• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. PERANAN ORANG TUA KATOLIK DI STASI SANTO

A. GAMBARAN UMUM PAROKI ST. LIDWINA BANDAR JAYA

Mengingat belum adanya catatan sejarah yang telah ditulis dalam bentuk buku mengenai berdirinya Paroki St. Lidwina Bandar Jaya maka uraian mengenai latar belakang sejarah dan situasi umat Paroki St. Lidwina Bandar Jaya di bawah ini berdasarkan dokumen-dokumen yang tercatat di sekretariat Paroki St. Lidwina Bandar Jaya, hasil wawancara dengan para sesepuh (orang tua yang masih hidup dan mengetahui sejarah Paroki St. Lidwina Bandar Jaya) serta hasil pengamatan penulis selama penulis tinggal di wilayah Paroki St. Lidwina Bandar Jaya.

1. Sejarah Paroki St. Lidwina

Pada tahun 1954 Bandar Jaya dibuka sebagai daerah transmigrasi dari pulau Jawa, terutama dari daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Saat itu umat Katolik berjumlah 10 kepala keluarga (KK) yang terpisah-pisah di daerah Bandar Jaya dan Simpang Agung. Romo Oonk, SCJ yang berasal dari Paroki Metro mencoba untuk menghimpun umat Katolik di wilayah tersebut, namun penghimpunan tersebut masih dipusatkan di daerah Simpang Agung (sebelah barat desa Bandar Jaya). Berkat usaha Romo Oonk, SCJ beserta bapak AM. Sudibyo (katekis pertama di daerah tersebut) maka pada tahun 1955 umat Simpang Agung dapat mengadakan ibadat sabda yang pertama.

Pada tahun 1956, Mgr. Hermelink Gentiaras memberikan bantuan dana pada umat Simpang Agung untuk mendirikan sebuah kapel. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1963 pelayanan untuk umat dilayani oleh Romo Borst, SCJ yang

berasal dari Kota Bumi. Tahun 1965 datanglah seorang katekis bernama Hadi Soekarto untuk membantu Romo Borst, SCJ melayani umat. Setiap kegiatan peribadatan Ekaristi diadakan di rumah Bapak Hadi Soekarto. Seiring bertambahnya jumlah umat, maka Keuskupan Tanjung Karang membeli sebidang tanah dan rumah yang berlokasi di Prosida (terletak antara Bandar Jaya dan Simpang Agung). Pada tahun 1967, diadakanlah upaya untuk menjadikan daerah Bandar Jaya, Prosida, Simpang Agung dan sekitarnya untuk menjadi Paroki sendiri sebagai pemekaran wilayah. Pada akhirnya pada tahun 1968 upaya tersebut terwujud sehingga menjadi paroki sendiri yang dipimpin oleh Romo Paroki Van Froen Hoven, SCJ. dan terpisah dari paroki Kota Bumi.

Tahun 1971 merupakan tahun yang menjadi titik sejarah berdirinya gereja St. Lidwina sebagai Paroki. Pada tahun ini, penduduk asli di wilayah Prosida dan Simpang Agung rupanya kurang menyukai akan adanya gereja di wilayah ini. Oleh karena itu sempat terjadi perselisihan antara umat Katolik dengan penduduk di wilayah tersebut. Pada akhirnya, seorang kepala suku dari daerah Rantau Jaya menawarkan sebidang tanah untuk mendirikan gereja. Lokasi tersebut terletak di wilayah Bandar Jaya. Pada tahun 1971 dibangunlah sebuah gereja dan pastoran yang terletak di Bandar Jaya. Mulai pada saat itu Bandar Jaya ditetapkan sebagai Paroki dengan nama Paroki St. Lidwina yang dipimpin oleh Romo Paroki Sounder Meijer, SCJ.

Umat paroki Bandar Jaya dan sekitarnya pada mulanya berjumlah 10 KK, hingga pada pesta perak Paroki Bandar Jaya pada tahun 1993 jumlah umat paroki

telah menjadi 6700 orang. Pada tahun 2005, stasi Fajar Mataram yang semula menjadi salah satu stasi Paroki Bandar Jaya memisahkan diri dan menjadi Paroki Fajar Mataram. Pada ulang tahun paroki yang ke-40 tahun atau tahun 2001 Bandar Sakti yang semula menjadi salah satu stasi Bandar Jaya memisahkan diri dan berdiri menjadi Paroki sendiri. Berhubung adanya pemekaran wilayah tersebut, maka hingga tahun 2013 jumlah umat paroki Bandar Jaya menjadi 2483 orang.

2. Batas-batas Geografis Paroki St. Lidwina Bandar Jaya

Paroki St. Lidwina Bandar Jaya terletak kurang lebih 60 km sebelah utara ibu kota Bandar Lampung. Adapun perbatasan-perbatasan wilayah paroki St. Lidwina Bandar jaya adalah sebagai brikut:

a. Sebelah Timur

Sebelah timur paroki Bandar jaya berbatasan langsung dengan paroki Fajar Mataram yang berjarak kurang lebih 15 km.

b. Sebelah Selatan

Sebelah selatan paroki Bandar Jaya berbatasan langsung dengan dua paroki yaitu paroki Metro dan paroki Kota Gajah yang massing-masing berjarak kurang lebih 35 km.

c. Sebelah Barat

Sebelah barat dari paroki Bandar Jaya juga berbatasan dengan 2 paroki yang berbeda yaitu paroki Kota Bumi dan paroki Kalirejo.

d. Sebelah Utara

Sebelah utara paroki Bandar Jaya berbatasan langsung dengan paroki Bandar Sakti yang berjarak kurang lebih 25 km.

3. Situasi Umum Lingkungan dan Umat Paroki St. Lidwina Bandar Jaya

Wilayah Bandar Jaya dan sekitarnya merupakan daerah yang memiliki mayoritas pemeluk agama Islam. Namun selama ini, hubungan antara pemeluk agama mayoritas (Islam) dengan agama Katolik cukup baik dan harmonis. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana antar umat beragama saling mengunjungi saat agama tertentu merayakan hari raya keagamaan masing-masing (saling anjang sana). Selain hal tersebut sering pula diadakan acara dialog dan doa bersama lintas agama yang biasanya diadakan di lapangan Kabupaten Gunung Sugih. Kemajemukan agama yang ada di wilayah Bandar Jaya cukup membawa dampak bagi perkembangan iman umat terbukti dengan tidak sedikit umat yang menikah beda agama. Hal yang lebih memprihatinkan adalah dengan menikah di luar Gereja atau meninggalkan iman Katoliknya. Ini merupakan hal-hal yang sangat mendesak untuk mendapatkan perhatian.

Paroki St. Lidwina Bandar Jaya merupakan salah satu paroki di bawah Keuskupan Tanjung Karang. Sebagaian besar umat adalah pendatang/transmigran dari pulau Jawa sehingga sebagian besar umat paroki St. Lidwina Bandar Jaya didominasi oleh suku Jawa. Selain dari sebagian besar dari suku Jawa, umat paroki St. Lidwina Bandar Jaya juga terdiri dari berbagai suku di antaranya adalah Batak,

Lampung, Sunda dan etnis Tionghoa. Latar belakang pekerjaan umat paroki adalah pegawai negeri sipil, pegawai perusahaan swasta, tentara, polisi, petani dan wiraswasta (pedagang). Mengingat latar belakang pekerjaan umat paroki St. Lidwina Bandar Jaya terkadang umat tidak dapat menghadiri acara Gereja karena harus mengemban tugas atau kelelahan setelah melaksanakan pekerjaannya. Namun patut disyukuri, secara garis besar umat aktif dan terlibat dalam kegiatan menggereja sehingga sudah seharusnya dapat ditingkatkan keterlibatannya dalam Gereja.