• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

B. Tinjauan Teori dan Konsep

5. Pendekatan Sosiologi Sastra

Menurut Ratna (2010:60) bahwa dasar filosofis pendekatan sosiologi adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan yang dimaksud disebabkan oleh karya sastra dihasilkan oleh pengarang, pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat dan hasil karya sastra itu dimanfatkan kembali oleh masyarakat. Pendekatan sosiologi merupakan pendekatan yang menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu.

Endraswara (2003:77) menyatakan asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial,

kehidupan sosial akan menjadi lainnya karya sastra. Wolff (Faruk, 2003:3) mengatakan bahwa sosiologi merupakan suatu disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri atas sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang lebih general yang masing-maasing hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan antara seni atau kesusastraan dengan masyarakat.

Sosiologi sastra merupakan suatu ilmu interdisipliner (lintas disiplin), antara sosiologi dan ilmu sastra. Mulanya dalam konteks sosiologi maupun ilmu sastra, sosiologi merupakan suatu disiplin ilmu yang agak terabaikan. Di samping itu, dari segi historis juga karena sosiologi sastra merupakan disiplin ilmu yang relatife baru berbeda dengan sosiologi pendidikan yang sudah dikenal lebih dulu. Sedangkan menurut (Damono,1978:20-21) mengatakan bahwa sosiologi terhadap karya sastra terbagi menjadi dua jalur utama. (1) pandangan yang kemudian dikenal sebagai positivisme, usaha untuk mencari hubungan antara sastra dan beberapa faktor seperti iklim, geografi dan ras. Dalam pandangan ini menyatakan bahwa tak ada ukuran mutlak dalam penilaian sastra, penilaian sepenuhnya tergantung kepada waktu, tempat, dan fungsinya. (2) menolak sikap empiris ini. Untuk pandangan ini sastra bukanlah sekedar pencerminan masyarakatnya, sastra merupakan usaha manusia untuk menemukan makna dunia yang semakin kosong dari

nilai-nilai sebagai akibat adanya pembagian kerja. Pendekatan ini menomorsatukan nilai diantara aspek-aspek lain dalam penelaah sastra. 6. Pendekatan Intertekstualitas Sastra

Karya sastra tidak pernah lahir dari kekosongan budaya. Pradopo (dalam Wulandari, 2011:67) menyatakan bahwa kelahiran suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dari keberadaan karya-karya sastra yang mendahuluinya, yang pernah diserap oleh sang sastrawan. Mengacu pendapat di atas dapat dimaknai bahwa karya sastra yang kemudian, harus dikaitkan dengan karya sastra yang mendahuluinya. Dalam hal ini pada mulanya sastrawan dalam menciptakan karyanya melihat, meresapi, dan menyerap teks-teks lain yang menarik perhatiannya, baik yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar. Ia menggumuli konvensi sastranya, konvensi estetiknya, gagasan yang tertuang dalam karya itu, kemudian mentransformasikannya ke dalam suatu karangan, karyanya sendiri.

Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Menurut A. Teeuw (dalam Wulandari, 2011:68) “karya sastra itu merupakan respon pada karya sastra yang terbit sebelumnya”. Burhan Nurgiyantoro (2005: 51) memberikan contoh, sebelum para pengarang Balai Pustaka menulis novel, di masyarakat telah ada hikayat dan berbagai cerita lisan lainnya seperti pelipur lara. Sebelum para penyair Pujangga Baru menulis puisi-puisi modernnya, di masyarakat telah ada berbagai bentuk puisi-puisi lama.

Kemudian, sebelum Chairil Anwar dan kawan-kawan seangkatannya menulis puisi dan prosa, di masyarakat juga telah ada puisi-puisi modern ala Pujangga Baru, begitu seterusnya. Dari sini terlihat adanya kaitan mata rantai antara penulisan karya sastra dengan unsur kesejarahannya. Ratna (2003:184.) memberikan pengertian intertekstualitas dalam kajian intertekstualitas, setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain; tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri; dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, kerangka; tidak dalam arti bahwa teks baru hanya meneladani teks lain atau mematuhi kerangka yang telah diberikan lebih dulu, tetapi dalam arti bahwa dalam penyimpangan dan transformasi pun model teks yang sudah ada memainkan peranan yang penting: pemberontakan atau penyimpangan mengandaikan adanya sesuatu yang dapat diberontaki atau pun disimpangi”. Senada dengan Nyoman Kutha Ratna, Suwardi Endraswara juga menyatakan bahwa secara garis besar penelitian intertekstualitas memiliki dua fokus: pertama, meminta perhatian tentang pentingnya teks yang terdahulu (prior text). Tuntutan adanya otonomi teks sebenarnya dapat menyesatkan gagasan sebuah karya memiliki arti karena dalam hal-hal tertentu telah dituliskan lebih dahulu oleh pengarang lain. Kedua, intertekstualitas akan membimbing peneliti untuk mempertimbangkan teks terdahulu sebagai penyumbang kode yang memungkinkan lahirnya berbagai efek signifikansi. Dari dua fokus ini,

tampak bahwa karya sastra sebelumnya berperan dalam sebuah penciptaan. Lebih lanjut Suwardi (dalam Wulandari, 2011:72) mengungkapkan bahwa pada dasarnya, baik studi interteks maupun sastra bandingan akan mencari dua hal, yaitu: (1) affinity (pertalian, kesamaan) dan atau paralelisme serta varian teks satu dengan yang lain; (2) pengaruh karya sastra satu kepada karya lain atau pengaruh sastra pada bidang lain dan sebaliknya.

Karya sastra yang baru dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka karya sastra pendahulunya. Karya sastra yang dijadikan kerangka bagi penulisan karya yang berikutnya disebut hipogram. Istilah tersebut sering diterjemahkan menjadi latar, yaitu dasar bagi penciptaan karya lain walaupun mungkin tidak secara eksplisit. Karya pendahulu yang melatari atau menjadi hipogram karya berikutnya inilah yang menjadi fokus penelitian intertekstualitas. Melalui penjajaran karya sastra yang satu dengan karya sastra yang lain yang menghipogrami, maka karya sastra yang bersangkutan dapat dipahami secara penuh.

Kristeva (dalam Endraswara,2003:131) mengatakan bahwa munculnya intertekstualitas sebenarnya dipengaruhi oleh hakikat teks yang di dalamnya terdapat teks lain . Hal ini mengisyaratkan bahwa unsur teks yang masuk ke teks lain itu dapat saja hanya setitik saja. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dan karya-karya yang lain. Kristeva (dalam Nurgiyantoro, 2005:52–53) mengungkapkan bahwa tiap teks merupakan sebuah mozaik

kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain. Hal itu berarti bahwa tiap teks yang lebih kemudian mengambil unsur-unsur tertentu yang dipandang baik dari teks (-teks) sebelumnya, yang kemudian diolah dalam karya sendiri berdasarkan tanggapan pengarang yang bersangkutan. Dengan demikian, walau sebuah karya sastra berupa dan mengandung unsur ambilan dari berbagai teks lain, karena telah diolah dengan pandangan dan daya kreativitas sendiri, dengan konsep estetika dan pikiran-pikirannya, karya yang dihasilkan tetap mengandung dan mencerminkan sifat kepribadian penulisnya”.

Senada dengan Kristeva, Ratna (2010: 172 – 173) juga mengatakan bahwa interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain . Teks itu sendiri secara etimologis berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan bermakna di antara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluasluasnya bagi peneliti untuk menemukan hipogram. Pradopo (dalam Sangidu, 1995: 151) juga mendefinisikan bahwa intertekstual merupakan ringkasan pengetahuan yang memungkinkan teks mempunyai arti. Menurutnya, arti suatu teks tergantung pula teks-teks lain yang diserap dan yang ditransformasi. Oleh karena itu, hubungan intertekstual atau hubungan antarteks karya sastra

dipandang penting untuk memperjelas maknanya sebagai karya sastra sehingga memudahkan pemahamannya, baik pemahaman makna teks maupun makna dan posisi kesejarahannya. Hubungan antarteks tersebut dapat berupa hubungan karya sastra sejaman, hubungan karya-karya sastra yang mendahului, dan hubungan karya-karya-karya-karya sastra yang kemudian. Dengan perkataan lain, hubungan antarteks tersebut dapat berupa hubungan karya sastra masa lampau, hubungan karya-karya sastra masa kini, dan hubungan karya-karya-karya-karya sastra masa depan.

Hubungan kesejarahan ini dapat berupa penerusan tradisi atau konvensi sastra sehingga karya sastra tidak begitu saja lahir, melainkan sebelumnya sudah ada karya sastra lain yang tercipta berdasarkan konvensi dan tradisi sastra suatu masyarakat yang bersangkutan. Kristeva (dalam Wulandari, 2011: 87–88) menjelaskan ciri-ciri intertekstualitas sebagai berikut: (1) kehadiran fisikal suatu teks dalam teks lainnya; (2) pengertian teks bukan hanya terbatas pada cerita tetapi juga mungkin berupa teks bahasa; (3) adanya petunjuk yang menunjukkan hubungan perseimbangan dan pemisahan antara suatu teks dengan teks yang telah terbit lebih dulu; dan (4) dalam membaca buku teks, pembaca tidak hanya membaca teks itu saja tapi harus membacanya secara berdampingan dengan teks-teks yang lainnya, sehingga interpretasi pembaca terhadap bacaannya tidak dapat dilepaskan dari teks-teks lain.

Studi intertekstualitas menurut Frow (dalam Endraswara, 2003:131) didasarkan beberapa asumsi kritis: (1) Konsep intertekstualitas menuntut

peneliti untuk memahami teks tak hanya sebagai isi, melainkan juga aspek perbedaan dan sejarah teks, (2) teks tak hanya struktur yang ada, tetapi satu sama lain juga saling memburu, sehingga terjadi perulangan atau transformasi teks, (3) ketidakhadiran struktur teks dalam rentang teks yang lain namun hadir juga pada teks tertentu merupakan proses waktu yang menentukan, (4) bentuk kehadiran struktur teks merupakan rentangan dari yang eksplisit sampai yang implisit. Teks boleh saja diciptakan ke bentuk lain: di luar norma ideolog dan budaya, di luar genre, di luar gaya dan idiom, dan di luar hubungan teks-teks lain, (5) hubungan teks satu dengan yang lain boleh dalam rentang waktu lama, hubungan tersebut bisa secara abstrak, hubungan interteks juga sering terjadi penghilanganpenghilangan bagian tertentu, (6) pengaruh mediasi dalam interteks sering memengaruhi juga pada penghilangan gaya maupun norma-norma sastra, (7) dalam melakukan identifikasi interteks diperlukan proses interpretasi, (8) analisis intertekstualitas berbeda dengan melakukan kritik melainkan lebih terfokus pada konsep pengaruh.

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa intertekstualitas merupakan salah satu sarana pemberian makna kepada sejumlah teks, dengan cara membandingkan dan menemukan hubungan-hubungan bermakna antara teks yang ditulis lebih dulu (hipogram) dengan teks sesudahnya (teks transformasi).