• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.6 Landasan Teori

1.6.2 Psikologi Sastra

1.6.2.2 Stres Pasca-Trauma

Menurut Pearson via Arthayani (2003: 11), hampir setiap orang yang mengalami pengalaman traumatik, seperti kecelakaan, perang, dan bencana alam, mengalami pula berbagai gangguan untuk sementara waktu, seperti gangguan tidur, sifat lekas marah, ‘mengalami kembali’ peristiwa traumatik, mimpi buruk, dan usaha-usaha untuk menghindari ingatan tentang peristiwa traumatik. Untuk beberapa orang, gejala-gejala tersebut dapat berlangsung lama dan mengakibatkan gangguan stres yang berkepanjangan dan dapat mengakibatkan terganggunya berbagai fungsi fisik, psikologis, dan sosial. Ketika hal ini terjadi, mungkin saja individu tersebut mengembangkan stres pasca-trauma. Gejala stres pasca-trauma dapat dialami oleh semua orang pada semua tingkat usia, di mana seseorang terbuka terhadap peristiwa traumatik yang di dalamnya terdapat peristiwa yang mengancam kematian atau menyebabkan luka yang serius pada dirinya atau orang lain yang dekat dengan dirinya.

Menurut Scott (via Arthayani, 2005: 12) dalam Diagnostic and Statistical Manual (DSM IV) dijelaskan bahwa stres pasca-trauma adalah gangguan emosi yang luar biasa yang berbeda dengan gangguan emosi lainnya, seperti depresi dan

kepanikan. Gangguan ini tidak secara mudah dapat disederhanakan berkaitan dengan gejalanya. Stres pasca-trauma sendiri adalah salah satu kategori diagnostik dari gangguan kecemasan yang diakui oleh American Psychriatic Association (APA).

Munculnya stres pasca-trauma ditandai dengan “terulangnya” pengalaman atau peristiwa yang bersifat traumatik sehingga individu menjadi terpisah dengan realitas, pikiran, merasa, dan bertindak seolah-olah kejadian traumatik terulang kembali. Keadaan tersebut diikuti dengan munculnya gejala tertentu dan pengelakan atau penolakan terhadap gejala-gejala yang berkaitan atau mengingatkan pada trauma (Scott via Arthayani, 2005: 12).

Menurut Baldwin (via internet, 2002) tidak semua orang mengalami peristiwa traumatik dapat menderita stres pasca-trauma, namun unsur ketidakberdayaanlah yang membuat suatu peristiwa secara subjektif bersifat melumpuhkan. Goleman (1999: 285) mencontohkan sebagai berikut; “Ketika seseorang diserang oleh sebilah pisau tahu cara bagaimana membela diri dan bagaimana bertindak, sementara orang dalam nasib yang sama berpikir “mati aku”, maka orang yang tidak berdaya itulah yang mudah terkena. stres pasca-trauma” Dari pernyataan tersebut dinyatakan bahwa ketidakberdayaan seseorang dalam menghadapi trauma psikis merupakan kunci terbentuknya stres pasca-trauma.

Stres pasca-trauma pada awalnya berhubungan erat dengan trauma perang, namun saat ini stres pasca-trauma dikenal sebagai konsekuensi potensial dari suatu peristiwa atau pengalaman terhadap berbagai kejadian yang berpotensi

menimbulkan trauma. Kendati tidak ada peristiwa traumatik yang besar atau ekstrim, munculnya gejala tersebut dapat disebabkan oleh stres yang terus-menerus berlangsung dan tanpa henti (Scott via Arthayani, 2005: 13).

Beberapa pengalaman spesifik yang dapat menyebabkan stress pasca-trauma yaitu perang, pengungsian, bencana alam, bencana karena ulah manusia, kecelakaan mobil, kecelakaan pesawat terbang, pemerkosaan, pelecehan seksual pada anak, dan perusakan fisik. Semakin mendalam peristiwa traumatik, semakin buruk gejala-gejala stres pasca-trauma-nya (Wilson, 1996: 151).

Ada banyak kejadian traumatis yang dapat membuat seseorang trauma, sehingga apabila dia mengalami suatu hal kejadian yang dapat berhubungan dengan kejadian trauma yang dialaminya, dia akan kembali teringat akan kejadian traumatis yang lalu. Dia merasa bahwa dia berada di dalam bahaya lagi.

Smith dan Segal (via internet, 2008) mengategorikan gejala-gejala stres pasca-trauma sebagai berikut:

1. Gejala Menghidupkan Kembali (Re-experiencing Symptom)

Seseorang yang mengalami stres pasca-trauma sering merasa peristiwa traumatik tersebut akan terulang kembali. Hal ini biasanya disebut flashback, atau menghidupkan kembali peristiwa. Orang ini mungkin secara berkelanjutan memiliki pikiran atau ingatan yang tidak menyenangkan mengenai peristiwa tersebut, mengalami mimpi buruk yang terus berulang, atau bahkan sering menyebabkan terjadinya respons fisikal, seperti jantung berdetak kencang atau berkeringat ketika teringat akan peristiwa traumatik tersebut. Selain itu orang dengan gejala stres pasca-trauma akan mengalami perasaan menderita yang kuat

ketika teringat kembali peristiwa traumatik tersebut. Gejala-gejala tersebut menyebabkan seseorang kehilangan ”saat sekarang”, seolah-olah orang ini mengalami kembali peristiwa traumatik yang dulu pernah dirasakannya (Smith dan Segal via internet, 2008).

2. Gejala Penghindaran (Avoidance Symptom)

Seseorang yang mengalami stres pasca-trauma berusaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan yang berhubungan dengan peristiwa traumatik tersebut. Mereka mungkin akan menghindari orang-orang, tempat, benda-benda yang mengingatkan peristiwa traumatik tersebut. Orang ini secara perlahan-lahan akan kehilangan ketertarikan atas aktivitas positif yang penting, merasa jauh atau seperti ada jarak dengan orang lain. Selain itu, seringkali orang dengan stres pasca-trauma mengalami kesulitan untuk merasakan perasaan-perasaan positif (kesenangan/ kebahagiaan atau cinta/kasih sayang), serta merasa seakan-akan hidup seperti terputus di tengah-tengah. Gejala-gejala ini menyebabkan orang yang menderita stres pasca-trauma tidak berharap untuk dapat kembali menjalani hidup dengan normal (Smith dan Segal via internet, 2008).

3. Gejala Waspada (Hyperarousal Symptom)

Gejala-gejala stres pasca-trauma pada orang-orang sangat berbeda-beda. Mereka mungkin sangat cemas, mudah gelisah, mudah tersinggung atau marah, dan mungkin mengalami sulit tidur seperti insomnia. Mereka akan terlihat terus-menerus waspada dan mengalami kesulitan konsentrasi. Sering orang dengan stres

pasca-trauma akan selalu merasa seperti sedang diawasi atau seakan-akan bahaya mengincar di setiap sudut (Smith dan Segal via internet, 2008).

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan beberapa pengetahuan tentang stres pasca-trauma, yaitu tentang gejala-gejala psikologis yang ada dalam diri seseorang bila menderita stres pasca-trauma. Dari beberapa gejala psikologis tersebut akan diteliti lima tokoh wanita dalam novel LKMB.

1.7Metode Penelitian

Pada bagian ini akan dikemukakan mengenai pendekatan dan metode.

1.7.1 Pendekatan

Psikologi pada dasarnya mempelajari proses-proses kejiwaaan yang dapat diikutsertakan pada studi sastra. Dalam aliran psikologis, seseorang akan mengungkapkan suatu kisah berdasarkan gerak-gerik jiwa tokohnya (Tjahyono, 1988: 230).

Dalam penelitian ini, pendekatan yang akan dilakukan adalah pendekatan dari sudut psikologis. Kritik psikologis dalam studi sastra adalah salah satu kritik sastra yang berusaha untuk mendalami segi-segi kejiwaan penulis, karya, dan pembaca (Tarigan, 1985: 213). Dengan pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa penelitian dengan pendekatan psikologis dapat dilakukan dalam studi sastra. Tarigan tidak membatasi daerah kajian pendekatan psikologis pada masalah-masalah genetik saja, tetapi juga pada sastra sebagai suatu karya yang otonom dengan meneliti aspek-aspek psikologis yang ada pada para tokohnya.

Menurut Ratna (2004: 334) ada dua cara untuk memulai penelitian karya sastra melalui pendekatan psikologis. Pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi, kemudian diadakan analisis terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan analisis. Penulis memilih dengan cara kedua, yaitu menentukan suatu karya sastra sebagai objek yang akan diteliti, kemudian akan menentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan analisis.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan dari sudut psikologis dengan menggunakan teori stres pasca-trauma. Dipilihnya teori tersebut karena sesuai dengan permasalahan yang ada dalam objek penelitian. Teori tersebut mengemukakan tentang gangguan stres pasca-trauma akibat dari kejadian-kejadian traumatis yang dialami lima tokoh wanita dalam LKMB.

Melalui pendekatan dari sudut psikologis, penulis dapat menganalisis sisi psikologis lima tokoh wanita melalui dialog dan perilakunya dengan menggunakan sumbangan pemikiran psikologi.

1.7.2 Metode

Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (KBBI, 1995: 652). Sesuai dengan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka metode yang dipakai adalah metode formal dan metode deskriptif analisis.

Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-aspek formal, aspek-aspek bentuk, yaitu unsur-unsur karya sastra. Tugas utama metode formal adalah menganilisis unsur-unsur sesuai dengan peralatan yang terkandung dalam karya (Ratna, 2004: 51).

Secara etimologis deskripsi dan analisis berarti menguraikan. Analisis berasal dari bahasa Yunani, analyein (‘ana’: atas, ‘lyein’: lepas, urai), tidak semata-mata menguraikan melainkan juga memberi pemahaman dan penjelasan secukupnya. Metode deskriptif analisis adalah metode yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Metode analisis yang dilakukan, yaitu menganalisis unsur ekstrinsik dan instrinsik (Ratna, 2004: 53).

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Unsur instrinsik adalah unsur-unsur yang secara keseluruhan membangun struktur karya sastra (Nurgiyantoro, 1998: 23).

Pada penelitian ini, penulis meneliti novel LKMB dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang ada dalam novel LKMB, kemudian disusul dengan analisis, yaitu menganalisis unsur ekstrinsik dan instrinsik yang ada dalam novel LKMB.

Dokumen terkait