Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN
PADA TAWANAN PERANG DALAM PERSFEKTIF HAK ASASI
MANUSIA DAN KONVENSI JENEWA 1949
SKRIPSI
OLEH :
IMAM MUNAWIR SIREGAR NIM : 040200276
Departemen Hukum Internasional
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
ABSTRAKSI
Skripsi ini berjudul “Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persefektif Hak Asasi Manusia dan Konvensi Jenewa 1949”. Dalam skripsi ini penulis membahas tentang perlindungan serta kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi pada tawanan perang dalam persfektif Hak Asasi Manusia dan Konvensi Jenewa 1949.
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Perang adalah suatu keadaan yang memungkinkan dua atau lebih dari dua gerombolan manusia yang sederajat menurut hukum internasional untuk menjalankan persengketaan bersenjata.
Salah satu dari konsekuensi perang adalah terdapatnya tawanan perang. Tawanan perang dalam pemahaman perang tradisional adalah orang yang ditangkap pihak tawanan musuh dalam peperangan baik prajurit maupun bukan prajurit. Merak dapat diberlakukan dengan baik atau buruk.
Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949, semua tawanan perang haruslah diperlakukan dengan sebaik-baiknya. Mengadili setiap tawanan perang dengan proses hukum yang seadil-adilnya, sampai kepada proses hukum bagi pihak-pihak yang terlibat dalam praktek penyiksaan tersebut. Bukan hanya kepada para prajurit pelaksana di lapangan, namun juga kepada para pengambil kebijakan yang mendukung adanya aksi penyiksaan itu.
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum dan pemerintah, dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.
Sejarah dunia mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan
sosial yang disebabkan oleh perilaku tidak adil atau diskriminatif atau atas dasar etnis,
ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin, dan status sosial
lainnya.1
Peperangan yang diciptakan dengan berbagai alasan menimbulkan banyaknya
korban. Akibat dari peperangan tersebut banyak dari pihak kawan ataupun lawan yang Perang merupakan hal yang sangat tidak diinginkan oleh setiap umat manusia.
Karena pada hakekatnya di dunia ini, setiap manusia pastilah menginginkan rasa
perdamaian dan ketegangan. Selain menghabiskan banyak biaya perang, tidak sedikit
pula korban jiwa yang harus dikorbankan. Baik dari pihak kawan maupun lawan.
Tawanan perang harus diberlakukan dengan prikemanusiaan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional yang berkenaan dengan perlakuan
terhadap tawanan perang. Ketentuan ini diatur dalam suatu perjanjian internasional
dalam bentuk Konvensi Internasional Jenewa tahun 1949 yang telah disepakati oleh
negara-negara di dunia untuk mengatur Hukum Perang.
1
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
dijadikan sebagai tawanan perang. Tawanan perang itu sendiri telah diatur haknya
didalam Konvensi Jenewa tahun 1949 sebagai Landasan Hukum Humaniter
Internasional. Akan tetapi didalam kenyataannya sangat jauh dari apa yang telah
ditentukan didalam Konvensi tersebut.
Ada beberapa negara yang mengklaim sebagai suatu negara yang sangat
menjunjung tinggi hak Asasi Manusia ternyata dengan jelas sekali dapat kita lihat
bahwa sebenarnya mereka itu sendirilah yang mengangkangi dan menelanjangi Hak
Asasi Manusia itu serta terdapat diskriminasi yang cukup jelas dan nyata terhadap
suatu etnis, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin, dan
status sosial tertentu.
Konvensi Internasional Jenewa tahun 1949, mengatur mengenai perlakuan wajib
terhadap tawanan perang. Konvensi Jenewa 1949 ditaati oleh negara-negara anggota
Perserikatan bangsa-bangsa, untuk memenuhi hak-hak dasar dari para tawanan
perang.2
B. Rumusan Masalah
Untuk dapat memahami atau memberi gambaran yang lebih jelas mengenai
skripsi ini penulis mengambil judul “Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada
Tawanan Perang Dalam Persefektif Hak Asasi Manusia dan Konvensi Jenewa 1949”.
Namun pembahasannya memerlukan pembatasan agar ruang lingkup yang diinginkan
dapat tercapai dan mempermudah pemahaman skripsi. Dalam hal ini untuk
mendapatkan jawaban permasalahan, penulis melakukan pembatasan yang jelas dan
spesifik dari apa yang dituju guna mengidentifikasi dan merumuskan permasalahan.
2
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
Bertitik tolak dari uraian-uraian diatas yang telah dikemukakan pada
pembahasan terdahulu maka adapun yang menjadi batasan pada permasalahan dalam
skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana penegakan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai kejahatan
internasional?
2. Bagaimana Hak Asasi Manusia di dalam Konvensi Jenewa 1949?
3. Bagaimana Pengadilan Kejahatan Internasional untuk kejahatan terhadap
kemanusiaan?
4. Bagaimana penegakan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap
tawanan perang?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas. Penulisan skripsi ini juga bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui penegakan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai kejahatan
internasional.
2. Untuk mengetahui Hak Asasi Manusia di dalam Konvensi Jenewa 1949.
3. Untuk mengetahui Pengadilan Kejahatan Internasional untuk kejahatan terhadap
kemanusiaan.
4. Untuk mengetahui penegakan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap
tawanan perang.
2. Manfaat Penulisan
Di samping itu tentunya diharapkan dengan adanya pembahasan ini, maka
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
a. Manfaat Teoritis, yakni sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan
konsep ilmiah yang dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan hukum
internasional mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan pada tawanan perang
dalam persefektif Hak Asasi Manusia dan Konvensi Jenewa 1949. Dan juga
memberikan masukan dan manfaat dalam rangka pengembangan ilmu
pengetahuan dan dimana dalam penulisan skripsi ini penulis memberikan
analisa-analisa yang bersifat objektif.
b. Manfaat praktis, Yakni memberikan masukan sekaligus pengetahuan kepada para
pihak dalam kaitannya dengan penegakan kejahatan terhadap kemanusiaan pada
tawanan perang dalam persefektif Hak Asasi Manusia dan Konvensi Jenewa 1949.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan memang telah banyak
diangkat dan dibahas, namun penulisan mengenai “Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Pada Tawanan Perang Dalam Persefektif Hak Asasi Manusia dan Konvensi Jenewa
1949”, yang diangkat menjadi judul skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara. Penulisan menyusun melalui referensi buku-buku, media elektronik, dan
bantuan dari berbagai pihak.
E. Tinjauan Kepustakan
Pembahasan terhadap masalah yang telah disebut di atas penulis menggunakan
data sekunder yang memiliki kekuatan mengikat ke dalam, dan dibedakan dalam:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang terdiri
terdiri dari sumber-sumber hukum internasional dan ketentuan dalam
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memberikan
penjelasan mengenai hukum primer.
c. Bahan hukum tertier, yakni bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder.
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian skripsi ini, penulis melakukan suatu penelitian. Penelitian pada
dasarnya terdiri dari dua bentuk, yaitu Penelitian Kepustakaan (Library Research) dan
Penelitian Lapangan (Field Research). Penelitian hukum biasanya dilakukan dengan
cara penelitian kepustakaan atau disebut juga penelitian normatif.
Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan dalam penulisan skripsi ini. Sumber-sumber itu antara lain dari
buku-buku, artikel, koran dan majalah dengan cara membaca, menafsirkan,
membandingkan setta menerjemahkan dari berbagai sumber yang berhubungan
dengan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persefektif
Hak Asasi Manusia dan Konvensi Jenewa 1949.
Mengingat apa yang penulis kemukakan dalam tulisan ini merupakan hal yang
pernah menjadi topik pembicaraan di berbagai media, maka pengambilan bahan tidak
terlepas dari media cetak dan media elektronik.
G. Sistematika Penulisan
Pembahasan secara sistematis sangat diperlukan dalam penulisan suatu karya
tulis ilmiah. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
berhubungan satu sama lain. Adapun sistematis penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang di dalamnya terurai
mengenai latar belakang judul skripsi, perumusan masalah, kemudian dilanjutkan
dengan tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,
metode penelitian, yang kemudian diakhiri oleh sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN dan TAWANAN PERANG
Pada bab ini akan dibahas pengertian kejahatan kemanusiaan, prinsip-prinsip hukum
kejahatan kemanusiaan, kemudian pengertian tawanan perang menurut hukum
humaniter, serta hak-hak yang melekat pada tawanan perang.
BAB III : TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK ASASI MANUSIA
Pada bab ini akan dibahas pengertian dan sejarah perkembangan hak asasi manusia,
teori-teori hak asasi manusia, dan hak asasi manusia dalam huku m internasional.
BAB IV : KEJAHATAN KEMANUSIAAN TERHADAP TAWANAN PERANG DALAM PERSFEKTIF HAK ASASI MANUSIA dan KONVENSI JENEWA 1949
Pada bab ini akan dibahas kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai kejahatan
internasional, hak asasi manusia di dalam konvensi jenewa 1949, pengadilan
kejahatan internasional untuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran hak
asasi manusia terhadap tawanan perang.
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan penulis dari
pembahasan terhadap pokok permasalahan serta saran-saran penulis atas bagaimana
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN DAN TAWANAN PERANG
A. Pengertian Kejahatan Kemanusiaan
Istilah kejahatan kemanusiaan (Crime Against Humanity) pertama kalinya
digunakan dalam Piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan perjanjian multilateral
antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah selesai Perang Dunia II. Mereka
(Amerika Serikat dan sekutunya) menilai bahwa para pelaku (NAZI) dianggap
bertanggung jawab terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan pada masa tersebut.
Defenisi kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 7 Statuta Roma dan Pasal 9 UU
No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM terdapat sedikit perbedaab tetapi secara
umum adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang
meluas atau sistematis yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara
langsung terhadap penduduk sipil, yaitu berupa:
a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan;
c. Perbudakan;
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelancuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual
lain yang setara;
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulanyang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin
atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional;
i. Penghilangan orang secara paksa; atau
j. Kejahatan apatheid
Pelaku kejahatan rhadap kemanusiaan bisa jadi aparat/instansi negara, atau
pelaku non negara. Defenisi kejahatan kemanusiaan di Indonesia masih menimbulkan
beberapa perbedaan. Salah satunya adalah kata serangan yang meluas atau sistematik.
Sampai saat ini istilah tersebut masih menimbulkan banyak perbedaan pandangan
bahkan kekaburan.Pengertian sistematis (systematic) dan meluas (widespread)
menurut M. Cherif Bassiouni dalam bukunya yang berjudul Crime Againts Humanity
on International Criminal Law;sistematik mensyaratkan adanya kebijakan atau
tindakan negara untuk aparat negara dan kebijakan organisasi untuk pelaku di luar
negara. Sedangkan istilah meluas juga merujuk pada sistematik, hal ini untuk
membedakan tindakan yang bersifat meluas tetapi korban atau targetnya acak. Korban
dimana memiliki karakteristik tertentu misalnya agama, ideologi, politik, ras, etnis,
atau gender.3
Kejahatan terhadap kemanusiaan (crime againts humanity) adalah satu dari
empat “kejahatan-kejahatan internasional” (international crimes), disamping The
Crime of Genocie, War Crimes dan The Crimes of Aggression. International Crime
3
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
sendiri didefenisikan sebagai kejahatan-kejahatan yang karena tingkat kekejamannya,
tidak satupun pelakunya boleh menikmati imunitas dari jabatannya; dan tidak ada
yuridiksi dari satu negara tempat kejahatan itu terjadi bisa digunakan untuk mencegah
proses peradilan oleh masyarakat internasional terhadapnya. Dengan kata lain,
internasional crimes ini menganut asas universal juridiction.
Sementara, defenisi dari kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan sendiri
adalah “tindakan-tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari sebuah penyerangan
yang luas dan sistematis yang terjadi secara langsung terhadap populasi sipil”.
Terdapat 11 bentuk kejahatan yang dikualifikasi sebagai crimes againts humanity,
antara lain:
1. Pembunuhan
2. Penghancuran yang sengaja terhadap sarana-sarana vital bagi kelangsungan hidup,
misalnya yang bisa mengakibatkan kelaparan dan bahaya penyakit.
3. Pemaksaan terhadap masyarakat sipil untuk berpindah dari area yang mereka
diami secara sah
4. Penyiksaan atau penganiayaan baik secara fisikal maupun mental
5. Penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang
6. Kekerasan seksual, dan
7. Penghilangan paksa (diakibatkan penculikan atau pemahaman sewenang-wenang).
Seperti kasus yang terjadi mengenai invasi Presiden Amerika Serikat, George
W. Bush ke Libanon, setelah Irak habis diluluhlantahkan dengan dalih
menghancurkan nuklir Irak serta memburu Osama bin Laden. Banyak penduduk sipil
yang menjadi korban peristiwa tersebut, sehingga George W. Bush disebut sebagai
penjahat perang. Perang di Irak ini menyebabkan berkembangnya wacana mengenai
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
internasional (humaniter internasional) dan pers, lebih banyak tentang persoalan
peperangan seperti terjadi di Irak. Adapun di Indonesia wacana mengenai pengaturan
kejahatan perang tersebut. Secara nasional kurang mendapat perhatian dari ahli
hukum pidana.4
Dalam perkembangan selanjutnya, ide mengadili orang-orang yang terlibat
dalam kekejaman dan pelanggaran berat hak asasi manusia telah dimulai sejak lama
dengan mendasarkan diri pada standar nilai serta norma kemanusiaan yang bersumber
dari nilai-nilai filsafat dan agama yang diyakini saat itu. Pada tahun 1474, misalnya,
Pengadilan Internasional menjatuhkan hukuman mati kepada Peter Von Hangenbach,
pelaku kekejaman saat pendudukan Breisach. Dalam perang saudara utara-selatan di
Amerika, Abraham Lincoln juga melarang perilaku tidak manusiawi dan mengancam
dengan pidana, termasuk pidana mati, terhadap para pelaku. Jadi sebenarnya hukum
perang sama tuanya dengan perang itu sendiri. Pada tahun 1864 diselenggarakan
konferensi di Jenewa tentang nasib para prajurit yang terluka di medan perang.
Konferensi lain diadakan di St Pittersburg tahun 1866 untuk melarang penggunaan
proyektil yang meledak dengan berat kurang dari 400 gram.5
Pembahasan lebih lanjut mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes
againts humanity) yang dimuat di dalam Pasal 7 Statuta Roma adalah menyatakan
bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan yang menimbulkan
penderitaan besar dan tidak perlu terjadi, yaitu pembunuhan, penyiksaan,
pemerkosaan dan bentuk lain dari pelecehan seksual, perbudakan, peyiksaan dan
pengasingan. Yang menjijikkan adalah bahwa kejahatn itu dilakukan dengan sengaja
sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematis (yangmelibatkan banyak
4
Marcella Elwina. S, Mengatur Kejahatan Perang, www.suaramerdeka.com, 20 Desember 2003.
5
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
pihak) dan ditujukan pada setiap penduduk...mengikuti atau mendorong kebijakan
negara atau organisasi untuk melakukan serangan semacam itu6
B. Prinsip-Prinsip Hukum Kejahatan Kemanusiaan
. Defenisi di dalam
Pasal 7 ayat (1) menjelaskan bahwa suatu tuntutan dapat dibuat atas suatu aksi
tunggal (salah satu atau lebih dari beberapa perbuatan) sepanjang diketahui oleh
terdakwa sebagai bagian dari rangkaian perbuatan yang melibatkan berbagai tindakan
kekejaman terhadap warga sipil.
Namun sejarah entitas yang melakukan kejahatan tersebut harus “terorganisir”
sehingga anggota-anggotanya dapat menjadi subyek penahanan. Tidak ada
persyaratan bahwa hal tersebut harus berkaitan dengan kekuasaan, sehingga sebuah
kekuatan oposisi dalam perjuangannya meraih kemerdekaan dapat memenuhi
kualifikasi. Demikian juga halnya dengan kelompok teroris, jika terorganisir dalam
skala seperti yang dipimpin oleh Osama bin Laden yang melatih ribuan pengikutnya
dan bertanggung jawab atas pemboman kedutaan besar Amerika Serikat di Kenya dan
Tanzania serta gedung WTC tahun 2001. Pemboman itu merenggut nyawa ribuan
warga sipil. Berbagai aksi terhadap pembunuhan ini merupakan kelanjutan dari
kebijakan organisasi untuk melakukan serangan-serangan seperti itu. Dalam bahasa
sehari-hari hal ini disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts
humanity).
Seperti yang diketahui, bahwa konferensi Roma menolak yuridiksi atas
beberapa tindak kejahatan, seperti kejahatan terorisme tertentu. Namun nampaknya
tidak ada alasan legal mengapa para jaksa menuntut tidak dapat menyelidiki
6
Goeffrey Robertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
kelompok-kelompok teroris yang sering melakukan kekejaman yang menyebabkan
hilangnya nyawa warga sipil. Atau, suatu organissasi kriminal dengan agenda politik
seperti kartel obat terlarang ketika organisasi ini secara sistematis membunuh para
hakim, wartawan dan politisi serta menghancurkan jalur penerbangan.
Ketentuan-ketentuan tambahan mengizinkan negara-negara memilih melakukan yuridiksi atas
warga yang ditahan. Walaupun pengalaman Columbia dimasa lalu (ketika, pada suatu
waktu tertentu, keadilan tidak dapat diterapkan terhadap Pablo Escobat dan pemimpin
kartel lainnya karena intimidasi mereka terhadap pengadilan setempat) telah
memberikan contoh kasus yang tepat untuk dipindahkan ke Pengadilan Internasional7
Termasuk diantara aksi-aksi dibawah ini, jika dilaksanakan secara sistematis
dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan adalah ‘penghilangan
orang secara paksa’, didefenisikan sebagai penahanan atau penculikan orang-orang
oleh atau dengan persetujuan negara atau organisasi politik, yang diikuti oleh
penolakan untuk menyatakan pengetahuan tentang keberadaan atau nasib korban.
Tindakan ini disetujui dengan maksud untuk menjauhkan mereka dari perlindungan
hukum dalam waktu yang lama. Rumusan yang janggal ini (kebanyakan tindakan ini
telah menghilangkan orang-orang untuk selamanya, melalui eksekusi secara rahasia)
ditujuka n untuk menggambarkan tingkah laku dari sejumlah pemerintah di Amerika
Selatan yang telah mengizinkan ‘pasukan kematian’ beroperasi bersama dengan
militer, dan tidak berusaha untuk melacak jejak para korbannya. Defenisi tersebut
akan memberatkan mereka yang termasuk kedalam pasukan tersebut, atau
departemen-departemen dan kantor-kantor pemrintah yang menutup-nutupi aktivitas
tersebut. Apartheid dikategorikan kembali sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Namun, defenisinya lebih hati-hati dibandingakan dengan yang tercantum dalam .
7
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
Konvensi Apartheid. Selanjutnya, kejahatan ini membutuhkan tindakan kejahatan
yang tidak berperikemanusiaan dengan tujuan untuk memelihara hegemoni dari rezim
melalui penindasan rasional secara sistematis.
Sejumlah kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti disebutkan dalam Pasal 7
yang hanya benar-benar cocok jika didakwakan pada pimpinan politik atau militer. Ini
disebabkan karena prajurit dan pembantu sipil mungkin melakukannya tanpa maksud
untuk bertindak tidak berperikemanusiaan. Deportasi atau pemindahan penduduk
secara paksa adalah satu contoh, dimana tujuan para pembuat kebijakan itu (tetapi
tidak selalu menjadi tujuan mereka yang menjalankan perintah untuk melaksanakan
kebijakan tersebut di lapangan) adalah untuk melanggar hukum internasional.
Kejahatan ‘penindasan’ di defenisikan sebagai pencabutan hak-hak dasar
dengan sengaja dan keji yang bertentangan dengan hukum internasional, yang
dilakukan terhadap kelompok yang diidentifikasikan berdasarkan politik, ras atau
budaya. Kejahatan ini bisa di dakwakan bagi para pemimpin yang melakukan
‘kebersihan etnis’ yang tidak jauh berbeda dengan genocide. Ini juga berlaku bagi
mereka yang membantu tindakan tersebut. Para supir Ford Falcons yang digunakan
oleh ‘pasukan kematian di Argentina, dokter-dokter yang hadir untuk mengatur
penyiksaan atas tindakan ‘subversif’ dipusat-pusat yang didirikan oleh Pinochet,
hakim-hakim yang memberikan instruksi politik untuk menolak permintaan habeas
corpus, dan lain sebagainya. Pengetahuan terdakwa bahwa tindakan yang dituduhkan
kepadanya mempunyai hubungan suatu kejahatan dalam yuridiksi pengadilan (seperti
genocide atau penyiksaan atau kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya) merupakan
unsur yang paling mendasar dalam tindakan kejahatan penindasan. Setelah
mengetahui hal itu tidak akan maaf bagi para algojo yang menyalahgunakan
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
Bagaimanapun kejahatan penindasan (yang defenisinya membingungkan karena
tumpang tindih antara Pasal 7 (1)(h) dan Pasal 7 (2)(g) akan menjadi sebuah senjata
bagi para jaksa penuntut untuk melawan para pengacara, banker, tukang propaganda,
orang-orang yang menggunakan ijazah profesional mereka untuk membersihkan
tangan mereka dari darah yang tumpah di rezim klien-kliennya.
Pengadilan Den Haag untuk bekas Yugoslavia adalah pengadilan pertama yang
mengakui permerkosaan sebagai kejahatan yang berkaitan dengan masalah politik.
Statuta Roma memasukkan kemajuan dari defenisi ini dalam Pasal 7 yang
mencantumkan pemerkosaan, bersama dengan perbudakan seksual, kehamilan yang
dipaksakan, pemaksaan pelacuran, dan sterilisasi, sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan jika dilakukan secara sistematis. Ide memperkosa
perempuan-perempuan muslim dengan tujuan agar mereka melahirkan ‘bayi-bayi Chetnik’ bukan
kebijakan negara Sebia, tapi merupakan pikiran jahat yang meracuni para prajurit dan
perwira tinggi dalam beberapa batalion Serbia. Dan oleh karenanya masih dapat
dianggap sebagai ‘kebijakan organisasi’ yang termasuk dalam Pasal 7.
Masuknya ‘perbudakan seksual’ dan ‘pemaksaan terhadap pelacuran’
merupakan pengakuan yang terlambat. Bahwasannya perbudakan tentara Jepang atas
‘wanita-wanita penghibur’ dari Korea dan Taiwan untuk melayani mereka selama
Perang Dunia II sebenarnya juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Namun, pada tahun 1946, masalah itu tidak terpikirkan oleh Sekutu sebagai kejahatan
yang seharusnya dapat di hukum. Jepang sendiri tidakmerasa perlu untuk meminta
maaf sampai tahun 1996.
Kehamilan secara paksa berarti pemerkosaan yang kemudian diikuti oleh
‘persalinan tidak sah’ untuk ‘mengubah komposisi suatu etnis’. Vatikan sendiri
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
kemanusiaan nantinya akan menjustifikasi pemusnahannya melalui aborsi.Vatikan
bersikeras bahwa ‘defenisi ini dengan cara apapun tidak dapat mengubah hukum
nasional tentang kehamilan’. Daerah kantong yang religius, yang dinilai secara salah
oleh komunitas internasional sebagai suatu negara tersebut, bertanggung jawab dalam
masukan Pasal 7 (3), yang dinilai Pasal yang paling konyol dari seluruh perjanjian
internasional. ‘Penindasan’ telah di defenisikan dalam Pasal 7 (1)(h) meliputi
penindasan berdasarkan gender. Vatikan, serta negara-negara Khatolik dan Islam
lainnya, bersikeras untuk menambahkan Pasal 7 (3) menjadi: “dalam statuta ini,
dipahami bahwa terminologi ‘gender’ mengacu pada dua jenis kelamin, laki-laki dan
perempuan dalam konteks masyarakat. Terminologi gender tidak menunjukkan arti
selain yang telah disebutkan diatas”.
Dengan rumusan di atas juga dapat memberikan arti bahwa anda dapat
melakukan apa saja yang anda sukai terhadap orang-orang transeksual. Penindasan
adalah suatu kejahatn apabila ditujukan kepada laki-laki sebagai laki-laki, atau
perempuan karena mereka perempuan, tetapi para homoseksual dan lesbian masih
dapat merasakan penderitaan dan penyiksaan itu. Rumusan ‘pencabutan hak-hak
mendasar dengan sengaja dan keji’ jika dilakuakn dalam ‘konteks masyarakat’
disepakati oleh pemerintah terhadap budaya gay-basing. Pasal 7 (3) adalah suatu
peringatan yang tidak disukai tapi nyata bahwa mayoritas negara tahun 1998 masih
memilih menarik mundur hak asasi manusia. Berdasarkan orientasi seksual.
Walaupun demikian Pasal 7 harus dihargai sebagai Pasal yang bernilai tinggi
dalam Statuta Roma. Pasal ini merealisasikan konsep kejahatan terhadap kemanusiaan
yang wajib dipatuhi oleh negara-negara di dunia dan membedakannya dari kejahatan
lain dengan mengaitkan pada kebijakan negara atau organisasi politik. Kejahatan ini
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
dapat menimbulkan kerusakan yang luas daripada penyiksaan rutin yang dilakukan
oleh polisi. Yang memisahkan kejahatan terhadap kemanusiaan baik dalam
kelicikannya dan dalam kebutuhan akan peraturan-peraturan khusus tentang
penolakan terhadapnya adalah suatu fakta yang sederhana, yaitu bahwa kejahatan itu
merupakan suatu aksi brutal yang nyata-nyata dilakukan oleh pemerintah atau
setidaknya oleh organisasi yang melaksanakan atau memaksakan kekuasaan
politiknya. Yang menjadikan kejahatan itu sangat mengerikan dan menempatkan
kejahatan ini dalam dimensi yang berbeda dari kejahatan biasa adalah bukan apa yang
ada di pikiran si pelaku penyiksaan, tetapi kenyataan bahwa indivu tersebut
merupakan ‘bagian dari aparat negara’.
Itulah sebabnya mengapa diperlukan tanggung jawab individu dan yuridiksi
universal jika ingin ada pembendangan terhadap kejahatan tersebut. Seperti halnya
para bajak laut dan pedagang budak pada abad ke-18 tidak tersentuh oleh huku m,
mengingat mereka berada di laut lepas sehingga bukan merupakan subjek yuridiksi
negara manapun, begitu juga halnya para politisi dan jenderal di abad ke-20 yang
kebal hukum selama mereka menjalankan kedaulatan negara.Kini, yuridiksi universal
akan mengkaitkan mereka dengan kejahatan terhadap kemanusiaan, Pasal 27
menghilangkan seluruh kekebalan bagi para kepala negara serta anggota
pemerintahan dan parlemen. Ini akan diberlakukan pada negara-negara yang
merupakan negara pihak dalam Perjanjian ICC dan hal ini juga akan membawa
pengaruh dalam hukum internasional.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, di samping kebiasaan dan prinsip-prinsip
hukum umum, kejahatan terhadap kemnausiaan sudah diterima dalam sebuah
perjanjian internasional yaitu Statuta Roma mengenai Pengadilan Pidana
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
dalamnya merupakan kodifikasi dari hukum (pidana) internasional. Beberapa prinsip
yang diakui dalam kejahatan kemanusiaan, adalah:8
1. Prinsip non retroaktif dalam kejahatan terhadap kemanusiaan
Prinsip non retroaktif dalam hukum pidana tidak berlaku untuk kejahatan terhadap
kemanusiaan karena alasan-alasan berikut ini:
a. Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan dalam hukum
kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum umum. Menurut kedua
sumber hukum itu, orang yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan
baik secara commission maupun ommission dapat dihukum secara retroaktif.
b. Pasal 15 (2) kovenan internasional mengenai hak-hak sipil dan politik
memmungkinkan pengecualian asas non retrosktif untuk kejahatan-kejahatan
yang telah diterima sebagai kejahatan menurut prinsip-prinsip hukum umum.
2. Pertanggungjawaban komando
Pelaku tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dituntut dalam
kapasitasnya sebagai penanggung jawab komando (command responsibility).
Secara konseptual seorang komando dapat dimintai pertanggungjawaban baik atas
pernuatan pidananya karena langsung memberi perintah kepada pasukan yang
berada dubawah pengendaliannya untuk melakukan salah satu atau beberapa
perbuatan dari kejahatan terhadap kemanusiaan (by commission) maupun karena
membiarkan atau tidak melakukan tindakan apapun terhadap pasukan dibawah
pengendaliannya (by ommission). Pertanggungjawaban karena pembiaran
dilakukan misalnya ketika komandan bersangkutan tidak melakukan upaya
pencegahan perbuatan atau melaporkan kepada pihak berwenang agar dilakukan
penyelidikan. Sebagai contoh dari pertanggungjawaban pidana karena pembiaran
8
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
adalah Jenderal Yamashita, Perdana Menteri Tojo, Menteri Luar Negeri Hirota
(pada pengadilan Tokyo), Perdana Menteri Kambada dari Rwanda dan Presiden
Slobodan Milosevic di Den Haag. Konsep demikian sudah diterima cukup lama
dalam hukum internasional, terakhir terkodifikasi dalam Statuta Roma.
3. Prinsip Praduga tak Bersalah
Berdasarkan Pasal 61 Statuta Roma, prinsip ini menempatkan adanya beban pada
jaksa penuntut untuk membuktikan kesalahan dengan alasan-alasan yang
meyakinkan. Pasal 97 (i) menyarankan bahwa bukti-bukti dan bantahan tidak
dibebankan kepada terdakwa. Masalah beban dan standar bukti dapat menjadi
sangat penting dalam pengadilan yangmenggunakan sistem juri, walaupun mereka
mencoba untuk bersikap akademis dalam membuat putusan-putusan pengadilan
dengan alasan-alasan yang meyakinkan. Pada praktiknya, pada saat tuntutan telah
membuktikan tanpa keraguan adanya keterlibatan dalam kejahatan terhadap
kemanusiaan, tugas yang berat dalam membuat kondisi pembuktian tidak bersalah
seperti adanya paksaan atau keadaan yang tidak sadar atau kesalahan akan
berpindah kepada terdakwa.
C. Pengertian Tawanan Perang Menurut Hukum Humaniter
Pengertian tawanan perang menurut Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perlakuan
Terhadap Tawanan Perang adalah orang-orang anggota angkatan bersenjata yang
ditahan oleh pihak musuh (capture by the enemy) atau selengkapnya: all person
belonging to the armed forces of the belligerents who are captured by the enemy in
the course of operatins. Pendudukan oleh angkatan perang musuh tanpa perlawanan
tidak tercakup dalam defenisi di atas, yang menggunakan istilah ‘tawanan perang
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
Pada ketentuan Pasal 4 A, pengertian tawanan perang menurut Konvensi Jenewa
1949 mengenai perlakuan tawanan perang adalah orang-orang yang termasuk salah
satu golongan berikut, yang telah jatuh dalam kekuasaan musuh. Pasal ini menyatakan
bahwa mereka berhak mendapatkan status sebagai tawanan perang adalah:
1. Para anggota angkatan perang dari suatu pihak dalam sengketa, begitupun
anggota-anggota milisi atau barisan prajurit cadangan sukarela yang menjadi
bagian dari angkatan perang demikian itu; (Pasal 4 Konvensi III Paragraf B).
2. Anggota-anggota milisi serta anggota-anggota barisan prajurit cadangan sukarela
lainnya, termasuk anggota-angota gerakan-gerakan perlawanan yang diorganisir,
yang tergolong pada suatu pihak dalam sengketa dan beroperasi di dalam atau
diluar wilayahnya sendiri, sekalipun itu diduduk i, asal saja milisi atau barisan
prajurit cadangan sukarela demikian, termasuk gerakan perlawanan yang
diorganisir itu dan memenuhi syarat-syarat berikut: (Pasal 4 Konvensi III Paragraf
B sub Paragraf I)
a. Dipimpin oleh seseorang yang bertanggung jawab atas bawahannya.
b. Menggunakan tanda pengenal tetap yang dikenali dari jauh.
c. Membawa senjata secara terbuka.
d. Melakukan operasi mereka yang sesuai dengan hukum-hukum dan
kebiasaan-kebiasaan perang.
3. Para anggota angkatan perang reguler yang menyatakan kesetiannya pada suatu
pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui oleh negara penahan.
4. Orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa dengan sebenarnya menjadi
anggota dari angkatan perang itu, seperti anggota sipil awak pesawat terbang
militer, wartawan-wartawan perang, pemasok berbekalan, anggota kesatuan kerja
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
saja mereka telah mendapatkan pengesahan dari angakatan perang yang
disetainya, yang harus melengkapi mereka dengan sebuah kartu pengenal.
5. Anggota-anggota awak kapal niaga, termasuk nahkoda, pemandu laut dan taruna
dan awak pesawat terbang sipil dari pihak-pihak dalam sengketa, yang tidak
mendapat perlakuan yang lebih menguntungkan menurut ketentuan-ketentuan lain
apapun dalamm hukum internasional.
6. Penduduk wilayah yang belum diduduki, yang tatkala musuh mendekat, atas
kemauan sendirinya dan dengan serentak mengangkat senjata untuk melawan
pasukan-pasukan yang menyerbu, tanpa mempunyai waktu untuk membentuk
kesatuan-kesatuan bersenjata yang teratur, asal saja mereka membawa senjata
secara terang-terangan dan menghormati kebiasaan-kebiasaan perang.
Dari enam golongan tersebut di atas, yang termasuk ke dalam nomor 1, 2, 3 dan
6 termasuk ke dalam kategori kombatan, yang apabila tertangkap akan diperlakukan
sebagai tawanan perang sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewa 1949.
Sedangkan yang termasuk kedalam nomor 4 dan 5, walaupun termasuk dalam ategori
penduduk sipil berhak untuk diperlakukan sebagai tawanan perang.
Keenam golongan di atas, yang terdiri dari kombatan dan penduduk sipil,
apabila jatuh ketangan musuh, maka berhak mendapat perlakuan sebagai tawanan
perang, harus dilindungi dan dihormati dalam segala keadaan.
Menurut Konvensi ini, kategori berikut juga diperlakukan sebagai tawanan
perang, yaitu:
1. Orang yang tergolong, atau pernah tergolong dalam angkatan perang dari wilayah
yang diduduki, apabila negara yang menduduki wilayah itu memandang perlu
untuk menginternir mereka karena kesetiaan itu, walaupun negara itu pada
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
wilayah yang diduduki negara itu, terutama jika orang-orang bergabung kembali
dengan angkatan perang mereka yang terlibat dalam pertempuran, atau jika
mereka tidak memenuhi panggilan yang ditujukan kepada mereka berkenaan
dengan penginterniran.
2. Orang-orang yang termasuk dalam salah satu golongan tersebut dalam pasal ini,
yang telah diterima oleh negara-negara netral atau negara-negara yang tidak turut
berperang dalam wilayahnya, dan yang harus diinternir oleh negara-negara itu
menurut hukum internasional, tanpa mempengaruhi tiap perlakuan yang lebih baik
yang mungkin diberikan kepada mereka oleh negara-negara itu dan dengan
pengecualian pasal 8, 10, 15 dan 30 paragraf kelima. Pasal 58-67, 126 dan apabila
terdapat hubungan diplomatik antara pihak-pihak dalam sengketa dengan negara
netral atau negara pelindung. Jika terdapat hubungan diplomatik demikian,
pihak-pihak dalam sengketa yang ditaati oleh negara-negara itu harus diperkenankan
menyelenggarakan fungsi negara pelindung terhadap mereka, sebagaimana
ditentukan oleh konvensi ini, tanpa mempengaruhi fungsi-fungsi yang biasa
dijalankan oleh pihak-pihak itu sesuai dengan kebiasaan dan perjanjian-perjanjian
diplomatik dan konsuler.
Berpegang pada pengertian tawanan perang tersebut, membuka kemungkinan
bagi tentara pendukung yang melakukan penangkapan atas bekas anggota tentara
yang diduduki berdasarkan pertimbangan-pertimbangan keamanan untuk menganggap
dirinya tidak terikat untuk memperlakukan orang-orang demikian sebagai tawanan
perang.
D. Hak-hak yang Melekat Pada Tawanan Perang
Pada prinsipnya, terhadap tawanan perang, pihak-pihak bersenjata harus
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
1. Pada waktu tertangkap, para tawanan diwajibkan memberikan keterangan
mengnai nama, pangkat, tanggal lahir dan nomor anggotanya. Mereka tidak boleh
dipaksa memberi leterangan lebih lanjut dalam keadaan apapun. Penyiksaan dan
perlakuan kejam terhadap mereka dipandang sebagai kejahatan perang (Pasal 12).
2. Segera setelah tertangkap, tawanan perang berhak dilengkapi dengan kartu
penangkapan. Kartu penangkapan ini selanjutnya dikirim Biro Penerangan Resmi
di negara asal tawanan perang melalui Badan Pusat Pencarian Palang Merah
Internasional (International Committee of the Red Cross Central Tracing Agency).
Badan Pusat Pencarian ini memiliki tugas memberikan keterangan kepada
keluarga para tawanan perang. Dengan cara ini, maka hubungan tawanan perang
dengan keluarganya tetap terjalin (Pasal 18).
3. Secepatnya para tawanan perang harus dipindahkan dari kawasan berbahaya ke
tempat yang aman. Kondisi kehidupan mereka harus setara dengan kondisi
kehidupan dari anggota perang negara penahan yang tinggal di tempat itu (pasal
19).
4. Sedapat mungkin kondisi penawanan mempertimbangkan adat dan
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan para tawanan perang (Pasal 25).
5. Para tawanan yang sehat dapat diminta untuk bekerja, tapi mereka dapat
melakukan pekerjaan yang berbahaya apabila mereka menyetujuinya (Pasal 51).
6. Tawanan perang berhak melakukan korespondensi dengan keluarganya (biasanya
surat ataupun kartu pos dikirimkan melalui Badan Pusat Pencarian Palang Merah
Internasional). Mereka juga berhak menerima bantuan dalam bentuk apapun
bingkisan perorangan (Pasal 72).
7. Tawanan perang tunduk pada hukum yang berlaku di negara penahan, khusunya
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
dapat dijatuhi sanksi pidan adan juga sanksi indisipliner sesuai dengan aturan
yang berlaku. Negara penahan juga dapat menghukum tawanan perang terhadap
pelanggaran-pelanggaran yang mereka lakukan sebelum mereka ditawan,
Misalnya tuduhan kejahatan perang yang dilakukan di daerah penduduk atau di
medan pertempuran (Pasal 82).
8. Tawanan perang yang dihukum berhak mendapatkan jaminan peradilan yang
wajar, dan bila terbukti bersalah serta dijatuhi hukuman, maka ia tetap berstatus
sebagai tawanan perang. Artinya, setelah ia menjalani hukumannya, ia berhak
untuk dipulangkan ke negara asalnya (pasal 99-106).
9. Dilarang melakukan tindakan pembalasan (reprisal) terhadap tawanan perang.
Dalam hal terjadi pertukaran antar tawanan perang, tidak selalu didasarkan pada
jumlah yang sama dari tawanan yang akan dipulangkan, tetapi biasanya didasarkan
atas pertimbangan terhadap mereka yang mengalami penedritaan khusus.
Pemulangan atau pelepasan penuh tawanan perang juga dapat dilakukan dengan
cara bersyarat atau dengan suatu perjanjian. Berdasarkan persyaratan atau perjanjian
tersebut, tawanan perang yang dilepaskan berjanji untuk tidak ikut ambil bagian lagi
secara aktif dalam pertempuaran. Namun karena persyaratan demikian, maka
pelepasan dengan syarat atau perjanjian jarang sekali terjadi.
Berdasarkan Pasal 118 Konvensi III, semua tawanan perang harus dipulangkan
ke negara asalnya. Berkenaaan dengan hal tersebut, timbul suatu masalah, yaitu
apabila para tawanan perang itu sendiri tidak mau untuk dipulangkan.
Berkaitan dengan pemulangan tawanan perang, dalam Pasal 109-111 Konvensi
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
1. Segera setelah mampu berjalan, tawanan yang luka dan sakit parah harus langsung
dikembalikan tanpa penangguhan. Suatu komite kesehatan bersama (mixed
medical committe) akan memutuskan siapa-siapa yang akan dipulangkan.
2. Setelah peperangan berakhir, semua tawanan harus dibebaskan dan dipulangkan
tanpa ada penundaan.
3. Tanpa menunggu berakhirnya perang, para pihak yang bersengketa hendaknya
memulangkan para tawanan atas dasar kemanusiaan dan sedapat mungkin bersifat
timbal balik, yaitu dengan cara melakukan pertukaran tawanan perang secara
langsung ataupun melalui negara ketiga yang netral.
Sebagai contoh, dalam perang Korea, para tawanan perang Korea Utara enggan
pulang ke negaranya. Dalam hal ini, PBB memutuskan bahwa tidak seorangpun
tawanan perang yang dapat dipaksa untuk dikembalikan ke negara asalnya, jika
mereka tidak menghendakinya.
Namun hal ini harus diputuskan dengan sangat hati-hati. Sebab jika tawanan
perang diperbolehkan memutuskan sendiri untuk pulang atau tidak, ada kemungkinan
negara penahan akan menegaskan haknya untuk membuat putusan mengenai
pemulangan para tawanan perang tersebut, sehingga suatu negara dapat saja menekan
para tawanan perang tersebut untuk tinggal. Untuk menghindari kemungkinan
tersebut, maka suatu organisasi kemanusiaan yang bersifat netral dapat melakukan
jasa-jasanya berkenaan dengan pemulangan para tawanan perang.
Setelah peperangan berakhir, para pihak yang bersengketa juga harus melakukan
segala tindakan yang dimungkinkan untuk mencari dan mengumpulkan orang-orang
yang luka dan sakit. Kondisi mereka dicatat dan secepatnya diberikan kepada biro
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
Ketentuan tersebut harus meliputi nama Negara asal, nomor anggota, nama
lengkap dan nama kecil, tanggal lahir, serta tanggal dan tempat penangkapan.
Keterangan ini selanjutnya disampaikan kepada negara asal tawanan perang
yang bersangkutan, melalui Kantor Pusat tawanan perang dan juga negara pelindung.
Di samping orang-orang yang luka atau sakit, maka pihak yang bersengketa juga
harus melakukan semua tindakan untuk mencari dan mengidentifikasi orang-orang
yang telah meninggal dunia.Wasiat dan barang-barang si korban harus dikumpulkan.
Pemakaman mereka harus dijamin. Pembakaran mayat hanya dimungkinkan karena
alasan klesehatan atau karena ajaran agama si korban. Makam mereka harus
didaftarkan, ditandai dan dijaga oleh Layanan Pendaftaran Makam Resmi (official
graves registration services), yang dikelola oleh pihak yang bersengketa.
Selain peranan Komite Palang Merah dalam pengawasan atas pelaksanaan
Konvensi Jenewa sebagaimana diterangkan sebelumnya, perhimpunan-perhimpunan
penolong dan perhimpunan kemanusiaan lainnya dapat memberikan bantuan yang
besar dalam meringankan penderitaan tawanan perang. Hal ini terbukti dengan nyata
sekali, tidak hanya saat Perang Dunia II, tetapi dalam setiap pertikaian bersenjata
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
BAB III
TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK ASASI MANUSIA
A. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak
awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapapun.
Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia
tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
Melanggar Hak Asasi Manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus
permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran Hak
Asasi Manusia di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan/tuntas
sehingga diharapkan perkembangan dunia HAM di Indonesia dapat terwujud ke arah
yang lebih baik. Salah satu tokoh HAM di Indonesia adalah Munir yang tewas
dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia.9
Hak Asasi Manusia terbagi atas:10
1. Hak Asasi Pribadi (Personal Right)
a. Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pindah tempat
b. Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
c. Hak kebebasan memilih dan aktif diorganisasi atau perkumpulan
d. Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agaman dan
kepercayaan yang diyakini masing-masing.
2. Hak Asasi Politik (Political Right)
9
http:www.organisasi.org. Organisasi-Komunitas dan Perpustakaan Online Netter Indonesia.
10
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
a. Hak untuk memilik dan dipilih dalam suatu pemilihan
b. Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
c. Hak memnuat dan mendirikan parpol atau partai politik dan organisasi politik.
d. Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi.
3. Hak Asasi Hukum (Legal Equality Right)
a. Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
b. Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil
c. Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4. Hak Asasi Ekonomi (Property Right)
a. Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
b. Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
c. Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
d. Hak kebebasan untuk memiliki sesuatu
e. Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5. Hak Asasi Peradilan(Procedural Right)
a. Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
b. Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahan dan
penyelidikan di mata hukum.
6. Hak Asasi Sosial Budaya (Social Culture Right)
a. Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
b. Hak mendapatkan pengajaran
c. Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat.
Hak asasi manusia yang berlaku saat ini merupakan senyawa yang dimasak di
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
terlihat bahwa satu aspek berbahaya dari pemerintahan Hitler adalah tiadanya
perhatian terhadap kehidupan dan kebebasan manusia. Karenanya, perang melawan
kekuatan Poros dibela dengan mudah dari segi perlindungan hak asasi manusia dan
kebebasan yang mendasar. Negara Sekutu menyatakan di dalam “Deklarasi
Perserikatan Bangsa-bangsa” (Declaration by United Nations) yang terbit pada 1
Januari 1942, bahwa kemenangan adalah “penting untuk menjaga kehidupan,
kebebasan, independensi dan kebebasan beragama, serta untuk mempertahankan hak
asasi manusia dan keadilan”.11 Dalam pesan berikutnya yang ditujukan kepada
Kongres, Presiden Franklin D. Roosevelt mengidentifikasikan empat kebebasan yang
diupayakan untuk dipertahankan di dalam perang tersebut: kebebasan nerbicara dan
berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan dari hidup berkekurangan, dan
kebebasan dari ketakutan akan perang.12
Hak asasi telah diidentifikasikan dan diatur dalam berbagai perjanjian
internasional dan regional. Contoh yang paling bagus diantaranya adalah Deklarasi
Umum Hak-Hak Asasi Manusia (the Universal Declaration of Human Right)
tahun1948, yang mengatur anggota masyarakat internasional untuk menghormati hak-Pembunuhan dan kerusakan dahsyatyang ditimbulkan Perang Dunia II
menggugah suatu kebulatan tekad untuk melakukan sesuatu guna mencegah perang
untuk membangun sebuah organisasi internasional yang sanggup meredakan krisis
internasional serta menyediakan suatu forum untuk diskusi dan mediasi. Organisasi
ini adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang telah memainkan peran utama dalam
pengembangkan pandangan kontemporer tentang hak asasi manusia.
11
Untuk naskah “Declaration by United Nations” tertanggal 11 Januari 1942, lihat H.F. Van Panhuys, dkk., ed., International Organization and Integration (The Hague: Martinus Nijhoff, 1981), vol. 1A.
12
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
hak semua manusia untuk hidup, untuk memperoleh penghidupan yang layak, untuk
kebebasan dan keamanan, untuk kebebasan mengeluarkan pendapat dan berekspresi,
dan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan di negaranya. Pada tahun 1976, dua
kovenan internasional muncul dengan dorongan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
yang pertama mencakup hak-hak Sipil dan Politik dan yang kedua adalah mengenai
hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.13
Umumnya, para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya Hak Asasi Manusai
dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta
antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja
yang menciptakan huku, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi
kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggungjawaban di muka umum.Lahirnya
Magna Charta ini kemudian diikuti leh perkembangan yang konkret dengan lahirnya
Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu, mulai timbul adagium yang
intinya adalah bahwa manusia sama di muka hukum (equality before the law). Hak-hak sipil dan politik dikenal luas sebagai hak-gak ‘generasi pertama’, dan
kadang-kadang disebut sebagai ‘hak-hak negatif’ karena menuntut negara untuk tidak
menggunakan tindakan-tindakan seperti penyiksaan terhadap warga negaranya atau
menyangkal hak untuk berbicara. Sementara itu, hak-hak ‘generasi kedua’ yang
mencakup hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, di satu sisi, sering disebut sebagai
‘hak positif’, karena menuntut tindakan pemerintah untuk menyediakan pelayanan
seperti rumah atau sekolah. Baik hak-hak manusia generasi pertama maupun kedua,
diatur dalam merespon kebutuhan individu yang memiliki hak telah dilanggar dalam
merespon kebutuhan individu yang memiliki hak telah dilanggar dalam puluhan
terakhir ini, dan saat ini telah mendapat pengakuan dan penerimaan publik.
13
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan demokrasi. Bill of
Rights melahirkan asas persamaan.
Para pejuang HAM dahulu sudah berketetapan bahwa persamaan harus
diwujudkan betapapun beratnya resiko yang dihadapi karena hak kebebasan baru
dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan. Untuk mewujudkan semua itu, maka
lahirlah teori Roesseau (tentang contract social/perjanjian masyarakat), Montesqueu
dengan Trias Politiknya mengajarkan pemisahan kekuasaan guna mencegah tirani,
Jhon Locke di Inggris dan Thomas Jefferson di Amerika dengan hak-hak dasar
kebebasan dan persamaan yang dicanangkannya.14
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American
Declaration of Independence yang lahir dario paham Roesseau dan Montesqueu. Jadi,
walaupun di Perancis sendiri belum dirinci apa HAM itu, tetapi di Amerika Serikat
lebih dahulu mencanangkan secara lebih rinci. Mulailah dipertegas bahwa manusia
adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah
lahir, ia harus terbelenggu.Selanjutnya, pada tahun 1789 lahirlah The French
Declaration, di mana hak-hak yang lebih rinci lagi melahirkan dasar The Rule of Law.
Antara lain dinyatakan, tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang
semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa surat perintah
yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah.15
Dinyatakan pula presumption of innocence, artinya orang-orang yang ditangkap
kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada
keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap yang menyatakan ia
14
http://www.ham.go.id/org.sejarah.asp.
15
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
bersalah. Dipertegas juga dengan Freedom of Expression (bebas mengeluarkan
pendapat), The Right of Property (perlindungan terhadap hak milik), Right of Live
(hak Hidup) dan hak-hak dasar lainnya, Jadi dalam French Declaration sudah
tercakup semua hak, meliputi hak-hak yang menjamin tumbuhnya penegak HAM,
demokrasi maupun negara hukumyang asas-asasnya sudah dicanangkan sebelumnya.
Perlu juga diketahui, The Four Freedoms dari Presiden Roosevelt yang
dicanangkan pada tanggal 6 januari 1941, dikutip dari Encyclopedia Americana, p.
654 tersebut di bawah ini: “The first is freedom of speech and expression everywhere
in the world. The second is freedom of every person to worship God in his own way
every where in the world. The third is freedom from want which, translated into world
terms, mean economic ubderstanding which secure to every nation a healthy
peacetime life for its inhabitans-every where in thw world. The fourth is freedom from
fear-which, translated into world terms, mean a worldwide reduction of armement to
such a point and in such a through fashion that no nation will be in a position to
commit an act of physical agression againts any neighbor-anywhere in the world”.16
B. Teori-Teori Hak asasi Manusia
Semua hak-hak ini, setelah perang Dunia II dijadikan dasar pemikiran untuk
melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal dengan
The Universal Declaration of Human rights yang dirumuskan, dan dideklarasikan
oleh PBB pada tahun 1948.
Hak asasi manusia pada mulanya adalah produk mazhab hukum kodrati.
Deklarasi Kemerdekaan Amerika dan Deklarasi Hak-Hak Asasi manusia dan
Warganegara Perancis, keduanya bermula dari teori hak-hak kodrati.
16
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
Ajaran hukum kodrati dapat dirunut kembali ke zaman kuno, dapat dikatakan
bahwa mazhab modern hukum kodrati muncul dalam abad pertengahan bersamaan
dengan tulisan para filsuf pertama Kristiani, diantaranya yang terkemuka adalah Santo
Thomas Aquinas. Pandangan Thomistik mengenai hukum kodrati mempostulatkan
bahwa hukum kodrati ini merupakan bagian dari hukum Tuhan yang sempurna yang
dapat diketahui melalui penggunaan nalar manusia. Sebagian isi filsafat hukum
kodrati yang terdahulu adalag ide bahwa posisi masing-masing orang dalam
kehidupan ditentukan oleh Tuhan, tetapi semua orang apapun statusnta tunduk pada
otoritas Tuhan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa bukan hanya kekuasaan
raja yang dibatasi oleh aturan-aturan ilahiah, tetapi juga bahwa semua manusia
dianugrahi identitas individual yang unik, yang terpisah dari negara. Aspek hukum
kodrati terakhir ini dapat dipandang sebagai mengandung benih ide hak kodrati yang
menyatakan bahwa stiap orang adalah individu yang otonom.
Landasan hukum kodrati yang terdahulu sepenuhnya teostik, artinya supaya
korehen hukum ini mensyaratkan adanya iman pada Tuhan, tetapi tahapan selanjutnya
dalam perkembangan hukum kodrati adalah memutuskan asal usulnya yang teistik
dan membuatnya menjadi suatu produk pemikiran sekuler yang rasional dan bijak.
Tugas ini dilaksanakan oleh Hugo de Groot, seorang ahli hukum Belanda, yang
umumnya dikenal dengan nama latin Grotius, dan diakui sebagai “bapak hukum
internasional”. Dalam risalahnya, De Jure Belli on Facis, grotius beargumentasi
bahwa wksestensi hukum kodrati, yang merupakan landasan semua hukum positif
atau hukum tertulis, dapat dirasionalkan si atas landasan yang non empiris dengan
menelaah aksioma ilmu ukur. Pendekatan sistematis semacam itu terhadap
permasalahn hukum menunjukkan bahwa semua ketentuan dapat diketahui dengan
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
Pendekatan rasional sekuler terhadap hukum ini menarik bagi kaum terpelajar
pasca-Renaisans, dan dengan menggunakan “nalar yang benar” model Grotius ini dapat kita
pahami perkembangan teori hak kodrati atau hak individu.17
Locke menggunakan teori kontak sosialnya utnukmenjelaskan dan membela
Revolusi Gemilang Inggris tahun 1688. Dengan melanggar hak-hak kodrati
kawulanya, raja James II telah kehilangan haknya untuk memerintah dan telah
menghabsahkan perubahan pemerintahan yang terjadi sebagai akibatnya. Dari sudut
pandang hak kodrati model Locke, dua hal tampak jelas. Pertama, individu adalah
makhluk otonom yang mampu melakukan pilihan dan, kedua, keabsahan pemerintah
tidak hanya bergantung pada kehendak rakyat, tetapi juga pada kemauan dan
kemampuan pemerintah untuk melindungi hak-hak kondrati individu itu. Sementara Sepanjang abad ke-17, pandangan hukum kodrati model Grotius terus
disempurnakan dan pada akhirnya berubah menjadi teori hak kodrati. Melalui teori
ini, hak-hak individu yang subjektif diakui. Yang terkemuka diantara para pendukung
doktrin hak kodrati adalah John Locke. Locke beragumen bahwa semua individu
dikaruniai oleh alam, hak yang inheren atas kehidupan, kebebasan dan harta, yang
merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dipindahkan atau dicabut oleh
negara. Tetapi Locke juga mempostulatkan bahwa untuk menghindari ketidakpastian
hidup dalam alam mini, umat manusia telah mengambil bagian dalam suatu kontral
sosial atau ikatan sukarela, yang dengan itu penggunaan hak mereka yang tidak dapat
dicabut itu diserahkan kepada penguasa negara.Apabila penguasa negara memutuskan
kontral sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, para kawula negara itu
bebas untuk menyingkirkan sang penguasa dan menggantikannya dengan suatu
pemerintah yang bersedia menghormati hak-hak itu.
17
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
jelas bahwa teori hak kodrati Locke merupakan suatu bagunan ide buatan yanhg
dirancang untuk menjelaskan hakikat manusia dalam masyarakat politis, namun teori
iru sangat berpengaruh terhadap pemikiran politik pada abad ke-17 dan ke-18. Baik
bahasa revolusi Amerika maupun revolusi Perancis, dan tulisan-tulisan filsuf Perancis
Jean-Jacques Rousseau serat filsuf modern jerman Immanuel Kant, memperlihatkan
silsilah filosofis dari hukum kodrati dan hak kodrati.18
Kant mengembangkan gagasannya dari suatu apresiasi yang lebih umum
terhadap tradisi hukum kodrati dan hak kodrati yang non-empiris. Dasar teori Kant
adalh printah kategoris, ayitu kebijakan moral yang mutlak yang dapat
diidentifikasikan dalam pelaksanaan kehendak baik oleh semua individu yang
rasional. Menurut teori Kant, perintah kategoris ini bekerja pada tiga tingkatan.
Pertama, perintah kategoris ini merinci tindakan-tindakan universal yang merupakan
kewajiban semua individu. Kedua, perintah kategoris meyediakan kaidah-kaidah yang Walaupun mengikuti arah utama teori kontrak sosial Locke, Rousseau,
menyatakan bahwa hukum kodrati tidak menciptakan hak-hak kodrati individu,
melainkan menganugerahi kedaulatan yang tidak bisa dicabut pada para warganegara
sebagai satu kesatuan. Jadi, setiap hak yang diturunkan dari hukum kodrati akan ada
pada rakyat sebagai kolektivitas dan dapat diidentifikasi dengan mengacu pada
“kehendak umum”. Jelas bahwa kehendak umum bukanlah suatu kualitas mutlak dan
dapat berubah sendiri atau diubah bentuknya oleh seorang pemimpin yang persuasive.
Oleh karena itu, meskipun teori Rosseau diturunkan dari ajaran hukum kodrati, teori
ini jelas dapat digunakan untuk membenarkan demagogi dan totaliterisme. Tentu saja,
orang dapat merargumentasu bahwa Teori Revolusi Prancis mungkin bisa ditelusuri
pada penyimpangan terhadap tesis “kehendak umum” itu.
18
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
sistematis untuk menetapkan kewajiban-kewajiban ini. Ketiga, perintah kategoris ini
merinci hubungan antara kebebasan dan kewajiban. Tetapi, yang mendasari perintah
kategoris itu adalah ide bahwa individu berkewajiban mengembangkan kapasitas
rasional mereka dan menggunakannya untuk membantu perkembangan kebahagiaan
yang lain. Perintah kategoris ini mempunyai suatu padanan berupa suatu sistem hak
meskipun pada dasarnya perintah ini berlandaskan pada kewajiban. Tetapi, berbeda
dari tradisi hukum kodrati yang lama, hak-hak semacam itu tidak ditentukan terlebih
dahulu, melainkan mengalir sari konsekuensi-konsekuensi sistem modal Kant yang
berlandaskan pada kewajiban. Kant mempostulatkan bahwa dalam masyarakat
rasional yang menentukan nasib mereka sendiri, kebebasan atau hak akan muncul
sebagai konsekuensi dari penerapan perintah kategoris itu. Oleh karenanya, hak
semacam itu dapat dideskripsikan sebagai akibat dan non relasi, artinya eksestendi
atau nilai hak-hak ini tidak saling bergantung satu sama lain. Karena sifat non relasi
inilaj, teori Kant tentang hak sangat sukar diterapkan pada situasi konkret.
Sejak abad ke-19 teori halk kodrati pada umumnya tidak lagi dihormati orang,
meskipun ada kebangkitan kembali setelah Perang Dunia II. Kritikus utama terhadap
teori kodrati adalah bahwa teori ini tidak bisa diperiksa kebenarannya secara ilmiah.
Bagaiman mungkin mengetahui darimana asal hak-hak kodrati itu, apa sajakah hak itu
dan apa isinya? Para kritikus menunjuk pada struktus nilai atau moral yang a priori
dan pengandaian-pengandaian yang diturunkan dari prefensi pribadi berbagai
teoritikus itu dan menyatakan bahwa hak-hak kodrati tidak mungkin ada secara
objektif. Seperti dikatakan oleh Jeremy Bentham, seorang filsuf utilitarian Inggris,
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
hukum imajiner, dari hukum kodrati dan tidak bisa dicabut adalah omong kosong
retorik, omong kosong yang dijunjung tinggi.19
C. Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional
Namun kendati ada kritik-kritik terhadap hukum kodrati dan hak kodrati ini, kita
tidak boleh melupakan pengaruhnya yang besar bagi kemunculan dan perkembangan
hak asasi manusia. Teori hak kodrati telah berjasa dalam menyiapkan landasan bagi
suatu sistem hukum yang dianggap superior ketimbang hukum negara. Orang bisa
mengajukan banding terhadap sistem hukum ini apabila hukum negara ternayata tidak
adil, sewenang-wenang atau bersifat menindas. Bahkan dapat diargumentasikan,
bahwa dokumen-dokumen konstitusi revolusioner terdahulu adalah dokumen “hak
kodrati” dan setelah kebiadaban luas biasa terjadi menjelang Perang Dunia II, gerakan
untuk menghidupkan kemnali hak kodrati menghasilkan dirancangkannya suatu
instrumen internasional yang utama mengenai hak asasi manusia. Tentu saja dapat
diterima, pendapat yang menyatakan bahwa suatu sistem hukum positif dibutuhkan
untuk membuat pernyataan yang sistematik dan pasti mengenai hak-hak aktual yang
dimiliki rakyat, meskipun hak asasi manusia berdasar dari hukum kodrati.
Hukum hak asasi manusia internasional merupakan cabang hukum publik
internasional, yakni hukum yang telah dikembangkan untuk mengatur hubungan
diantara entitas-entitas yang mempunyai pribadi yangbersifat internasional, seperti
negara, organisasi internasional dan boleh jadi individu. Dalam konteks hak asasi
manusia, hukum internasional mempunyai kualitas ganda sebab ia menciptakan
19