• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM

3.3 Gejala Penghindaran (Avoidance Symptom)

Seseorang yang mengalami stres pasca-trauma berusaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan yang berhubungan dengan peristiwa traumatik tersebut. Mereka mungkin akan menghindari orang-orang, tempat, benda-benda yang mengingatkan peristiwa traumatik tersebut. Orang ini secara perlahan akan kehilangan ketertarikan atas aktivitas positif yang penting, merasa jauh, atau seolah ada jarak dengan orang lain. Selain itu, orang dengan stres pasca-trauma sering mengalami kesulitan untuk merasakan perasaan-perasaan positif (kesenangan/ kebahagiaan atau cinta/kasih sayang), atau merasa seakan-akan hidupnya terputus di tengah-tengah. Gejala-gejala ini menyebabkan

orang yang menderita stres pasca-trauma tidak berharap untuk dapat kembali menjalani hidup dengan normal.

3.3.1Tokoh Utama

3.3.1.1Tokoh Winarsih

Winarsih berusaha untuk menghindari orang-orang yang selalu menghina dan memusuhinya. Ia menjadi seorang penyendiri. Ia menjadi malas bertemu dengan teman-temannya karena perlakuan tidak adil yang terus dialaminya.

(111)Winarsih melangkah tertunduk menghindari kerumunan anak-anak kampung yang telah bersiap menunggu ia datang. Sejak berita kedatangan ibunya, Winarsih mendadak dimusuhi teman-temannya. Mereka tak lagi mau bergaul dengan Winarsih (hlm. 9).

(112)Siang itu Winarsih sengaja berpura-pura sakit dan enggan berangkat sekolah. Ia malas menghadapi ejekan temannya sebagai anak pelacur. Sakit hati serta perlakuan tidak adil itu terus saja mendera hari-harinya di sekolah (hlm. 16).

Winarsih merasakan kehilangan ketertarikan atas aktifitas positif. Sejak ibunya menderita akibat perlakuan kejam orang Jepang, kepribadian Winarsih menjadi berubah. Ia menjadi orang yang tertutup dan misterius. Ia mengasah naluri sesatnya untuk balas dendam terhadap orang Jepang. Ia selalu menjerat korbannya dengan daya tarik yang dimilikinya kemudian membunuh orang tersebut dengan jamu yang dicampurnya dengan racun. Setiap kali selesai membunuh orang Jepang, Winarsih selalu menceritakan perbuatannya kepada ibunya. Ia berusaha memuaskan hati Marni dengan membunuh sebanyak mungkin orang yang pernah membuat ibunya menderita.

(113)”Ibu senang kan mendengar ceritaku? Ibu puas kan? Aku sudah membunuh orang-orang Jepang itu?” Tanya Winarsih saat ceritanya hanya ditanggapi Marni dengan anggukan pelan dan wajah lurus tanpa

ekspresi. Kadang sisi putihnya sebagai manusia merasa menyesali tindakan itu. Berbenturan dengan nalurinya. Tapi Winarsih terlanjur memiliki janji dengan alam gelap bawah sadarnya. Ia harus mempersembahkan sebanyak mungkin nyawa orang-orang Jepang untuk ibunya dan untuk dendamnya sendiri (hlm. 46).

Dendam yang sudah mengakar sejak kecil menyebabkan Winarsih merasa ’jauh’ atau seperti ada jarak dengan orang lain. Sejak berita kedatangan ibunya, Winarsih mendadak dimusuhi teman-temannya. Mereka tidak lagi mau bergaul dengan Winarsih. Hal tersebut membuat Winarsih tidak dapat bersosialisasi dengan baik terhadap masyarakat sekitarnya. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(114)Sejak berita kedatangan ibunya, Winarsih mendadak dimusuhi teman-temannya. Mereka tak lagi mau bergaul dengan Winarsih (hlm. 9).

Pada saat dewasa, Winarsih tidak dapat menjalin hubungan baik dengan Rumijah (anaknya) karena hidup Winarsih selalu diliputi oleh rasa dendam, rasa benci, dan amarah. Winarsih memiliki pikiran bahwa hidupnya hanya untuk membalaskan dendam ibunya terhadap orang Jepang. Ia mencoba untuk meneruskan dendam tersebut kepada anaknya, namun tidak berhasil. Ia merasa kecewa telah melahirkan Rumijah yang memiliki sifat lemah lembut dan tidak mau meneruskan dendamnya tersebut. Perselisihan dan pertengkaran sering terjadi sehingga membuat kehidupannya dengan anaknya tidak harmonis.

(115)”Aku tidak pernah salah, Rumijah! Kesalahanku satu-satunya adalah menikahi ayahmu dan melahirkan anak lemah sepertimu!!” bantahnya ternganga tak percaya mendengar itu. Dihampirinya Ibunya dengan tatapan tak mengerti (hlm. 105).

(116)”Jadi? Ibu tak pernah mencintai Bapak? Tak pernah mengharapkan kelahiranku?” (hlm. 105).

Winarsih merasakan kesulitan untuk merasakan perasaan-perasaan positif, seperti kesenangan/kebahagiaan atau cinta/kasih sayang. Winarsih mengalami ’pembekuan jiwa’, ia merasa sulit untuk merasakan ataupun memberikan cinta, kebahagiaan, dan kasih sayang kepada orang lain karena jiwanya telah dipenuhi rasa benci dan dendam terhadap orang Jepang.

(117)Saat itu Winarsih hampir mencapai angka 14. Usia ranum gadis remaja dengan pesona warisan kembang desa dari ibunya dan keteguhan sikap Mbok Sagiyem. Makin hari Winarsih semakin menawan. Banyak sekali pemuda kota yang mencoba mendekatinya. Namun, ia seolah mati rasa dengan semua laki-laki. Terlebih melihat keadaan ibunya yang masih saja tenggelam dalam traumanya (hlm. 32).

(118)”O ya? Syukurlah...,” sahutnya tak bersemangat mendengar nama Broto. Laki-laki yang sejak awal kedatanganya tak pernah putus asa mendekatinya. Broto tidak bisa dibilang jelek. Tidak juga laki-laki genit yang menyebalkan tapi hati Winarsih yang terlanjur beku untuk semua laki-laki (hlm. 34).

(119)Setelah meracun kekasihnya itu. Ia terus mengurung diri dalam kamar. Bertarung sekuat batinnya untuk menolak rasa sesal yang kian menggerogoti hatinya. Membunuh perasaan cintanya yang terlanjur meracuni setiap relung di batinnya. Winarsih berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Berusaha untuk tersenyum lega dan menghadirkan rasa puas saat ia melakukan hal yang sama pada Mr. Yoshikawa atau yang lainnya (hlm. 52).

Sejak ibunya menderita akibat perlakuan kejam oleh orang Jepang, kepribadian Winarsih menjadi berubah. Hidupnya hanya untuk membalas dendam terhadap orang yang membuat ibunya menderita seumur hidup. Winarsih merasa tidak dapat kembali hidup normal seperti orang pada umumnya karena rasa dendam dan kebencian yang besar. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(120)”Sejak menyadari betapa menderitanya Mbah Marni, aku memang memutuskan hidupku hanya untuk sebuah pelampiasan dendam!” (hlm. 105).

3.3.2 Tokoh Tambahan 3.3.2.1 Tokoh Marni

Marni berusaha keras untuk menghindari tempat atau orang-orang yang dapat mengingatkan kembali pada peristiwa traumatik masa lalunya.

Setelah Marni kembali ke rumah, ia tidak berani keluar rumah. Ia tidak mau bertemu dengan masyarakat yang kerap menatap dan mencibir dirinya. Hati Marni sangat sedih ketika mendengar gunjingan yang ditujukan pada dirinya.

(121)Selama ia kembali ke rumah, belum pernah sekalipun ia menjejakkan kakinya keluar pekarangan. Langkah terjauhnya hanya sekitar beranda rumah. Meski hanya pada jarak itu, setiap orang yang lalu-lalang di hadapan rumahnya, kerap menatap dan mencibir Marni dengan gunjingan yang bila terdengar olehnya akan sangat menyakitkan (hlm. 16).

Marni merasakan kehilangan ketertarikan atas aktifitas positif yang penting. Marni menjadi seorang yang berkepribadian tertutup. Ia tidak lagi tertarik dengan aktivitas seperti wanita normal pada umumnya. Ia menarik diri dari kehidupan sosialnya. Ia merasa bahwa semua orang memperlakukan dirinya dengan tidak adil. Ia merasa tidak diterima oleh masyarakat karena dirinya pernah menjadi jugun ianfu. Hal itu terbukti sejak kali pertama pindah ke kota Marni tak pernah sekalipun berani melangkah keluar rumah. Bila Winarsih mencoba memaksanya, ia pun akan menangis dan terlihat stres.

(122)Setelah selesai, ia pun memasuki kamar ibunya yang tengah merajut baju hangat. Hanya itu yang bisa dikerjakan Marni. Entah mengapa, sejak peristiwa di desa itu, jiwa Marni tak bisa sembuh seratus persen. Namun sejak mereka pertama kali pindah ke kota ini. Marni tak pernah sekalipun berani melangkah keluar. Bila Winarsih mencoba memaksanya. Maka ia pun akan menangis dan terlihat begitu stres (hlm. 38).

Marni mengalami kesulitan untuk merasakan perasaan-perasaan positif, seperti kesenangan/kebahagiaan atau cinta/kasih sayang. Gejala stres pasca-trauma tersebut akibat dari pasca-trauma yang mendalam pada Marni. Ia kesulitan membedakan rasa kasihan, benci, dan marah. Semua bercampur aduk di batinnya.

(123)”Ibumu, sekarang sudah sulit membedakan mana rasa kasihan, benci, dan marah. Semua bercampur aduk di batinnya (hlm. 7).

Marni merasakan seakan-akan hidupnya seperti terputus di tengah-tengah. Ia tidak berharap untuk dapat kembali menjalani hidup dengan normal. Marni sering berharap untuk mati sehingga dapat terbebas dari penderitaan yang sedang dialaminya. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(124)Bahkan Marni sering berharap, ia dibunuh segera dan mati lalu masuk neraka. Karena dalam bayangannya neraka yang sesungguhnya tidaklah sesadis apa yang dirasakannya dibarak ini (hlm. 11).

3.3.2.2 Tokoh Sagiyem

Sagiyem berusaha menghindari pikiran atau pembicaraan tentang peristiwa traumatik yang dialami Marni. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut: (125)”Wis lah, Lastri...wis! Aku jadi tambah sedih mendengar semua itu,” potong Mbok Sagiyem tak tahap membayangkan derita Marni (hlm. 6). Semenjak anak dan cucu kesayangannya menderita karena perlakuan tidak adil masyarakat, Sagiyem berubah menjadi orang nekat. Ia tidak segan lagi mempergunakan keahliannya meramu jamu untuk membunuh. Pada saat melihat Winarsih (cucunya) menangis karena diejek oleh teman-temanya, hati Sagiyem sangat sedih. Dalam hatinya muncul niat untuk meracuni semua orang desa. Namun sebagai pelampiasannya, ia mengajarkan Winarsih cara meracik jamu

ramuannya. Meski masih terlalu dini ilmu itu diberikan, batin Sagiyem merasa lebih baik.

Sagiyem merasakan kehilangan ketertarikan atas aktivitas positif yang penting. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(126)Begitulah Mbok Sagiyem. Sejak anak dan cucu kesayangannya menderita lahir batin karena perlakuan nasib dan zaman. Sisi gelap wanita tua itu makin mendominasi alam bawah sadarnya untuk mempergunakan keahliannya meramu berbagai jenis jamu dari yang bermerek penyembuh hingga pembunuh. Apalagi bila melihat Winarsih pulang dengan mata basah, ingin rasanya ia meracun seluruh orang desa ini. Tapi itu tidak mungkin, dan sebagai pelampiasannya, ia pun perlahan mengajarkan Winarsih cara meracik jamu ramuannya. Meski masih terlalu dini ilmu itu diberikan, toh setidaknya itu bisa sedikit menenangkan batinnya yang butuh pelampiasan sebagai manusia biasa. (hlm. 17-18).

(127)”Mbah ajarkan ini, bukan untuk tujuan jahat, lo, Nduk,” nasihatnya saat tengah mengajari Winarsih meramu jamu yang bisa membuat jantung seseorang kejang dan mati dalam hitungan menit (hlm. 18). Sagiyem memiliki gejala stres pasca-trauma, yaitu merasa ‘jauh’ atau seperti ada jarak dengan masyarakat. Masalah tersebut disebabkan karena masyarakat tidak dapat menerima kehadiran Marni (anaknya). Hal tersebut mengakibatkan Sagiyem merasa tidak kerasaan, terkucilkan, dan terhina. Keadaan itu membuat dirinya menjadi benci terhadap orang-orang yang memusuhi anak dan cucunya. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(128)”Aku jadi ndak kerasaan tinggal di sini, Pak. Aku benci sama semua orang yang mengucilkan Marni dan Win” (hlm. 24).

Sagiyem memiliki gejala stres pasca-trauma, yaitu mengalami kesulitan untuk merasakan perasaan-perasaan positif, seperti kesenangan/kebahagiaan atau cinta/ kasih sayang. Sagiyem memiliki rasa benci yang besar terhadap masyarakat

desa. Ia tega meracun tetangganya yang selalu menghina Marni tanpa ada rasa sesal. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(129)Surti tak berani menjawab. Dan Mbok Sagiyem pun tetap enggan memberinya penawar itu. Sampai kemudian Bu Darjo meninggal dunia. Tak ada sesal sedikit pun di hatinya (hlm. 17).

Sagiyem merasakan seakan-akan hidupnya seperti terputus di tengah-tengah. Sagiyem sangat sedih setiap kali teringat akan penderitaan yang dialami anaknya. Ia merasakan putus asa tinggal di masyarakat yang mengucilkan keluarganya. Sagiyem ingin pindah dari kampungnya. Ia merasa tidak punya pilihan yang terbaik untuk melindungi keturunannya. Oleh karena itu, Sagiyem mengajarkan Winarsih (cucunya) cara meramu jamu. Namun, ia tidak menyangka jika keahlian meramu jamu yang dimiliknya dipergunakan secara salah. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(130)”Aku jadi ndak kerasaan tinggal di sini, Pak. Aku benci sama semua orang yang mengucilkan Marni dan Win” (hlm. 24).

(131)”Kadang aku pikir, kenapa Marni harus hidup dan tidak mati saja seperti jugun ianfu lainnya yang pernah diculik di desa ini.”

”Kenapa begitu, Bu? Bukannya kita harus bersyukur anak kita masih selamat?”

”Selamat dari apa, Pak? Hanya tubuhnya yang selamat tapi jiwa dan masa depannya hancur! Jadi untuk apa dia hidup?”

”Jangan putus asa begitu, Bu.”

”Siapa yang tidak putus asa, Pak? Aku malah berdo’a semoga Trenggono itu mati karena bila dia hidup dan mengetahui keadaan istrinya, ia juga pasti tak akan bisa menerimanya seperti wong desa kabeh!” tuturnya dengan isak pedih.”Aku benar-benar sudah tidak betah tinggal di desa ini!” lanjutnya kemudian (hlm. 29-30).

(132)Mbok Sagiyem hanya terdiam sedih. Rasa putus asa dan bersalah tak urung mendera batinnya. Ia sama sekali tak menyangka, jika keahlian meramu jamu yang dimiliknya harus dipergunakan secara salah. Namun ia ta punya pilihan yang terbaik untuk melindungi keturunanya (hlm. 30).

3.3.2.3 Tokoh Rumijah

Rumijah berusaha keras untuk menghindari pikiran, perasaan atau pembicaraan mengenai peristiwa traumatik yang dialaminya. Rumijah menjadi seseorang yang tertutup, ia tidak mau membicarakan masalah pribadinya pada orang lain. Rumijah tidak pernah menceritakan kepada Hori mengenai konflik batin yang dideritanya. Ia memiliki beban dendam yang diturunkan oleh ibunya. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(133)Rumijah tak pernah sekalipun menceritakan pada Hori mengenai kemelut batin yang dideritanya. Apalagi tentang dendam turun-temurun yang dimiliki garis keturunan ibunya (hlm. 79).

Hubungan antara Rumijah dan ibunya tidak pernah harmonis. Semenjak ia memiliki hubungan dengan Hori Motokura (orang Jepang). Rumijah ditentangan keras oleh Winarsih. Rasa benci Winarsih terhadap Hori semakin memuncak, ketika Rumijah menikah dengan Hori Motokura. Winarsih menginginkan agar Rumijah segera membunuh Hori sebagai bentuk membalas dendam atas penderitaan yang dialami Marni (neneknya) terhadap orang Jepang. Namun, Rumijah tidak sanggup melakukan perintah ibunya, karena rasa cintanya yang besar kepada Hori. Ketidakpatuhan Rumijah tersebut, memaksa Winarsih untuk melaksanakan sendiri ambisinya untuk membunuh Hori dengan racun. Sejak kematian Hori hubungan antara ibu dan anak itu tidak pernah lagi harmonis.

Peristiwa tersebut membuat Rumijah menjadi trauma terhadap ibunya sendiri. Ia merasa hidupnya tidak pernah bahagia bersama ibunya, karena setiap hari, Rumijah selalu menghadapi sikap keras ibunya. Akibatnya ia mengalami

gejala stres pasca-trauma, yaitu merasa” jauh” atau seperti ada jarak dengan orang lain. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(134)Seiring berjalannya waktu, Rumijah pun tumbuh menjadi gadis yang juga memiliki banyak pemuja. Bedanya ia cukup dibekali pendidikan tinggi oleh Broto. Hingga bisa menyikapi segala permasalahan dengan logika yang jernih. Namun sikap itu justru membuat hubungan Rumijah dengan ibunya selalu tak harmonis. Pertentangan dan pertengkaran sering terjadi. Hingga Winarsih enggan mewarisi Rumijah semua ilmu yang dimilikinya. Ia hanya mengajari anaknya cara meramu racun, tapi tidak penawarnya. Nalurinya begitu kuat. Suatu saat nanti, hati Rumijah akan ditaklukkan ras bermata sipit itu. Hal itu memang tidak dipungkiri. Selama rentang waktu kehidupan Rumijah, ia dihadapkan pada dua gambaran berbeda tentang orang Jepang. Sementara Winarsih terus menjejalinya dengan hal-hal yang buruk tentang mereka dan cerita duka Marni. Namun sejauh ini, gundukan dendam masih belum terlalu tinggi tertimbun di benaknya. Karena Broto selalu memberikan pandangan sebaliknya tentang hal itu. Mengemukakan alasan yang masuk di akal hingga pemikiran Rumijah hampir tak terkontaminasi dendam Winarsih (hlm. 58-59).

(135)Sejak kematian Hori hubungan anak dan ibu itu memang tak pernah harmonis. Setiap hari, Hana ibarat benteng pertemuan yang selalu diperebutkan oleh mereka berdua, Namun, Rumijah terlanjur bertekad. Tak akan dibiarkan Hana tumbuh apalagi mewarisi dendam sesat ibunya.. Meski terkadang ia selalu kalah. Karena sejak bayi hanya sosok Winarsihlah yang selalu ada saat ia bangun hingga tidur. Hana benar-benar menjadi miliknya, sedangkan Rumijah hanya dapat merasakan perasaannya sebagai ibu saat Winarsih sedang tidak ada dirumah atau ada keperluan lain seperti menjenguk Marni, barulah ia menitipkan Hana kepada ibu kandungnya. Namun, Winarsih tak pernah meninggalkan cucunya dalam waktu yang lama. Lebih sering ia membawa Hana ikut bersamanya. Tapi sekecil apapun kesempatan yang bisa didapat Rumijah ia selalu berusaha sedapat mungkin untuk mencuci pemikiran suci Hana yang semakin terkontaminasi dendam Winarsih (hlm. 106).

Dalam penceritaan, Rumijah mendapat perlakuan tidak adil dari ibunya. Ia disuruh oleh ibunya untuk membunuh Hori. Ia juga sering mendapat perlakuan kasar berupa tamparan, dijambak, dan kata-kata cacian. Rumijah merasa hidupnya selalu terancam, tidak aman karena sewaktu-waktu dapat diracun oleh ibunya sendiri.

Rumijah mengalami kesulitan untuk merasakan perasaan-perasaan positif, seperti kesenangan/kebahagiaan atau cinta/ kasih sayang. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(136)”Kenapa ibu tiba-tiba baik padaku?” tanyanya sambil menatap lekat mata Winarsih. Ia hanya tersenyum lembut, namun tetap terbalut kemisteriusan (hlm. 79).

3.3.2.4 Tokoh Hana Motokura

Sejak kecil, Winarsih mendoktrin Hana agar membenci orang Jepang. Sampai ia menjadi trauma ketika lihat foto ayahnya sendiri. Dalam pikiran Hana orang Jepang seperti ayahnya adalah orang jahat.

Hana berusaha keras untuk menghindari benda yang dapat mengingatkan kembali akan peristiwa tersebut. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(137)”Hana, kemari sayang.... Mama ingin memperlihatkan foto papamu.” Tanpa diduga, tiba-tiba tubuh gembil itu berhenti menari dan menepi ketakutan. ”Kenapa sayang?” Rumijah bertanya heran. ”Aku tidak mau, Ma... Papa Hori itu orang jahat kan? Dialah penyebab ’tempat pipis’ Eyang Marni membusuk.” (hlm. 107).

Hana merasakan kehilangan ketertarikan atas aktivitas positif yang penting. Ia selalu tertarik untuk belajar meramu racun. Selain itu, Hana juga melatih naluri untuk membunuh orang Jepang. Hal tersebut dapat dibuktikan

pada kutipan berikut: (138)Dari hari ke hari, Hana pun semakin mahir membuat ramuan beracun

berikut penawarnya (hlm. 109).

(139)Tak pernah ada yang tahu, kecuali Rumijah, bahwa gadis itu tengah mengasah naluri sesat warisan neneknya. Diam namun pasti, matanya terus mencari mangsa mana yang akan menjadi korban pertamanya.

Hingga akhirnya, Hana pun terpaut pada sesosok tubuh tinggi tegap milik Kenichi Yoshitaka (hlm. 107).

Sejak kecil Hana diasuh oleh Winarsih (neneknya). Pikirannya dipengaruhi cerita traumatis tentang penderitaan nenek buyutnya. Hana juga diajari meramu jamu dan racun oleh Winarsih agar Hana dapat meneruskan dendam neneknya. Hana tidak pernah merasa dekat dengan ibunya sendiri karena Winarsih melarangnya sehingga hubungan antara ibu dan anak ini menjadi terasa ’jauh’.

Hana memiliki gejala stres pasca-trauma, yaitu ia merasa ”jauh” atau seperti ada jarak dengan orang lain. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan

berikut: (140)Meski Hana tidak membenci Rumijah, namun bisa dipastikan gadis

itu hanya meyakini kebenaran kata-kata dan petuah Winarsih dibanding Ibu kandungnya sendiri (hlm. 109).

Hana merasa sulit untuk menerima perasaan-perasaan positif, seperti kesenangan/kebahagiaan atau cinta/kasih sayang dari orang lain ataupun dirinya sendiri. Sejak ibunya tahu hubungannya dengan Kenichi, Hana berusaha menghadirkan kebencian dan dendam terhadap pria pujaan hatinya itu. Meskipun pada kenyataannya, rasa rindu dan simpati terhadap Kenichi lebih sering memenangkan pertarungan dalam batinnya. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(141)”Mama memang perempuan lemah! Mama memelihara cinta yang sebenarnya adalah aib besar di keluarga kita.” (hlm. 116).

(142)Hana duduk termangu di kantin kampus yang mulai sepi. Sejak ibunya tahu hubungannya dengan Kenichi, entah mengapa tiba-tiba ia berusaha menghadirkan benci dan dendam pada pria pujaan hatinya itu. Meski kenyataannya, rasa rindu dan simpati terhadap Kenichi lebih sering memenangkan pertarungan di batinnya (hlm. 116).

Dokumen terkait