• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONVENSI JENEWA

B. Hak Asasi Manusia di dalam Konvensi Jenewa

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada

22

Geoffrey Robertson QC, op.cit. hal. 409.

23

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah merupakan setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang, termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang menjamin oleh Undang-Undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.24

Mengingat begitu pentingnya proses internalisasi pemahaman Hak Asasi Manusia bagi setiap orang yang hidup bersama dengan orang lainnya, maka suatu pendekatan historis mulai dari dikenalnya Hak Asasi Manusia sampai dengan

Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta, sehingga bersifat kodrati. Oleh karenanya tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan berarti dengan hak-haknya itu manusia dapat berbuat semau-maunya. Sebab apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan melanggar hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Pada hakikatnya, Hak Asasi Manusia terdiri atas du ahak dasar yang paling fundamental yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir hak-hak asasi lainnya. Sebaliknya, tanpa kedua hak dasar ini, hak asasi manusia lainnya sulit akan ditegakkan.

24

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

perkembangan saat ini perlu diketahui oleh setiap orang untuk lebih menegaskan keberadaan hak asasi dirinya dengan hak asasi orang lain.

Umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Piagam Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Piagam ini diantara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaanya dan mulai dapat dimintai pertanggungjawaban dimuka umum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada hukum.

Sejak itu mulai dipraktekkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan harus mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya kepada parlemen. Jadi, sudah mulai dinyatakan dalam masa itu bahwa raja terikat kepada hukum dan bertangungjawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat undang-undang pada masa itu labih banyak berada diangan raja. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai emrio lahrnya monarki konstitusional yang berintikan kekuasaab raja sebagai simbol belaka.

Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih konkret, dengan lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu mulai timbul adagium yang intinya adalah bahwa manusia sama dimuka hukum

(equality before the law). Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara

hukum dan demokrasi. Bill of Rights melahirkan asas persamaan.

Para pejuang HAM dahulu sudah berketetapan bahwa hak persamaan harus diwujudkan betapapun beratnya resiko yang dihadapi karena hak kebebasan diwujudkan kalau ada hak persamaan. Untuk mewujudkan semua itu, maka lahirlah teori Roesseau tentang contract social atau perjanjian masyarakat, Montesquieu

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

dengan Trias Politiknya yang mengajarkan pemisahan kekuasaan guna mencegah tirani, John Locke di Inggris dan Thomas Jefferson di Amerika dengan hak-hak dasar kebebasan dan persamaan yang dicanangkannya.

Perkembangan Ham selanjutnya ditandai dengan munculnya The American

Declaration of Independence yang lair dari paham Roesseau dan Montesqueu. Jadi,

walaupun di Perancis sendiri belum dirinci apa HAM itu, tetapi di Amerika Serikat lebih dahulu mencanangkan secara lebih rinci. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus dibelenggu.

Selanjutnya pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration, dimana hak-hak yang lebih rinci lagi melahirkan dasar The Rule of Law. Antara lain dinyatakan tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang seemna-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dinyatakan pula presumption of innocence (asas pradiga tak bersalah), artinya orang-orang yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah.

Dipertegas juga dengan freedom of expression (kebebasan untuk mengeluarkan pendapat), freedom of religion (kebebasan untuk menganut keyakinan atau agama yang dikehendaki), the right of property (perlindungan terhadap hak milik) dan hak- hak dasar lainnya. Jadi, dalam French Declaration sudah tercakup semua hak, meliputi hak-hak yang menjamin tumbuhnya demokrasi maupun negara hukum yang asas-asasnya sudah dicanangkan sebelumnya.

Dalam pesannya kepada Kongres Amerika tanggal 6 Januari 1941, Presiden Franklin D. Roosevelt mengatakan ada empat kebebasan yang harus diupayakan yaitu

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

kebebasan berbicara dan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan dari hidup berkekurangan dan kebebasan dari ketakutan akan perang.

Semua hak-hak ini setelah Perang Dunia II (sesudah Hitler memusnahkan berjuta-juta manusia) dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal dengan The Universal Declaration of

Human Rights yang dirumuskan oleh PBB pada tahun 1948.25

Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apapun serta bertempat tinggal dimana pun dimuka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua manusia.

Deklarasi HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948, tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keajaiban yang dilakukan negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.

Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makna ganda, baik keluar (antar negara-negara) maupun kedalam (antar negara dengan rakyatnya), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negara-negaranya masing-masing. Makna keluar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat mengahancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna kedalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM sedunia itu harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahnya.

25

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

Nilai-nilai yang ada dalam Deklarasi HAM inilah yang juga terdapat dalam Konvensi Jenewa. Bahwa siapapun, bahkan jika seorang musuh yang tertawan, tetap harus diperlakukan dengan menjunjung tinggi harkat dan martabatnya sebagai manusia.

Pada mulanya, tidak pernah ada perhatian mengenai hubungan hukum antara HAM dan hukum humaniter. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Universal

Declaration of Human Rights 1948 tidak menyinggung tentang penghormatan HAM

pada waktu sengketa bersenjata. Sebaliknya, dalam Konvensi Jenewa 1949 tidak menyinggung masalah HAM secara langsung. Tetapi tidak berarti bahwa Konvensi Jenewa dan HAM tidak memiliki kaitan sama sekali. Anatar keduanya terdapat hubungan keterkaitan, walaupun tidak secara langsung.

Di satu sisi ada kecendrungan untuk memandang ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa 1949 tidak hanya mengatur mengenai kewajiban bagi negara-negara peserta, tetapi juga mengatur tentang hak individu sebagai pihak yang dilindungi.

Keempat Konvensi Jenewa 1949 menegaskan bahwa penolakan hak-hak yang diberikan oleh konvensi-konvensi ini tidak dapat dibenarkan. Apalagi dengan adanya Pasal 3 tentang ketentuan yang sama pada Keempat konvensi Jenewa 1949, yang mewajibkan setiap negara peserta untuk menghormati peraturan-peraturan dasar kemanusiaan pada sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional. Denagn

26

Selain itu, terdapat pula hak-hak yang tidak boleh dikurangi (non derogable

rights), baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan sengketa bersenjata. Hak-

hak yang tidak boleh dikurangi tersebut meliputi hak hidup, prinsip atau perlakuan demikian, maka Pasal 3 ini mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya, yang berarti mencakup bidang tradisonal dari hak asasi manusia.

26

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

non diskriminasi, larangan penyiksaan (torture), larangan berlaku suratnya hukum pidana seperti yang ditetapkan dalam konvensi sipil dan politik, hak untuk tidak dipenjarakan karena ketidakmampuan melaksanakan ketentuan perjanjian (kontrak), perbudakan, perhambaan, larangan penyimpangan berkaitan dengan penawanan, pengakuan seseorang sebagai subyek hukum, kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama, larangan penjatuhan hukum tanpa putusan yang diumumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang semestinya, larangan menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi dalam keadaan yang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat 1 (d) Konvensi Jenewa 1949.

Pasal ini penting karena membebankan kewajiban kepada pihak ”peserta agung” untuk tetap menjaminperlindungan kepada tiap individu dengan mengesampingkan status belligerent menurut hukum atau sifat dari sengketa bersenjata yang terjadi itu.

Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 menyatakan “dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung didalam wilayah salah satu Pihak Agung penandatangan, tiap pihak dalam sengketa itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senajata mereka serta mereka tidak lagi turut serta karena sakit, luka-luka, penawanan atau sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan prikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu”.

Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat apapun juga:

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

a. Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, penyekapan, perlakuan kejam dan penganiayaan;

b. Penyanderaan;

c. Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama yang menghina dan merendahkan martabat;

d. Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.

Walaupun sudah ada ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3, harus pula diperhatikan bahwa:

1. Dengan adanya Pasal 3 ini, tida dengan sendirinya seluruh konvensi berlaku dalam sengketa senajara yang bersifat intern, melainkan hanya asas-asas pokok yang tersebut dalam Pasal 3.

2. Pasal 3 tidak mengutrangi hak pemerintah de jure untuk bertindak terhadap orang- orang yang melakukan pemberontakan bersenjata, menurut undang-undang atau hukum nasionalnya sendiri. Pasal ini semata-mata bermaksud memberikan jaminan perlakuan korban sengketa bersenjata di dalam negeri negara peserta, berdasarkan asas-asas perikemanusiaan.

Ketentuan mengenai lamanya perlindungan diberikan, misalnya dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 dari Konvensi III mengenai Perlakuan terhadap Tawanan Perang, yang berbunyi :Konvensi ini akan berlaku bagi orang-orang yang disebut dalam Pasal 4 sejak mereka jatuh dalam kekuasaan musuh hingga saat pembebasan dan pemulangan mereka terakhir. Bilamana timbul keragu-raguan apakah orang-orang yang telah melakukan perbuatan yang bersifat perbuatan permusuhan dan telah jatuh

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

dalam tangan musuh termasuk dalam golongan-golongan yang disebut dalam Pasal 4, maka orang-orang demikian akan memperoleh perlindungan dari konvensi ini, hingga saat kedudukan mereka ditentukan oleh pengadilan yang kompeten”.

Dari ketentuan yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa saat jatuhnya orang-orang yang dilindungi konvensi ke tangan musuh (ditawan) adalah saat dimulai berlakunya pemberian perlindungan kepada orang-orang sebagaimana yang ditentukan dalam Konvensi Jenewa 1949.

C. Pengadilan Kejahatan Internasional Untuk Kejahatan Terhadap