas dari semua cabang usahatani yang diusahakan; dan (d) luas tanaman utama, yakni mengukur luas tanaman pokok yang diusahakan. Namun, menurut Tjakrawiralaksana (1985) ukuran tersebut bukanlah cara yang terbaik, keberatan-keberatan dalam pemakaiannya antara lain: (a) pengukurannya tidak menyertakan keterangan mengenai kualitas daripada lahannya; (b) pengukurannya tidak menggambarkan hubungan dengan pemakaian unsur-unsur produksi lainnya yang secara bersama-sama dapat mempengaruhi tingkat produksi; dan (c) pengukurannya tidak memperhatikan adanya perbedaan letak ekonomis daripada lahan itu sendiri.

(6) Perkembangan Penguasaan Lahan di Indonesia

Selama kurun waktu tiga dekade ini, perkembangan penguasaan lahan pertanian di Indonesia, termasuk didalamnya lahan sawah petani padi, terbagi dalam tiga macam perkembangan ekonomi lahan, yakni: perkembangan konversi lahan pertanian, perkembangan distribusi penguasaan lahan pertanian, serta perkembangan rumah tangga pertanian (RTP) dan luasan penguasaan lahan pertanian. Berdasarkan data hasil sensus pertanian pada periode 1983, periode 1993, dan periode 2003 oleh BPS 2004, diacu dalam Lokollo et al. (2007), ketiga aspek tersebut dapat dibahas secara spesifik dengan kemungkinan mempertimbangkan keterkaitan satu aspek dengan aspek lainnya. Ketiga aspek ekonomi lahan tersebut pada dasarnya memiliki keterkaitan. Semakin besar proporsi RTP dengan status petani lahan sempit akan mendorong distribusi penguasaan

31 lahan yang semakin pincang, dan selanjutnya eksistensi petani lahan sempit akan mendorong terjadinya alih fungsi lahan (konversi lahan) pertanian dan atau alih profesi ke sektor lain yang dapat memberikan pendapatan yang lebih tinggi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Perkembangan RTP menurut luas penguasaan lahan selama periode 1983-2003 (Tabel 5) menunjukkan beberapa indikasi, diantaranya adalah: (a) secara keseluruhan, pada sepuluh tahun terakhir (selama periode 1993-2003), terdapat indikasi polarisasi penguasaan lahan yang semakin serius; (b) fakta empirisnya adalah RTP dengan penguasaan lahan <0,50 ha dan >2,0 ha meningkat relatif tajam, masing-masing sekitar 31,95 persen dan 74,95 persen. (c) sementara itu, kategori dengan luas 0,50-0,99 ha dan 1,00-1,99 ha hanya meningkat sebesar 5,28 persen dan 10,48 persen; (d) hal yang serupa juga terjadi di luar Pulau Jawa yang diwakili oleh Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Kalimantan Selatan.

Tabel 5. Jumlah RTP Menurut Golongan Luas Lahan yang Dikuasai di Provinsi Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan pada Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003

Propinsi Golongan luas lahan

Jumlah rumah tangga

1983 1993 2003 1983-1993 1993-2003 Jabar <0,50 0,50-0,99 1,00-1,99 >=2,00 1.630.281 674.801 393.820 173.595 2.305.065 544.761 242.540 90.853 2.557.823 465.297 194.910 76.317 41,39 (20,90) (38,41) (47,66) 10,97 (12,83) (19,64) (16,00) Sumsel <0,50 0,50-0,99 1,00-1,99 >=2,00 39.000 79.176 144.026 185.122 156.152 192.596 245.753 179.812 186.860 135.616 257.892 323.995 300,39 143,25 70,63 (2,87) 19,67 (29,59) 4,94 80,19 Kalsel <0,50 0,50-0,99 1,00-1,99 >=2,00 85.787 67.735 72.108 53.464 143.009 92.150 69.259 35.061 180.449 98.953 87.031 77.062 66,70 36,04 (3,95) (34,42) 26,18 7,38 25,66 119,79 Indonesia <0,50 0,50-0,99 1,00-1,99 >=2,00 6.412.246 3.671.243 2.922.294 2.168.315 10.631.887 4.348.303 3.132.145 1.601.409 14.028.589 4.578.053 3.460.406 2.801.627 65,81 18,44 7,18 (26,15) 31,95 5,28 10,48 74,95

Sumber : Badan Pusat Statistika 2004, diacu dalam Lokollo et al. 2007

Perkembangan jumlah RTP, luas lahan yang dikuasai dan rataan luas penguasaan lahan di Indonesia, selama dua dasawarsa (periode

Dokumen terkait