• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

B. Tinjauan Teori dan Konsep

3. Hakikat Novel a. Pengertian Novel

Novel merupakan salah satu jenis prosa dengan isi yang lebih luas dibanding cerpen sebagai bentuk prosa lain. Novel dimaknai sebagai sebuah karya prosa fiksi yang cukupannya tidak terlalu panjang tetapi tidak terlalu pendek. Pengertian tidak terlalu panjang diartikan bahwa panjangnya novel hingga ratusan halaman dan tanpa aturan.

Pengertian tidak terlalu pendek juga dimaksudkan karena pengarang cerita menyampaikan beberapa konflik dan tokoh dengan

pemaparan secara mendalam. Novel adalah salah satu istilah dalam bahasa Inggris. Waluyo dan Wardani (2009: 8) menuturkan bahwa kata novel berasal dari kata novellus yang berarti baru. Jadi sebenarnya memang novel adalah bentuk karya sastra cerita fiksi yang paling baru. Dalam Ensiklopedi Sastra (2007: 546) pengertian novel didefinisikan sebagai bentuk prosa rekaan panjang, menyuguhkan tokoh-tokoh, dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun. Novel mengandung cerita rekaan yang berisi konflik untuk mengubah nasib tokoh.

Urian di atas dapat diacu sebagai pemaknaan novel yaitu salah satu jenis sastra berbentuk prosa panjang yang terkandung di dalamnya imajinasi pengarang untuk menceritakan tokoh secara luar biasa sehingga menimbulkan konflik dan menyebabkan perubahan nasib terhadap para pelakunya.

b. Struktur Novel

Novel merupakan sebuah totalitas yang bersifat artistik. Sebagai salah satu bentuk totalitas, fiksi memiliki , unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lain . Tiap potongan cerita saling berkaitan dengan potongan cerita sebelum dan sesudahnya. Perpaduan inilah yang kemudian menjadi satu wujud utuh dan kemudian disebut novel.

Stanton (2007: 22) mengungkapkan ada tiga fakta cerita fiksi yaitu, karakter, alur, dan latar. Ketiga bagian tersebut berfungsi sebagai catatan imajinatif dari cerita. Penggunaan struktur faktual tersebut membantu penulis menciptakan karya dari sudut pandang berbeda.

kepaduan unsur intrinsik membuat sebuah novel berwujud. Sebuah novel tak akan berdiri jika tidak memiliki salah satu unsur intrinsik yaitu tema, sudut pandang, alur, amanat, penokohan, dan latar (setting). Keberartian enam unsur tersebut dapat dibuktikan melalui analisis unsur intrisik yang selalu mengungkapkan enam unsur tersebut dalam menelaah sastra.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disintesiskan bahwa unsur intrinsik dibutuhkan untuk mewujudkan karya sastra berupa prosa. Unsur intrinsik yang mencakup alur, penokohan dan latar adalah bagian struktur faktual novel sedangkan tema, sudut pandang dan amanat adalah unsur yang diketahui setelah membaca keseluruhan cerita.

Unsur intrinsik terdiri dari tema, alur, penokohan, latar, dan sudut pandang. Penjelasan mendalam mengenai unsur intrinsik tersebut, terpapar pada subbab di bawah ini.

a. Tema

Keraf menyatakan bahwa tema berasal dari kata tithnai (bahasa Yunani) yang berarti menempatkan, meletakkan. Jadi

menurut ahli, tema berarti sesuatu yang telah diuraikan atau ditempatkan. Dalam tema terkandung sikap pengarang terhadap subjek atau pokok cerita. Pengertian spesifik mengenai tema terdapat pada ensiklopedia sastra bahwa tema merupakan gagasan, ide, atau pokok persoalan yang menjadi dasar cerita . Tema dipaparkan secara samar-samar dan dapat ditemukan setelah membaca keseluruhan cerita.

Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita (Ismawati, 2013: 72). Penemuan tema akan diperoleh jika pembaca telah menyelesaikan keseluruhan cerita. Kehadiran konflik, situasi, dan peristiwa tertentu tidak lepas dari keterkaitannya dengan tema. Isi seluruh cerita dipahami melalui kesimpulan yang dihadirkan oleh tema. Stanton mengungkapkan bahwa tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat . Proses penemuan tema berusaha menyingkirkan beberapa makna lain dan memilih makna tertentu sebagai tema utama. Temuan tema dalam prosa akan membuat pembaca mengetahui alasan pengarang mencipta karya. Tema memberi fokus dan kedalaman makna hidup pada pengalaman yang diutarakan.

Upaya untuk menemukan tema dalam sebuah karya fiksi dapat dilakukan dengan menyimpulkan isi seluruh cerita, tidak cukup dengan mengetahui potongpotongan bagian tertentu saja

namun diperlukan secara keseluruhan. Eksistensi atau kehadiran tema terimplisit dan merasuki keseluruhan cerita, inilah yang menyebabkan kemungkinan kecil terjadinya pelukisan langsung. Hal ini menyebabkan sulitnya menafsirkan tema.

Dari berbagai pandangan mengenai pengertian tema tersebut dapat disimpulkan bahwa tema adalah maksud keseluruhan cerita yang ingin disampaikan pengarang. Ungkapan tema suatu karya dapat berbeda karena pengarang tidak menggambarkan tema secara langsung. Hal terpenting dalam memaknai tema bukan ketepatan menemukannya namun bagaimana penerapan pengalaman manusia itu dapat dijadikan sebagai pelajaran hidup bagi pembaca.

b. Alur atau Plot

Alur berasal dari bahasa Inggris yaitu plot dan di Prancis alur dinamai intrique. Pengertian alur adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Keterkaitan peristiwa dihubungkan oleh waktu dan sebab akibat (Ensiklopedi Sastra Indonesia, 2007:43). Rangkaian peristiwa dalam alur dijalin dengan cermat hingga menggerakkan konflik ke arah klimaks atau penyelesaian. Setiap peristiwa berperan penting dalam menempati posisinya sebagai peristiwa awal, menaik, menurun, dan penyelesaian.

Plot merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah ini umumnya selalu berkaitan dengan peristiwa kausal. Peristiwa ini menyebabkan dampak dari peristiwa lain yang tidak dapat terabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya (Stanton, 2007: 26). Setiap peristiwa mengalami keterkaitan dan menjalankan tahap-tahap yang telah ditentukan. Konflik tidak dapat muncul lebih dulu dibanding Pengenalan terhaadap cerita.

Suatu kisah tidak dapat dimengerti seutuhnya tanpa adanya pengetahuan terhadap cerita yang dihubungkan oleh alur (Stanton, 2007: 28). Pembaca dibuat penasaran karena alur mengalir. Keingintahuan terhadap kejadian selanjutnya adalah dampak yang dihasilkannya.

Abrams (dalam Wahyuningtyas dan Santoso, 2011: 6) mengungkapkan bahwa plot merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu. Tahapan-tahapan peristiwa terjalin dalam suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku yang muncul dalam karya sastra.

Pada prinsipnya alur cerita terdiri atas tiga bagian, yaitu : (1) alur awal, terdiri dari paparan (eksposisi), rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising action); (2) alur tengah, terdiri atas pertikaian (conflict), perumitan (complication), dan klimaks

atau puncak penggawatan (climax); (3) alur akhir, terdiri dari perleraian (falling action), dan penyelesaian (denouement). Alur cerita tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 1 : Plot Prosa Fiksi

(Adelstein & Pival dalam Waluyo dan Wardani, 2009: 19)

Exsposition atau eksposisi paparan awal cerita. Pengarang mulai memmperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik, dan tokoh-tokoh cerita. Inciting moment adalah peristiwa mulai terjadinya problem-problem yang ditampilkan pengarang kemudian ditingkatkan mengarah pada peningkatan problem. Rising action adalah peningkatan adanya permasalahan yang dapat meningkatkan konflik. Complication adalah konflik yang terjadi semakin genting. Permasalahan sebagai sumber konflik sudah

Conflict falling Exposition Rising action Inciting moment Complication Climax Falling action Denouement

saling berhadapan. Climax adalah puncak dari terjadinya konflik cerita yang berasal dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya. Falling action adalah peredaan konflik cerita. Denouement adalah penyelesaian yang dipaparkan oleh pengarang dalam mengakiri penyelesaian konflik yang terjadi.

Berpedoman pada paparan di atas dapat dipahami bahwa alur atau plot adalah rangkain peristiwa yang saling memiliki keterkaitan satu sama lain dimulai dari bagian pengenalan hingga tahap penyelesaian. Kedudukan masing-masing peristiwa mutlak yang berarti tidak dapat diubah sesuai keinginan pembaca. Alur yang baik akan mendorong pembaca untuk mencari tahu terhadap kejadian selanjutnya.

c. Tokoh dan Penokohan 1) Tokoh

Tokoh adalah pelaku yang terdapat dalam sebuah cerita, novel atau cerita fiksi. istilah tokoh untuk menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, sedangkan watak, perwatakan, dan karakter menunjuk sifat dan sikap para tokoh yang ditafsirkan para pembaca. Tokoh dalam prosa berbentuk novel umumnya menggunakan pelaku cerita lebih banyak di banding tokoh yang muncul dalam cerita pendek. Tokoh dihadirkan dengan karakter yang lebih spesifik untuk menguatkan cerita.

Kedudukan peran dalam sebuah cerita tokoh dapat terbagi menjadi dua, yaitu protagonis dan antagonis (Waluyo dan Wardani, 2009: 28). Tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung jalannya cerita yang memiliki karakter baik atau jahat. Tokoh antagonis merupakan kebalikan dari tokoh protagonis yang menentang arus cerita dapat pula mendapat peran baik atau jahat.

Jenis tokoh selain yang disebutkan di atas adalah tokoh sentral, andalan, bawahan, tokoh bulat dan tokoh pipih. Tokoh sentral merupakan tokoh yang mendominasi keseluruhan cerita. Tokoh ini selalu ditonjolkan dan menjadi pusat penceritaan. Kebalikan dari jenis tokoh ini adalah tokoh sampingan atau bawahan yang kehadiran jarang dimunculkan dalam cerita. Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang diandalkan dalam pengisahan. Tokoh tambahan adalah tokoh-tokoh yang dijadikan latar belakang saja dan dianggap tidak penting. (Waluyo, 2011: 19-20)

Dari paparan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tokoh adalah pelaku yang muncul dalam novel. Pelaku memiliki watak bervariasi yang menempati posisi sebagai pendukung

atau penentang cerita. Fungsi tersebut menjadikan cerita yang dikisahkan menjadi menarik.

2) Penokohan

Penokohan dalam cerita rekaan tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan tokoh. Istilah tokoh menunjukan pada pelaku cerita, sedangkan penokohan menunjukan pada sifat, watak atau karakter yang melengkapi dari tokoh tersebut. Penokohan adalah penujukkan mengenai penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu pada sebuah cerita (Nurgiantoro, 2013: 165).

Pendapat yang serupa juga dipaparkan oleh Stanton (2007: 33) bahwa karakter merujuk pada dua konteks berbeda. Pertama, karakter merujuk pada individu yang muncul dalam cerita. Kedua, karakter dimaknai sebagai percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut. Sifat tokoh dipengaruhi oleh motivasi dasar yang dilakukan secara spontan dan mungkin tanpa disadari muncul dalam adegan atau dialog tertentu.

Ada beberapa cara pengarang untuk menggambarkan watak tokohtokohnya, meliputi: (1) penggambaran secara langsung; (2) secara langsung dengan diperindah; (3) melalui pernyataan oleh tokohnya sendiri; (4) melalui dramatisasi; (5) melalui pelukisan terhadap keadaan sekitar pelaku; (6) melalui

analisis psikis pelaku; dan (7) melalui dialog pelaku-pelakunya (Waluyo dan Wardani, 2008: 32).

Dari pengertian di atas dapat disintesiskan bahwa penokohan adalah gambaran watak tokoh yang berisi berbagai kepentingan, keinginan, ambisi dan prinsip moral. Karakter dapat ditemukan melalui penggambaran langsung atau melalui penuturan tokoh. Tokoh yang memiliki karakter baik tidak selamanya dianggap sebagai tokoh pendukung (protagonis), demikian pula sebaliknya tokoh yang berperan jahat tidak dapat dianggap sebagai tokoh penentang (antagonis).

d. Latar atau Setting

Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat berwujud dekor dan waktu (Stanton, 2007: 35). Kemunculan latar terkadang membuat pembaca jenuh. Hal ini terjadi jika deskripsi yang ditulis pengarang terlalu panjang sedangkan pembaca ingin segera sampai pada inti cerita.

Nurgiyantoro (2005: 216) memaparkan hal yang hampir serupa bahwa latar adalah segala keterangan petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita. Suasana termasuk bagian dari latar dengan menggambarkan peristiwa luar biasa yang dihadapi tokoh dalam

arus cerita. Kedudukan latar dapat pula menggambarkan kondisi psikis yang dialami tokoh cerita.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latar merupakan suatu keadaan terjadinya peristiwa yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana dalam cerita. Latar memiliki pengaruh kuat dalam proses menghayati cerita yang sedang dibaca. Pembaca akan merasa melihat peristiwa melalui latar yang dipaparkan pengarang.

e. Sudut Pandang Pengarang (Point of View)

Sudut pandang merupakan salah satu unsur fiksi yang penting dan menentukan. Stanton (2007: 53) memaknai sudut pandang sebagai pusat kesadaran tempat kita memahami setiap peristiwa dalam cerita. Hubungan dan posisi merujuk pada hal berbeda yang terjadi dalam cerita. Dengan memahami posisi pencerita, pembaca juga dapat memahami subjektivitas atau objektivitas yang digunakan pengarang.

Barnet (1963: 38) mengungkapkan sudut pandang terbagi dua yaitu participant (or first person) dan non participant (or third person). Kedua bagian ini kemudian dibagi dalam subbagian yaitu, participant (first person) mencakup (a) narrator as major character; dan (narrator is a minor character) dan nonparticipant (third person) mencakup (a) omniscient; (b) selective omniscient; dan objective.

Shipley (dalam Waluyo dan Wardani 2008: 38) menyebutkan adanya 2 jenis point of view, yaitu internal point of view dan external point of view. Internal point of view terdiri dari dua macam, yaitu: (1) tokoh yang bercerita; (2) pencerita menjadi salah seorang pelaku; (3) sudut pandang akuan; (4) pencerita sebagai tokoh sampingan dan bukan tokoh hero. Sementara untuk gaya eksternal ada dua jenis, yaitu; (1) gaya diaan; (2) penampilan gagasan dari tokoh-tokohnya.

Menurut Nurgiyantoro sudut pandang merupakan sudut cerita dikisahkan (Wahyuningtyas dan Santosa 2011: 8). Dua metode penceritaan dalam pusat pengisahan yaitu, metode aku dan metode diaan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sudut pandang pengarang yaitu cara pandang pengarang untuk dapat menjelaskan dan menyampaikan sebuah cerita agar dapat dipahami pembaca.

Merujuk beberapa pendapat di atas dapat di atas dapat disimpulkan bahwa sudut pandang adalah cara pengarang memosisikan diri di dalam kisah. Pengarang dapat berkedudukan sebagai orang pertama atau orang ketiga dan memandang cerita secara objektif atau subjektif.