• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM

3.2 Gejala Menghidupkan Kembali (Re-experiencing

3.2.1 Tokoh Utama

3.2.1.1Tokoh Winarsih

Tokoh Winarsih memiliki gejala stres pasca-trauma, yaitu secara berkelanjutan memiliki pikiran atau ingatan yang tidak menyenangkan mengenai peristiwa traumatik masa lalunya.

Masalah yang dialami Winarsih merupakan akibat masa kecilnya yang tidak menyenangkan. Winarsih menyaksikan penderitaan dan kesedihan yang dialami ibunya sebagai korban jugun ianfu oleh tentara Jepang. Winarsih juga mendengar cerita tentang perlakuan buruk tentara Jepang terhadap ibunya. Ibunya pernah mengalami pemerkosaan yang disertai kekerasan fisik dan psikis sehingga membuat jiwanya terluka parah. Bayangan peristiwa traumatik tersebut membuat dirinya trauma. Sepanjang hidup Winarsih selalu dibayang-bayangi ingatan tentang peristiwa traumatik tersebut.

(87)Dari balik jendela. Air mata Winarsih terus menetes dadanya terasa begitu sesak membayangkan ibunya pernah diperlakukan begitu hina oleh tentara-tentara Jepang itu, Lalu menculik ayahnya yang sampai kini tak juga ada kabar beritanya. Gadis kecil itu terus menangis. Ada dendam tertoreh begitu dalam di hatinya (hlm. 6).

(88)“Lalu apa orang-orang Jepang itu juga punya hak untuk menculik dan memperkosa Mbah Marni?! Lalu membunuh Trenggono, ayahku, yang juga Mbah kakung-mu! Apa maksudmu mereka itu Tuhan?! Hingga bisa seenaknya memperbudak nasib seseorang?!” (hlm. 92).

Winarsih merasakan seakan-akan peristiwa traumatik masa lalunya akan terulang kembali. Masalah tersebut dialami Winarsih karena dirinya tidak mampu mengatasi trauma pada dirinya sendiri. Winarsih pernah mengalami pemerkosaan yang dilakukan oleh Purnomo. Pengalaman sebagai korban pemerkosaan membuat dirinya mati rasa terhadap laki-laki, serta ingatan tentang penderitaan

ibunya di masa lalu membuat perasaan bencinya semakin besar. Ia merasa seakan-akan peristiwa traumatik tersebut seakan-akan terulang kembali.

(89) Namun saat ia membayangkan bagaimana Purnomo menggagahinya, pikirannya langsung pada penderitaan Marni. Dengan satu laki-laki saja sudah sedemikian menjijikkan dan menyisakan trauma yang luar biasa menyakitkan. Apalagi yang telah dialami ibunya? Setiap hari, selama tiga tahun lebih, dengan banyak lelaki hingga menyebabkan kemaluannya membusuk! Mengingat itu, sepertinya hanya dosa itulah yang tak termaafkan. Winarsih terduduk lemas menangis sesenggukan (hlm. 50).

Winarsih memiliki gejala stres pasca-trauma, yaitu memiliki perasaan menderita yang kuat. Setiap kali Winarsih teringat akan kematian Yoshida, hatinya mejadi sangat sedih. Ia sangat menyesali perbuatannya yang telah meracun orang yang dicintainya. Namun, Winarsih mencoba untuk tetap tegar karena telah melampiaskan dendamnya dengan membunuh orang Jepang, meskipun sebenarnya perasaan dan hatinya sangat menderita.

(90)Setelah meracun kekasihnya itu. Ia terus mengurung diri dalam kamar. Bertarung sekuat batinnya untuk menolak rasa sesal yang kian menggerogoti hatinya. Membunuh perasaan cintanya yang telanjur meracuni setiap relung di batinnya. Winarsih berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Berusaha untuk tersenyum lega dan menghadirkan rasa puas pada Mr. Yoshikawa atau yang lainnya. Tapi semua itu sia-sia. Yoshida tetaplah sosok istimewa meski terlanjur masuk dalam daftar naluri sesatnya (hlm.53).

(91)Winarsih mendadak limbung. Susah payah ia menahan agar air matanya tak keluar setetes pun untuk laki-laki itu, tapi ternyata tak bisa. Rasa sesal yang tadinya bisa ia kuasai mendadak tumpah ruah membanjiri segenap pelataran hatinya. Ia terus sesenggukan di bahu Sarti (hlm. 53).

Trauma yang dialami Winarsih sejak kecil masih ada sampai dewasa. Trauma itu memengaruhi pikiran dan perasaannya. Ketika telah dewasa, Winarsih masih trauma apabila melihat orang Jepang. Setiap kali ia bertemu dengan orang Jepang, jantungnya langsung berdetak kencang dan berkeringat. Rasa dendam

yang tertanam di hatinya sejak kecil kembali muncul. Gejala stres pasca-trauma ini biasa disebut sebagai respons fisikal, seperti kutipan berikut:

(92)“Anata no egao...hmmm, kamu mengingatkan aku pada seseorang,“ ujarnya sedikit menerawang. Jantung Winarsih semakin berdetak kencang. Kecurigaan di hatinya semakin mantap. Dia adalah salah satu dari binatang jalang itu! Keringat dingin tak terasa mengucur di dahi Winarsih (hlm. 40).

3.2.2 Tokoh Tambahan 3.2.2.1Tokoh Marni

Tokoh Marni secara berkelanjutan memiliki pikiran atau ingatan yang tidak menyenangkan mengenai peristiwa traumatik pada masa lalunya.

Masalah tersebut terlihat pada diri Marni. Sepanjang hidup Marni merasakan penderitaan yang sangat besar. Ia tidak pernah merasakan kebahagiaan, sejak ia diculik dan dijadikan jugun ianfu oleh tentara Jepang. Marni mengalami pemerkosaan disertai kekerasan fisik yang membuat dirinya mengalami gangguan kejiwaan. Peristiwa traumatik tersebut merusak jiwanya dan tidak dapat hilang dari ingatannya. Sampai tua, Marni masih terganggu oleh ingatan buruk akan kekejaman tentara Jepang.

(93)Marni kembali memeluk gadis kecilnya dengan mata terpejam erat. Namun tiba-tiba ia teringat Sumirah, gadis seusia Winarsih yang dahulu sempat ditaruh di barak yang sama dengannya. Membayangkan penderitaan Sumirah, Marni semakin mempererat pelukannya. Namun kenangan buruk itu masih saja bergelayut di matanya (hlm.10).

(94)Hingga malam ini. Marni semakin menggigil membayangkan semua kejadian mengerikan itu (hlm. 15).

Setiap malam Marni mengalami mimpi buruk yang berulang-ulang. Bayangan suram tentang kekejaman tentara Jepang selalu menghantuinya lewat mimpi. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(95)Setiap malam ia masih saja didera mimpi buruk tentang penyiksaan, perkosaan dan segala macam perilaku tak manusiawi yang pernah dialaminya. Sangat sulit baginya terlepas dari belenggu mimpi buruk itu (hlm. 13).

Selain gejala stres pasca-trauma di atas, Marni merasakan seakan-akan peristiwa traumatik masa lalunya akan terulang kembali, terkadang ini disebut sebagai “flash back”.

Ia merasakan seakan-akan dirinya masih berada di dalam barak militer Jepang dan akan menerima perlakuan buruk dari tentara Jepang. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(96)”Tapi Mbah... Aku kangen sama Ibu. Aku arep turu karo Ibu...” Winarsih pun ikut menangis sambil memegang kain lusuh Marni. Tapi Mbah Sagiyem segera menarik paksa tangan Winarsih. Melihat adegan itu, mendadak Marni menjerit kencang. Ampun...! aku mau mati....aku mau mati, jangan....jangan perkosa lagi!!!! (hlm. 7- 8). (97) Ia sendiri masih sering ketakutan jika Winarsih atau Ibunya membuka

pintu kamarnya dengan keras. Dalam bayangannya langsung tergambar sesosok tubuh serdadu Jepang yang siap ”menjagalnya”. Di tengah malam, kadang Marni masih sering merintih kesakitan atau tak jarang menjerit ketakutan. Saat ia tidur terlalu nyenyak dan kemudian terbangun, Marni masih merasa dirinya tetap berada di barak nista itu (hlm. 13).

Marni memiliki perasaan menderita yang kuat. Gejala stres pasca-trauma tersebut tampak pada diri Marni jika ia teringat kembali peristiwa traumatik yang dialaminya. Marni menjadi benci pada dirinya sendiri, tidak punya harga diri, dan selalu merasa rendah di mata orang lain. Perasaan tersebut melekat kuat pada

pribadi Marni. Ia merasa tidak berdaya untuk melawan perasaan tersebut sehingga membuat dirinya menderita. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(98)Ampun...! Aku mau mati....aku mau mati jangan....jangan perkosa lagi!!!!Suasana mendadak tegang. Mbah Sagiyem segera memeluk tubuh Marni. Ia meronta keras. ”Eling Nduk...Kamu sudah aman, semua sudah berakhir. Orang-orang jahat itu sudah mati semua dibom sama kompeni.”

(hlm. 8).

(99)”Aku merasa jijik dengan diriku sendiri, Pak...”katanya kemudian. Mbah Suryo hanya menghela nafas berat.

”Aku malu, bila suatu saat Mas Trenggono pulang dan...,” kalimatnya pun terputus oleh tangis (hlm. 15).

Marni mengalami respons fisikal. Setiap kali Marni teringat kembali akan peristiwa traumatik masa lalunya, ia selalu berkeringat dan kemaluannya mengeluarkan darah. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(100)Seperti malam ini, baru saja Marni dibangunkan oleh mimpi buruknya tentang mata-mata sipit dengan seringai tawa serigala yang siap menerkamnya. Sekujur tubuh Marni disimbahi keringat dingin (hlm. 13).

(101)Marni memang bisa tersenyum dan berbicara. Tapi setiap kali ada yang menyinggung tentang masa lalunya. Ia kembali menangis pilu dan mengeluarkan darah pada kemaluannya (hlm. 72).

3.2.2.2 Tokoh Sagiyem

Tokoh Sagiyem secara berkelanjutan memiliki pikiran atau ingatan yang tidak menyenangkan mengenai peristiwa traumatik yang dialami Marni. Masalah tersebut dialami Sagiyem akibat peristiwa traumatik yang dialami Marni. Sagiyem tidak tahan melihat penderitaan yang dialami Marni. Sejak ia tahu Marni diculik dan disiksa tentara Jepang, batin, dan naluri keibuannya terluka. Tersiksa lagi ketika Sagiyem teringat perlakuan kejam para tentara Jepang terhadap putrinya. Selama 4 tahun ia tidak bertemu anaknya karena diculik dan dijadikan jugun

ianfu. Sebagai seorang ibu, Sagiyem sangat sedih melihat keadaan anaknya yang sangat menderita. Bayangan buruk pengalaman traumatis Marni terus-menerus menghantui pikiran Sagiyem.

(102)Sejak ia tahu Marni diculik oleh bajingan-bajingan Jepang itu, batin dan naluri keibuannya lebih tersiksa membayangkan perlakuan mereka terhadap putrinya yang cantik. Dan kurun waktu 4 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk meladeni nafsu-nafsu binatang para serdadu Jepang itu. Mata tua Mbok Sagiyem berkaca-kaca. Dengan penuh cinta dan ketabahan yang terbalut dendam, ia membuatkan ramuan penyembuh luka buat Marni. Setiap malam ia mencoba menahan rasa mualnya karena bau busuk dari kemaluan Marni (hlm. 3).

(103)Mbok Sagiyem menghela nafas berat. Di benaknya langsung terbayang kemaluan Marni yang membusuk. Naluri keibuannya begitu tertusuk membayangkan Marni yang pasti mengalami hal serupa Marsih atau bahkan lebih parah dari itu (hlm. 4).

Tokoh Sagiyem mengalami respons fisikal, seperti dada sesak dan tangannya bergetar ketika putrinya dihina oleh tetangganya. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(104)”Jadi benar, dong, kata orang-orang desa itu kalau Marni memang sudah gila.”

”Anggap saja begitu, Pak,”sahutnya dengan dada sesak. Tangan keriputnya mendadak bergetar (hlm. 27).

3.2.2.3 Tokoh Rumijah

Rumijah secara berkelanjutan memiliki pikiran atau ingatan yang tidak menyenangkan mengenai peristiwa traumatik yang dialaminya. Masalah tersebut disebabkan karena Rumijah selalu mendapat perlakuan kasar dari Winarsih. Rumijah sering mengalami kekerasan fisik dan psikologis yang dilakukan oleh Winarsih. Ia sering mendapat tamparan di wajah, cacian, dan mendapat ancaman. Pengalaman traumatis tersebut membekas dalam ingatannya. Rumijah selalu

dibayangi perasaan takut akan kemarahan ibunya. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(105)Rumijah hanya menghela nafas dalam. Ia mendadak benci mendengar dan membayangkan raut Winarsih (hlm. 97).

(106)Seperti biasa Rumijah pun tak mampu membendung tangisnya. Di benaknya langsung terbayang wajah berang Winarsih yang terus menuntut janjinya (hlm. 98).

(107)Kenichi itu pasti pacar Hana dan ia pun dipaksa untuk membunuh sosok itu! Wajah bengis Winarsih sekonyong menyeruak di sanubari Rumijah yang masih terluka (hlm. 114).

Rumijah mengalami respon fisikal. Ia mendadak merasakan panas dingin pada tubuhnya dan kepalanya menjadi pening setelah mengetahui hubungan Hana dengan Kenichi Yoshitaka. Masalah tersebut terjadi karena Rumijah memiliki pengalaman yang sama dengan anaknya. Mereka berdua harus menanggung beban dendam Winarsih terhadap orang Jepang. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(108)Sekujur tubuh Rumijah mendadak panas dingin. Ia kembali membaca bait terakhir itu ”Haruskah ini kujalani?” Rumijah mendadak pening. Ternyata Hana memiliki karma yang sama dengan dirinya (hlm. 114).

3.2.2.4 Tokoh Hana Motokura

Hana secara berkelanjutan memiliki pikiran atau ingatan yang tidak menyenangkan mengenai cerita traumatik yang dialami nenek buyutnya. Sejak kecil Hana selalu mendapat cerita tentang pemerkosaan yang dilakukan tentara Jepang terhadap nenek buyutnya (Marni). Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(109) Ia sangat terbebani ”keinginan salah” yang terlanjur mengontaminasi jiwanya sejak kecil. Sekonyong terbayang perlakuan sadis para tentara

Jepang itu terhadap Mbah Buyut-nya yang hingga detik ini masih terduduk sendu dalam trauma masa lalunya (hlm. 117).

Hana merasakan seakan-akan peristiwa traumatik nenek buyutnya akan terulang kembali (flash back). Dalam pikirannya semua laki-laki Jepang adalah orang jahat. Hana sangat mempercayai cerita neneknya tentang perilaku buruk orang Jepang. Ia merasa laki-laki Jepang tersebut layak untuk dibunuh sebagai balas dendam terhadap penderitaan leluhurnya. Selain itu, ia merasa penderitaan yang dialami nenek buyutnya dapat terulang kembali. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(110) Hana yang lebih banyak mendengar cerita mengerikan itu lewat ’dongeng’ berbumbu berjuta ramuan racun dari Winarsih, semakin mengerti dan kadang terhanyut begitu jauh untuk mengamini segala tindak dendam neneknya terhadap semua orang keturunan Jepang. Bahkan, Hana sempat tak memiliki nurani sebagai seorang anak yang ayahnya mati karena masuk dalam daftar naluri sesat neneknya. Ia sama sekali tak menyalahkan Winarsih atas tindakannya meracun Hori (hlm. 117).

Dokumen terkait