• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hambatan Dalam Proses Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Illegal Fishing Fishing

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING

A. Hambatan Dalam Proses Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Illegal Fishing Fishing

Secara umum penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan memiliki berbagai hambatan atau kendala yang dapat digolongkan sebagai berikut:98 1. Hambatan secara umum, sebagai berikut:

a) Substansi hukum

Hukum positif dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan adalah landasan bagi penegak hukum. Suatu perbuatan dapat dikatakan benar atau salah berdasarkan hukum yang berlaku, termasuk jenis sanksi apa yang dikenakan terhadap suatu tindak pidana juga berlandaskan peraturan perundang-undangan.

Terkait dengan tindak pidana khususnya illegal fishing yang dilakukan oleh korporasi asing. Indonesia sampai saat ini belum memiliki payung hukum untuk menjerat korporasi sebagai pelaku sesungguhnya. Proses hukum selama ini hanya menyentuh para ABK yang sebenarnya hanya sebagai pelaksana saja. Tidak heran jika kejahatan ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Dilihat dari substansinya hukum pemerintah harus segera membuat peraturan perundang-undangan yang dapat mendudukkan korporasi asing sebagai tersangka, terdakwa, dan

98 Nunung Mahmudah, Op.Cit., hlm. 119-120

108

menjatuhkan sanksi pidana terhadapnya. Karena aparat penegak hukum tidak akan bisa bekerja tanpa landasan hukum yang kuat. Padahal konflik kewenangan merupakan keadaan yang sangat tidak menguntungkan dan mencerminkan penegakan hukum yang lemah dan tidak optimal, sehingga berdampak kepada eksistensi tindak pidana di wilayah perairan laut dengan frekuensi yang cukup tinggi dan tetap terus berlangsung.99 Keadaan ini sangat potensial untuk menimbulkan konflik kewenangan dalam penegakan hukum.

Selain itu dalam Undang-Undang Perikanan juga membagi pasal-pasalnya ke dalam dua jenis delik yakni kejahatan dan pelanggaran. Hal ini secara jelas tercantum dalam pasal 103 Undang-Undang Perikanan. Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran tersebut ternyata dalam perumusannya sama-sama menempatkan kesalahan pelaku sebagai syarat pemidanaan, yaitu dalam Pasal 87 dan Pasal 90 Undang Perikanan yang menurut Pasal 103 Undang-Undang Perikanan adalah tergolong ke dalam pelanggaran, mensyaratkan adanya kesengajaan atau kealpaan yang pada hakikatnya adalah bentuk dari kesalahan.

Doktrin hukum pidana mengajarkan bahwa pelanggaran adalah delik undang-undang dan untuk dapat dipidananya pelaku tidak perlu menilai sikap batin pelaku. Terbuktinya pelaku melakukan perbuatan yang dilarang sudah cukup untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku. Hal ini berbeda dengan kejahatan yang

99 Joko Sumaryono, “Forum Koordinasi dan Konsultasi Operasi Keamanan Laut dan Penegakan Hukum”, Majalah Patriot, 2007, hlm. 3

109

dalam pemidanaannya mensyaratkan adanya kesalahan (kesengajaan/kealpaan).100 Dalam penjatuhan hukuman antara kejahatan dan pelanggaran, delik pelanggaran hukumannya lebih ringan dari delik kejahatan. Di dalam Undang-Undang Perikanan delik pelanggaran diberikan sanksi pidana berupa pidana penjara atau pidana denda, yang mana delik pelanggaran harusnya diberikan sanksi yang lebih ringan yakni berupa pidana kurungan bukan pidana penjara.

b) Aparat penegak hukum

Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan apparat penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu dimulai dari saksi, polisi, penasihat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir. Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen yang mempengaruhi, yaitu institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya, budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan perangkat aturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya maupun hukum acaranya.101

100 https://pn-tilamuta.go.id/2016/05/23/hukum-acara-pengadilan-perikanan-dan-tindak-pidana-perikanan/ diakses pada tanggal 27 Juli 2019.

101 http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/penegakan_hukum.pdf, diakses pada tanggal 12 Juli 2019.

110

Terkait aspek kuantitas dan kualitas aparat penegak hukum. Kuantitas berkaitan dengan jumlah atau lengkap tidaknya aparat penegak hukum yang ada. Sedangkan kualitas berkaitan dengan kemampuan dan kemahiran (profesionalisme) aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus illegal fishing di wilayah perairan Indonesia. Kekurang baik dari segi kuantitas maupun kualitas aparat hukum akan sangat mempengaruhi efektifitas penegak hukum di perairan Indonesia. Aparat penegak hukum baik dalam arti preventif maupun represif dalam menangani kasus-kasus illegal fishing, disamping jumlahnya sangat terbatas kemampuannya juga masih terbatas. Saat ini aparat penegak hukum kebanyakan baru dapat melaksanakan tugas-tugas preventif, seperti pemantauan, pembinaan, dan peringatan apabila terjadi kegiatan illegal fishing mereka tidak melakukan tindakan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa aparat penegak hukum seperti penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memahami peraturan atau ketentuan hukum jumlah maupun kemampuannya terbatas. Untuk itu perlu mendidik tenaga-tenaga profesional aparat penegak hukum sehingga diharapkan mereka akan mampu menangani kasus-kasus illegal fishing atas dasar wawasan yang komprehensif-integral.102

c) Fasilitas dan sarana

Fasilitas dan sarana adalah alat untuk mencapai tujuan penegakan hukum di wilayah perairan Indonesia. Ketiadaan atau keterbatasan fasilitas dan sarana penunjang lainnya akan sangat mempengaruhi keberhasilan penegak hukum.

102 Ibid

111

Fasilitas dan sarana dibutuhkan karena dalam menangani kasus-kasus tersebut akan melibatkan berbagai perangkat teknologi canggih yang untuk kepentingan operasionalisasinya memerluka tenaga ahli dan biaya perawatan yang cukup mahal.

Belum tersedianya beberapa sarana dan prasarana yang memadai menyebabkan dalam pembuktian sampel yang diajukan para pihak pada masing-masing laboratorium menunjukan hasil yang berbeda-beda. Di sisi lain jika dipakai sebagai alat bukti di pengadilan sering kali membingungkan aparat penegak hukum, sehingga menimbulkan keraguan hakim dalam menjatuhkan sanksi.

d) Kesadaran masyarakat

Indikator kesadaran hukum masyarakat terletak pada kepatuhan kepada ketentuan hukum dan peran serta masyarakat dalam upaya penegakan hukum. Hal ini merupakan aspek yang tidak kalah penting dibanding aspek-aspek diatas.

Seberapa bagus formulasi hukum dan aparat penegak hukum, seberapa canggih sarana dan prasarana apabila tidak didukung dengan kesadaran masyarakat, maka penegakan hukum akan mengalami hambatan.

Terbatasnya kesadaran hukum masyarakat terhadap laut teritorial, laut kepulauan, dan laut pedalaman disebabkan karena keawaman masyarakat terhadap berbagai aspek. Dalam hal ini citra dan kesadaran masyarakat terhadap perairan dapat dibina dan ditingkatkan melalui usaha-usaha seperti penyuluhan, bimbingan, keteladanan, serta keterlibatan masyarakat dalam menanggulangi illegal fishing.

112

Untuk itu peningkatan kegiatan penegak hukum yang berdimensi edukatif-persuasif dan preventif perlu ditingkatkan dan digalakkan.

e) Hambatan yang berkaitan dengan Prosedur

Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Indonesia yang dikenal dengan KUHAP, menganut system spesialisasi, differensiasi dan kompartemensasi, yaitu membedakan dan menerapkan pembagian kewenangan kepada masing-masing institusi dengan cara memisahkan secara tegas tugas dan wewenang penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan yang terintegrasi, menuju kepada sistem peradilan pidana terpadu. Oleh karena itu keberhasilan proses peradilan, ditentukan oleh bekerjanya system peradilan pidana, dimana tidak berfungsinya salah satu subsistem akan mengganggu bekerjanya subsistem peradilan pidana yang lain, yang pada akhirnya menghambat bekerjanya proses peradilan pidana.103

2. Hambatan dalam proses hukum, sebagai berikut:

a) Tahap penyidikan

Penyidik perikanan sebagaimana dalam ketentuan Pasal 73 ayat (1) UU Perikanan ada 3 instansi yang berwenang melakukan penyidikan yakni penyidik TNI AL, penyidik Polri, dan penyidik PNS. Jika diperhatikan ketentuan dalam Pasal 73 ayat (1) UU Perikanan tersebut rumusan pasalnya membingungkan karena

103 Abdul Rahman Saleh, Upaya Peningkatan Profesionalisme Kejaksaan Dalam Penegakan Hukum, bahan ceramah pada pendidikan pembentukan jaksa, di pusdiklat kejaksaan RI, Jakarta, tanggal 25 Oktober 2005, hlm. 4

113

sebenarnya siapa saja yang menjadi penyidik perikanan. Pasal 73 ayat (1) UU Perikanan tersebut berbunyi sebagai berikut Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dilakukan oleh penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam rumusan pasal tersebut memang tercantum sebanyak 3 penyidik. Ketiga penyidik tersebut sejalan dengan UU Perikanan berkedudukan sebagai penyidik khusus. Penyidik Polri juga demikian, sesuai KUHAP kedudukannya sebagai penyidik umum, namun penyidik Polri yang berdasarkan UU Perikanan diangkat dan bertugas sebagai penyidik perikanan adalah penyidik khusus yang melaksanakan tugas penyidikan perikanan yang kedudukannya sama dengan penyidik PNS dan penyidik TNI AL. Pengaturan penyidik perikanan dalam pasal 73 ayat (1) UU Perikanan tersebut menyimpang dari system penyidik tunggal yang dianut KUHAP, karena dengan 3 penyidik yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan perikanan, ketiganya sebagai penyidik yang masing-masing berdiri sendiri. Walaupun di dalam penyidikan perikanan terdapat penyidik PNS, akan tetapi dalam menjalankan tugasnya, kedudukan penyidik PNS tidak di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri (Pasal 7 ayat (2) KUHAP). Penyidik PNS tidak ada kewajiban melapor dan dapat melimpahkan berkas perkara langsung kepada penuntut umum tanpa melalui penyidik Polri (Pasal 73B ayat (6) UU Perikanan).

114 b) Tahap penuntutan

Setelah selesainya tahap penyidikan, maka proses selanjutnya adalah penyidik melimpahkan hasil penyidikannya kepada Kejaksaan Negeri untuk dilakukan penuntutan. Tugas penuntut umum dalam proses penuntutan selain meneliti berkas adalah membuat surat dakwaan. Surat dakwaan merupakan dasar bagi hakim untuk memeriksa dan mengadili terdakwa. Dalam menyusun surat dakwaan sering terjadi kekeliruan. Kekeliruan tersebut antara lain terletak pada uraian tindak pidana materiil yang didakwakan kepada terdakwa karena apabila surat dakwaan disusun dalam bentuk alternatif atau sebusidaritas maka dalam dakwaan kesatu atau kedua uraian tindak pidana materiilnya sama persis, padahal dengan dasar hukum dakwaan yang berbeda-beda rumusan pasalnya juga berbeda. Apabila uraian dalam surat dakwaan yang susunannya dibuat sama persis, sedangkan menurut Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP dakwaan harus diuraikan secara cermat, jelas, dan lengkap. Jika dakwaan tidak dibuat secara cermat, jelas, dan lengkap maka akan berakibat dakwaan kabur dan menurut Pasal 143 ayat (3) KUHAP dakwaan tersebut batal demi hukum sehingga terdakwa tidak dapat diperiksa dan diadili dengan dasar dakwaan tersebut.104

c) Tahap pengadilan / persidangan

Setelah penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan maka kewenangan untuk menangani perkara sudah beralih ke pengadilan. Dalam hal pelimpahan tersebut pengadilan tidak dapat pada hari itu juga melaksanakan persidangan,

104 Gatot Supramono, Op.Cit., Hlm. 108.

115

karena terlebih dahulu perkara tersebut harus diregister dan ditetapkan hakim, hari, tempat, serta jadwal sidang. Ini membutuhkan waktu kurang lebih dua atau tiga hari. Setelah itu Pengadilan biasanya menetapkan hari sidang pertama seminggu setelah meregister perkaranya karena memberi waktu kepada penuntut umum untuk memanggil terdakwa beserta alat-alat buktinya.

Selanjutnya setelah pembacaan dakwaan selesai dibacakan, apabila terdakwa didampingi oleh penasihat hukumnya maka sidangnya akan ditunda selama satu minggu untuk menyampaikan keberatan terhadap surat dakwaan. Setelah pembacaan nota keberatan selanjutnya persidangan ditunda lagi untuk tanggapan penuntut umum dan apabila majelis hakim tidak siap dengan putusan sela maka sidang akan diundur lagi. Apabila terdakwa tidak mengajukan keberatan terhadap surat dakwaan maka hambatan selanjutnya yakni penuntut umum belum bisa menghadirkan saksi, maka persidangan akan ditunda selama satu minggu.

Demikian pula jika saksi yang baru hadir hanya satu orang maka persidangan akan mundur satu minggu untuk pemeriksaan saksi yang belum hadir. Hambatan selanjutnya setelah pemeriksaan perkara selesai maka akan ditunda lagi untuk tuntutan pidana, namun pada hari sidang yang ditetapkan penuntut umum belum siap juga megajukan tuntutan dengan alasan tuntutan belum turun dari pimpinan.

Selain itu hambatan selanjutnya setelah tuntutan pidana dibacakan, penasihat hukum belum siap dengan pembelaan dan mohon agar sidang ditunda selama satu minggu. Juga menjadi hambatan apabila tersangka/terdakwa yang tidak ditahan.

Keluarnya tersangka/terdakwa dari tahanan akan mengganggu proses

116

penyelesaian perkara dan berpengaruh terhadap putusan pengadilan yang tidak dapat dieksekusi.105

d) Mengenai barang bukti

Barang bukti bukan merupakan alat bukti, tetapi dapat membantu menerangkan mengenai terjadinya suatu tindak pidana. Salah satu yang menjadi barang bukti dalam tindak pidana perikanan yakni kapal. Kapal-kapal yang hendak berlayar sebelumnya harus didaftarkan terlebih dahulu. Pendaftaran kapal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Untuk kapal perikanan pendaftaran dan penandaan kapal perikanan diatur dalam Pasal 3 PERMEN KP Nomor 27/MEN/2009 tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan menyebutkan bahwa dalam rangka kegiatan pendaftaran kapal perikanan, Menteri memberi kewenangan kepada :

a. Direktur jenderal perikanan tangkap untuk melakukan pendaftaran kapal perikanan berbendera Indonesia milik orang atau badan hukum Indonesia yang digunakan diwilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau laut lepas, dengan ukuran di atas 30 GT.

b. Gubernur atau pejabat yang ditunjuk untuk melakukan pendaftaran kapal perikanan berbendera Indonesia milik orang atau badan hukum Indonesia yang digunakan diwilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dengan ukuran di atas 10 GT sampai dengan 30 GT yang berdomisili di

105 Ibid, Hlm. 222.

117

wilayah administrasinya dan beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan yang menjadi kewenangannya.

c. Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk untuk melakukan pendaftaran kapal perikanan berbendera Indonesia milik orang atau badan hukum Indonesia yang digunakan diwilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dengan ukuran sampai dengan 10 GT yang berdomisili di wilayah administrasinya dan beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan yang menjadi kewenangannya.

Terhadap kapal-kapal yang telah didaftarkan memiliki surat bukti kepemilikan kapal berupa gross akta pendaftaran, dan status kapal dianggap sebagai barang tidak bergerak. Barang yang disita selama perkaranya belum diputus oleh pengadilan maka penguasaannya berada dibawah kekuasaan yang berwenang yakni penyidik dalam tingkat penyidikan, penuntut umum dalam tingkat penuntutan, dan pengadilian dalam tingkat pemeriksaan sidang pengadilan.

Menurut Pasal 44 ayat (1) KUHAP, untuk barang bergerak yang disita disimpan di RUPBASAN. Kapal merupakan salah satu benda sitaan dalam tindak pidana perikanan yang termasuk ke dalam benda tidak bergerak. Sedangkan untuk barang tidak bergerak belum ada aturannya baik di dalam KUHAP, UU Pelayaran maupun UU Perikanan, sehingga apabila kapal-kapal yang menjadi barang sitaan dalam perkara tindak pidana perikanan tersebut hanya diletakkan di pinggir laut, maka akan sangat sulit untuk menjaga barang bukti tersebut sehingga tidak bisa terjamin keamanannya dan kapal tersebut mudah menjadi rusak.

118

Selain kapal, benda yang umumnya disita dari tindak pidana perikanan yakni berupa hewan-hewan laut seperti ikan, udang, cumi, dan lain-lain yang pada dasarnya hewan-hewan tersebut di bawa oleh kapal dalam keadaan mati sehingga mudah menjadi rusak dan busuk serta memerlukan biaya yang tinggi dalam hal perawatannya agar tetap awet. Untuk barang bukti yang mudah rusak dan memerlukan biaya perawatan yang tinggi, sesuai ketentuan dalam Pasal 76B ayat (1) Jo. Pasal 76C ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Perikanan, benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan dapat dilelang untuk negara, dan hasil lelang tersebut disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak. Yang menjadi masalah yakni barang bukti tersebut setelah dilakukan pelelangan maka uang hasil lelang tersebut langsung disetor ke kas negara dan sudah menjadi milik negara yang statusnya yakni penerimaan negara bukan pajak.

Uang hasil lelang tersebut semestinya merupakan barang sitaan yang harus dijadikan barang bukti untuk kepentingan pembuktian di pengadilan. Selanjutnya nanti barang bukti tersebut statusnya akan di tentukan dalam putusan pengadilan.

Dengan disetorkannya langsung uang hasil lelang tersebut ke kas negara merupakan suatu pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), asas persamaan dihadapan hukum (equality before the law) serta asas keadilan, karena seseorang belum boleh dinyatakan bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakannya, sehingga apabila pengadilan membebaskan seorang terdakwa karena tidak terbukti melakukan tindak pidana maka barang bukti tersebut dikembalikan kepada darimana benda tersebut disita atau orang

119

yang paling berhak menerimanya. Sehingga uang hasil lelang yang langsung disetorkan ke kas negara dan tidak dijadikan barang bukti di persidangan pengadilan adalah suatu hal yang bertentangan dengan asas-asas hukum dan sudah menyalahi proses peradilan.106

Begitu juga dalam Pasal 76A Undang-Undang Perikanan yang menyatakan benda dan/atau alat yang digunakan dan/atau dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara. Hal ini tentunya akan menimbulkan ketidakjelasan siapa yang dimaksud dengan negara. Negara menurut kekuasaannya terbagi atas 3, yakni lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Apabila yang paling berhak menerimanya adalah lembaga eksekutif dalam hal ini ialah pemerintah, maka Kementrian atau lembaga negara yang mana yang paling berhak menerimanya.

Mengenai hal tersebut Undang-Undang Perikanan belum secara rinci mengaturnya, yang mana hal ini akan menyulitkan dalam praktiknya.107

B. Upaya Dalam Proses Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Illegal