• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM

2.2 Sinopsis

2.3.2 Tokoh Tambahan

2.3.2.1 Tokoh Marni

Tokoh Marni adalah ibu dari Winarsih. Ia menikah dengan Trenggono, kehidupannya sangat bahagia ketika dikaruniai anak bernama Winarsih, berikut kutipannya:

(28)Tahun 1942 ketika tentara Jepang mendaratkan tapak angkara murkanya di bumi Pertiwi, saat itu Marni adalah kembang desa yang beberapa tahun lalu dipersunting oleh Trenggono, salah satu pemuda tampan di desanya. Hidup Marni nyaris sempurna ketika ia dianugerahi Winarsih yang telah berumur 5 tahun (hlm. 1-2).

Namun kebahagiaannya terganggu, karena dirinya diculik oleh tentara Jepang dan dijadikan jugun ianfu, berikut kutipannya:

(29)Kehidupan harmonis itu tak lama ia rasakan, ketika kemudian ia diculik paksa di hadapan suami dan anaknya oleh beberapa serdadu Jepang dan dimasukkan ke dalam mobil tentara yang membawanya entah ke mana (hlm. 2).

(30)....Tak habis pikir dengan perilaku biadab tentara Jepang terhadap perempuan Indonesia yang dijadikan jugun ianfu (hlm. 9).

(31) Siapa yang mau diculik tentara Jepang? Siapa yang mau diperlakukan sebegitu keji olah bajingan-bajingan itu? (hlm. 9).

Hingga suatu hari, Marni ditemukan oleh warga desa dengan keadaan yang memprihatinkan. Tubuhnya penuh dengan luka dan alat kemaluannya mengeluarkan darah dan nanah yang mengeluarkan bau tidak sedap. Keadaan tersebut disebabkan karena Marni mengalami kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan oleh tentara Jepang. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:

(32)Hingga suatu hari, hampir seluruh orang desa gempar kerena mendapati sosok tubuh kumuh yang penuh luka di sana-sini, tergeletak tak berdaya di sebuah danau di pinggiran hutan. Ia ditemukan beberapa warga yang hendak mengambil kayu bakar. Beruntung salah satunya mengenali tubuh itu sebagai Marni. Lalu dibawalah perempuan malang yang hampir mati itu kepada keluarganya Tak ada kata yang terucap, linangan air mata dan isakan pedihlah yang banyak terdengar. Hampir seluruh tubuh Marni dipenuhi luka tak wajar. Darah dan nanah berbau busuk terus saja mengalir dari liang kemaluannya. Marni memang masih hidup, tapi sorot matanya hampa dan mati. Dan kurun waktu 4 tahun bukanlah waktu waktu singkat untuk meladeni nafsu-nafsu binatang para serdadu Jepang itu.(hlm. 2-3).

Dalam novel LKMB, tokoh Marni digambarkan sebagai seorang wanita yang dijadikan jugun ianfu oleh tentara Jepang. Ia mengalami kekerasan fisik dan

seksual yang dilakukan oleh tentara Jepang. Perlakuan buruk tersebut membuat fisik dan psikologisnya terganggu, terutama jiwanya rusak parah. Pada kutipan (32) membuktikan bahwa tokoh Marni mengalami tindak kekerasan yang dilakukan oleh tentara Jepang. Kekerasan tersebut menyebabkan keadaan psikologis Marni terganggu dan jiwanya rusak parah. Ia tidak dapat merasakan perasaan kasihan, benci, dan marah, berikut kutipannya:

(33)Ibumu sekarang sudah sulit membedakan mana rasa kasihan, benci dan marah. Semua bercampur aduk di batinnya... (hlm. 7).

Trauma yang dialami Marni membuat dirinya selalu teringat akan pemerkosaan yang dilakukan tentara Jepang terhadap dirinya, berikut kutipannya:

(34)”Ampun...!aku mau mati....aku mau mati jangan....jangan perkosa lagi!!!!(hlm. 10).

(35)Setiap malam ia masih saja didera mimpi buruk tentang penyiksaan, perkosaan dan segala macam perilaku tak manusiawi yang pernah dialaminya (hlm. 13).

(36)Saat ia tertidur terlalu nyenyak dan kemudian terbangun, Marni merasa dirinya tetap berada pada barak nista itu (hlm. 13).

Pada kutipan (34), (35), dan (36) merupakan bukti bahwa Marni mengalami trauma. Trauma tersebut mengakibatkan Marni tidak dapat mengenali dirinya sendiri. Ia menjadi rendah diri dan merasa jijik terhadap dirinya sendiri. Keadaan tersebut menyebabkan dirinya menderita stres berat. Dan pada saat stres, kemaluannya terus mengeluarkan darah, seperti pada kutipan di bawah ini:

(37)...gunjingan masyarakat di sekitarnya tentang kemaluan Marni yang busuk, meski hampir sembuh total. Hanya bila Marni kembali stres berat dan mengingat kejadian buruk itu, pendarahan itu memang tak bisa dihindari (hlm. 16).

(38)Pembuktian itu ternyata hanya membuat ibunya semakin terhina dan tersiksa. Ia pun terus melangkah di antara perkataan dan tatapan hina hampir seluruh warga desa. Winarsih hanya dapat menangis sementara

luka batin yang belum lagi sembuh di jiwa Marni, kembali mengeluarkan darahnya (hlm. 23).

Dalam novel LKMB sifat Marni tidak terlihat dengan jelas karena jiwanya rusak parah dan masih mengalami trauma. Secara sosiologis, tokoh Marni adalah anak dari pasangan Sagiyem dan Suryo. Ia tidak diterima di lingkungan masyarakat karena pernah menjadi jugun ianfu. Mereka selalu menghina dan menempatkan dirinya pada kasta rendah, berikut kutipannya:

(39)Masyarakat yang tak sepenuh hati menerima kehadiran Marni di tengah mereka. Pengetahuan dan pendidikan yang rendah di masyarakatnya, menempatkan Marni pada kasta rendah dan dijuluki hina. Marni belum mengetahui. Selama ia kembali ke rumah belum pernah sekalipun ia menjejakkan kakinya keluar pekarangan (hlm. 16). Marni diculik dan ditawan di barak militer Jepang. Di tempat itu, ia dan wanita-wanita lainnya dijadikan sebagai jugun ianfu untuk melayani hasrat seksual tentara Jepang. Selama tiga tahun, ia diperlakukan secara tidak manusiawi oleh tentara Jepang. Ditambah masyarakat selalu menghina dirinya sebagai seorang pelacur. Karena perlakuan buruk yang diterima Marni tersebut, jiwanya menjadi rusak parah dan psikologisnya terganggu. Ia selalu dibayangi ingatan buruk akan perilaku kejam tentara Jepang terhadap dirinya. Selain itu, dirinya selalu merasa jijik dan malu terhadap dirinya sendiri, berikut kutipannya:

(40)Ruang itu bercat kuning gading, dengan atap genting yang kadang bocor di kala hujan turun. Saat pertama datang, Marni dan beberapa orang perempuan seusianya ditempatkan di satu kamar yang telah terisi penghuni lama. Marni mengenali salah satunya. Ia adalah Asih, anak kepala desa di kampungnya yang diambil serdadu Jepang dengan iming-iming akan disekolahkan ke negara matahari terbit itu. Tapi Asih tertipu, ia malah dijadikan pelacur medan perang oleh mereka. Marni melihat Asih lebih menderita dari dirinya. Menurut cerita sesama penghuni barak, Asih kerap diajak berperang. Tujuannya bukan sebagai perawat, tapi pelacur bagi serdadu Jepang yang

kelelahan setelah berperang dan butuh pelampiasan seks. Dan Asih adalah ’wadah’ dari hasrat seks liar mereka. Tak terbayangkan penderitaan Asih, ditambah lagi luka tembak yang mengenai kakinya hingga ia lumpuh dan tidak bisa berjalan lagi. Belum lagi mereka yang ternyata hamil karena kebiadaban itu. Ada yang keguguran karena stres atau bahkan hilang ingatan. Ada yang bunuh diri atau bahkan dibunuh karena hanya menjadi pengganggu bagi penghuni lainnya. Tak hanya siksaan seksual yang harus mereka jalani ada juga yang dipekerjakan sebagai tukang masak...

Namun di antara semua kebiadaban yang ada, Marni masih menemui manusia seutuhnya pada seorang tentara Jepang bernama Mr. Yoshitaka. Ia adalah salah satu komandan di barak tentara di mana Marni disekap. Saat Marni begitu tersiksa dan menderita. Ia pernah diberi makanan dan obat olehnya. Namun kebaikannya tidaklah sebanding dengan apa yang telah diderita Marni selama 3 tahun..(hlm. 14-15).

(41)Aku merasa jijik dengan diriku sendiri, Pak..” katanya kemudian. Mbah Suryo hanya bisa menghela nafas berat.

”Sabarlah, Nduk... semua sudah berlalu. Sabar saja, pasti ada hikmahnya,” nasihatnya dengan perasaan tercabik-cabik ...(hlm. 15). Tokoh Marni merupakan perempuan cantik. Kecantikannya masih terlihat, meskipun kondisi fisik dan kejiwaannya terganggu. Dan kecantikan itu juga yang membuat Pak Warso ingin menikahi Marni. Namun oleh ibunya (Sagiyem), keinginan Pak Warso itu ditolak, berikut kutipannya:

(42)Dan kenyataannya Marni memang masih memiliki kecantikan alami sebagai kembang desa, meski terlihat ringkih dan terkadang tanpa ekspresi (hlm. 19).

(43) ”Mbah, katanya Marni lumpuh? Kok kemarin aku lihat dia bisa jalan dan masih cantik seperti dulu.” ujar Pak Warso-Si juragan tengkulak sembako yang doyan kawin dan selingkuh. Mbok Sagiyem hanya tersenyum tipis sambil mengaduk jamu kuat pesanannya.

(44)’Marni memang sudah sembuh. Dan omongan orang desa itu sama sekali tidak benar,’tegasnya.

”Wah!Bagus dong, Mbah. Bagaimana kalau saya menikahi anakmu. Kasihan kan? Dia pasti kesepian ditinggal suami. Hmmmm...apalagi pernah jadi kutise wong Jepang. Pasti dia butuh laki-laki kan? Ujar Pak Warso enteng tanpa peduli kilat amarah mata Mbok Sagiyem (hlm. 26).

Keadaan Marni secara fisik dapat disembuhkan oleh jamu dan perawatan yang diberikan ibunya (Sagiyem). Namun jiwanya masih terluka parah, berikut kutipannya:

(45) ”Jangan Pak, Marni itu biar sudah sembuh sehat tapi batinnya masih sakit. Sekarang malah begini” terang Mbok Sagiyem sambil memiringkan telunjuk di dahinya.

Masa sih?”

Benar, Pak, kasihan kan kalau Pak Warso harus menikahi anak saya yang sedikit lupa ingatan?” tambahnya menakut-nakuti. Laki-laki bertubuh gembur itu mengernyitkan kekecewaan sambil menegak jamunya (hlm. 26).

Tokoh Marni diceritakan sebagai perempuan korban tindak kekerasan tentara Jepang pada tahun 1942. Ia diculik paksa oleh tentara Jepang di hadapan keluarganya, kemudian dijadikan jugun ianfu di rumah pelacuran. Ia mengalami perkosaan dan diperlakuan secara tidak manusiawi oleh tentara Jepang. Peristiwa tersebut menimbulkan trauma yang sangat mendalam seumur hidupnya. Peristiwa yang dialami oleh Marni kemudian membawa dampak rasa trauma, kebencian, dan dendam yang ikut dirasakan oleh keluarganya, yaitu Sagiyem, Winarsih, Rumijah, dan Hana Motokura. Trauma Marni sebagai seorang jugun ianfu menciptakan rantai dendam tanpa akhir bagi keturunannya meskipun generasi dan zaman telah berganti.

Perlakuan kejam yang dialami Marni pada zaman penjajahan Jepang dulu, masih diingatnya sampai tua, berikut kutipannya:

(46)”Mbah....,’ Rumi memegang jemari keriputnya ”Apa yang Mbah pikirkan? Tanyanya sambil menatap dalam matanya yang basah. Ia hanya menggeleng sendu. Tidak ada, Nduk...” jawabnya tertunduk.

”Kenapa Mbah menangis?Apa yang membuat Mbah sedih? Cerita pada Rumi, ya Mbah?” bujuknya lembut. Bibir tua itu terlihat gemetar, perlahan dihapusnya air mata yang mengalir pipi keriputnya....

”Mereka memperkosamu secara keji. Seperti dulu saat...,”kalimat itu terputus oleh isak tangis Mbah Marni. Bersama dengan itu kain batiknya pun merembes darah segar (hlm. 76-77).

Dalam perjalanan hidup tokoh Marni, ia mengalami penderitaan yang disebabkan tindak kekerasan yang dilakukan tentara Jepang. Rasa dendam, benci, dan trauma yang dimiliki Marni terus dibawa hingga akhir hidupnya. Tokoh Marni meninggal di negara Jepang dan dikuburkan di negara Jepang.

(47)Beberapa tahun berselang, akhirnya Mbah Marni pun menghembuskan nafas terakhirnya di kota Nara Ia dimakamkan di bawah rindangan bunga sakura. Rumijah dan Hana berharap semoga bunga-bunga itu bisa memberi keharuman dan kedamaian tersendiri pada kegetiran yang pernah dirasakan oleh Mbah Marni (hlm. 137-138).

Dokumen terkait