• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Variabel IHSG

Kondisi pasar modal pada tahun 2007 sangat kondusif. IHSG mengalami kenaikan lebih dari 60% jika dibandingkan dengan awal tahun 2007 seperti yang terlihat pada grafik 4.1. Kondisi ini menunjukkan bahwa pasar modal Indonesia atau IHSG merupakan tempat investasi yang menarik.

Grafik 4.1

commit to user

103 Sumber : Bank Indonesia, data diolah, 2011

Kondisi pasar modal yang kondusif pada awal tahun 2008 mulai mengalami tekanan seiring dengan merembetnya gelombang krisis keuangan global pada semester II tahun 2008. Nilai penerbitan saham mengalami peningkatan yang signifkan pada awal tahun sebelumnya, menurun drastis pada akhir tahun, namun secara total tetap mengalami peningkatan dari tahun 2007. IHSG yang sempat mencapai level tertinggi pada awal tahun 2008, akhirnya terkoreksi secara signifkan pada semester II-2008 dengan penurunan lebih dari 50%.

Grafik 4.2

commit to user

104 Sumber : Bank Indonesia, data diolah, 2011

Kinerja pasar saham pada awal tahun 2008 masih cukup baik, namun terkoreksi cukup dalam pada semester II 2008. IHSG pada akhir tahun 2008 ditutup pada level 1.355 poin atau melemah 50,64% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kondisi tersebut menempatkan Bursa Efek Indonesia (BEI) pada peringkat ke-5 se-Asia Pasifk sebagai bursa dengan kinerja terendah setelah Vietnam -66%, Shanghai -64,81%, Shenzen - 60,65%, dan Mumbai -53,83% (Bank Indonesia, 2009:126)

Kinerja IHSG pada tahun 2008 sebenarnya relatif terjaga dan bahkan sempat mencapai level 2.830 pada awal tahun dan merupakan level tertinggi yang pernah dicapai sampai 2008. Namun perkembangan pada semester II 2008 justru menunjukan dinamika yang berlawanan mengikut penurunan yang terjadi pada indeks saham global. Penurunan kinerja IHSG lebih disebabkan oleh gejolak eksternal, baik di pasar keuangan maupun pasar komoditas, sementara itu kondisi

commit to user

105 domestik masih relatif terjaga. Gejolak eksternal bermula dari pecahnya bubble pasar keuangan global yang memicu terjadinya proses deleveraging dan berdampak pada perlambatan ekonomi global. Dampak lanjutan dari situasi tersebut adalah penurunan laba dan bahkan kebangkrutan institusi keuangan secara global sehingga terjadi kekeringan likuditas di pasar internasional.

Terimbas kondisi tersebut, investor asing mulai mengurangi portofolio dananya di emerging market yang menyebabkan indeks di emerging market terkoreksi, termasuk IHSG di Indonesia. Ini mengindikasikan bahwa pemain asing masih mendominasi pasar modal Indonesia tepatnya di IHSG. Selain itu, penurunan secara signifkan harga komoditas tambang dan pertanian di pasar dunia juga menjadi faktor penyebab penurunan IHSG padahal dua komoditas ini merupakan saham sektor unggulan di IHSG.

Relatif terjaganya stabilitas makro yang tercermin dari respons BI Rate yang memadai dalam pengendalian inflasi, pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, serta cadangan devisa yang masih dalam batas aman, dikombinasi dengan laporan keuangan emiten yang cukup baik dengan pertumbuhan laba yang tinggi ternyata mampu menahan pelemahan IHSG (Bank Indonesia, 2009:126). Namun demikian, beberapa risiko domestik juga turut mewarnai dinamika pergerakan IHSG pada tahun 2008. Risiko tersebut diantaranya adalah terkait dengan sentimen kondisi likuiditas bank dan kekhawatiran mulai menurunnya laba emiten sektor pertambangan dan pertanian seiring dengan kejatuhan harga komoditas.

commit to user

106 Kebijakan Bapepam-LK dan BEI juga berperan penting dalam menahan pelemahan IHSG lebih dalam. BEI melakukan suspensi perdagangan saham pada tanggal 9 dan 10 Oktober 2008. Langkah tersebut merupakan upaya untuk memberikan jeda kepada investor agar dapat berpikir rasional ditengah gejolak pasar keuangan yang terjadi pada saat itu (Bank Indonesia, 2009:126). Pada hari yang sama Bapepam-LK juga mengeluarkan peraturan mengenai kemudahan untuk melakukan buyback. Pemerintah bahkan ikut mendorong BUMN untuk melakukan buyback melalui penyisihan laba. Kebijakan lain yang dikeluarkan oleh BEI adalah larangan transaksi shortselling dan membatasi perdagangan marjin (Bank Indonesia, 2009:127). Kebijakan tersebut diarahkan untuk mengurangi aksi jual di tengah momentum penurunan harga.

BEI juga memperpanjang suspensi beberapa emiten yang berpotensi menekan kinerja IHSG secara keseluruhan. Untuk mengembalikan kepercayaan investor, BEI juga meminta kepada beberapa emiten untuk melakukan public expose guna memberikan informasi yang berimbang atas kondisi perusahaan dimaksud.

Berbagai kebijakan tersebut mampu meningkatkan kepercayaan investor di pasar saham yang ditunjukkan oleh peningkatan nilai rata-rata harian perdagangan saham, yaitu sebesar Rp4,29 triliun per hari pada 2007 menjadi sebesar Rp4,41 triliun per hari pada 2008 (Bank Indonesia, 2009:126). Indikasi membaiknya kepercayaan investor tersebut juga ditunjukkan oleh aktivitas investor asing yang masih membukukan net beli sebesar Rp18,65 triliun pada

commit to user

107 2008, meskipun masih jauh di bawah net beli tahun 2007 yang tercatat sebesar Rp32,92 triliun. Namun, porsi kepemilikan asing pada tahun 2008 ternyata justru meningkat menjadi sebesar 67,8%. Masih tingginya aktvitas asing pada tahun 2008, searah dengan pembelian selektif terhadap saham-saham yang tergolong undervalued terhadap nilai fundamentalnya akibat gejolak pasar keuangan pada triwulan IV-2008.

Penerbitan saham tahun 2008 masih mencapai target dan lebih tinggi dari tahun 2007. Gejolak di pasar modal dan penurunan harga saham terutama berdampak terhadap penurunan jumlah penawaran perdana saham (initial public offering) dan hak memesan efek terlebih dahulu (right issue) pada akhir tahun 2008. Secara tahunan, nilai penerbitan saham mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Nilai emisi saham melalui IPO meningkat 38,04% dari Rp17,18 triliun menjadi Rp23,71 triliun, sementara itu, nilai right issue naik 86,21% dari Rp29,8 triliun menjadi sebesar Rp55,49 triliun sehingga total penerbitan saham pada tahun 2008 sebesar Rp79,1 triliun (Bank Indonesia, 2009:127).

Namun penerbitan saham tersebut sebagian besar dilakukan pada triwulan I-2008 sebelum terjadi penurunan harga saham, yakni sebesar Rp46,1 triliun atau 58,3% dari total penerbitan. Aktvitas penerbitan saham menurun drastis pada triwulan IV-2008 dengan nilai penerbitan sebesar Rp3,3 triliun (4,1%) karena beberapa emiten yang telah memperoleh ijin prinsip memilih untuk menunda penerbitan sahamnya (Bank Indonesia, 2009:128). Secara umum, peningkatan IPO dan right issue pada tahun 2008 tersebut merupakan cermin dari daya tahan

commit to user

108 pasar saham akibat krisis pasar keuangan global. Hal itu sekaligus bukti bahwa peran pasar saham dalam pembiayaan pembangunan masih berjalan baik dan bahkan cenderung meningkat.

Krisis ekonomi global yang mencapai puncaknya pada triwulan terakhir tahun 2008 masih berlanjut pada awal tahun 2009. Ketidakstabilan di pasar keuangan global tetap terjadi akibat masih kuatnya persepsi negatif terhadap prospek pemulihan ekonomi global serta masih memburuknya kinerja lembaga-lembaga keuangan terkemuka AS, seperti Citigroup, AIG, dan BoA. Kondisi itu mengakibatkan investor mengurangi penempatan dana di pasar kredit dan pasar modal, baik di negara maju maupun negara berkembang sehingga terjadi keketatan likuiditas. Penurunan penempatan dana di negara berkembang juga dipengaruhi oleh persepsi risiko yang masih tinggi atas penempatan dana di negara berkembang.

Grafik 4.3

commit to user

109 Sumber : Bank Indonesia, data diolah, 2011

Kinerja pasar keuangan Indonesia banyak dipengaruhi oleh dinamika sistem keuangan global. Tekanan berat di pasar keuangan domestik pada triwulan IV 2008 masih berlanjut pada triwulan I 2009. Tekanan tersebut terjadi merata di seluruh pasar yaitu di pasar saham, pasar SUN, pasar uang rupiah maupun pasar valas. Secara umum, tekanan di pasar keuangan domestik pada dua triwulan itu banyak dipengaruhi oleh peningkatan persepsi risiko penanaman modal di emerging market (Bank Indonesia, 2010:23). Kondisi tersebut kemudian menurunkan aliran modal jangka pendek ke negara berkembang termasuk Indonesia yang kemudian menurunkan berbagai kinerja di pasar saham, pasar SUN, pasar rupiah dan pasar valas

Pada pasar saham, persepsi risiko pelaku pasar terhadap prospek penanaman modal di emerging market, termasuk di Indonesia, yang masih tinggi pada triwulan I 2009 mengakibatkan pasar saham domestik masih tertekan. Pada

commit to user

110 periode triwulan I 2009, IHSG dalam tren menurun hingga berada pada level terendah yaitu 1.256 poin diawal Maret 2009 .Volume perdagangan juga turun signifkan ke level Rp1,57 triliun per hari, dibandingkan dengan rata-rata tahun 2008 sebesar Rp3,99 triliun per hari (Bank Indonesia, 2010:24).

Kinerja pasar saham mulai membaik sejak triwulan II 2009 hingga akhir tahun 2009 saat kepercayaan investor kembali meningkat dengan semakin membaiknya prospek pemulihan ekonomi global. Dalam kondisi tersebut, aliran masuk modal asing mulai terjadi sehingga mendorong kenaikan IHSG dan nilai perdagangan menjadi relatif sama dengan level sebelum triwulan III 2008 yang berada pada kisaran 2.349 poin.

Meningkatnya aktivitas pelaku asing di pasar keuangan, yang diikuti oleh pelaku domestik, mendorong IHSG terus meningkat sejak triwulan II 2009 sehingga tercatat di level 2.534 pada akhir tahun 2009. Nilai itu meningkat tajam dibandingkan dengan akhir tahun 2008 yang sebesar 1.355 dan merupakan yang tertinggi di antara pasar saham di Asia. Perbaikan kinerja pasar saham juga didukung oleh peningkatan aktvitas perdagangan dengan rata-rata volume perdagangan pasar saham yang meningkat kembali sehingga tercatat Rp3,99 triliun per hari untuk keseluruhan tahun 2009 (Bank Indonesia, 2010:24). Beberapa sektor yang cukup dominan memengaruhi kenaikan pasar saham tersebut ialah sektor berbasis komoditas primer sepert sektor pertambangan dan sektor perkebunan. Perkembangan di sektor primer tersebut tidak terlepas dari

commit to user

111 pengaruh tren kenaikan harga komoditas di pasar internasional sejak triwulan II 2009.

Setelah sempat mengalami tekanan pada triwulan I-2009, kinerja pasar saham secara keseluruhan tahun 2009 telah pulih. Penurunan tajam IHSG yang terjadi pada triwulan IV-2008 terus berlanjut hingga triwulan I-2009 bahkan sempat menyentuh ke level 1.256 pada Maret 2009 yang merupakan level terendah sejak tahun 2006. Volume perdagangan juga turun signifkan menjadi sebesar Rp1,57 triliun per hari, dibandingkan dengan rata-rata tahunan sebesar Rp3,99 triliun per hari .

Selanjutnya, kinerja pasar saham berangsur-angsur pulih seiring dengan membaiknya kondisi pasar keuangan global pada triwulan II 2009 yang mendorong aliran masuk modal asing. Meningkatnya aktvitas transaksi pelaku asing yang diikut oleh pelaku domestik, mendorong IHSG sepanjang tahun 2009 meningkat sebesar 86,98%, ditutup pada level 2.534. Peningkatan IHSG tersebut merupakan peningkatan indeks tertinggi di antara pasar saham di kawasan Asia. Selain dipicu oleh aliran modal masuk, peningkatan kinerja IHSG juga ditopang oleh membaiknya kondisi fundamental emiten sehingga meningkatkan kepercayaan pelaku pasar. Sejalan dengan meningkatnya aktivitas perdagangan, rata-rata volume perdagangan pada tahun 2009 tercatat sebesar Rp3,99 triliun per hari, sementara nilai beli asing neto tercatat sebesar Rp13,92 triliun.

commit to user

112 Pergerakan IHSG Tahun 2010

Sumber : Bank Indonesia, data diolah, 2011

Kinerja pasar saham pada tahun 2010 didukung oleh menurunnya risiko investasi dan relatif menariknya imbal hasil sehingga menarik masuknya arus modal asing ke instrumen tersebut. Di pasar saham, meningkatnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga ditopang oleh membaiknya kinerja laporan keuangan emiten dan struktur pasar yang semakin kondusif (Bank Indonesia, 2011:3). Perkembangan tersebut mendorong IHSG mencatat kenaikan tertinggi di kawasan.

Di pasar saham, perkembangan beberapa indikator penting dari sisi makroekonomi sepert nilai tukar yang relatif stabil, prospek pertumbuhan ekonomi, inflasi yang moderat, suku bunga yang relatif murah serta ekspektasi pencapaian peringkat layak investasi dalam waktu dekat, semakin menambah kepercayaan investor asing untuk menempatkan dananya di pasar saham.

commit to user

113 Kondisi ini semakin diperkuat lagi dengan derasnya arus modal masuk sehingga meningkatkan aktvitas dan likuiditas pasar saham pada tahun 2010. Beli asing neto tercatat meningkat menjadi Rp 18,4 triliun dari Rp 13,9 triliun di tahun sebelumnya dan mendorong peningkatan aktivitas perdagangan saham tahun 2010 menjadi sebesar Rp 4,8 triliun per hari dari Rp 3,9 triliun per hari di tahun sebelumnya (Bank Indonesia, 2011:13). Akibatnya, IHSG meningkat tinggi sepanjang tahun 2010 dan menjadikan Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai bursa terbaik di antara negara- negara kawasan, dengan peningkatan sebesar 46,1% (yoy).

Berangkat dari level 2.534,4 pada Desember 2009, IHSG terus menunjukan tren penguatan hingga menembus level 3.703,5 pada akhir Desember 2010. Dalam perjalanannya, perkembangan IHSG sempat beberapa kali mengalami tekanan. Beberapa penurunan indeks yang cukup signifkan di antaranya berkaitan dengan sentimen krisis Yunani pada triwulan II 2010 serta isu eksternal lainnya, seperti pengetatan moneter di China, krisis Irlandia serta konflik Korea yang meningkat di akhir tahun (Bank Indonesia, 2011:13). Meskipun demikian, tren penguatan IHSG ini tetap perlu diwaspadai karena peningkatan harga yang terindikasi cenderung lebih tinggi dari perkembangan fundamentalnya ini berpotensi menimbulkan penggelembungan harga aset (asset price bubble).

Pencapaian IHSG selama tahun 2010 didukung pula oleh kondisi mikro emiten yang memiliki prospek keuangan yang relatif baik di antara negara

commit to user

114 kawasan. Berbagai rilis laporan keuangan emiten pada triwulan III 2010 menunjukkan tingkat keuntungan emiten yang masih cukup terjaga. Bahkan, jika dibandingkan dengan beberapa negara kawasan, return on equity emiten Indonesia tercatat masih yang terbesar. Cukup kondusifnya kondisi mikro emiten juga digambarkan oleh aksi pembagian dividen oleh beberapa emiten. Pembagian dividen tersebut merupakan sinyal bahwa kondisi solvabilitas emiten masih cukup kokoh. Pelaku pasar juga cukup optmis terhadap pertumbuhan laba emiten ke depan mengingat ekspektasi yang cukup tinggi terhadap pihak korporasi dalam pengalokasian anggaran untuk pengeluaran modal.

Dokumen terkait