• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Perikanan

Perekonomian Indonesia pada saat ini masih sangat tergantung pada sumber daya alami, diantaranya sumber daya perikanan. Dibanding dengan sumber pertanian lainnya, sumber daya perikanan relatif masih baru dalam usaha pengembangannya namun peranannya dalam perekonomian Indonesia semakin besar. Kegiatan perikanan dewasa ini memiliki peranan yang cukup besar sebagai sumber nafkah bagi hampir dua juta nelayan dan petani ikan. Selain itu ikan juga memberikan sumbangan protein terbesar bagi pemenuhan gizi hewani. Pada sektor pertanian, subsektor perikanan merupakan subsektor ke tiga penghasil devisa negara setelah kehutanan dan perkebunan.

Corak perikanan Indonesia pada saat ini lebih mengarah pada intensif tenaga. Hampir sekitar dua juta nelayan, petani ikan dan pengusaha kecil atau sebesar tiga persen dari angkatan kerja terlibat dalam kegiatan penangkapan, budidaya, pengolahan, dan distribusi. Sekitar 95 persen didapatkan dari hasil tangkapan dan 98 persen dari hasil budidaya oleh nelayan kecil. Hasil tangkapan dan budidaya ikan ini diolah melalui dua saluran. Saluran pertama, yaitu produk- produk yang dapat diekspor diolah atau diawetkan oleh beberapa perusahaan besar (terutama cold storage), sedangkan saluran kedua yang berjumlah sekitar 96 persen dari hasil tangkapan total mengikuti jalur pengolahan oleh pengusaha kecil dan rumah tangga, di mana sekitar 50 persen lebih diolah secara tradisional melalui penggaraman, pemindangan, pengasapan dan lain-lain.

Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang relatif murah bila dibandingkan dengan daging ayam, daging domba, dan daging sapi. Peningkatan nilai produksi perikanan tidak akan memberikan dampak yang berarti terhadap fluktuasi harga ikan di pasar. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar produksi perikanan yang ada di pasarkan dalam bentuk segar dan hanya sebagian kecil yang diolah menjadi “fillet” beku, ikan asin, ikan kering, ikan kaleng, ikan asap, ataupun tepung ikan. Kurangnya pengolahan ikan tersebut merupakan indikasi bahwa permintaan ikan dari masyarakat mantap relatif berfluktuasi.

Potensi perikanan Indonesia mencapai 6,26 juta ton per tahun, yang terdiri dari 4,40 juta ton di perairan wilayah Indonesia dan 1,86 di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia. Berdasarkan ketentuan Organisasi Pangan International (FAO), potensi yang boleh diproduksi hanya sekitar 80 persen saja atau sekitar 5,01 juta ton per tahun (DKP 2003)

Produksi perikanan pada tahun 2001 tercatat 5,1 juta ton yang terdiri atas 3,9 juta ton produksi perikanan laut dan 1,1 juta ton produksi perikanan darat. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, produksi perikanan tahun 2001 naik sebesar 41,5 persen. Menurut BPS tahun 2002 produksi perikanan mencapai 5,3 juta ton atau meningkat 5,6 persen bila dibandingkan dengan tahun 2001. Peningkatan pada tahun 2001 dan 2002 terjadi hampir di seluruh kegiatan usaha perikanan, baik perikanan darat maupun laut, sedangkan produksi perikanan tahun 2003 diperkirakan mencapai 5,6 juta ton (BPS 2003).

Kebijakan Hasil Perikanan

Kebijakan pemerintah dalam mengembangkan ekspor hasil perikanan bertumpu pada dua aspek pengembangan yakni, kebijakan pengembangan produk dan pasar dan kebijakan pengembangan mutu. Kebijakan pertama berorientasi pada market based development melalui diversifikasi produk dan pasarnya, sedangkan diversifikasi pasar diarahkan pada pasar-pasar di luar Jepang.

Kebijakan pengembangan mutu produk dilakukan melalui sistem yang disebut sebagai pembinaan dan pengawasan mutu hasil perikanan. Sistem tersebut telah dilakukan secara intensif sejak tahun 1975, yakni dengan terbitnya Peraturan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kesehatan Nomor 31/Kpts/Um/I/75 dan Nomor 32/I/Kab/BU/75 tanggal 28 Januari 1975 tentang pembinaan mutu hasil perikanan. Dengan terbitnya peraturan tersebut maka pembinaan dan pengawasan mutu dilakukan dengan lebih intensif dan terpadu sejak ikan ditangkap, diolah sampai siap diekspor (dipasarkan).

Berbagai peraturan kemudian diterbitkan oleh pemerintah untuk menyempurnakan peraturan tersebut yang didasarkan pada berbagai peraturan antara lain:

• Inpres No. 2 tahun 1990

• SKB menteri pertanian, menteri kesehatan dan menteri perdagangan RI No. 363/Kpts/Ik.120/5/1990; 248/Menkes/SKB/V/1990; 143/Kpb/V/1990

• PP No.15 tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia

• Keppres No.12 tahun 1991 tentang penyusunan, penerapan dan

pengawasan Standar Nasional Indonesia.

• Keppres No.47 tahun 1986 tentang penanganan pascapanen hasil pertanian

Dilema Industri Pengalengan Indonesia

Besarnya hasil produksi Indonesia di bidang perikanan merupakan potensi bagi pemerintah untuk dapat mengembangkan industri yang mengolah hasil perikanan mengingat produk perikanan termasuk produk yang mudah rusak. Namun melihat kondisi sistem agribisnis perikanan yang lemah antara sektor penangkapan dan pengolahan mengakibatkan industri pengalengan ikan Indonesia tidak dapat tumbuh optimal. Menurut data Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (APII), tingkat utilitas dari pabrik pengalengan ikan Indonesia saat ini hanya 25 persen dari kapasitas terpasang, jadi hanya berproduksi 100.000 ton dari total kapasitas 400.000 ton/tahun kapasitas terpasang yang mampu dimanfaatkan. Namun dari 100.000 ton produksi ikan kaleng tersebut 70 persen bahan bakunya berasal dari ikan impor.

Kebijakan pemerintah di sektor kelautan dan perikanan belum mendukung pengembangan industri pengolahan ikan dalam negeri. Kebijakan pemerintah yang membiarkan kapal asing menangkap ikan di perairan Indonesia dan menjualnya ke luar negeri telah mengakibatkan industri pengolahan ikan dalam negeri terutama industri pengalengan ikan yang berorientasi ekspor di Indonesia kekurangan bahan baku ikan tuna. Selain maraknya kapal asing yang menangkap ikan di perairan Indonesia, kekurangan stok bahan baku juga diakibatkan karena kurangnya keterkaitan antara subsistem-subsistem agribisnis perikanan yang terlihat dari fakta rasio antara ikan yang diolah lebih lanjut sebelum diekspor dengan ikan tangkapan yang langsung diekspor tanpa proses pengolahan terlebih dahulu.

Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan campur tangan pemerintah yang mengeluarkan kebijakan intensif pajak agar para nelayan asing mau menjual hasil tangkapannya di Indonesia, maupun dengan memberikan intensif buat kapal yang menjual ikan tangkapannya kepada industri dalam negeri dalam bentuk tuna mentah. Dengan begitu industri pengalengan ikan dalam negeri tidak akan kekurangan bahan baku lagi.

Hingga saat ini sekitar 70 persen dari ikan hasil tangkapan Indonesia langsung diekspor tanpa proses pengolahan terlebih dahulu. Padahal nilai tambah yang dapat diperoleh dari proses pengolahan lanjut relatif besar namun bagaimanapun besarnya nilai tambah yang mampu dihasilkan industri pengalengan ikan, tanpa adanya koordinasi yang baik antara sektor penangkapan/eksplorasi dengan sektor pengolahan, nilai tambah yang optimal akan sulit dicapai. Contoh ilustrasi pengolahan 1000 ton ikan tuna secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 8 .

Bila ekspor tuna mentah tetap terus dilakukan, maka nilai devisa negara yang didapatkan akan sangat kecil yaitu hanya sekitar 2,5 persen per tahun atau sebesar US$ 18 juta per tahun sedangkan bila dilakukan proses pengolahan lebih lanjut maka pemerintah akan mendapat masukan devisa negara senilai US $700 juta. Untuk itu perlu adanya kebijakan baru dalam pemanfaatan sumberdaya ikan nasional yang dapat digunakan untuk menciptakan nilai tambah dalam negeri.

Kebijakan itu dapat dilakukan dengan meningkatkan industri pengolahan ikan karena jika 1000 metrik ton (MT) ikan mentah dapat diproses menjadi 62.000 karton ikan kaleng dengan harga US $20 per karton. Nilai ekspor ikan kaleng bisa mencapai US $1,24 juta, sedangkan untuk pemprosesan serap, seperti kepala, tulang dan dan kulit ikan yang diolah menjadi tepung ikan sebanyak 100 MT senilai Rp 4.000 per kg, akan diperoleh tambahan Rp 400 juta.

Selama tahun 2004 dan beberapa tahun sebelumnya industri perikanan terus mengalami keterpurukan akibat tidak ada terobosan dari kebijakan pemerintah. Keterpurukan tersebut terjadi pada industri pengolahan, pengalengan ikan dan perkembangan ekspor sejumlah komoditas perikanan seperti udang, mutiara dan ikan tuna.

Gambar 8 Ilustrasi nilai tambah 1000 ton ikan (Randi 2004).

Keterpurukan industri perikanan ini terlihat dari kondisi sumber daya perikanan yang makin menipis, biaya operasional yang meningkat dan masalah keamanan. Kondisi pasar dan mekanisme hambatan tarif dan non tarif dalam perdagangan internasional juga menjadi penghalang bagi ekspor produk perikanan Indonesia. Berdasarkan data dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), perdagangan luar negeri produk perikanan mengalami surplus, namun Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) yang terdiri dari Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo), Induk Koperasi Perikanan Indonesia (IKPI), Assosiasi Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perikanan serta Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia, menilai surplus tersebut sudah terjadi sejak beberapa tahun sebelumnya. Hal tersebut bisa dilihat dari perkembangan ekspor tuna dan udang.

Kebijakan yang tidak konsisten biasanya terjadi antara pemerintah pusat dan daerah sehingga menunjukkan iklim yang kondusif bagi dunia perikanan. Akibatnya banyak industri pengalengan yang mengurangi 50 persen usaha

Nilai Tambah Dalam Proses Pengolahan

Biaya tenaga kerja: Rp 775 juta

Biaya pengalengan: Rp 1, 75 miliyar

Biaya karton, label & percetakan: Rp 291 juta Tuna kaleng Pendapatan pengusaha pengalengan: Pendapatan dari pengusaha dalam negeri:

US$ 1,24 juta

Pendapatan dari pasar luar negeri: Rp 400 Juta

Pendapatan BI Bunga modal kerja &

free export:

US $ 63.550

Pajak: Rp 182,794 Juta

produksinya. Selain itu juga sejumlah industri pengolahan mengalihkan pasar luar negerinya ke pasar dalam negeri bahkan berhenti beroperasi.

Salah satu penyebab macetnya industri pengolahan dalam beberapa tahun terakhir adalah diskriminasi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bahan baku kaleng sebesar 15 persen, sedangkan pajak impor ikan kaleng hanya sebesar 5 persen. Selain itu juga pemerintah harus mencabut beberapa peraturan daerah (perda) yang dapat membuat industri pengolahan ikan tidak kompetitif. Diantaranya adalah Perda mengenai retribusi pengawasan dan pengendalian perikanan atau Perda tentang pungutan atas label ikan kaleng yang diekspor.

Industri pengolahan perikanan merupakan salah satu subsektor strategis sektor perikanan dan kelautan yang dimulai dari menjaga produktivitas nelayan sampai menambah pendapatan nelayan. Industri pengolahan hasil perikanan mampu menimbulkan multiplayer effect positif bagi perekonomian nasional sehingga perlu adanya campur tangan pihak pemerintah dalam mendorong perkembangan industri pengolahan perikanan. Namun kini industri perikanan dalam kondisi yang tidak terlalu menggembirakan karena terus mengalami keterpurukan akibat tidak adanya terobosan kebijakan pemerintah.

Produk nelayan yang dijual di dalam negeri hingga kini masih dikenakan PPN 10 persen, sehingga nelayan lebih memilih untuk mengekspor produknya. Akibatnya, industri pengolahan hasil perikanan tidak mendapat jaminan pasokan bahan baku dari dalam negeri. Pelaku industri pengolahan memilih mengambil bahan baku dengan impor karena pajak bea masuk hanya lima persen.

Pemerintah dinilai belum memiliki perhatian yang penuh terhadap kondisi dan kelangsungan industri perikanan meskipun diakui potensinya masih sangat terbuka mengingat produksi bahan bakunya terus meningkat. Saat ini kasus pencurian ikan di perairan Indonesia oleh kapal-kapal asing membuat industri pengalengan ikan kekurangan bahan baku sehingga membuat kondisi industri perikanan (pengolahan ikan) mengalami kemunduran. Pemerintah sebagai pihak yang berkompeten harus menghentikan pencurian ikan di perairan Indonesia yang dilakukan kapal-kapal asing yang diiringi dengan membantu nelayan untuk pengadaan armada yang bisa bersaing dengan kapal penangkap ikan asing.

Dengan begitu, keberlanjutan dan kualitas pasokan bahan baku ke sejumlah industri perikanan (industri pengolahan ikan) akan terjamin.

Pada saat ini sedikitnya 50 persen dari industri perikanan yang ada telah mengurangi produksi, bahkan sebagian justru berhenti berproduksi dan mengalihkan usahanya dari ekspor ke domestik. Hal tersebut diakibatkan oleh tidak adanya ketersediaan bahan baku untuk pabrik pengalengan yang tercatat hanya 30 persen dari kapasitas terpasangnya. Walaupun pemeritah telah membentuk DKP, hingga kini masih belum bisa menunjukkan perhatian yang penuh melalui berbagai kegiatan proteksi tehadap kelangsungan industri perikanan, meskipun tercatat bahwa produksi penangkapan ikan di Indonesia itu telah mengalami peningkatan.

Salah satu contoh industri pengalengan ikan yang diambil dalam penelitian ini adalah PT Blambangan Raya, dengan pertimbangan bahwa perusahaan ikan kalengan ini telah lama merintis usahanya. Untuk lebih detailnya mengenai profil usaha perusahaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Gambaran Umum Perusahaan Ikan Kaleng Sejarah dan Perkembangan Perusahaan

Pada Tahun 1967 di Banyuwangi didirikan pabrik pengelengan ikan sarden dengan nama PT Nafo untuk mengantisipasi perkembangan permintaan makanan kaleng yang terus meningkat. Tahun 1969 PT Nafo memperluas usahanya dengan membuka PT Nafo cabang Muncar yang berlokasi di jalan Sampangan, Muncar, Banyuwangi.

Dengan semakin berkembangnya usaha dan pasaran makanan kaleng, maka pada tanggal 22 januari 1972 didirikan PT Blambangan Raya, dengan lokasi yang berjarak sekitar 200 meter dari lokasi PT Nafo cabang Muncar. Semua perangkat dan kegiatan produksi di PT Nafo cabang Muncar dipindahkan ke pabrik yang baru dengan bidang usaha industri perdagangan sarden. Dalam menjalankan usahanya PT Blambangan Raya didukung dengan adanya sertifikat kelayakan pengolahan dari departemen terkait dan juga mendapatkan sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia untuk jenis ikan dalam kaleng (Lampiran 4).

Usaha diversifikasi produk dilakukan PT Blambangan Raya dengan mengadakan penjajakan pasar bagi produk-produk bekicot dalam kaleng, rebung dalam kaleng serta tuna dalam kaleng, akan tetapi hanya tuna dalam kaleng yang mendapat pasar yang potensial. Hal tersebut membuat PT Blambangan Raya secara intensif sejak Desember 1988 memproduksi tuna dalam kaleng untuk pasaran Eropa. Sebulan sebelumnya PT Mantrust yang merupakan induk perusahaan dari PT Blambangan Raya telah melakukan kerjasama dengan pihak perusahaan tuna di Amerika yaitu Van Camp Sea Food dengan merek produk Chicken of the sea dengan demikian sebagian besar (± 98%) produksi tuna PT Blambangan Raya diproduksi untuk pasaran di Amerika.

Produksi intensif tuna dalam kaleng tersebut berlangsung selama lima tahun terhitung sejak bulan Desember 1988 sampai dengan bulan April 1993 karena masa kontrak dengan Van Camp Sea Food berakhir. Sejak saat itu perusahaan ini mengalami kevakuman, namun pada bulan April 1994 perusahaan tersebut mulai bangkit kembali dengan memproduksi sarden dalam kaleng yang bekerjasama dengan PT Asiatic Union Perdana (AUP) Jakarta, PT Roda Mas Surabaya, PT Kurnia Tirta Sembada (KTS) Jakarta, PT Heinz ABC Indonesia, dan CV Eko Jaya Food Indonesia.

Kerjasama untuk produk tuna maupun sarden ini dilakukan dalam bentuk maklon yaitu PT Blambangan Raya bertanggung jawab terhadap proses produksi mulai dari penerimaan bahan baku sampai dengan penyimpanan produk jadi, sedangkan untuk pemasarannya dilakukan oleh perusahaan yang bekerjasama dengan PT Blambangan Raya tersebut. Ikan kaleng yang diproduksi oleh PT Blambangan Raya terdiri atas sardines dan mackerel yang meliputi sardines in tomato sauce, sardines in tomato with chili, sardines in vegetable oil, mackerel in tomato sauce dan mackerel in tomato with chili dengan merek dagang berupa

CIP, Kiku, Bandung Nafo, dan Sampit sedangkan yang merupakan merek

maklon CV Indo Karya Mandiri (IKM) meliputi merek Menjangan, Yoko dan

Sukaku. PT Tiga Raksa Satria dan PT Heinz ABC Indonesia meliputi merek

ABC. Selain sardines dan mackerel PT Blambangan Raya juga memproduksi sambal goreng tuna, tuna in oil, tuna in brine, nugget ikan dan baso ikan merek

Kiku. Selain itu PT Blambangan Raya juga memproduksi produk non pangan, yaitu tepung ikan (fish meal).

Lokasi dan Tata Letak

PT Blambangan Raya terletak di Jl. Pelabuhan No. 1 Dukuh Sampangan, Desa Kedung Rejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Perusahaan tersebut terletak 1,5 km dari kota Muncar dan sekitar 37 km dari kota Banyuwangi ke arah timur. Perusahaan ini menempati areal tanah seluas 25.705 m2. Adapun batas-batas lokasi PT Blambangan Raya adalah sebagai berikut:

Sebelah Timur : Dinas Perikanan dan Pelelangan Ikan (TPI) Muncar Sebelah Barat : Pabrik pakan udang Yung Lie (PT Sari Feed Indojaya) Sebelah Utara : CV Sari laut dan PT Sumber Yalasamudra

Sebelah Selatan : Perumahan penduduk (Dusun Kalimati)

Muncar merupakan desa nelayan penghasil ikan yang cukup tinggi dengan lokasi yang cukup strategis. Hal tersebut ditunjang dengan dekatnya lokasi perusahaan dengan sumber bahan baku berupa ikan segar sebagai sumber bahan baku utama yang akan memperlancar produksi pengalengan ikan, sarana dan prasarana transportasi yang memadai, terletak di daerah kawasan industri yang sedang berkembang serta berada di pinggir kota Banyuwangi yang jauh dari sumber kebisingan dan kontaminasi sehingga memungkinkan bagi pihak perusahaan untuk melakukan perluasan pabrik. Keuntungan lainnya adalah sumber tenaga kerja yang cukup banyak yang dapat terpenuhi dari masyarakat yang berada di sekitar pabrik.

Struktur Organisasi

PT Blambangan Raya merupakan salah satu anak perusahaan PT Mantrust di mana sebagai anak perusahaan PT Blambangan Raya, maka PT Mantrust harus menjalankan kebijaksanaan yang dijalankan oleh perusahaan induk (holding company) dengan mempertanggungjawabkan tindakan yang dilakukan dan keuntungan yang diperoleh pada PT Mantrust. Selain itu PT Blambangan Raya memiliki kebebasan dalam menjalankan kebijakan interen perusahaan. Secara

fungsional struktur organisasi di PT Blambangan Raya dipimpin oleh General Manager (GM) yang bertanggung jawab pada perusahaan induk. Dalam menjalankan tugas sehari-harinya GM dibantu oleh manajer operasional Plant Manager (PM) yang saat ini membawahi tiga perusahaan yaitu PT Blambangan Raya yang berada di Muncar, PT Nafo, dan PT Blambangan Raya Galangan Kapal yang berada di Banyuwangi. Diagram struktur organisasi PT Blambangan Raya dapat dilihat pada Lampiran 6.

Gambaran Umum Wilayah

Kotamadya Bogor memiliki potensi yang strategis karena daerah geografisnya dekat dengan ibukota negara dengan jarak ± 60 km. Luas wilayah kota Bogor tercatat 11.850 ha atau 0,27 persen dari luas Provinsi Jawa Barat. Kota Bogor terletak pada 160o BT dan 6o LS dengan ketinggian rata-rata minimal 190 meter dan maksimal 350 meter di atas permukaan laut (BPS 2004).

Di sebelah timur, kota Bogor berbatasan dengan wilayah Sukaraja dan Ciawi. Sebelah utara, berbatasan dengan Sukaraja, Bojong Gede, dan Kemang. Wilayah barat, kota Bogor berbatasan dengan Kemang dan Dramaga sedangkan wilayah selatan berbatasan dengan Cijeruk dan Caringin. Kota Bogor terdiri dari enam kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor Timur, Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan Bogor Selatan, Kecamatan Bogor Tengah dan Kecamatan Tanah Sereal, dengan 22 kelurahan, 239 RW, dan 1094 RT ( BPS 2004).

Hasil registrasi penduduk Kotamadya Bogor tahun 2003 sekitar 789.423 jiwa dengan kepadatan penduduk 6.662 jiwa per km2. Kecamatan Bogor Barat merupakan kecamatan dengan penduduk terbanyak yaitu sekitar 166.853 jiwa, sedangkan jumlah penduduk terkecil terdapat di kecamatan Bogor Timur yang berjumlah 77.025 jiwa, sedangkan Kecamatan Bogor Tengah merupakan daerah padat penduduk yaitu 11.097 jiwa per km2. Hal ini disebabkan karena daerah tersebut merupakan pusat pemerintahan dan kegiatan ekonomi kota Bogor.

Mata pencaharian penduduk kota Bogor bervariasi, mulai dari sektor swasta, perdagangan, PNS, buruh, dan industri. Di bawah ini terlihat persentase sektor kegiatan usaha penduduk Bogor yang bekerja sebanyak 238.576 jiwa atau mencapai 35,22 persen dari jumlah penduduk yang bermukim di kota Bogor.

Penduduk kota Bogor mayoritas bekerja di sektor swasta yaitu 32,2 persen. Struktur mata pencaharian penduduk ini selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 9 berikut.

Gambar 9 Mata pencaharian utama penduduk Bogor (BPS 2004). Jumlah penduduk kota Bogor terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, hal ini terjadi karena adanya perkembangan kota. Perkembangan kota mendorong terjadinya perpindahan penduduk, yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah dan kepadatan penduduk di setiap kecamatan. Penduduk terpadat di kota Bogor bermukim di daerah Bogor Barat yaitu sekitar 30 persen dari jumlah penduduk bermukim di daerah tersebut. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Persentase penduduk berdasarkan kecamatan di Bogor (BPS 2004). Swasta 40% PNS/TNI 20% Perdagang an 18% Buruh 11% Industri 11% 27% 14% 2% 2% 30% 25%

Bogor selatan Bogor Timur Bogor Utara

PERILAKU KONSUMEN IKAN KALENG

Karakteristik Responden

Variabel demografi yang dianalisis di dalam penelitian ini menggambarkan pengelompokkan responden dalam katagori-katagori berdasarkan jenis kelamin, usia, tingkatan pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan per bulan dari responden dalam hubungannya dengan produk ikan kaleng yang dikonsumsi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 8.

Jenis Kelamin Responden

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan di lapangan didapatkan bahwa sebagian besar konsumen ikan kaleng berjenis kelamin perempuan sebanyak 158 orang (79%) dan sisanya sebesar 42 orang (21%) laki-laki. Hal tersebut terjadi karena perempuan lebih dominan dalam mengambil keputusan untuk konsumsi keluarga namun walaupun begitu tidak tertutup kemungkinan bagi jenis kelamin laki-laki untuk mengetahui produk ikan kalengan.

Tingkat Usia Responden

Usia konsumen perlu mendapat perhatian karena konsumen yang berbeda usia akan mengkonsumsi produk dan jasa yang berbeda. Perbedaan usia juga akan mengakibatkan perbedaan selera dan kesukaan terhadap merek. Usia dapat menjadi salah satu faktor yang perlu mendapat perhatian serius dari pihak produsen, karena usia dapat dijadikan sebagai dasar segmentasi produk yang akan ditawarkan. Hal tersebut berarti pihak produsen terutama pada bidang marketing (pemasaran) harus mengetahui komposisi dan distribusi usia penduduk suatu wilayah atau daerah yang akan dijadikan target pasarnya.

Dalam penelitian ini, tingkat usia responden dikelompokkan ke dalam empat kelompok umur yaitu kelompok umur terbanyak yang berusia antara 15 hingga 24 tahun sebanyak 79 orang (39,5%), yang kemudian disusul oleh kelompok umur 25 hingga 34 tahun sebanyak 71 orang (35,5%). Untuk usia

Dokumen terkait