• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM

3.4 Gejala Waspada (Hyperarousal Symptom)

3.4.1 Tokoh Utama

3.4.1.1Tokoh Winarsih

Winarsih merasakan sulit tidur, perasaannya menjadi gelisah setiap kali teringat pada masa lalu ibunya. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(142)Winarsih tak bisa tidur nyenyak dan terus membayangkan penderitaan ibunya. Perlahan ia pun bangkit dan menuju kamar belakang di mana Marni tertunduk dengan tatapan kosong (hlm. 6). Winarsih memiliki sifat mudah marah atau meledak-ledak setiap menghadapi masalah dengan orang lain. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(143)”Oalaaaa...biar kamu teriak serak. Semua orang desa sudah pada tahu dia itu kutis!” seloroh Ibu Anis sambil menunjuk kepala Marni. Winarsih pun semakin belingsatan dan melempar wajahnya dengan batu yang ada di dekatnya. Menyadari keagresifan Winarsih, beberapa warga mengamankannya. Tapi Winarsih bak orang kesetanan. Ia terus meronta dan baru berhenti ketika tiba-tiba Marni teriak histeris (hlm. 22).

(144)Winarsih pun langsung mendekati Rumijah dan menampar wajahnya berkali-kali.”Anak kurang ajar! Sadarlah Rumi, karena kutukan leluhurmu akan sangat menyakitkan!” ancamnya sengit (hlm. 68).

(145)”Apa?!!!” tamparan keras dan berkali-kali akhirnya mendarat juga di wajah Rumijah. Gadis itu tersungkur dalam jerit dan tangis memilukan.

”Gugurkan, Rumi!! Gugurkan anak setan itu!!” (hlm. 85).

Winarsih merasakan gelisah, tidak tenang, atau mudah ’terpicu’/sangat ’waspada’ ketika teringat akan peristiwa traumatik masa lalu ibunya. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(146)Hingga keampuhan jamu gadis ayu itu akhirnya singgah pula ke telinga Mr. Kazuhiro Yoshikawa. Laki-laki tua yang menurut cerita banyak orang adalah mantan tentara di masa mudanya namun memiliki penyakit asam urat yang lumayan parah. Darah dendam Winarsih makin bergolak hebat, ketika ia secara khusus dipanggil ke kediaman beliau untuk meramu jamu asam urat yang dimintanya. Melihat mata tua yang sipit itu dan seringai tawanya. Kontan Winarsih teringat wajah sendu ibunya. ”Aku yakin dia adalah salah satu tentara yang pernah memperkosa ibuku,” batinnya mantap (hlm.37).

(147)Batin Winarsih terus saja menyuarakan pemberontakan atas nasib tak adil yang menimpa ibunya. Hingga menjelang pagi Winarsih tak juga bisa memejamkan matanya. Ia terus saja menunggu waktu yang ditentukan Mr. Yoshikawa untuk membawakannya ramuan jamu asam urat yang katanya begitu manjur (hlm. 39).

3.4.2 Tokoh Tambahan 3.4.2.1Tokoh Marni

Marni merasakan sulit untuk tidur atau tidur tapi dengan perasaan gelisah. Ia selalu terkenang akan perlakuan kasar yang dialaminya pada saat di barak militer Jepang. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(148)Setiap malam ia masih saja didera mimpi buruk tentang penyiksaan, perkosaan, dan segala macam perilaku tak manusiawi yang pernah dialaminya. Sangat sulit baginya untuk terlepas dari belenggu mimpi buruk itu (hlm. 13).

Marni merasa kesulitan berkonsentrasi. Ia tidak dapat merasakan kehadiran anaknya di dekatnya karena pikirannya selalu kosong. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(149)“Ibu….” sapanya lembut. Namun Marni bergeming, ia hanya menoleh sekilas dan kembali membuang pandangannya dengan tatapan kosong (hlm. 7).

(150)Marni hanya menatap bola mata anaknya penuh haru. Kemudian dipeluknya lagi dengan tangan sesenggukan. Sepertinya ia baru tersadar, siapa perempuan kecil di hadapannya itu (hlm. 10).

Marni selalu merasa sedang diawasi oleh tentara Jepang atau merasa seakan-akan bahaya mengincar dirinya. Ia selalu takut berada di luar rumah, meskipun ditemani oleh Winarsih. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(151)”Wedi Nduk...Ana wong Jepang,”sahutnya lirih

”Wis mati kabeh, Bu...Makanya, Ibu keluar biar percaya.”

Mata Marni terlihat ragu. Berkali-kali ia melihat keluar jendela. Bayangan tentara Jepang silih berganti menghantui trauma dibatinnya. Tiba-tiba ia menggigil kedinginan (hlm. 20).

3.4.2.2 Tokoh Sagiyem

Pengetahuan dan pendidikan yang rendah di masyarakat menempatkan Marni pada kelas sosial yang rendah dan hina. Masyarakat tidak dapat menerima kehadiran Marni (seorang bekas jugun ianfu) berada di lingkungan mereka. Mereka sering menghina dan menggunjingkan Marni. Perlakuan yang tidak adil tersebut membuat hati Sagiyem sangat sedih, benci, marah, dan terluka. Sagiyem menjadi nekat dan tega membunuh tetangganya dengan ramuan racun. Ia bertekad akan melindungi keluarganya meski dengan mempergunakan ramuan racun.

Sagiyem menjadi mudah marah apabila tetangganya menghina Marni. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(152)Dan sebagai seorang ibu yang juga manusia biasa, ia pun bisa sangat marah dan nekat membuat Bu Darjo mengalami kejang perut hingga seminggu lamanya, lewat ramuan jamunya yang terkenal ampuh. Tentu saja karena Mbok sagiyem tak tahan mendengar celoteh fitnah Bu Darjo tentang Marni. Ramuan racun itu dicampurnya dengan jamu awet ayu yang biasa dipesan oleh Bu darjo. Dan akhirnya, selama seminggu Bu Darjo menderita, tak ada satu pun obat yang bisa menyembuhkannya, kecuali ramuan penawar buatan Mbok Sagiyem (hlm. 17).

Ia menjadi waspada ketika anaknya di hina oleh orang lain. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(153)”Katanya opo, Pak? Jangan percaya omongan orang yang tidak pernah tahu bagaimana penderitaan anakku,” sambungnya mulai tak senang (hlm. 25).

(154)”Anggap saja begitu, Pak,”Sahutnya dengan dada sesak. Tangan keriputnya mendadak bergetar. Ingin rasanya ia meracun Pak Warso saat itu juga! (hlm. 27).

3.4.2.3 Tokoh Rumijah

Rumijah merasakan kesulitan berkonsentrasi. Pikirannya terbebani oleh masalah yang harus dihadapinya. Ia diperintah oleh Winarsih untuk membunuh Hori. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(155)“Kamu sering sekali melamun akhir-akhir ini, tanya Hori saat dilihatnya Rumi selalu hadir dengan wajah sendu (hlm. 65).

3.4.2.4 Tokoh Hana Motokura

Gejala stres pasca-trauma juga terlihat pada Hana, yaitu merasa gelisah dan tidak tenang ketika ibunya menanyakan hubungannya dengan Kenichi. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

(156)”Kenichi Yoshitaka... Diakah pangeranmu, sayangku?” Mata kecil Hana tiba-tiba menyiratkan ketidaksukaan mendengar tanya itu.

”Bukan! Mama salah. Justru dialah orang yang harus aku persembahkan demi dendam leluhurku.,” sahutnya berang (hlm. 115).

3.5 Rangkuman

Berdasarkan analisis di atas, gejala-gejala stres pasca-trauma tergambar dalam tokoh Sagiyem, Marni, Winarsih, Rumijah, dan Hana Motokura. Stres pasca-trauma terlihat pada keadaan psikologis tokoh Marni dan Winarsih dan stres pasca-trauma mempunyai pengaruh yang terlihat jelas pada kehidupannya.

Stres pasca-trauma yang dialami Marni adalah akibat pengalaman traumatik berupa pemerkosaan yang disertai berbagai kekerasan fisik maupun psikis. Dampak stres pasca-trauma yang tergambar pada tokoh Marni cukup parah karena stres pasca-trauma mengganggu kejiwaannya.

Marni adalah contoh seseorang yang mempunyai tingkat stres pasca-trauma yang tinggi karena dapat dilihat dari perjalanan hidupnya. Selama tiga tahun Marni mengalami perkosaan dan kekerasan fisik maupun psikis yang dilakukan oleh tentara Jepang. Penderitaanya belum berakhir meskipun perang telah usai. Ia menerima perlakuan tidak adil oleh bangsanya sendiri. Masyarakat tak sepenuh hati menerima keberadaan Marni di lingkungan mereka. Mereka

menganggap Marni sebagai bekas pelacur dan manusia kotor. Karena perlakuan buruk itu, Marni menderita gangguan kejiwaan seumur hidup. Namun, stres pasca-trauma -nya tetap tidak dapat disembuhkan walaupun dia telah melewati masa traumatisnya karena luka-luka dari masa lalunya amat dalam.

Stres pasca-trauma juga tampak jelas dalam kehidupan Winarsih. Stres pasca-trauma yang dialami Winarsih disebabkan karena dirinya menyaksikan peristiwa traumatik yang dialami Marni. Selain itu, Winarsih juga pernah mengalami kekerasan fisik dan psikologis yang dilakukan masyarakat desanya. Winarsih mendapat perlakuan tidak adil dari teman dan warga desanya. Sejak kedatangan ibunya yang telah lama hilang karena diculik dan dijadikan jugun ianfu oleh tentara Jepang, ia mendadak dimusuhi teman-temannya. Ia selalu dihina karena memiliki seorang ibu yang pernah menjadi pelacur orang Jepang. Ia juga pernah dilempari dengan batu ketika pulang sekolah. Peristiwa tersebut membuat Winarsih mengalami trauma yang mendalam.

Stres pasca-trauma yang tampak pada Winarsih adalah mengalamai re-experiencing (menghidupkan kembali). Winarsih secara berkelanjutan memiliki pikiran atau ingatan yang tidak menyenangkan mengenai peristiwa traumatik masa lalunya. Ia mengalami flash back atau seakan-akan peristiwa traumatik masa lalunya selalu terulang kembali. Selain itu, Winarsih juga memiliki perasaan menderita yang kuat dan mengalami respons fisikal, ketika teringat kembali peristiwa traumatik masa lalunya.

Winarsih juga mengalami stres pasca-trauma, yaitu avoidance (penghindaran). Winarsih berusaha untuk menghindari orang-orang atau tempat

yang dapat mengingatkan peristiwa traumatiknya. Pada diri Winarsih terlihat dengan jelas hilangnya ketertarikan pada aktivitas positif yang penting, merasa jauh atau seolah ada jarak dengan orang lain. Selain itu ia juga mengalami kesulitan untuk merasakan perasaan-perasaan positif (kesenangan/kebahagiaan atau cinta/kasih sayang), serta merasakan seakan hidup terputus di tengah-tengah. Gejala-gejala tersebut menyebabkan dirinya tidak berharap untuk dapat kembali menjalani hidup dengan normal.

Stres pasca-trauma ini tampak pada Winarsih, yaitu waspada (hyperarousal symptoms). Winarsih memiliki perasaan cemas, mudah gelisah, dan mudah tersinggung atau marah. Ia juga mengalami sulit tidur seperti insomnia atau mimpi buruk.

Stres pasca-trauma juga tampak pada tokoh-tokoh seperti, Sagiyem, Rumijah, dan Hana Motokura. Namun, stres pasca-trauma yang mereka alami tidak separah yang dialami Marni dan Winarsih.

94 4.1 Kesimpulan

Analisis stres pasca-trauma tokoh dalam novel LKMB dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama novel LKMB dianalisis secara struktural, melalui unsur tokoh dan penokohan. Melalui analisis tokoh dan penokohan dapat diketahui secara jelas siapa saja tokoh yang ada di dalam cerita dan bagaimana perwatakannya. Sebelum menganalisis tokoh dan penokohan, penulis perlu mengemukakan sinopsis novel LKMB. Tujuannya agar memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai hubungan silsilah lima tokoh wanita dalam novel LKMB, yaitu Sagiyem, Marni, Winarsih, Rumijah, dan Hana Motokura serta mendapat gambaran pengalaman-pengalaman lima tokoh wanita tersebut.

Dari analisis tokoh dan penokohan diketahui bahwa Marni mempunyai pengalaman traumatis paling kuat. Tokoh Marni mengalami penculikan oleh tentara Jepang dan dijadikan jugun ianfu. Marni mengalami pemerkosaan dan kekerasan fisik maupun psikis yang dilakukan oleh tentara Jepang. Penderitaannya belum berakhir meskipun perang telah berakhir. Marni mendapat penolakan dari masyarakat. Mereka menganggap Marni sebagai bekas pelacur dan manusia kotor. Akibat perlakuan buruk tersebut, kondisi kejiwaannya terganggu. Selain itu, Marni juga mengalami stres pasca-trauma, ia harus menanggung derita sepanjang hidupnya. Trauma yang dialami Marni memengaruhi orang-orang terdekatnya, yaitu Sagiyem, Winarsih, Rumijah, dan Hana Motokura.

Tokoh utama dalam novel LKMB adalah Winarsih, anak Marni. Tokoh Winarsih menyaksikan orangtuanya diculik secara paksa oleh tentara Jepang. Winarsih menyaksikan ibunya ditemukan dengan keadaan yang memprihatinkan. Tubuh ibunya dipenuhi luka, darah, dan nanah berbau busuk yang keluar dari kemaluannya. Winarsih menyaksikan keadaan dan penderitaan yang dialami ibunya dan ikut merawat luka yang tersebar di seluruh tubuhnya. Winarsih mengetahui peristiwa yang menimpa ibunya. Ia mendengar percakapan antara neneknya (Sagiyem) dengan temannya tentang kekejaman tentara Jepang. Winarsih juga mengalami perlakuan tidak adil dari masyarakat. Ia mengalami kekerasan fisik dan kekerasan psikologis yaitu, dilempari dengan batu, dihina, diejek, dan dikucilkan secara sosial. Peristiwa tersebut membuat Winarsih mengalami trauma yang mendalam. Akibat peristiwa traumatis tersebut, kondisi kejiwaan Winarsih terganggu.

Tokoh Sagiyem (ibu Marni) mempunyai pengalaman traumatis sewaktu merawat Marni. Sagiyem sangat sedih melihat penderitaan anaknya. Sejak ia tahu Marni diculik oleh tentara Jepang, batin dan naluri keibuannya tersiksa membayangkan perlakuan mereka terhadap putrinya.

Tokoh Rumijah (anak Winarsih) mempunyai pengalaman traumatis sewaktu remaja. Rumijah kerap kali mengalami kekerasan fisik dan psikolgis. Ia kerap kali menerima tamparan dan ancaman yang dilakukan oleh Winarsih. Ia juga dipaksa untuk membunuh suaminya sendiri. Perlakuan ibunya terhadap Rumijah membuat batinnya terluka. Luka batin yang dialaminya mengakibatkan

dirinya trauma terhadap ibunya sendiri yang sebenarnya juga mengalami trauma sangat berat.

Tokoh Hana Motokura mempunyai pengalaman traumatis sewaktu balita. Sejak kecil pikirannya dipengaruhi cerita buruk masa lalu nenek buyutnya. Pikiran Hana dipengaruhi dendam yang diturunkan oleh neneknya (Winarsih) untuk membunuh orang Jepang.

Tahap kedua, analisis dari pendekatan psikologis, yaitu meneliti gejala stres pasca-trauma pada tokoh Sagiyem, Marni, Winarsih, Rumijah, dan Hana Motokura. Diketahui tentang kisah masa lalu lima tokoh tersebut dan pengalaman-pengalaman yang dirasakan lima tokoh tersebut. Banyaknya pengalaman-pengalaman traumatis berupa kekerasan fisik, psikologis, emosional, dan kekerasan seksual. Gejala stres pasca-trauma pada lima tokoh tersebut dapat disingkat sebagai berikut:

Tokoh Gejala Stres Pasca-Trauma Keterangan Winarsih Menghidupkan kembali

(re-experiencing)

• Winarsih selalu dibayang-bayangi ingatan tentang peristiwa traumatik yang dialami ibunya.

• Winarsih membayangkan pada saat dirinya diperkosa oleh Purnomo, pikirannya langsung kembali pada penderitaan ibunya. Ia merasa seakan-akan peristiwa traumatik ibunya seakan-akan terulang kembali pada dirinya.

• Setiap kali Winarsih teringat akan kematian Yoshida hatinya sangat sedih.

• Ia selalu berkeringat dan jantungnya berdetak kencang, setiap kali bertemu dengan orang Jepang. Winarsih teringat kembali akan penderitaan yang dialami ibunya.

Menghindar (Avoidance) • Winarsih selalu menghindari orang-orang yang selalu menghina dan memusuhinya.

• Ia tidak lagi tertarik dengan aktivitas positif. Winarsih memutuskan untuk membalaskan dendam Marni terhadap orang Jepang.

• Winarsih merasa tidak dapat menjalin hubungan dengan baik terhadap Rumijah (anaknya). Karena hidupnya diliputi dengan rasa dendam, rasa benci, dan amarah.

• Ia merasa sulit untuk merasakan kebahagiaan dan kasih sayang terhadap orang lain.

• HidupWinarsih diabdikan untuk membalas dendam terhadap orang Jepang.

Waspada (Hyperarousal Symptom)

• Winarsih tidak dapat tidur dengan enak karena ia selalu teringat akan penderitaan ibunya.

• Winarsih memiliki sifat mudah marah. Ia sering melakukan kekerasan terhadap putrinya sendiri.

• Winarsih merasakan tidak tenang ketika teringat akan peristiwa traumatik masa lalu ibunya

Marni Menghidupkan kembali

(re-experiencing)

• Marni selalu terkenang dan mimpi buruk akan perlakuan buruk tentara Jepang yang telah memperkosanya.

• Ia merasakan seakan-akan perlakuan tentara Jepang akan terulang kembali pada dirinya.

• Marni selalu merasa benci pada dirinya sendiri, jijik, tidak punya harga diri, dan merasa rendah diri. Ia merasa tidak berdaya mengatasi perasaan tersebut sehingga membuat dirinya menderita.

• Setiap kali Marni teringat kembali akan peristiwa traumatik masa lalunya, ia selalu berkeringat dan kemaluannya mengeluarkan darah.

Menghindar (Avoidance) • Marni tidak berani keluar dari rumah. Ia tidak mau bertemu dengan masyarakat yang selalu menatap dan mencibir dirinya.

• Marni menjadi seseorang yang berkepribadian tertutup. Ia menarik diri dari kehidupan sosialnya. Ia menghabiskan waktunya di dalam rumah dan tidak mau berinteraksi dengan masyarakat.

• Marni tidak dapat membedakan rasa kasihan, benci, dan marah, semua bercampur aduk di batinnya.

• Ia sering berharap untuk mati sehingga dapat terbebas dari penderitaannya. Waspada (Hyperarousal

Symptom)

• Marni merasakan sulit untuk tidur karena ia selalu terkenang akan perlakuan kasar yang dialaminya pada saat di barak militer Jepang.

• Ia tidak dapat merasakan kehadiran anaknya di dekatnya karena pikirannya selalu kosong.

• Marni selalu merasa sedang diawasi oleh tentara Jepang. Dan ia juga merasa seakan-akan bahaya mengincar dirinya. Sagiyem Menghidupkan

kembali(re-experiencing)

• Sagiyem selalu dibayangi pikiran yang tidak menyenangkan akan penderitaan yang dialami Marni.

• Ia mengalami dada sesak dan berkeringat ketika anaknya dihina oleh tetangganya.

Menghindar (Avoidance) • Sagiyem selalu menghindari pembicaraan tentang peristiwa traumatik yang dialami anaknya.

• Sagiyem tidak lagi tertarik dengan aktivitas positif. Ia lebih suka mengajar Winarsih meramu jamu untuk obat dan jamu beracun untuk membunuh.

• Sagiyem merasa terasing, terhina, dan tidak kerasan tinggal di desanya. Karena masyarakat tidak dapat menerima kehadiran Marni dan keluarganya.

• Sagiyem merasa sulit untuk mengasihi orang yang dibencinya. Ia tega meracuni tetangganya tanpa ada rasa sesal dihatinya.

• Ia merasa putus asa dan bersalah karena keahlian meramu jamu yang dimiliknya dipergunakan secara salah.

Waspada (Hyperarousal Symptom)

• Sagiyem menjadi mudah marah apabila tetangganya menghina Marni.

• Ia menjadi waspada ketika Pak Warso menjelek-jelekan penderitaan Marni. Rumijah Menghidupkan

kembali(re-experiencing)

• Rumijah selalu dibayangi perasaan takut akan kemarahan Winarsih.

• Rumijah merasakan panas dingin pada tubuhnya dan kepalanya terasa pusing setelah mengetahui anaknya (Hana) menjalin hubungan percintaan dengan Menghindar (Avoidance) • Rumijah menjadi seorang yang pendiam

dan tertutup, ia tidak mau membicarakan masalah pribadinya dengan orang lain.

• Hubungan Rumijah dengan ibunya tidak pernah harmonis. Semenjak ia harus ikut menanggung beban dendam Winarsih terhadap orang Jepang.

• Rumijah merasa sulit untuk menerima kebaikkan dari ibunya. Ia mencurigai Winarsih akan membunuh dirinya dengan racun.

Waspada (Hyperarousal Symptom)

• Rumijah sering melamun dan konsentrasinya terganggu.

Hana Motokura

Menghidupkan kembali(re-experiencing)

• Hana selalu terkenang akan penderitaan yang dialami nenek buyutnya.

• Ia merasa seakan-akan penderitaan yang dialami nenek buyutnya akan terulang kembali.

Menghindar (Avoidance) • Hana selalu berusaha menghindari foto ayahnya. Sejak kecil, ia sudah ditanamkan rasa benci terhadap orang Jepang oleh neneknya. Sehingga dalam

pikiran Hana, orang Jepang seperti ayahnya adalah orang jahat.

• Hana tidak tertarik dengan aktivitas positif. Ia lebih suka belajar membuat ramuan beracun berikut penawarnya. Selain itu Hana sedang mengasah naluri sesat warisan neneknya. Ia mencari orang Jepang untuk dijadikan target membalas dendam. Hingga akhirnya, Hana pun terpaut pada seorang keturunan Jepang yang bernama Kenichi Yoshitaka.

• Meskipun Hana tidak membenci ibunya, namun gadis itu hanya meyakini kebenaran kata-kata dan petuah neneknya daripada ibu kandungnya sendiri.

• Hana merasa sulit untuk menerima kasih sayang dan cinta dari ibunya ataupun dari Kenichi.

Waspada (Hyperarousal Symptom)

• Hana merasa gelisah dan tidak tenang ketika ibunya menanyakan hubungannya dengan Kenichi.

Berdasarkan analisis di atas, gejala-gejala stres pasca-trauma tergambar dalam tokoh Sagiyem, Marni, Winarsih, Rumijah, dan Hana Motokura. Stres pasca-trauma paling dominan pada keadaan psikologis tokoh Marni dan Winarsih dan terlihat jelas dalam kehidupan keduanya.

4.2 Saran

Berdasarkan hasil peneitian di atas, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut; selain penelitian berdasarkan pendekatan psikologi sastra pada cerita novel LKMB, penelitian dapat diarahkan pada permasalahan gender dengan kritik sastra feminis tentang kekerasan, dan dalam novel LKMB yang menjadi korban kekerasan adalah wanita. Seputar permasalahan gender, kekerasan pada wanita bisa menjadi topik yang menarik untuk diangkat menjadi penelitian ilmiah.

102

Disorder (PTSD) pada Pengungsi Anak Timor-timur di Asrama Taman Bina Anak Bangsa, Wonosari-Yogyakarta. Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

Atma, Jiwa. 1986. Notasi tentang Novel dan Semiotika Sastra. Ende: Nusa Indah. Baldwin’s, David (2002), Trauma Information.

http://www.trauma.page.com.Eugene (di-download tanggal 15 Desember 2008).

Carlson, Eve. B dan Josef Ruzek. Effect of Traumatic Experiences. http://www.ncptsd.va.gov/feet/general/fseffect.html (di-download tanggal 15 Desember 2008).

Goleman, D. 1997. Emotional Intellegence. (Terjemahan: Hariono S. Imam). Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.

Hardjana, Andre. 1981. Kritik Satra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1985. Pemandu Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Hindra, Eka dan Koichi Kimura. 2007. Mereka Memanggilku Momoye. Jakarta: Erlangga.

http://id.wikipedia,org/wiki/jugunianfu (di-download tanggal 10 Desember 2008). http://damuhbening.multiply.com/reviews/item/38 (di-download tanggal 27

Januari 2009).

Jumriati, Ria. 2007. Lima Kelopak Mawar Berbisa. Yogyakarta: Sheila.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1995. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Jakarta: Balai Pustaka.

Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Semi, M. Atar. 2000.”Mencari Pendekatan Sastra yang Relevan”. Sastra volume 04, Agustus 2000. Bandung: Yayasan Balerong.

Smith, M., Segal R., Segal, J. (Desember,2008). ” Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD): Symptoms, Treatment, and Self-Help.” http://www.helpguide.org/mental/post_traumatic_stress_disorder_sympto ms_treatment.htm. (di-download tanggal 10 Desember 2008).

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sumardjo, Jakob. 1984. Pengantar Novel Indonesia. Jakarta: Karya Unipress. Tarigan, Henry Guntur. 1985. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Tjahyono, Albertus Tengsoe. 1988. Sastra Indonesia Pengantar Teori dan

Apresiasi.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Stephanus Agus Tri Nugroho adalah anak ketiga dari pasangan Bapak Markus Paidi Hadikusumo dan Ibu Theresia Murtilah. Lahir di Yogyakarta, 12 agustus 1982. Penulis menamatkan pendidikan di TK Kanisisus Demangan Baru Yogyakarta, SD Kanisisus Demangan Baru Yogyakarta (1989-1995), SLTP Pangudi Luhur 2 Yogyakarta (1995-1998), dan menamatkan sekolah SMA BOPKRI 2 Yogyakarta (1998-2001). Pada tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Setelah akhirnya pada tahun 2010 dapat memperoleh gelar sarjana Sastra Indonesia.

Dokumen terkait