• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRES PASCA-TRAUMA PADA LIMA TOKOH WANITA DALAM NOVEL LIMA KELOPAK MAWAR BERBISA KARYA RIA JUMRIATI (Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra) Skripsi Diajukan Untuk Menyusun Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "STRES PASCA-TRAUMA PADA LIMA TOKOH WANITA DALAM NOVEL LIMA KELOPAK MAWAR BERBISA KARYA RIA JUMRIATI (Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra) Skripsi Diajukan Untuk Menyusun Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indon"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Menyusun Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh:

Stefanus Agus Tri Nugroho 024114033

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i Skripsi

Diajukan Untuk Menyusun Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh:

Stefanus Agus Tri Nugroho 024114033

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

Hidup seperti air mengalir...

(NN)

Don't give up till it's over, don't quit if you can

The weight on your shoulder will make you a stronger man

(The Dubliner’s)

Tugas Akhir ini Dipersembahkan untuk: Kemuliaan Kerajaan Allah

Kedua Orangtua

(6)

v

segala dekapan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat akhir dalam menempuh ujian sarjana pada Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesaikannya tugas akhir ini, yaitu:

1. S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum. sebagai dosen pembimbing I, terima kasih atas segala bimbingan, masukan, dan perhatian yang diberikan pada penulis.

2. Drs. B. Rahmanto, M.Hum. sebagai dosen pembimbing II, terima kasih atas waktu luang yang diberikan pada penulis.

(7)

vi

5. Terima kasih untuk kakak-kakakku (Mbak Annie dan Mas Bowo) atas segala semangat dan sponsor selama ini.

6. Terima kasih buat teman-teman angkatan’02, Robet ”jeblux”, Ardi ”Chaos”, Bangun, Dominikus ” Domex”, Bayu ”Gembes”, Fany, dan Martha (thank’s sist..atas bantuannya).

7. Trima kasih juga buat Bobo (thank’s bro.. bantu terjemahkan abstrak), Parji, Hendry Suwoto, Galih (PBSID), Simpli ”Dion”, Anton, Si ”emak”, serta teman-teman warung ”punk”, dan Realino bootboys. 8. Spesial buat kekasihku, Ulfa Ruri yang telah memberikan dorongan

semangat serta doanya.

Penulis menyadari tugas akhir ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, segala saran dan kritik dari berbagai pihak akan penulis terima dengan senang hati. Penulis berharap tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, Juni 2010

(8)
(9)

Nama : Stefanus Agus Tri Nugroho Nomor Mahasiswa : 024114033

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

STRES PASCA-TRAUMA PADA LIMA TOKOH WANITA DALAM NOVEL LIMA KELOPAK MAWAR BERBISA

KARYA RIA JUMRIATI (Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra)

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Yogyakarta, 21 Juni 2010

Yang menyatakan

(10)

viii Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji gejala kejiwaan yang dinamakan stres pasca-trauma yang dialami oleh lima tokoh wanita, yaitu: Sagiyem, Marni, Winarsih, Rumijah, dan Hana Motokura dalam novel Lima Kelopak Mawar Berbisa karya Ria Jumriati. Penelitian ini mempunyai dua tujuan. Pertama, meneliti secara struktural, yaitu, mendeskripsikan tokoh dan penokohan. Kedua, mendeskripsikan kondisi psikologis lima tokoh wanita yang mengalami stres pasca-trauma, yaitu beberapa gejala stres pasca-trauma yang dialami tokoh Sagiyem, Marni, Winarsih, Rumijah, dan Hana Motokura.

Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sastra, karena penelitian ini mengangakat masalah psikologi, stres pasca-trauma yang dialami oleh lima tokoh wanita dengan memaparkan gejala-gejala stres pasca-trauma lima tokoh wanita tersebut. Metode yang digunakan adalah metode formal dan metode deskriptif analisis. Melalui metode formal penelitian diadakan untuk menganalisis unsur-unsur yang terkandung dalam karya. Kemudian metode deskriptif analisis dilakukan dengan mendeskripsikan fakta-fakta yang ada dalam novel LKMB. Langkah yang dilakukan penulis adalah pertama menganalisis novel LKMB secara struktural terhadap tokoh dan penokohan. Kedua, penelitian dilanjutkan dengan memaparkan gejala stres pasca-trauma yang dialami tokoh-tokoh seperti; Sagiyem, Marni, Winarsih, Rumijah, dan Hana Motokura.

Hasil dari analisis struktural novel LKMB berupa tokoh dan penokohan adalah untuk melihat lebih jauh kisah tentang tokoh-tokoh, yaitu Sagiyem, Marni, Winarsih, Rumijah, dan Hana Motokura dan juga dapat diketahui penyebab tokoh-tokoh tersebut mengalami stres pasca-trauma.

(11)

ix

ketertarikan atas aktivitas positif yang penting, merasa jauh atau seperti ada jarak dengan orang lain. Selain itu, seringkali orang dengan stres pasca-trauma mengalami kesulitan untuk merasakan perasaan-perasaan positif (kesenangan/ kebahagiaan atau cinta/kasih sayang), serta merasa seakan-akan hidup seperti terputus di tengah-tengah. Gejala-gejala ini menyebabkan orang yang menderita stres pasca-trauma tidak berharap untuk dapat kembali menjalani hidup dengan normal.

(3) Gejala Waspada (Hyperarousal Symptom). Gejala stres pasca-trauma pada orang-orang sangat berbeda-beda. Mereka mungkin sangat cemas, mudah gelisah, mudah tersinggung atau marah, dan mungkin mengalami sulit tidur seperti insomnia. Mereka akan terlihat terus-menerus waspada dan mengalami kesulitan konsentrasi. Sering orang dengan stres pasca-trauma akan selalu merasa seperti sedang diawasi atau seakan-akan bahaya mengincar di setiap sudut

(12)

x

Ria Jumriati, A Psychological Study. S-I Final Task. Yogyakarta: Indonesian Literature. Sanata Dharma University.

This study investigated the psychiatric symptoms are called Post-Traumatic Stress Disorder experienced by five female characters in Lima Kelopak Mawar Berbisa, a novel by Ria Jumriati; Sagiyem, Marni, Winarsih, Rumijah, and Hana Motokura. This study aims to first, examine the structural, i.e. describe the characters and characterizations, secondly, to describe the psychological state of these five female characters who have PTSD, especially the PTSD symptoms experienced by some figures; Sagiyem, Marni, Winarsih, Rumijah, and Hana Motokura.

This research using psychological approaches. The method used is descriptive method of formal methods and analysis. Through formal methods of research conducted to analyze the elements contained within the work. Then the descriptive method of analysis done by describing the facts that exist in the novel Lima Kelopak Mawar Berbisa. Steps taken are first analyzing the characters and characterizations. Second, research was continued by describing some PTSD symptoms experienced by such figures; Sagiyem, Marni, Winarsih, Rumijah, and Hana Motokura.

Results of structural analysis LKMB novel form of characters and characterizations are to see further stories about characters like; Sagiyem, Marni, Winarsih, Rumijah, and Hana Motokura and also can be known causes of these figures have PTSD.

Some symptoms of PTSD that looks at five LKMB’s female characters in the novel that is: (1) Re-experiencing symptoms as follows: In continuing to have thoughts or unpleasant memories about the traumatic event, nightmares that constantly repeats itself, acting or feel as if the traumatic event will be repeated again, have a strong sense of suffering when recalling the traumatic event, there was a physical response, like the heart skipped a beat or sweating.

(13)

xi

(14)

xii

HALAMAN JUDUL ………... i

HALAMAN PERSETUJUAN ………... ii

MOTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ………... xi

BAB I PENDAHULUAN ………. ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ………... 1

1.2 Rumusan Masalah Penelitian ………... ... 7

1.3 Tujuan Penelitian..………...…... 8

1.4 Manfaat Penelitian ……….…… 8

1.5 Tinjauan Pustaka... 8

1.6 Landasan Teori………... 10

1.6.1 Tokoh dan Penokohan………... 11

1.6.2 Psikologi Sastra... 12

1.6.2.1 Trauma... 13

(15)

xiii

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data... .... 22

1.7.4 Sumber Data... 22

1.8 Sistematika Penyajian ……… 23

BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM NOVEL LIMA KELOPAK MAWAR BERBISA KARYA RIA JUMRIATI 2.1 Pengantar……… 24

2.2 Sinopsis……….. 24

2.3 Tokoh dan Penokohan ……….. 28

2.3.1 Tokoh Utama:………. 30

2.3.1.1 Tokoh Winarsih………. 30

2.3.2 Tokoh Tambahan……… 39

2.3.2.1 Tokoh Marni…………...……….. 39

2.3.2.2 Tokoh Sagiyem………. 45

2.3.2.3 Tokoh Rumijah……….……… 49

2.3.2.4 Tokoh Hana Motokura………. 55

(16)

xiv

3.2 Gejala Menghidupkan Kembali (Re-experiencing

Symptom)………... 67

3.2.1 Tokoh Utama………. 68

3.2.1.1 Tokoh Winarsih ……… 68

3.2.2 Tokoh Tambahan………... 70

3.2.2.1 Tokoh Marni……...… 70

3.2.2.2 Tokoh Sagiyem……….. 72

3.2.2.3 Tokoh Rumijah……….. 73

3.2.2.4 Tokoh Hana Motokura……….. 74

3.3 Gejala Penghindaran (Avoidance Symptom)……… 75

3.3.1 Tokoh Utama………. 76

3.3.1.1 Tokoh Winarsih……….. 76

3.3.2 Tokoh Tambahan………. 79

3.3.2.1 Tokoh Marni……… 79

3.3.2.2 Tokoh Sagiyem……… 80

3.3.2.3 Tokoh Rumijah……… 83

3.3.2.4 Tokoh Hana Motokura……… 85

3.4 Gejala Waspada (Hyperarousal Symptom)………. 87

(17)

1 1.1Latar Belakang Masalah

Karya sastra yang kita baca dibangun oleh pengarangnya sebagai hasil rekaman berdasarkan perenungan, penafsiran, penghayatan hidup terhadap realitas sosial dan lingkungan kemasyarakatan tempat pengarang hidup dan berkembang (Sumardjo, 1984: 15). Novel sebagai karya sastra dibangun dari berbagai unsur fiksi seperti plot, karakter, tema, point of view dan sebagainya. Sebagai karya fiksi, novel banyak mengandung nilai-nilai sosial, politik, etika, religi, filosofis yang bertolak dari pengungkapan kembali suatu fenomena kehidupan (Sumardjo, 1984: 67).

Pengarang sebagai pencipta karya sastra juga merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri. Ketika ia menciptakan suatu karya, ia tidak hanya terdorong oleh luapan atau desakan dari dalam dirinya untuk mengungkapkan perasaan atau cita-citanya, tetapi juga berkeinginan untuk menyampaikan pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, pendapat, kesan-kesan, dan juga keprihatinan-keprihatinan atas suatu peristiwa yang terjadi kepada seseorang atau kelompok orang (Sardjono, 1992: 10).

(18)

Mensyukuri Apa Yang Ada (Moslem's Chicken Soup, 2010). Karyanya yang

berjudul Mata Sang Bidadari (kumpulan cerpen) pernah mendapat penghargaan dari Tabloid Indonesia, serta pernah meraih Juara I dalam Lomba Catatan Harian Ibu oleh Tabloid Ibu dan Anak (2004).

Salah satu novel yang menarik perhatian penulis adalah novel yang berjudul Lima Kelopak Mawar Berbisa (kemudian disingkat LKMB), karena dalam novel tersebut Ria Jumriati mengangkat masalah trauma yang berawal pada peristiwa traumatik yang dialami oleh seorang korban jugun ianfu, kemudian membawa dampak trauma pada anak dan keturunannya. Novel LKMB ditulis oleh Ria Jumriati, karena terinspirasi oleh penderitaan para wanita yang dijadikan jugun ianfu pada masa penjajahan Jepang. Jugun ianfu adalah istilah yang

digunakan untuk merujuk kepada wanita penghibur yang terlibat dalam perbudakan seks pada Perang Dunia II di koloni Jepang dan wilayah perang Jepang. Jugun ianfu merupakan wanita yang dipaksa untuk menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang yang ada di Indonesia dan juga di negara-negara jajahan Jepang lainnya pada kurun waktu tahun 1942-1945. Para wanita Indonesia biasanya direkrut menjadi jugun ianfu berdasarkan paksaan, diimingi-imingi ke luar negeri, atau akan dijadikan pemain sandiwara (seperti yang terjadi pada ikon perjuangan jugun ianfu asal Indonesia, Ibu Mardiyem) (http://id.wikipedia,org/wiki/jugunianfu).

(19)

seperti (1) kesehatan yang buruk akibat kekerasan fisik, psikologis, dan seksual yang mereka alami selama menjadi jugun ianfu; (2) trauma akibat perbudakan seks yang harus mereka jalani pada usia yang masih muda; (3) tertekan secara sosial karena dianggap sebagai bekas pelacur dan manusia yang kotor sebagai akibat dari terbatasnya informasi yang benar tentang sejarah jugun ianfu; (4) tertekan secara psikis karena adanya perasaan bersalah telah menjadi jugun ianfu dan; (5) sebagian besar jugun ianfu hidup dalam keadaan miskin karena ditolak bekerja di tengah-tengah masyarakat dengan alasan mereka merupakan bekas pelacur.

Dalam novel LKMB, dikisahkan secara dramatis yang berawal pada penderitaan yang dialami oleh Marni, sebagai korban jugun ianfu. Peristiwa yang dialami oleh Marni kemudian membawa dampak rasa trauma, kebencian, dan dendam yang dirasakan oleh keluarganya, yaitu Sagiyem, Winarsih, Rumijah, dan Hana Motokura. Trauma seorang jugun ianfu menciptakan rantai dendam tanpa akhir bagi keturunannya, meskipun generasi dan zaman telah berganti.

(20)

sering mendapat hinaan dan gunjingan dari masyarakat. Perlakuan buruk tersebut, membuat batin Marni semakin terluka dan keadaan kejiwaannya terganggu. Marni harus menanggung pederitaan sepanjang hidupnya. Trauma yang dialami Marni memengaruhi orang-orang terdekatnya, yaitu Sagiyem, Winarsih, Rumijah, dan Hana Motokura.

Sagiyem merupakan ibu dari Marni. Ia merawat luka-luka pada tubuh Marni sampai sembuh. Sagiyem sangat sedih melihat penderitaan Marni yang mengalami trauma parah. Keadaan tersebut sangat mempengaruhi psikologis Sagiyem. Dalam pikiran Sagiyem sering terbayang pemerkosaan yang dilakukan oleh tentara Jepang terhadap anaknya. Perasaannya bertambah terluka karena masyarakat memperlakukan Marni dengan tidak adil. Ia memiliki rasa dendam yang besar terhadap bangsanya sendiri atas penolakan dan penghinaan masyarakat terhadap keadaan anaknya. Ia pun menanamkan rasa dendam tersebut kepada Winarsih, cucunya.

(21)

kemaluannya mengeluarkan darah. Setiap hari, Winarsih menyaksikan penderitaan ibunya yang terkena gangguan jiwa, serta ikut merawat luka yang tersebar di seluruh tubuh ibunya. Meskipun pada waktu itu usianya masih kecil, peristiwa yang menimpa orangtuanya tetap tersimpan di ingatan Winarsih sampai dewasa.

Winarsih, sebagai seorang anak kecil, ia mengalami trauma yang mendalam terhadap penderitaan ibunya. Kesedihan yang terus-menerus ia alami dan luka batin yang besar pada diri Winarsih memicu keinginannya untuk membalas dendam terhadap orang-orang yang membuat ibunya menderita. Wanita tersebut kemudian membangun naluri membunuh, dengan menjadikan orang-orang Jepang sebagai sasaran dendamnya.

(22)

Semenjak kematian Hori, hubungan antara ibu dan anak itu tidak pernah lagi harmonis.

Hana Motokura adalah anak dari pasangan Rumijah dan Hori Motokura, yang merupakan cucu dari Winarsih. Sejak bayi, Hana diasuh oleh Winarsih sehingga Hana lebih dekat dengan neneknya daripada ibunya. Hana sangat terpengaruh oleh pemikiran Winarsih tentang kebencian terhadap orang Jepang. Winarsih selalu menceritakan pemerkosaan yang dialami Marni (nenek buyut) kepada Hana, sampai psikologis Hana menjadi terganggu. Dalam pikiran Hana tersimpan gambaran buruk akan kekejaman orang Jepang terhadap leluhurnya. Pengalaman traumatis yang diceitakan kepadanya memicu keinginannya akan membalas dendam. Ia juga diajar membuat ramuan jamu, racun, dan penawar racun. Secara diam-diam Hana mengasah naluri membunuhnya dan mencari korban orang Jepang. Selain Rumijah, tidak ada seorang pun yang mengetahui rencana Hana tersebut. Namun, sebagai seorang ibu, Rumijah bertekad tidak akan membiarkan Hana mewarisi dendam sesat neneknya.

(23)

kalangan teman atau kerabat dari orang yang mengalami trauma (Smith dan Segal via internet, 2008).

Berdasarkan dari uraian di atas, penulis tertarik meneliti novel LKMB dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra. Pendekatan psikologi sastra adalah pendekatan penelaahan sastra yang menekankan pada segi-segi psikologis yang terdapat dalam suatu karya sastra (Semi, 1984: 46). Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti mengenai stres pasca-trauma yang terdapat pada lima tokoh wanita dalam novel LKMB, yaitu Sagiyem, Marni, Winarsih, Rumijah, dan Hana Motokura.

Dipilihnya novel LKMB karya Ria Jumriati sebagai objek penelitian karena berdasarkan pengamatan penulis, belum ada peneliti yang menganalisis novel ini secara khusus dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra. Penelitian novel tersebut akan difokuskan kepada sisi psikologis lima tokoh wanita yang mengalami stres pasca-trauma yang disebabkan oleh peristiwa traumatik yang dialami Marni akibat penjajahan Jepang.

1.2Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimana tokoh dan penokohan dalam novel Lima Kelopak Mawar Berbisa karya Ria Jumriati?

(24)

1.3Tujuan Penelitian

1.3.1 Mendeskripsikan tokoh dan penokohan dalam novel Lima Kelopak Mawar Berbisa karya Ria Jumriati.

1.3.2 Medeskripsikan stres pasca-trauma pada lima tokoh wanita dalam novel Lima Kelopak Mawar Berbisa karya Ria Jumriati.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat atau sumbangan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.4.1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam perkembangan dalam kritik sastra dan ilmu sastra, khususnya telaah sastra dengan pendekatan psikologi sastra.

1.4.2 Menambah pengetahuan pembaca khususnya mengenai karya sastra tentang stres pasca trauma yang dialami oleh lima tokoh wanita dalam novel LKMB karya Ria Jumriati.

1.5Tinjauan Pustaka

(25)

Tidak ada kesan terburu-buru dari penulisnya dalam mengeksekusi akhir kisah. Sang penulis tetap menjaga alurnya dengan bahasa yang singkat dan lugas. Itulah yang membuat novel tipis ini menarik untuk dibaca (Damuhbening via internet, 2009).

Sebelumnya, pernah ada penelitian tentang stres pasca-trauma yang ditulis oleh Ruby (2006) dengan skripsinya yang berjudul: Post-Traumatic Stress Disorder Akibat Kekerasan Fisik dan Emosional pada Tokoh Gambir dalam

Novel Pintu Terlarang Karya Sekar Ayu Asmara pada Tahun 2006. Dalam

skripsinya, Ruby memfokuskan penelitiannya pada psikologis tokoh laki-laki, yaitu Gambir akibat kekerasan fisik dan emosional dengan pengetahuan Post-Traumatic Stress Disorder, yaitu gangguan stres pasca-trauma. Dalam penelitian

tersebut dibahas tentang gejala-gejala stres pasca-trauma yang dialami tokoh Gambir akibat kekerasan fisik dan emosional. Terdapat 8 gejala stres pasca-trauma pada psikologis Gambir. Hal ini dipengaruhi oleh peristiwa pasca-traumatik yang dialaminya sejak kecil sampai dewasa. Teori stres pasca-trauma yang digunakan dalam penelitian tersebut menurut Carlson dan Ruzek.

Berbeda dengan Ruby, penelitian ini akan mengungkapkan stres pasca-trauma yang dapat diakibatkan karena menyaksikan suatu peristiwa pasca-traumatik dan membantu dalam peristiwa traumatik tersebut. Hal ini dapat terjadi di kalangan teman atau kerabat dari orang yang mengalami trauma.

(26)

psikologis lima tokoh wanita. Teori stres pasca-trauma yang digunakan dalam penelitian tersebut menurut Smith dan Segal.

Berdasarkan teori yang sama, novel yang berbeda, dan obyek penelitian yang berbeda (tokoh dalam novel LKMB), penulis tertarik untuk menelah lebih lanjut psikologis lima tokoh wanita, yaitu Marni, Sagiyem, Winarsih, Rumijah, dan Hana Motokura dengan pengetahuan stres pasca-trauma.

Teori tentang trauma dipakai untuk menjembatani teori tentang stres pasca-trauma.

1.6Landasan Teori

(27)

1.6.1 Tokoh dan Penokohan

Tokoh menurut Abrams adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan ( Nurgiyantoro, 1998: 165).

Dilihat dari segi peranan tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga mendominasi sebagian besar cerita. Sebaliknya ada tokoh yang hanya muncul sekali atau beberapa kali dalam cerita. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama, sedangkan yang kedua adalah tokoh tambahan (Nurgiyantoro, 1998: 176).

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan. Pada novel-novel lain, tokoh utama tidak muncul dalam setiap kejadian atau tak langsung ditunjukkan dalam setiap bab, namun ternyata dalam kejadian atau bab tersebut tetap erat berkaitan atau dapat dikaitkan dengan tokoh utama (Nurgiyantoro, 1998: 177).

(28)

Pengertian tersebut sekaligus menyaran pada teknik perwujudan tokoh dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1998: 165).

1.6.2 Psikologi Sastra

Psikologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari sudut psikologi. Perhatian dapat diarahkan kepada pengarang dan pembaca (psikologi komunikasi sastra) atau kepada teks itu sendiri (Hartoko dan Rahmanto, 1985: 126). Pendekatan psikologis terhadap teks itu sendiri dapat dilangsungkan secara deskriptif belaka, namun sering mendekati suatu penafsiran. Pengetahuan tentang psikologi mendorong kita untuk menyadari bahwa sebuah karya sastra sekurang-kurangnya mempunyai dua jenis makna, yaitu jelas dan terselubung. Sesuatu watak tidak harus dinilai dari keadaan lahir saja, tetapi harus dipertimbangkan apa yang dilakukan dan apa yang dikatakannya (Semi, 1984: 48-49).

Sastra dapat memanfaatkan psikologi karena karya sastra merupakan aktivitas ekspresi manusia. Tokoh-tokoh dalam karya sastra adalah manusia-manusia yang terdiri dari unsur fisik dan mental (jiwa). Oleh karena itu, unsur psikologi sangat berperan dalam penokohan (Atmadja, 1986: 63).

(29)

psikologi. Andaikata ternyata tingkah laku tokoh-tokoh tersebut sesuai dengan apa yang diketahuinya tentang jiwa manusia, maka dia telah berhasil menggunakan teori-teori psikologi modern untuk menjelaskan dan menafsirkan karya sastra (Hardjana, 1981: 65-66).

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pengetahuan teori psikologi stres pasca-trauma untuk meneliti novel LKMB. Teori tentang trauma dipakai untuk menjembatani teori tentang stres pasca-trauma.

1.6.2.1Trauma

Trauma didefinisikan sebagai keadaan yang dialami seseorang di luar jangkauan manusia biasa dan dapat menyebabkan distres pada hampir setiap orang. Gejala stres sering ditunjukkan ketika trauma terjadi secara mendadak dan tidak diharapkan, seperti ancaman bagi hidup seseorang atau hidup orang lain yang dekat dengannya, kerusakan tiba-tiba terhadap rumah atau komunitasnya, menjadi korban kejahatan kekerasan, dan melihat orang lain terluka atau terbunuh (Wilson, 1996: 152).

Menurut Eth & Pynoos (via Arthayani, 2005: 10), trauma psikis terjadi ketika seseorang dihadapkan pada peristiwa yang menekan sehingga menyebabkan rasa tidak berdaya dalam mengatasi kecemasan atau ketakutan akibat bahaya yang dirasa mengancam.

(30)

oleh peristiwa mendadak, tidak terduga, dan menyebabkan kesedihan mendalam. Individu yang merasa traumatik dapat mengubah perilaku, sikap, pikiran maupun arah kehidupan yang bersifat ekstrim, yaitu negatif atau positif (Dariyo via Arthayani, 2005:11). Apabila peristiwa traumatik tersebut mengarah pada perubahan yang bersifat positif, maka seluruh sikap, pemikiran (pandangan) atau tindakan seseorang akan menjadi lebih baik dan konstruktif. Sebaliknya, peristiwa traumatik yang mengarah pada perubahan negatif akan membuat pola pikir, sikap, maupun tindakan seseorang cenderung mengarah pada kemunduran (regresif). Dengan demikian, hal ini akan merugikan diri sendiri maupun orang lain (Dariyo via Arthayani, 2005: 11).

Orang yang sering mengalami kejadian trauma memperlihatkan berbagai gejala dan masalah sesudahnya. Berapa seriusnya gejala-gejala yang ada tergantung dari banyaknya pengalaman-pengalaman yang dialami orang tersebut sebelumnya, kemampuan naluriah seseorang untuk mengatasi trauma yang pernah dialaminya, dan pertolongan juga dukungan yang diperoleh dari keluarga, teman-teman, juga para ahli (Carlson dan Ruzek via internet, 2008).

(31)

rasa ingin melarikan diri dari kejadian yang pernah dialami, mudah marah, dan ingin menyerang atau melukai orang lain. Mereka sulit untuk tidur dan berkosentrasi karena diri mereka selalu merasa cemas dan tidak tenang. Penderita biasanya tidak dapat mengontrol gejala-gejala tersebut maupun menghentikannya (Carlson dan Ruzek via internet, 2008).

1.6.2.2 Stres Pasca Trauma

Menurut Pearson via Arthayani (2003: 11), hampir setiap orang yang mengalami pengalaman traumatik, seperti kecelakaan, perang, dan bencana alam, mengalami pula berbagai gangguan untuk sementara waktu, seperti gangguan tidur, sifat lekas marah, ‘mengalami kembali’ peristiwa traumatik, mimpi buruk, dan usaha-usaha untuk menghindari ingatan tentang peristiwa traumatik. Untuk beberapa orang, gejala-gejala tersebut dapat berlangsung lama dan mengakibatkan gangguan stres yang berkepanjangan dan dapat mengakibatkan terganggunya berbagai fungsi fisik, psikologis, dan sosial. Ketika hal ini terjadi, mungkin saja individu tersebut mengembangkan stres pasca-trauma. Gejala stres pasca-trauma dapat dialami oleh semua orang pada semua tingkat usia, di mana seseorang terbuka terhadap peristiwa traumatik yang di dalamnya terdapat peristiwa yang mengancam kematian atau menyebabkan luka yang serius pada dirinya atau orang lain yang dekat dengan dirinya.

(32)

kepanikan. Gangguan ini tidak secara mudah dapat disederhanakan berkaitan dengan gejalanya. Stres pasca-trauma sendiri adalah salah satu kategori diagnostik dari gangguan kecemasan yang diakui oleh American Psychriatic Association (APA).

Munculnya stres pasca-trauma ditandai dengan “terulangnya” pengalaman atau peristiwa yang bersifat traumatik sehingga individu menjadi terpisah dengan realitas, pikiran, merasa, dan bertindak seolah-olah kejadian traumatik terulang kembali. Keadaan tersebut diikuti dengan munculnya gejala tertentu dan pengelakan atau penolakan terhadap gejala-gejala yang berkaitan atau mengingatkan pada trauma (Scott via Arthayani, 2005: 12).

Menurut Baldwin (via internet, 2002) tidak semua orang mengalami peristiwa traumatik dapat menderita stres pasca-trauma, namun unsur ketidakberdayaanlah yang membuat suatu peristiwa secara subjektif bersifat melumpuhkan. Goleman (1999: 285) mencontohkan sebagai berikut; “Ketika seseorang diserang oleh sebilah pisau tahu cara bagaimana membela diri dan bagaimana bertindak, sementara orang dalam nasib yang sama berpikir “mati aku”, maka orang yang tidak berdaya itulah yang mudah terkena. stres pasca-trauma” Dari pernyataan tersebut dinyatakan bahwa ketidakberdayaan seseorang dalam menghadapi trauma psikis merupakan kunci terbentuknya stres pasca-trauma.

(33)

menimbulkan trauma. Kendati tidak ada peristiwa traumatik yang besar atau ekstrim, munculnya gejala tersebut dapat disebabkan oleh stres yang terus-menerus berlangsung dan tanpa henti (Scott via Arthayani, 2005: 13).

Beberapa pengalaman spesifik yang dapat menyebabkan stress pasca-trauma yaitu perang, pengungsian, bencana alam, bencana karena ulah manusia, kecelakaan mobil, kecelakaan pesawat terbang, pemerkosaan, pelecehan seksual pada anak, dan perusakan fisik. Semakin mendalam peristiwa traumatik, semakin buruk gejala-gejala stres pasca-trauma-nya (Wilson, 1996: 151).

Ada banyak kejadian traumatis yang dapat membuat seseorang trauma, sehingga apabila dia mengalami suatu hal kejadian yang dapat berhubungan dengan kejadian trauma yang dialaminya, dia akan kembali teringat akan kejadian traumatis yang lalu. Dia merasa bahwa dia berada di dalam bahaya lagi.

Smith dan Segal (via internet, 2008) mengategorikan gejala-gejala stres pasca-trauma sebagai berikut:

1. Gejala Menghidupkan Kembali (Re-experiencing Symptom)

(34)

ketika teringat kembali peristiwa traumatik tersebut. Gejala-gejala tersebut menyebabkan seseorang kehilangan ”saat sekarang”, seolah-olah orang ini mengalami kembali peristiwa traumatik yang dulu pernah dirasakannya (Smith dan Segal via internet, 2008).

2. Gejala Penghindaran (Avoidance Symptom)

Seseorang yang mengalami stres pasca-trauma berusaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan yang berhubungan dengan peristiwa traumatik tersebut. Mereka mungkin akan menghindari orang-orang, tempat, benda-benda yang mengingatkan peristiwa traumatik tersebut. Orang ini secara perlahan-lahan akan kehilangan ketertarikan atas aktivitas positif yang penting, merasa jauh atau seperti ada jarak dengan orang lain. Selain itu, seringkali orang dengan stres pasca-trauma mengalami kesulitan untuk merasakan perasaan-perasaan positif (kesenangan/ kebahagiaan atau cinta/kasih sayang), serta merasa seakan-akan hidup seperti terputus di tengah-tengah. Gejala-gejala ini menyebabkan orang yang menderita stres pasca-trauma tidak berharap untuk dapat kembali menjalani hidup dengan normal (Smith dan Segal via internet, 2008).

3. Gejala Waspada (Hyperarousal Symptom)

(35)

pasca-trauma akan selalu merasa seperti sedang diawasi atau seakan-akan bahaya mengincar di setiap sudut (Smith dan Segal via internet, 2008).

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan beberapa pengetahuan tentang stres pasca-trauma, yaitu tentang gejala-gejala psikologis yang ada dalam diri seseorang bila menderita stres pasca-trauma. Dari beberapa gejala psikologis tersebut akan diteliti lima tokoh wanita dalam novel LKMB.

1.7Metode Penelitian

Pada bagian ini akan dikemukakan mengenai pendekatan dan metode.

1.7.1 Pendekatan

Psikologi pada dasarnya mempelajari proses-proses kejiwaaan yang dapat diikutsertakan pada studi sastra. Dalam aliran psikologis, seseorang akan mengungkapkan suatu kisah berdasarkan gerak-gerik jiwa tokohnya (Tjahyono, 1988: 230).

(36)

Menurut Ratna (2004: 334) ada dua cara untuk memulai penelitian karya sastra melalui pendekatan psikologis. Pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi, kemudian diadakan analisis terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan analisis. Penulis memilih dengan cara kedua, yaitu menentukan suatu karya sastra sebagai objek yang akan diteliti, kemudian akan menentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan analisis.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan dari sudut psikologis dengan menggunakan teori stres pasca-trauma. Dipilihnya teori tersebut karena sesuai dengan permasalahan yang ada dalam objek penelitian. Teori tersebut mengemukakan tentang gangguan stres pasca-trauma akibat dari kejadian-kejadian traumatis yang dialami lima tokoh wanita dalam LKMB.

Melalui pendekatan dari sudut psikologis, penulis dapat menganalisis sisi psikologis lima tokoh wanita melalui dialog dan perilakunya dengan menggunakan sumbangan pemikiran psikologi.

1.7.2 Metode

(37)

Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-aspek formal, aspek-aspek bentuk, yaitu unsur-unsur karya sastra. Tugas utama metode formal adalah menganilisis unsur-unsur sesuai dengan peralatan yang terkandung dalam karya (Ratna, 2004: 51).

Secara etimologis deskripsi dan analisis berarti menguraikan. Analisis berasal dari bahasa Yunani, analyein (‘ana’: atas, ‘lyein’: lepas, urai), tidak semata-mata menguraikan melainkan juga memberi pemahaman dan penjelasan secukupnya. Metode deskriptif analisis adalah metode yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Metode analisis yang dilakukan, yaitu menganalisis unsur ekstrinsik dan instrinsik (Ratna, 2004: 53).

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Unsur instrinsik adalah unsur-unsur yang secara keseluruhan membangun struktur karya sastra (Nurgiyantoro, 1998: 23).

(38)

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data untuk menemukan dan menjawab atau mencari permasalahan yang tersimpan dalam novel LKMB, penulis menggunakan jenis riset pustaka. Artinya, dengan berbagai macam buku acuan, wacana lepas, ataupun bentuk pustaka lainnya yang berkaitan dengan permasalahan di atas jawaban permasalahan ditemukan.

Dalam teknik ini juga digunakan teknik simak dan teknik catat. Teknik simak digunakan untuk menyimak teks sastra yang telah dipilih sebagai bahan penelitian. Teknik catat digunakan untuk mencatat hal-hal yang dianggap sesuai dan mendukung dalam memecahkan rumusan masalah. Teknik catat merupakan tindak lanjut dari teknik simak (Sudaryanto, 1993: 133-135).

1.7.4 Sumber Data

Dalam penelitian ini, sumber data yang dipilih sebagai objek penelitian adalah novel Lima Kelopak Mawar Berbisa, karya Ria Jumriati dan sumber data lainnya diambil dari internet dan buku.

Judul : Lima Kelopak Mawar Berbisa

Penulis : Ria Jumriati

Penerbit : Sheila, sebuah imprint dari CV. Andi Offset

Tahun Terbit : 2007

(39)

Cetakan : Pertama

1.8 Sistematika Penyajian

(40)

24 2.1 Pengantar

Dalam menganalisis novel LKMB, penulis menganalisis tokoh dan penokohan. Tujuan dari analisis tokoh dan penokohan ini, untuk menggambarkan secara jelas tentang siapa saja tokoh-tokoh yang ada dalam cerita dan bagaimana perwatakannya. Sebelum menganalisis tokoh dan penokohan, penulis perlu mengemukakan sinopsis novel LKMB. Tujuannya adalah agar diperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai hubungan silsilah lima tokoh wanita dalam novel LKMB, yaitu Sagiyem, Marni, Winarsih, Rumijah, dan Hana Motokura; serta mampu menggambarkan rantai dendam yang tertanam pada lima tokoh wanita tersebut.

2.2 Sinopsis

(41)

Trenggono, yang sampai pada akhir kisah tidak terpetakan kabarnya, ditangkap untuk dijadikan pekerja romusha. Dalam penceritaan, Marni menderita gangguan kejiwaan yang disebabkan oleh pemerkosaan dan kekerasan fisik, maupun psikis dari tentara Jepang. Penderitaannya belum juga berakhir, meskipun perang telah selesai. Ia menerima perlakuan tidak adil dari bangsanya sendiri. Masyarakat tidak menerima keberadaan Marni di lingkungan mereka. Mereka menganggap Marni sebagai bekas pelacur dan manusia ‘kotor’, karena perlakuan buruk tersebut, keadaan kejiwaannya semakin terganggu. Marni harus menanggung pederitaan sepanjang hidupnya. Trauma yang dialami Marni memengaruhi orang-orang terdekatnya, yaitu Sagiyem, Winarsih, Rumijah, dan Hana Motokura.

Sagiyem merupakan ibu dari Marni. Ia memliki profesi sebagai seorang penjual jamu tradisional di desanya. Sagiyem memiliki rasa benci yang mendalam terhadap orang Jepang, karena perbuatan telah memperkosa Marni sampai menderita seumur hidup. Rasa benci itu ia tujukan juga kepada bangsanya sendiri atas penolakan dan penghinaan masyarakat terhadap keadaan anaknya. Ia pun menanamkan rasa benci dan dendam tersebut kepada Winarsih, cucunya.

(42)

yang tersebar di seluruh tubuh ibunya. Meskipun pada waktu itu usianya masih kecil, peristiwa yang menimpa orangtuanya tetap tersimpan di ingatan Winarsih sampai dewasa.

Sejak kecil, Winarsih diajar cara membuat ramuan jamu dan racun sekaligus penawarnya oleh sang nenek. Ia juga memiliki rasa benci dan dendam yang sama seperti neneknya. Ia memiliki rasa benci yang besar terhadap orang Jepang karena telah memperkosa ibunya. Selain itu, Winarsih juga membenci bangsanya sendiri; semua orang di desanya dan teman-temannya yang selalu menghina keadaan ibunya. Luka batin yang besar pada diri Winarsih memicu keinginannya untuk membalas dendam terhadap orang-orang yang membuat ibunya menderita. Wanita tersebut kemudian membangun naluri membunuh, dengan menjadikan orang-orang Jepang sebagai sasaran dendamnya.

Winarsih kemudian meneruskan profesi Sagiyem sebagai penjual jamu. Ia menikah dengan Broto, seorang karyawan pabrik. Mereka dikaruniai anak perempuan bernama Rumijah. Setelah melahirkan Rumijah, Winarsih berhenti membunuh orang Jepang. Namun, kebenciannya terhadap orang Jepang tetap ia teruskan kepada Rumijah.

(43)

hanya mencintai Hori Motokura. Hubungan antara Rumijah dengan Hori ditentang keras oleh Winarsih. Winarsih sangat membenci Hori karena ia adalah orang Jepang. Bagi Winarsih, di dalam diri Hori mengalir darah penjajah yang harus dibunuh. Karena itu, hubungan antara Winarsih dan Rumijah menjadi tidak harmonis. Kebencian Winarsih semakin memuncak ketika Rumijah memutuskan akan menikah dengan Hori Motokura. Winarsih tidak lagi memperdulikan perasaan anaknya. Ia menginginkan agar Rumijah segera membunuh Hori. Keinginan ibunya tersebut sangat melukai perasaan Rumijah. Rumijah mengalami konflik batin yang membuatnya hampir gila. Ibunya terus-menerus memaksa supaya Rumijah mau membunuh suaminya sendiri. Namun, Rumijah tidak tega melakukannya, karena rasa cintanya yang besar terhadap Hori. Ketidakpatuhan Rumijah tersebut membuat marah Winarsih. Pertengkaran dan pertentangan sering terjadi di keluarganya. Setiap hari Rumijah mendapat perlakuan kasar dari ibunya. Selain itu, Winarsih tega merebut bayi Rumijah yang merupakan anak Hori Motokura. Pada akhirnya, Winarsih membunuh Hori dengan racun. Semenjak kematian Hori, hubungan antara ibu dan anak itu tidak pernah lagi harmonis.

(44)

Secara diam-diam Hana mengasah naluri membunuhnya dan mencari korban orang Jepang. Selain Rumijah, tidak ada seorang pun yang mengetahui rencana Hana tersebut. Namun, sebagai seorang ibu, Rumijah bertekad tidak akan membiarkan Hana mewarisi dendam sesat neneknya.

2.3 Tokoh dan Penokohan

Tokoh menurut Abrams adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Nurgiyantoro, 1998: 165).

Dilihat dari segi peranan tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga mendominasi sebagian besar cerita, sebaliknya ada tokoh yang hanya muncul sekali atau beberapa kali dalam cerita. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama sedang yang kedua adalah tokoh tambahan (Nurgiyantoro, 1998: 176).

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan.

(45)

tokoh dan penciptaan seorang tokoh berdasarkan penggambaran ciri-ciri lahir, sifat, dan sikap batin tokoh dalam cerita.

Dalam analisis tokoh dan penokohan, penulis menganalisis lima tokoh wanita, yaitu Sagiyem, Marni, Winarsih, Rumijah, dan Hana Motokura. Penulis akan menjelaskan silsilah hubungan lima tokoh wanita dalam novel LKMB. Adapun silsilah kelima tokoh dalam novel LKMB tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sagiyem X Suryo

2. Marni X Trenggono

3. Winarsih X Broto

4. Rumijah X Hori Motokura

5. Hana Motokura

(46)

pasca-trauma. Selain itu, tokoh-tokoh laki-laki seperti Yoshida, Broto, dan Hori Motokura akan disinggung ketika membahas lima tokoh wanita tersebut.

2.3.1 Tokoh Utama

2.3.1.1 Tokoh Winarsih

Tokoh Utama yang akan dibahas tokoh dan penokohannya adalah Winarsih. Pemilihan tokoh ini berdasarkan intensitas keterlibatan tokoh tersebut dalam peristiwa-peristiwa yang digambarkan di dalam novel. Selain itu, Winarsih merupakan tokoh yang paling dominan kemunculannya dalam cerita tersebut. Dapat dikatakan bahwa frekuensi keterlibatan Winarsih dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita sebagai tokoh sentral lebih banyak dibandingkan dengan tokoh lainnya.

Hal ini terlihat melalui isi cerita yang lebih dominan mengisahkan perjalanan hidup tokoh Winarsih yang memiliki beragam persoalan hidup dan rasa dendam terhadap orang Jepang. Dalam novel LKMB tokoh Winarsih diceritakan mempunyai pengalaman buruk pada masa kecilnya yang sangat memengaruhi perkembangan jiwanya. Winarsih memiliki rasa benci dan dendam yang mendalam terhadap orang Jepang karena mereka telah memperkosa ibunya (Marni). Ingatan akan pengalaman buruk ibunya memicu keinginan untuk membunuh yang luar biasa di dalam diri Winarsih.

(47)

(1) Tahun 1942 ketika tentara Jepang mendaratkan tapak angkara murkanya di bumi pertiwi, saat itu Marni adalah kembang desa yang beberapa tahun lalu disunting oleh Trenggono, salah satu pemuda tampan di desanya. Hidup Marni nyaris sempurna ketika ia dianugerahi Winarsih yang telah berumur 5 tahun (hlm. 1-2).

Pada usia lima tahun, Winarsih menyaksikan orangtuanya diculik paksa oleh tentara Jepang. Setelah peristiwa itu, Winarsih tidak pernah mendapat kabar tentang kedua orangtuanya lagi, berikut kutipannya:

(2) Kehidupan harmonis itu tak lama ia rasakan, ketika kemudian ia diculik paksa di hadapan suami dan anaknya ke dalam mobil tentara yang membawanya entah ke mana. Meski Winarsih masih berusia balita, kejadian memilukan itu masih terpahat di memorinya hingga seumur hidup. Ayahnya sendiri yang berhasil menyelamatkan dirinya hingga ke tangan nenek dan kakeknya, tak lama berselang juga dijemput paksa untuk dijadikan pekerja romusha. Bertahun-tahun Winarsih tak mendengar kabar dari kedua orangtuanya. Apakah masih hidup atau mati (hlm. 1-2).

Kutipan (2) menunjukkan bahwa Winarsih menyaksikan orangtuanya diculik oleh tentara Jepang pada usia yang masih kecil. Winarsih tidak mengalami masa bahagia bersama ayah dan ibunya. Peristiwa penculikan orangtuanya masih tersimpan diingatan Winarsih.

Winarsih tidak pernah mendapat kabar tentang keberadaan orangtuanya. Setelah tiga tahun berpisah dengan orangtuanya, Winarsih menyaksikan ibunya ditemukan oleh warga desa dengan keadaan yang menyedihkan dan tidak berdaya, berikut kutipannya:

(48)

terdengar. Hampir seluruh tubuh Marni dipenuhi luka tak wajar. Darah dan nanah berbau busuk terus saja mengalir dari liang kemaluannya. Marni memang masih hidup, tapi sorot matanya hampa dan mati. Winarsih menyaksikan itu...bahkan ikut merawat luka yang tersebar diseluruh tubuh orang yang pernah melahirkannya (hlm. 3).

Winarsih mendengarkan percakapan neneknya (Sagiyem) dengan salah seorang temannya yang anaknya juga bernasib sama dengan ibunya. Ia menjadi tahu peristiwa yang terjadi pada ibunya, berikut kutipannya:

(4) Katanya, di rumah bordir militer tentara Jepang itu ada tiga kamar. Kamar pertama isinya perempuan-perempuan yang masih segar dan baru beberapa kali melayani laki-laki. Lalu kamar kedua dihuni dengan perempuan yang sudah sering ‘dipakai’, tapi belum berpenyakitan. Dan ini yang lebih seram...kamar ketiga, isinya perempuan-perempuan sakit jiwa, hamil, kemaluan membusuk, dan sejumlah penyakit kelamin lainnya.”

“Hah? Lalu yang hamil itu kalau sampai beranak bagaimana?

“Ya namanya saja tentara Jepang itu setan, Yem. Tentu saja sebelum melahirkan sudah diracun sampai mati. Dan yang sakit jiwa dan memiliki penyakit kelamin yang sudah membusuk..ya, dibuang karena tidak bisa “dipakai” lagi seperti anakku Marsih!”(hlm. 5).

(5) Air mata Winarsih terus menetes, dadanya terasa begitu sesak membayangkan ibunya diperlakukan begitu hina oleh tentara Jepang itu. Lalu menculik Ayahnya yang sampai kini tak juga ada kabar beritanya. Gadis kecil itu terus menangis. Ada dendam tertoreh begitu dalam di hatinya (hlm. 6).

(49)

Winarsih tumbuh menjadi wanita yang memendam rasa dendam terhadap orang Jepang, berikut kutipannya:

(6) “Sejak menyadari betapa menderitanya Mbah Marni, aku memang memutuskan hidupku hanya untuk sebuah pelampiasan dendam!” (hlm. 105)

(7) “Ibu senang kan mendengar ceritaku? Ibu puas kan? Aku sudah membunuh orang-orang Jepang itu?” Tanya Winarsih saat ceritanya hanya ditanggapi Marni dengan anggukan pelan dan wajah lurus tanpa ekspresi. Kadang sisi putihnya sebagai manusia merasa menyesali tindakan itu. Berbenturan dengan nalurinya. Tapi Winarsih terlanjur memiliki janji dengan alam gelap bawah sadarnya. Ia harus mempersembahkan sebanyak mungkin nyawa ornag-orang Jepang untuk Ibunya dan untuk dendamnya sendiri (hlm. 46).

Kutipan (6) dan (7) merupakan bukti rasa dendam dalam diri Winarsih sangat besar. Sepanjang hidup Winarsih dipergunakan untuk membalas dendam terhadap orang Jepang.

Winarsih memiliki sifat benci terhadap orang Jepang dan orang-orang yang membuat ibunya menderita sepanjang hidupnya.

(8) Sementara Winarsih semakin menyesali tindakannya. Dan tentunya semakin membenci orang-orang yang telah tega memvonis ibunya sedemikian kejam (hlm. 24).

(9) Rumi berusaha menghimpun kekuatan untuk bercerita pada Hori, tapi sekali lagi ia tak bisa. “Ibuku...Ibuku benci orang Jepang,” akhirnya hanya kalimat itulah yang meluncur.

“Kenapa? Apa alasannya ia benci dengan orang Jepang.”

“Pokoknya, ia benci dengan mereka. Termasuk....denganmu!” Ujarnya dengan tangis menjadi (hlm. 66).

Winarsih adalah seorang wanita yang memiliki masa kecil tidak menyenangkan. Pada masa kecilnya, Winarsih selalu dimusuhi oleh teman-temannya dan tidak ada yang mau berteman dengan dirinya. Ia selalu menjadi bahan ejekan, dikucilkan, dan dianggap sebagai anak pelacur, berikut kutipannya:

(50)

kedatangan ibunya, Winarsih mendadak dimusuhi teman-temannya. Mereka tak lagi mau bergaul dengan Winarsih.

”Eh, anak’e kutis lewat!” seru Karsih ketika langkah Winarsih semakin dekat. Ia berusaha menahan emosinya. Batinnya tak rela dijuluki sebagai anak pelacur. Siapa yang mau diculik tentara Jepang? Siapa yang mau diperlakukan sebegitu keji oleh bajingan-bajingan itu? Tapi mengapa mereka tak bisa mengerti penderitaan lahir batin yang tengah dirasakan ibunya? Tak puas dengan itu. Mereka malah mengejek Winarsih sebagai anak pelacur!

”Jangan dekat-dekat nanti ketularan masuk neraka!” Ujar salah satunya. Serta merta kelompok anak-anak itu pun melangkah mundur. Tapi ada saja yang usil dan melempar Winarsih dengan batu kerikil, ia pun menghindar dan berlari. Tapi mereka malah terus mengejar sambil melemparinya dengan batu kerikil dan ejekan yang membuat hati Winarsih semakin pedih (hlm. 9).

Kutipan (10) membuktikan bahwa Winarsih tidak memiliki teman bermain. Anak-anak dikampungnya sering mengejek Winarsih sebagai anak pelacur. Ejekan itu membuat hati Winarsih semakin sedih.

Setiap hari, ia mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman-temannya. Perlakuan tersebut membuat Winarsih malas berangkat ke sekolah. Winarsih merasa sakit hati karena perlakuan tidak adil yang ia terima dari teman-teman dan tetangganya.

(11) Siang itu Winarsih sengaja berpura-pura sakit dan enggan berangkat sekolah. Ia malas menghadapi ejekan temannya sebagai anak pelacur. Sakit hati serta perlakuan tidak adil itu terus saja mendera hari-harinya di sekolah. Belum lagi gunjingan masyarakat di sekitarnya tentang kemaluan ibunya (hlm. 16).

(51)

meracuni Anis yang selalu menghina dirinya dengan ramuan jamu beracun, berikut kutipannya:

(12) Winarsih nekat dan tetap tidak peduli, ia semakin jauh membawa ibunya menyelusuri jalan desa. Beberapa teman-teman sekolahnya tetangganya melihat Winarsih tengah memamerkan keadaan ibunya yang masih cantik meski belum stabil.

(13)”Oalaaaa... Biar kamu teriak sampai serak. Semua orang desa sudah pada tahu dia itu kutis!” seloroh Ibu Anis sambil menunjuk kepala Marni. Winarsih pun semakin blingsatan dan melempar wajahnya dengan batu yang ada di dekatnya. Menyadari keagresifan Winarsih, beberapa warga mengamankannya. Tapi Winarsih bak orang kesetanan. Ia terus meronta dan baru berhenti ketika tiba-tiba Marni teriak histeris (hlm. 22).

(14)Kemarin sepulang sekolah ia tersenyum dengan wajah puas, karena telah berhasil membuat Anis jumpalitan karena kejang perut yang dideritanya. Tak tahu bagaimana cara Winarsih meracuni Anis. Tapi yang jelas tidak ada rasa penyesalan sedikit pun di wajah Winarsih setelah melakukan dosa itu (hlm. 30).

Kutipan (12), (13), dan (14) membuktikan bahwa sikap Winarsih adalah sebuah sikap pemberontakan seorang anak yang ingin melindungi ibunya.

Peristiwa yang dialami Winarsih dan trauma yang dialami ibunya membuat dendam dan kebencian semakin kuat tertanam di hatinya. Ia dapat melakukan segala cara untuk melindungi ibunya. Sampai ia menumbuhkan naluri membunuh di dalam dirinya.

(52)

Tokoh Winarsih digambarkan sebagai wanita yang memiliki wajah cantik. Ia meneruskan profesi neneknya sebagai penjual jamu, berikut kutipannya:

(14)Saat itu Winarsih hampir mencapai angka 14. Usia ranum gadis remaja dengan pesona warisan kembang desa dari ibunya dan keteguhan sikap Mbok Sagiyem. Makin hari Winarsih semakin menawan. Banyak sekali pemuda kota yang mencoba mendekatinya. Namun, ia seolah mati rasa dengan semua laki-laki. Winarsih pun menggantikan peran neneknya dengan berjualan jamu (hlm. 32).

(15)Siapa yang tak mengenal Winarsih? Penjual jamu termanjur dengan senyum yang luar biasa menawan. Namun, hingga usianya mendekati 20 tahun. Tak ada satu pun laki-laki yang berhasil mendekatinya, apalagi meminangnya. Ia begitu manis ketika melayani pelanggannya yang kebanyakan laki-laki. Namun, bisa berubah sangat judes bila ada yang mencoba kurang ajar dengannya ( hlm. 33).

(16)...Broto tengah asyik menyaksikan tubuh semampai Winarsih yang tengah berbenah (hlm. 35).

Pada tahun 1957 di daerah tempat Winarsih berjualan jamu tengah dibangun sebuah pabrik kimia investasi negara Jepang. Mulai saat itu naluri membunuh Winarsih muncul ketika ia bertemu dengan orang Jepang. Ia memanfaatkan kecantikan dan keahliannya membuat jamu untuk membalas dendam terhadap orang Jepang. Terdapat empat laki-laki yang sudah menjadi korban Winarsih, berikut kutipannya:

(17)Naluri ‘membunuh’ yang telah tertanam sejak kecil di benaknya, semakin berbuncah hebat. Mata sipit dan gelak tawa mereka kerap membangkitkan getar dendamnya (hlm. 33).

(53)

Kutipan (17) dan (18) merupakan sebuah penggambaran ambisi Winarsih untuk membalaskan dendam ibunya terhadap laki-laki Jepang. Ambisi itu tidak berakhir sampai di situ, dendam yang terpendam lama membuat Winarsih tidak dapat mengenal cinta laki-laki. Hubungan percintaannya dengan Yoshida yang didasari hutang budi, berakhir pada kematian Yoshida, karena Yoshida termasuk dalam korban naluri membunuh Winarsih. Winarsih tidak peduli rasa cinta yang ia rasakan kepada Yoshida dan benih yang ada di dalam rahimnya, berikut kutipannya:

(19)Perlahan diambilnya ramuan racun yang telah disediakannya untuk Yoshida. Winarsih memejamkan matanya, terbayang mata Yoshida yang begitu tulus. Pelukan hangatnya saat mencoba menenangkan dirinya saat kejadian itu. Tapi Yoshida terlanjur terpilih nalurinya untuk menjadi korban berikutnya...”Haruskah ia kubunuh?” Tapi naluriku mengatakan dalam darahnya mengalir darah pemerkosa itu (hlm. 50).

(20)Hamilkah aku? Winarsih mengigit bibirnya cemas. Ia kembali tertunduk lemah dan menangis sesenggukan seorang diri. Namun pikirannya langsung berubah cepat. Ia pun segera menuju dapur. ”Aku tidak boleh hamil! Apalagi anak keturunan Jepang! Tidak boleh, tidak boleh!” batinnya kacau. Lalu dengan sigap Winarsih segera menumbuk ramuan jamu untuk mengeluarkan janin itu. Dan tanpa berpikir dua kali langsung diteguknya ramuan itu. Dalam tempo 2 jam perutnya langsung merasakan sakit luar biasa. Namun Winarsih tak berusaha minta pertolongan siapa pun, termasuk ibunya. Ia hanya sendiri mengatasi rasa sakitnya. Setelah gumpalan darah itu keluar dari rahimnya Winarsih tertunduk lemah hingga akhirnya pingsan seorang diri di kamar mandi. Hingga siuman tak seorang pun datang menolongnya (hlm. 54).

(54)

dapat membunuh menantunya. Pada akhirnya, Winarsih berhasil membunuh menantunya, yaitu Hori Motokura, dengan ramuan racunnya, berikut kutipannya:

(21)Singkat cerita, Winarsih pun menjadi istri Broto, ia masih berjualan jamu meski hidupnya telah dikaruniai Rumijah...kebencian pada mata sipit itu terus ditularkan pada Rumijah (hlm. 58).

(22)Pertentangan dan pertengkaran sering terjadi. Hingga Winarsih enggan mewarisi semua ilmu yang dimilikinya....

(23)Sejak Winarsih tahu hubungan terlarang putrinya. Ia semakin berusaha menjejali Rumijah dengan dendamnya (hlm. 63).

(24)”Baiklah, kubiarkan Hori tetap hidup hingga anak itu lahir tapi setelah itu.... aku minta tanganmu sendiri yang harus membuat ramuan mematikan itu untuknya (hlm. 86).

(25)Dengan berat hati Rumijah memenuhi janjinya pada Winarsih (hlm. 99).

Sejak kematian Hori hubungan ibu dan anak itu memang tak pernah harmonis (hlm. 106).

Kutipan (21), (22), (23), (24), dan (25) adalah gambaran sifat keras dan ambisi Winarsih dalam membalaskan dendam ibunya. Ia tidak mempedulikan perasaan anaknya. Winarsih mampu melakukan segala cara untuk memenuhi janjinya membalas dendam terhadap laki-laki Jepang. Winarsih tidak mempedulikan pergantian masa. Ia berpikir, laki-laki Jepang-lah yang telah membuat ibunya menderita seumur hidupnya. Winarsih meyakini bahwa nalurinya tidak pernah salah. Ia berpikir laki-laki Jepang yang masuk dalam nalurinya mempunyai ikatan darah dari laki-laki Jepang yang memperkosa ibunya.

Ambisi membalas dendam tersebut, ia teruskan kepada Hana Motokura, cucunya. Winarsih mengajarkan cara membuat ramuan racun dan mengasah naluri cucunya agar bisa meneruskan dendam leluhurnya, berikut kutipannya:

(55)

naluri sesatnya. Dari hari ke hari Hana pun semakin mahir membuat ramuan beracun berikut penawarnya...Gadis itu hanya meyakini kebenaran kata-kata dan petuah Winarsih dibanding ibu kandungnya sendiri (hlm. 109).

Dendam dan ambisi yang diyakini Winarsih membuat dirinya berakhir dalam kematian. Winarsih meninggal dunia ketika mencari tumbuhan beracun di lereng jurang, berikut kutipannya:

(27)Tubuh Winarsih ditemukan dalam keadaan tak bernyawa lagi di bawah bukit dengan kepala retak dan mulut berdarah. Ia terjatuh tergelincir dari ketinggian 30 meter, ketika memaksa untuk memetik dedaunan liar untuk ramuan jamu beracunnya (hlm. 132).

Pada analisis penokohan tokoh Winarsih dapat digambarkan bahwa tokoh Winarsih adalah wanita cantik yang terkenal akan ramuan jamunya yang berkhasiat. Ia tumbuh menjadi wanita yang memiliki kebencian dan dendam terhadap laki-laki Jepang. Tokoh Winarsih digambarkan memiliki sifat ambisius, keras kepala, dan tega membunuh. Tokoh Winarsih dalam kehidupannya selalu dibayang-bayangi trauma yang dialami ibunya sebagai mantan jugun ianfu.

2.3.2 Tokoh Tambahan

Tokoh tambahan yang akan dibahas adalah Sagiyem, Marni, Rumijah, dan Hana Motokura.

2.3.2.1 Tokoh Marni

(56)

(28)Tahun 1942 ketika tentara Jepang mendaratkan tapak angkara murkanya di bumi Pertiwi, saat itu Marni adalah kembang desa yang beberapa tahun lalu dipersunting oleh Trenggono, salah satu pemuda tampan di desanya. Hidup Marni nyaris sempurna ketika ia dianugerahi Winarsih yang telah berumur 5 tahun (hlm. 1-2).

Namun kebahagiaannya terganggu, karena dirinya diculik oleh tentara Jepang dan dijadikan jugun ianfu, berikut kutipannya:

(29)Kehidupan harmonis itu tak lama ia rasakan, ketika kemudian ia diculik paksa di hadapan suami dan anaknya oleh beberapa serdadu Jepang dan dimasukkan ke dalam mobil tentara yang membawanya entah ke mana (hlm. 2).

(30)....Tak habis pikir dengan perilaku biadab tentara Jepang terhadap perempuan Indonesia yang dijadikan jugun ianfu (hlm. 9).

(31) Siapa yang mau diculik tentara Jepang? Siapa yang mau diperlakukan sebegitu keji olah bajingan-bajingan itu? (hlm. 9).

Hingga suatu hari, Marni ditemukan oleh warga desa dengan keadaan yang memprihatinkan. Tubuhnya penuh dengan luka dan alat kemaluannya mengeluarkan darah dan nanah yang mengeluarkan bau tidak sedap. Keadaan tersebut disebabkan karena Marni mengalami kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan oleh tentara Jepang. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:

(32)Hingga suatu hari, hampir seluruh orang desa gempar kerena mendapati sosok tubuh kumuh yang penuh luka di sana-sini, tergeletak tak berdaya di sebuah danau di pinggiran hutan. Ia ditemukan beberapa warga yang hendak mengambil kayu bakar. Beruntung salah satunya mengenali tubuh itu sebagai Marni. Lalu dibawalah perempuan malang yang hampir mati itu kepada keluarganya Tak ada kata yang terucap, linangan air mata dan isakan pedihlah yang banyak terdengar. Hampir seluruh tubuh Marni dipenuhi luka tak wajar. Darah dan nanah berbau busuk terus saja mengalir dari liang kemaluannya. Marni memang masih hidup, tapi sorot matanya hampa dan mati. Dan kurun waktu 4 tahun bukanlah waktu waktu singkat untuk meladeni nafsu-nafsu binatang para serdadu Jepang itu.(hlm. 2-3).

(57)

seksual yang dilakukan oleh tentara Jepang. Perlakuan buruk tersebut membuat fisik dan psikologisnya terganggu, terutama jiwanya rusak parah. Pada kutipan (32) membuktikan bahwa tokoh Marni mengalami tindak kekerasan yang dilakukan oleh tentara Jepang. Kekerasan tersebut menyebabkan keadaan psikologis Marni terganggu dan jiwanya rusak parah. Ia tidak dapat merasakan perasaan kasihan, benci, dan marah, berikut kutipannya:

(33)Ibumu sekarang sudah sulit membedakan mana rasa kasihan, benci dan marah. Semua bercampur aduk di batinnya... (hlm. 7).

Trauma yang dialami Marni membuat dirinya selalu teringat akan pemerkosaan yang dilakukan tentara Jepang terhadap dirinya, berikut kutipannya:

(34)”Ampun...!aku mau mati....aku mau mati jangan....jangan perkosa lagi!!!!(hlm. 10).

(35)Setiap malam ia masih saja didera mimpi buruk tentang penyiksaan, perkosaan dan segala macam perilaku tak manusiawi yang pernah dialaminya (hlm. 13).

(36)Saat ia tertidur terlalu nyenyak dan kemudian terbangun, Marni merasa dirinya tetap berada pada barak nista itu (hlm. 13).

Pada kutipan (34), (35), dan (36) merupakan bukti bahwa Marni mengalami trauma. Trauma tersebut mengakibatkan Marni tidak dapat mengenali dirinya sendiri. Ia menjadi rendah diri dan merasa jijik terhadap dirinya sendiri. Keadaan tersebut menyebabkan dirinya menderita stres berat. Dan pada saat stres, kemaluannya terus mengeluarkan darah, seperti pada kutipan di bawah ini:

(37)...gunjingan masyarakat di sekitarnya tentang kemaluan Marni yang busuk, meski hampir sembuh total. Hanya bila Marni kembali stres berat dan mengingat kejadian buruk itu, pendarahan itu memang tak bisa dihindari (hlm. 16).

(58)

luka batin yang belum lagi sembuh di jiwa Marni, kembali mengeluarkan darahnya (hlm. 23).

Dalam novel LKMB sifat Marni tidak terlihat dengan jelas karena jiwanya rusak parah dan masih mengalami trauma. Secara sosiologis, tokoh Marni adalah anak dari pasangan Sagiyem dan Suryo. Ia tidak diterima di lingkungan masyarakat karena pernah menjadi jugun ianfu. Mereka selalu menghina dan menempatkan dirinya pada kasta rendah, berikut kutipannya:

(39)Masyarakat yang tak sepenuh hati menerima kehadiran Marni di tengah mereka. Pengetahuan dan pendidikan yang rendah di masyarakatnya, menempatkan Marni pada kasta rendah dan dijuluki hina. Marni belum mengetahui. Selama ia kembali ke rumah belum pernah sekalipun ia menjejakkan kakinya keluar pekarangan (hlm. 16). Marni diculik dan ditawan di barak militer Jepang. Di tempat itu, ia dan wanita-wanita lainnya dijadikan sebagai jugun ianfu untuk melayani hasrat seksual tentara Jepang. Selama tiga tahun, ia diperlakukan secara tidak manusiawi oleh tentara Jepang. Ditambah masyarakat selalu menghina dirinya sebagai seorang pelacur. Karena perlakuan buruk yang diterima Marni tersebut, jiwanya menjadi rusak parah dan psikologisnya terganggu. Ia selalu dibayangi ingatan buruk akan perilaku kejam tentara Jepang terhadap dirinya. Selain itu, dirinya selalu merasa jijik dan malu terhadap dirinya sendiri, berikut kutipannya:

(59)

kelelahan setelah berperang dan butuh pelampiasan seks. Dan Asih adalah ’wadah’ dari hasrat seks liar mereka. Tak terbayangkan penderitaan Asih, ditambah lagi luka tembak yang mengenai kakinya hingga ia lumpuh dan tidak bisa berjalan lagi. Belum lagi mereka yang ternyata hamil karena kebiadaban itu. Ada yang keguguran karena stres atau bahkan hilang ingatan. Ada yang bunuh diri atau bahkan dibunuh karena hanya menjadi pengganggu bagi penghuni lainnya. Tak hanya siksaan seksual yang harus mereka jalani ada juga yang dipekerjakan sebagai tukang masak...

Namun di antara semua kebiadaban yang ada, Marni masih menemui manusia seutuhnya pada seorang tentara Jepang bernama Mr. Yoshitaka. Ia adalah salah satu komandan di barak tentara di mana Marni disekap. Saat Marni begitu tersiksa dan menderita. Ia pernah diberi makanan dan obat olehnya. Namun kebaikannya tidaklah sebanding dengan apa yang telah diderita Marni selama 3 tahun..(hlm. 14-15).

(41)Aku merasa jijik dengan diriku sendiri, Pak..” katanya kemudian. Mbah Suryo hanya bisa menghela nafas berat.

”Sabarlah, Nduk... semua sudah berlalu. Sabar saja, pasti ada hikmahnya,” nasihatnya dengan perasaan tercabik-cabik ...(hlm. 15). Tokoh Marni merupakan perempuan cantik. Kecantikannya masih terlihat, meskipun kondisi fisik dan kejiwaannya terganggu. Dan kecantikan itu juga yang membuat Pak Warso ingin menikahi Marni. Namun oleh ibunya (Sagiyem), keinginan Pak Warso itu ditolak, berikut kutipannya:

(42)Dan kenyataannya Marni memang masih memiliki kecantikan alami sebagai kembang desa, meski terlihat ringkih dan terkadang tanpa ekspresi (hlm. 19).

(43) ”Mbah, katanya Marni lumpuh? Kok kemarin aku lihat dia bisa jalan dan masih cantik seperti dulu.” ujar Pak Warso-Si juragan tengkulak sembako yang doyan kawin dan selingkuh. Mbok Sagiyem hanya tersenyum tipis sambil mengaduk jamu kuat pesanannya.

(44)’Marni memang sudah sembuh. Dan omongan orang desa itu sama sekali tidak benar,’tegasnya.

(60)

Keadaan Marni secara fisik dapat disembuhkan oleh jamu dan perawatan yang diberikan ibunya (Sagiyem). Namun jiwanya masih terluka parah, berikut kutipannya:

(45) ”Jangan Pak, Marni itu biar sudah sembuh sehat tapi batinnya masih sakit. Sekarang malah begini” terang Mbok Sagiyem sambil memiringkan telunjuk di dahinya.

Masa sih?”

Benar, Pak, kasihan kan kalau Pak Warso harus menikahi anak saya yang sedikit lupa ingatan?” tambahnya menakut-nakuti. Laki-laki bertubuh gembur itu mengernyitkan kekecewaan sambil menegak jamunya (hlm. 26).

Tokoh Marni diceritakan sebagai perempuan korban tindak kekerasan tentara Jepang pada tahun 1942. Ia diculik paksa oleh tentara Jepang di hadapan keluarganya, kemudian dijadikan jugun ianfu di rumah pelacuran. Ia mengalami perkosaan dan diperlakuan secara tidak manusiawi oleh tentara Jepang. Peristiwa tersebut menimbulkan trauma yang sangat mendalam seumur hidupnya. Peristiwa yang dialami oleh Marni kemudian membawa dampak rasa trauma, kebencian, dan dendam yang ikut dirasakan oleh keluarganya, yaitu Sagiyem, Winarsih, Rumijah, dan Hana Motokura. Trauma Marni sebagai seorang jugun ianfu menciptakan rantai dendam tanpa akhir bagi keturunannya meskipun generasi dan zaman telah berganti.

Perlakuan kejam yang dialami Marni pada zaman penjajahan Jepang dulu, masih diingatnya sampai tua, berikut kutipannya:

(46)”Mbah....,’ Rumi memegang jemari keriputnya ”Apa yang Mbah pikirkan? Tanyanya sambil menatap dalam matanya yang basah. Ia hanya menggeleng sendu. Tidak ada, Nduk...” jawabnya tertunduk.

(61)

”Mereka memperkosamu secara keji. Seperti dulu saat...,”kalimat itu terputus oleh isak tangis Mbah Marni. Bersama dengan itu kain batiknya pun merembes darah segar (hlm. 76-77).

Dalam perjalanan hidup tokoh Marni, ia mengalami penderitaan yang disebabkan tindak kekerasan yang dilakukan tentara Jepang. Rasa dendam, benci, dan trauma yang dimiliki Marni terus dibawa hingga akhir hidupnya. Tokoh Marni meninggal di negara Jepang dan dikuburkan di negara Jepang.

(47)Beberapa tahun berselang, akhirnya Mbah Marni pun menghembuskan nafas terakhirnya di kota Nara Ia dimakamkan di bawah rindangan bunga sakura. Rumijah dan Hana berharap semoga bunga-bunga itu bisa memberi keharuman dan kedamaian tersendiri pada kegetiran yang pernah dirasakan oleh Mbah Marni (hlm. 137-138).

2.3.2.2 Tokoh Sagiyem

Tokoh Sagiyem adalah ibu Marni, yang berarti nenek dari Winarsih. Tokoh Sagiyem dalam novel LKMB digambarkan sebagai seorang ibu yang mempunyai dendam terhadap laki-laki Jepang. Hal tersebut disebabkan oleh perlakuan tentara Jepang terhadap anaknya yang bernama Marni, berikut kutipannya:

(62)

berkaca-kaca. Dengan penuh cinta, ketabahan yang terbalut dendam, ia membuatkan ramuan penyembuh luka buat Marni. Setiap malam ia mencoba menahan rasa mualnya karena bau busuk dari kemaluannya (hlm. 3).

Tokoh Sagiyem digambarkan sebagai wanita yang pintar meramu jamu. Ia dapat meramu berbagai jenis jamu, dari yang berkhasiat untuk menyembuhkan hingga racun untuk mematikan. Dengan keahliannya meramu jamu, ia mampu menyembuhkan luka fisik Marni, berikut kutipannya:

(49)Lewat keahlian Mbok Sagiyem meramu jamu penyembuh luka, Marni bisa dikatakan sembuh secara fiisik. Namun, tidak dengan batinnya (hlm. 13).

Tokoh Sagiyem memiliki rasa benci yang besar terhadap orang Jepang karena membuat anaknya menderita seumur hidup. Kebenciannya semakin bertambah ketika masyarakat tidak menerima Marni hidup di lingkungannya. Mereka selalu menghina dan memfitnah Marni sebagai pelacurnya orang Jepang. Perlakuan buruk tersebut memicu Sagiyem menjadi wanita yang kejam dan sadis. Dengan ramuan jamunya, ia dapat membuat orang yang menyakiti batin anaknya mengalami kejang perut bahkan meninggal dunia, berikut kutipannya:

(50)Di tambah lagi masyarakat yang tak sepenuh hati menerima kehadiran Marni. Menempatkan Marni pada kasta rendah. Dan Mbok Sagiyem- lah yang paling merasakan penderitaan itu. Kesabaran dan imannya terus diuji oleh kenyataan itu. Dan sebagai seorang ibu yang juga manusia biasa ia pun sangat marah dan nekat membuat Bu Darjo mengalami kejang perut hingga seminggu lamanya, lewat ramuan jamunya yang terkenal ampuh. Tentu saja karena Mbok sagiyem tak tahan mendengar celoteh fitnah Bu Darjo tentang Marni. Ramuan itu dicampurnya dengan jamu awet ayu yang biasa dipesan Bu Darjo.Bu Darjo menderita, tak ada satu pun obat yang bisa menyembuhkannya, kecuali ramuan penawar buatan Mbok Sagiyem.

(63)

jenis jamu dari yang bermerk penyembuh hingga pembunuh (hlm. 17-18).

Tokoh Sagiyem merupakan wanita yang sabar serta sangat menyayangi anak dan cucunya. Namun, Ia juga dapat berubah menjadi wanita yang tega membunuh untuk melampiaskan dendamnya, demi menjaga keluarganya dari hinaan. Hal tersebut terlihat ketika Pak Warso ingin menikahi Marni dan Winarsih cucunya. Sagiyem merasa dihina karena keadaan keluarganya yang tidak mampu. Apalagi Pak Warso terkenal memiliki banyak istri. Di sinilah puncak kebencian Sagiyem sampai berani meracun Pak Warso hingga mati, berikut kutipannya.

(51)Sepeninggal Pak Warso, Mbok Sagiyem langsung menumbuk berbagai ramuan untuk mencampur di jamu kuat pesanan calon menantunya itu. Ia bahkan tak sabar menunggu esok pagi. Dan akhirnya. Pak Warso memang benar datang dan menegak habis jamu ramuan racunnya. Berita selanjutnya sangat bisa diduga. Sehari setelah Pak Warso ditemukan telah tak bernyawa di rumah istri keempatnya. Lagi-lagi tak ada yang mencurigai sedukitpun kematian laki-laki itu. Seiring nafas lega keluarga Mbok sagiyem (hlm. 29).

Tokoh Sagiyem mewariskan keahliannya meramu jamu kepada cucunya, Winarsih. Dengan mengajar Winarsih, ia berharap dapat meneruskan keahliannya tersebut. Selain itu, ia juga ingin menenangkan batinnya, berikut kutipannya:

(52)Tapi itu tak mungkin dan sebagai pelampiasannya, ia pun mengajari Winarsih cara meracik jamu ramuannya. Meski masih terlalu dini ilmu itu diberikan, toh setidaknya itu bisa sedikit menenangkan batinnya yang butuh pelampiasan sebagai manusia biasa (hlm. 18).

(64)

ramuan jamu yang Sagiyem ajarkan, Winarsih tega meracun Anis. Karena merasa bersalah, Sagiyem membuatkan obat penyembuhnya, berikut kutipannya:

(53)”Lalu kita harus ke mana? Kalau pindah ke desa lain apalagi di kota. Kita mau cari makan di mana? Di sini saja sudah susah apalagi Pak Warso wis modar... Jadi aku tambah susah menjual hasil ternakku,” terangnya dengan nada putus asa (hlm. 30).

(54)Mbok Sagiyem hanya terdiam sedih. Rasa putus asa dan bersalah tak urung menderita batinnya. Ia sama sekali tak menyangka jika keahlian meramu jamu yang dimilikinya harus dipergunakan secara salah. Namun, ia tak punya pilihan lain yang terbaik untuk melindungi keturunannya. Dan yang lebih fatal adalah Winarsih ia merasa telah salah mendidik cucunya. Kemarin sepulang sekolah ia tersenyum dengan wajah puas, karena telah berhasil membuat Anis jumpalitan karena kejang perut yang dideritanya. Mbok Sagiyem segera mengetahuinya dan langsung membuatkan ramuan penyembuh untuk Anis (hlm. 31).

Kehidupan keluarga Sagiyem sangat miskin. Ia mencari nafkah dengan cara menjual jamu di pasar, sedangkan suaminya hanya penjual ternak.

(55)Meski gaung kemerdekaan terus bergema di segala penjuru kabupaten hingga desa terpencil, semua tidak serta merta menjadi baik. Kegetiran perekonomian yang makin hari makin menggigit dan membelit, turut pula dirasakan keluarga Mbah Suryo. Laki-laki itu merasa kesulitan menjual ternaknya terlebih setelah kematian Pak Warso. Sedangkan Mbok Sagiyem yang berjualan jamu juga ikut merasakan penurunan drastis dari biasanya, ditambah lagi image buruk Marni dan perlakuan balas dendamnya terhadap orang-orang yang telah menghina anak cucunya....

(65)

Tokoh Sagiyem merupakan sosok wanita yang tegar, pekerja keras, dan memiliki keteguhan hati. Di usianya yang tua, ia masih berjualan jamu untuk menghidupi anak dan cucunya. Sebagai seorang ibu, ia berusaha melindungi

Referensi

Dokumen terkait

Pada hari ini Jumat tanggal dua puluh sembilan bulan Mei tahun dua ribu lima belas bertempat diruang sekretariat Unit Layanan Pengadaan Kordinator Pengadilan Tinggi Kendari,

menyatakan bahwa masa sanggah terhadap penetapan pemenang seleksi untuk kegiatan tersebut diatas yang dilaksanakan menggunakan sistem Layanan Pengadaan Secara

Tabel 1: Rata-rata perbedaan panjang gigi molar pertama rahang bawah sebelum perawatan dan setelah perawatan ortodonti baik pada kasus pencabutan atau tanpa pencabutan

Sekretaris ULP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b dijabat oleh Kepala Biro atau Perwira Tinggi Polri pada Ssarpras Polri yang ditetapkan dengan

Mengingat hal ini sangat penting dalam kinerja suatu sistem karena terdapat respon antara satu komponen aktivitas dengan komponen aktivitas lainnya yang saling

Hubungan yang baik antara penyanyi dalam sebuah paduan suara akan menciptakan suasana yang menyenangkan ketika menyanyikan sebuah lagu, karena komunikasi

PERAN PEMERINTAH DESA DALAM PENANGANAN KONFLIK KEAGAMAAN (Studi Penelitian Tentang Konflik Keagamaan Antara Nahdhlatul Ulama Dengan Majelis Tafsir Al- qur’an Di Desa

Rumusan permasalahan penelitian ini adalah: Apakah pangsa pasar rumah sederhana Type 36 yang dibangun oleh PT Bugowa Sarana Mandiri di Kabupaten Gowa dalam lima