• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM

2.2 Sinopsis

2.3.1 Tokoh Utama:

2.3.1.1 Tokoh Winarsih

Tokoh Utama yang akan dibahas tokoh dan penokohannya adalah Winarsih. Pemilihan tokoh ini berdasarkan intensitas keterlibatan tokoh tersebut dalam peristiwa-peristiwa yang digambarkan di dalam novel. Selain itu, Winarsih merupakan tokoh yang paling dominan kemunculannya dalam cerita tersebut. Dapat dikatakan bahwa frekuensi keterlibatan Winarsih dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita sebagai tokoh sentral lebih banyak dibandingkan dengan tokoh lainnya.

Hal ini terlihat melalui isi cerita yang lebih dominan mengisahkan perjalanan hidup tokoh Winarsih yang memiliki beragam persoalan hidup dan rasa dendam terhadap orang Jepang. Dalam novel LKMB tokoh Winarsih diceritakan mempunyai pengalaman buruk pada masa kecilnya yang sangat memengaruhi perkembangan jiwanya. Winarsih memiliki rasa benci dan dendam yang mendalam terhadap orang Jepang karena mereka telah memperkosa ibunya (Marni). Ingatan akan pengalaman buruk ibunya memicu keinginan untuk membunuh yang luar biasa di dalam diri Winarsih.

Berikut ini adalah penggambaran tokoh Winarsih, ia dilahirkan pada saat sebelum tentara Jepang menginjakkan kakinya di Indonesia. Winarsih lahir dari pasangan Marni dan Trenggono, berikut kutipannya:

(1) Tahun 1942 ketika tentara Jepang mendaratkan tapak angkara murkanya di bumi pertiwi, saat itu Marni adalah kembang desa yang beberapa tahun lalu disunting oleh Trenggono, salah satu pemuda tampan di desanya. Hidup Marni nyaris sempurna ketika ia dianugerahi Winarsih yang telah berumur 5 tahun (hlm. 1-2).

Pada usia lima tahun, Winarsih menyaksikan orangtuanya diculik paksa oleh tentara Jepang. Setelah peristiwa itu, Winarsih tidak pernah mendapat kabar tentang kedua orangtuanya lagi, berikut kutipannya:

(2) Kehidupan harmonis itu tak lama ia rasakan, ketika kemudian ia diculik paksa di hadapan suami dan anaknya ke dalam mobil tentara yang membawanya entah ke mana. Meski Winarsih masih berusia balita, kejadian memilukan itu masih terpahat di memorinya hingga seumur hidup. Ayahnya sendiri yang berhasil menyelamatkan dirinya hingga ke tangan nenek dan kakeknya, tak lama berselang juga dijemput paksa untuk dijadikan pekerja romusha. Bertahun-tahun Winarsih tak mendengar kabar dari kedua orangtuanya. Apakah masih hidup atau mati (hlm. 1-2).

Kutipan (2) menunjukkan bahwa Winarsih menyaksikan orangtuanya diculik oleh tentara Jepang pada usia yang masih kecil. Winarsih tidak mengalami masa bahagia bersama ayah dan ibunya. Peristiwa penculikan orangtuanya masih tersimpan diingatan Winarsih.

Winarsih tidak pernah mendapat kabar tentang keberadaan orangtuanya. Setelah tiga tahun berpisah dengan orangtuanya, Winarsih menyaksikan ibunya ditemukan oleh warga desa dengan keadaan yang menyedihkan dan tidak berdaya, berikut kutipannya:

(3) Hingga suatu hari, hampir seluruh orang desa gempar karena mendapati sesosok tubuh kumuh yang penuh luka disana-sini, tergeletak tak berdaya di sebuah danau di pinggiran hutan. Ia ditemui beberapa warga yang hendak mengambil kayu bakar. Beruntung salah satunya mengenali tubuh itu sebagai Marni. Lalu dibawalah perempuan malang yang hampir mati itu kepada keluarganya. Tak ada kata yang terucap, linangan air mata dan isakan pedihlah yang banyak

terdengar. Hampir seluruh tubuh Marni dipenuhi luka tak wajar. Darah dan nanah berbau busuk terus saja mengalir dari liang kemaluannya. Marni memang masih hidup, tapi sorot matanya hampa dan mati. Winarsih menyaksikan itu...bahkan ikut merawat luka yang tersebar diseluruh tubuh orang yang pernah melahirkannya (hlm. 3).

Winarsih mendengarkan percakapan neneknya (Sagiyem) dengan salah seorang temannya yang anaknya juga bernasib sama dengan ibunya. Ia menjadi tahu peristiwa yang terjadi pada ibunya, berikut kutipannya:

(4) Katanya, di rumah bordir militer tentara Jepang itu ada tiga kamar. Kamar pertama isinya perempuan-perempuan yang masih segar dan baru beberapa kali melayani laki-laki. Lalu kamar kedua dihuni dengan perempuan yang sudah sering ‘dipakai’, tapi belum berpenyakitan. Dan ini yang lebih seram...kamar ketiga, isinya perempuan-perempuan sakit jiwa, hamil, kemaluan membusuk, dan sejumlah penyakit kelamin lainnya.”

“Hah? Lalu yang hamil itu kalau sampai beranak bagaimana?

“Ya namanya saja tentara Jepang itu setan, Yem. Tentu saja sebelum melahirkan sudah diracun sampai mati. Dan yang sakit jiwa dan memiliki penyakit kelamin yang sudah membusuk..ya, dibuang karena tidak bisa “dipakai” lagi seperti anakku Marsih!”(hlm. 5).

(5) Air mata Winarsih terus menetes, dadanya terasa begitu sesak membayangkan ibunya diperlakukan begitu hina oleh tentara Jepang itu. Lalu menculik Ayahnya yang sampai kini tak juga ada kabar beritanya. Gadis kecil itu terus menangis. Ada dendam tertoreh begitu dalam di hatinya (hlm. 6).

Kutipan (3), (4), dan (5) menunjukkan bahwa Winarsih menyaksikan peristiwa traumatik yang membuat kejiwaannya terluka. Setelah Winarsih mendengarkan percakapan neneknya (Sagiyem) dengan salah seorang temannya yang anaknya juga bernasib sama dengan ibunya, Winarsih membayangkan ibunya mengalami pemerkosaan sehingga membuatnya menderita. Batin Winarsih kembali terluka. Kemudian memicu rasa dendam di dalam hati Winarsih.

Winarsih tumbuh menjadi wanita yang memendam rasa dendam terhadap orang Jepang, berikut kutipannya:

(6) “Sejak menyadari betapa menderitanya Mbah Marni, aku memang memutuskan hidupku hanya untuk sebuah pelampiasan dendam!” (hlm. 105)

(7) “Ibu senang kan mendengar ceritaku? Ibu puas kan? Aku sudah membunuh orang-orang Jepang itu?” Tanya Winarsih saat ceritanya hanya ditanggapi Marni dengan anggukan pelan dan wajah lurus tanpa ekspresi. Kadang sisi putihnya sebagai manusia merasa menyesali tindakan itu. Berbenturan dengan nalurinya. Tapi Winarsih terlanjur memiliki janji dengan alam gelap bawah sadarnya. Ia harus mempersembahkan sebanyak mungkin nyawa ornag-orang Jepang untuk Ibunya dan untuk dendamnya sendiri (hlm. 46).

Kutipan (6) dan (7) merupakan bukti rasa dendam dalam diri Winarsih sangat besar. Sepanjang hidup Winarsih dipergunakan untuk membalas dendam terhadap orang Jepang.

Winarsih memiliki sifat benci terhadap orang Jepang dan orang-orang yang membuat ibunya menderita sepanjang hidupnya.

(8) Sementara Winarsih semakin menyesali tindakannya. Dan tentunya semakin membenci orang-orang yang telah tega memvonis ibunya sedemikian kejam (hlm. 24).

(9) Rumi berusaha menghimpun kekuatan untuk bercerita pada Hori, tapi sekali lagi ia tak bisa. “Ibuku...Ibuku benci orang Jepang,” akhirnya hanya kalimat itulah yang meluncur.

“Kenapa? Apa alasannya ia benci dengan orang Jepang.”

“Pokoknya, ia benci dengan mereka. Termasuk....denganmu!” Ujarnya dengan tangis menjadi (hlm. 66).

Winarsih adalah seorang wanita yang memiliki masa kecil tidak menyenangkan. Pada masa kecilnya, Winarsih selalu dimusuhi oleh teman-temannya dan tidak ada yang mau berteman dengan dirinya. Ia selalu menjadi bahan ejekan, dikucilkan, dan dianggap sebagai anak pelacur, berikut kutipannya:

(10) Winarsih melangkah tertunduk menghindari kerumunan anak-anak kampung yang telah bersiap menunggu ia datang. Sejak berita

kedatangan ibunya, Winarsih mendadak dimusuhi teman-temannya. Mereka tak lagi mau bergaul dengan Winarsih.

”Eh, anak’e kutis lewat!” seru Karsih ketika langkah Winarsih semakin dekat. Ia berusaha menahan emosinya. Batinnya tak rela dijuluki sebagai anak pelacur. Siapa yang mau diculik tentara Jepang? Siapa yang mau diperlakukan sebegitu keji oleh bajingan-bajingan itu? Tapi mengapa mereka tak bisa mengerti penderitaan lahir batin yang tengah dirasakan ibunya? Tak puas dengan itu. Mereka malah mengejek Winarsih sebagai anak pelacur!

”Jangan dekat-dekat nanti ketularan masuk neraka!” Ujar salah satunya. Serta merta kelompok anak-anak itu pun melangkah mundur. Tapi ada saja yang usil dan melempar Winarsih dengan batu kerikil, ia pun menghindar dan berlari. Tapi mereka malah terus mengejar sambil melemparinya dengan batu kerikil dan ejekan yang membuat hati Winarsih semakin pedih (hlm. 9).

Kutipan (10) membuktikan bahwa Winarsih tidak memiliki teman bermain. Anak-anak dikampungnya sering mengejek Winarsih sebagai anak pelacur. Ejekan itu membuat hati Winarsih semakin sedih.

Setiap hari, ia mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman-temannya. Perlakuan tersebut membuat Winarsih malas berangkat ke sekolah. Winarsih merasa sakit hati karena perlakuan tidak adil yang ia terima dari teman-teman dan tetangganya.

(11) Siang itu Winarsih sengaja berpura-pura sakit dan enggan berangkat sekolah. Ia malas menghadapi ejekan temannya sebagai anak pelacur. Sakit hati serta perlakuan tidak adil itu terus saja mendera hari-harinya di sekolah. Belum lagi gunjingan masyarakat di sekitarnya tentang kemaluan ibunya (hlm. 16).

Perlakuan tidak adil dari teman-temannya membuat Winarsih menjadi pribadi yang nekat dan berani. Ia nekat mengajak ibunya keluar rumah hanya untuk membuktikan kepada semua orang bahwa ibunya masih cantik. Winarsih juga berani menghadapi warga desa yang menghina ibunya. Ia ingin melindungi ibunya dari hinaan dan anggapan sebagai seorang pelacur. Sampai ia tega

meracuni Anis yang selalu menghina dirinya dengan ramuan jamu beracun, berikut kutipannya:

(12) Winarsih nekat dan tetap tidak peduli, ia semakin jauh membawa ibunya menyelusuri jalan desa. Beberapa teman-teman sekolahnya tetangganya melihat Winarsih tengah memamerkan keadaan ibunya yang masih cantik meski belum stabil.

(13)”Oalaaaa... Biar kamu teriak sampai serak. Semua orang desa sudah pada tahu dia itu kutis!” seloroh Ibu Anis sambil menunjuk kepala Marni. Winarsih pun semakin blingsatan dan melempar wajahnya dengan batu yang ada di dekatnya. Menyadari keagresifan Winarsih, beberapa warga mengamankannya. Tapi Winarsih bak orang kesetanan. Ia terus meronta dan baru berhenti ketika tiba-tiba Marni teriak histeris (hlm. 22).

(14)Kemarin sepulang sekolah ia tersenyum dengan wajah puas, karena telah berhasil membuat Anis jumpalitan karena kejang perut yang dideritanya. Tak tahu bagaimana cara Winarsih meracuni Anis. Tapi yang jelas tidak ada rasa penyesalan sedikit pun di wajah Winarsih setelah melakukan dosa itu (hlm. 30).

Kutipan (12), (13), dan (14) membuktikan bahwa sikap Winarsih adalah sebuah sikap pemberontakan seorang anak yang ingin melindungi ibunya.

Peristiwa yang dialami Winarsih dan trauma yang dialami ibunya membuat dendam dan kebencian semakin kuat tertanam di hatinya. Ia dapat melakukan segala cara untuk melindungi ibunya. Sampai ia menumbuhkan naluri membunuh di dalam dirinya.

Menginjak usia dewasa, kebencian dan dendam terhadap orang Jepang tumbuh semakin besar dalam diri Winarsih. Secara psikologis, Winarsih mengalami trauma yang dialami ibunya serta perlakuan masyarakat yang tidak adil terhadap dirinya, membuat Winarsih menjadi wanita yang kuat dalam menghadapi hidup, tetapi kejam, dan mempunyai ambisi untuk membalas dendam kepada orang Jepang.

Tokoh Winarsih digambarkan sebagai wanita yang memiliki wajah cantik. Ia meneruskan profesi neneknya sebagai penjual jamu, berikut kutipannya:

(14)Saat itu Winarsih hampir mencapai angka 14. Usia ranum gadis remaja dengan pesona warisan kembang desa dari ibunya dan keteguhan sikap Mbok Sagiyem. Makin hari Winarsih semakin menawan. Banyak sekali pemuda kota yang mencoba mendekatinya. Namun, ia seolah mati rasa dengan semua laki-laki. Winarsih pun menggantikan peran neneknya dengan berjualan jamu (hlm. 32).

(15)Siapa yang tak mengenal Winarsih? Penjual jamu termanjur dengan senyum yang luar biasa menawan. Namun, hingga usianya mendekati 20 tahun. Tak ada satu pun laki-laki yang berhasil mendekatinya, apalagi meminangnya. Ia begitu manis ketika melayani pelanggannya yang kebanyakan laki-laki. Namun, bisa berubah sangat judes bila ada yang mencoba kurang ajar dengannya ( hlm. 33).

(16)...Broto tengah asyik menyaksikan tubuh semampai Winarsih yang tengah berbenah (hlm. 35).

Pada tahun 1957 di daerah tempat Winarsih berjualan jamu tengah dibangun sebuah pabrik kimia investasi negara Jepang. Mulai saat itu naluri membunuh Winarsih muncul ketika ia bertemu dengan orang Jepang. Ia memanfaatkan kecantikan dan keahliannya membuat jamu untuk membalas dendam terhadap orang Jepang. Terdapat empat laki-laki yang sudah menjadi korban Winarsih, berikut kutipannya:

(17)Naluri ‘membunuh’ yang telah tertanam sejak kecil di benaknya, semakin berbuncah hebat. Mata sipit dan gelak tawa mereka kerap membangkitkan getar dendamnya (hlm. 33).

(18)Winarsih tetap perempuan dengan hati sekeras baja. Sementara usianya semakin beranjak dewasa dan kilau kecantikannya semakin menyilaukan birahi hampir semua pria, termasuk Mr. Masaki Yamamoto, salah satu supervisior pabrik itu. Ia begitu terkesima dengan senyum Winarsih dan kini telah menjadi langganan tetap gadis itu. Dan tak beda dengan nasib Mr. Yoshikawa, ia pun berakhir tragis dengan penyakit sakit perut yang membawa maut. Begitulah seterusnya. Dalam jangka waktu hampir satu tahun, terhitung sudah empat laki-laki Jepang diracunnya, dan ia begitu menikmati ritual sesat itu (hlm. 45).

Kutipan (17) dan (18) merupakan sebuah penggambaran ambisi Winarsih untuk membalaskan dendam ibunya terhadap laki-laki Jepang. Ambisi itu tidak berakhir sampai di situ, dendam yang terpendam lama membuat Winarsih tidak dapat mengenal cinta laki-laki. Hubungan percintaannya dengan Yoshida yang didasari hutang budi, berakhir pada kematian Yoshida, karena Yoshida termasuk dalam korban naluri membunuh Winarsih. Winarsih tidak peduli rasa cinta yang ia rasakan kepada Yoshida dan benih yang ada di dalam rahimnya, berikut kutipannya:

(19)Perlahan diambilnya ramuan racun yang telah disediakannya untuk Yoshida. Winarsih memejamkan matanya, terbayang mata Yoshida yang begitu tulus. Pelukan hangatnya saat mencoba menenangkan dirinya saat kejadian itu. Tapi Yoshida terlanjur terpilih nalurinya untuk menjadi korban berikutnya...”Haruskah ia kubunuh?” Tapi naluriku mengatakan dalam darahnya mengalir darah pemerkosa itu (hlm. 50).

(20)Hamilkah aku? Winarsih mengigit bibirnya cemas. Ia kembali tertunduk lemah dan menangis sesenggukan seorang diri. Namun pikirannya langsung berubah cepat. Ia pun segera menuju dapur. ”Aku tidak boleh hamil! Apalagi anak keturunan Jepang! Tidak boleh, tidak boleh!” batinnya kacau. Lalu dengan sigap Winarsih segera menumbuk ramuan jamu untuk mengeluarkan janin itu. Dan tanpa berpikir dua kali langsung diteguknya ramuan itu. Dalam tempo 2 jam perutnya langsung merasakan sakit luar biasa. Namun Winarsih tak berusaha minta pertolongan siapa pun, termasuk ibunya. Ia hanya sendiri mengatasi rasa sakitnya. Setelah gumpalan darah itu keluar dari rahimnya Winarsih tertunduk lemah hingga akhirnya pingsan seorang diri di kamar mandi. Hingga siuman tak seorang pun datang menolongnya (hlm. 54).

Dendam Winarsih berlanjut setelah menikah dengan Broto. Dendam dan kebencian Winarsih diwariskan pada anak perempuannya yang bernama Rumijah. Namun perbedaan pendapat yang dimiliki Winarsih dan Rumijah membuat hubungan mereka kurang harmonis. Apalagi Rumijah anaknya, menikahi seorang laki-laki Jepang. Karena ambisi dendamnya, Winarsih melakukan segala cara agar

dapat membunuh menantunya. Pada akhirnya, Winarsih berhasil membunuh menantunya, yaitu Hori Motokura, dengan ramuan racunnya, berikut kutipannya:

(21)Singkat cerita, Winarsih pun menjadi istri Broto, ia masih berjualan jamu meski hidupnya telah dikaruniai Rumijah...kebencian pada mata sipit itu terus ditularkan pada Rumijah (hlm. 58).

(22)Pertentangan dan pertengkaran sering terjadi. Hingga Winarsih enggan mewarisi semua ilmu yang dimilikinya....

(23)Sejak Winarsih tahu hubungan terlarang putrinya. Ia semakin berusaha menjejali Rumijah dengan dendamnya (hlm. 63).

(24)”Baiklah, kubiarkan Hori tetap hidup hingga anak itu lahir tapi setelah itu.... aku minta tanganmu sendiri yang harus membuat ramuan mematikan itu untuknya (hlm. 86).

(25)Dengan berat hati Rumijah memenuhi janjinya pada Winarsih (hlm. 99).

Sejak kematian Hori hubungan ibu dan anak itu memang tak pernah harmonis (hlm. 106).

Kutipan (21), (22), (23), (24), dan (25) adalah gambaran sifat keras dan ambisi Winarsih dalam membalaskan dendam ibunya. Ia tidak mempedulikan perasaan anaknya. Winarsih mampu melakukan segala cara untuk memenuhi janjinya membalas dendam terhadap laki-laki Jepang. Winarsih tidak mempedulikan pergantian masa. Ia berpikir, laki-laki Jepang-lah yang telah membuat ibunya menderita seumur hidupnya. Winarsih meyakini bahwa nalurinya tidak pernah salah. Ia berpikir laki-laki Jepang yang masuk dalam nalurinya mempunyai ikatan darah dari laki-laki Jepang yang memperkosa ibunya.

Ambisi membalas dendam tersebut, ia teruskan kepada Hana Motokura, cucunya. Winarsih mengajarkan cara membuat ramuan racun dan mengasah naluri cucunya agar bisa meneruskan dendam leluhurnya, berikut kutipannya:

(26)Dan atas rekomendasi sesat Winarsih, Hana dibujuknya memasuki Universitas International di mana terdapat banyak komunitas orang Jepang. Untuk tujuan apalagi kalau tidak mencari mangsa berdasarkan

naluri sesatnya. Dari hari ke hari Hana pun semakin mahir membuat ramuan beracun berikut penawarnya...Gadis itu hanya meyakini kebenaran kata-kata dan petuah Winarsih dibanding ibu kandungnya sendiri (hlm. 109).

Dendam dan ambisi yang diyakini Winarsih membuat dirinya berakhir dalam kematian. Winarsih meninggal dunia ketika mencari tumbuhan beracun di lereng jurang, berikut kutipannya:

(27)Tubuh Winarsih ditemukan dalam keadaan tak bernyawa lagi di bawah bukit dengan kepala retak dan mulut berdarah. Ia terjatuh tergelincir dari ketinggian 30 meter, ketika memaksa untuk memetik dedaunan liar untuk ramuan jamu beracunnya (hlm. 132).

Pada analisis penokohan tokoh Winarsih dapat digambarkan bahwa tokoh Winarsih adalah wanita cantik yang terkenal akan ramuan jamunya yang berkhasiat. Ia tumbuh menjadi wanita yang memiliki kebencian dan dendam terhadap laki-laki Jepang. Tokoh Winarsih digambarkan memiliki sifat ambisius, keras kepala, dan tega membunuh. Tokoh Winarsih dalam kehidupannya selalu dibayang-bayangi trauma yang dialami ibunya sebagai mantan jugun ianfu.

Dokumen terkait