• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Manfaat Penelitian

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini ditujukan kepada Pemerintah Indonesia dan aparat penegak hukum melalui penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana illegal fishing. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan dan harmonisasi berbagai perangkat perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana illegal fishing.

12Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm. 41

13 E. Keaslian Penelitian

Dari hasil penelusuran kepustakaan yang ada di Lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul

“Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Illegal Fishing Di Wilayah Kerja Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai” belum pernah ada yang meneliti sebelumnya.

F. Kerangka Teori Dan Konsep 1. Kerangka Teori

Teori harus mengungkapkan suatu tesis atau argumentasi tentang fenomena tertentu yang dapat menerangkan bentuk substansi atau eksistensinya,13 dan suatu teori harus konsisten tentang apa yang diketahui tentang dunia sosial oleh partisipan dan ahli lainnya, minimal harus ada aturan-aturan penerjemah yang dapat menghubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lain,14 sedangkan kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoritis.15

Menurut W.L. Neuman, yang berpendapat dikutip dari Otje Salman dan Anton

13H.R. Otje Salman, S dan Anton F Susanto, Teori Hukum, (Bandung: Refika Aditama 2005), hlm. 23

14Ibid

15M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80

14

F Susanto menyebutkan bahwa : “Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia, ia adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”.16

Otje Salman dan Anton F Susanto akhirnya menyimpulkan pengertian Teori menurut pendapat beberapa ahli, dengan rumusan sebagai berikut: “Teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum”.17

Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jenis nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi.18 Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekontruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.19

Berdasarkan hal tersebut diatas, menurut Soerjono Soekanto, kerangka teori bagi suatu penelitian mempunyai beberapa kegunaan sebagai berikut:20

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi.

16H.R. Otje Salman, S dan Anton F Susanto, Op.Cit., hlm. 22

17Ibid., hlm. 23

18Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 254

19Ibid., hlm. 253

20 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 121

15

c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.

Menurut Sudikno berbicara tentang teori hukum berarti berbicara tentang hukum. Teori hukum bukanlah ilmu hukum. Hal ini dikemukakan karena pada umumnya Teori Hukum diidentikkan atau dijumbukan dengan Ilmu Hukum. Tetapi kiranya dapat dipahami bahwa Teori Hukum tidak sama dengan Ilmu Hukum. Untuk mengetahui apa teori hukum harus diketahui lebih dulu apa Ilmu Hukum itu. Ilmu hukum, atau yang semula dikenal dengan ajaran hukum (rechtsleer) sering disebut juga dogmatik hukum, mempelajari hukum positif (jus constitutum), yaitu hukum yang akan datang.

Menurut Benard Arief Sidharta, menyatakan bahwa:21

“Kini, secara umum, teori ilmu hukum dapat diartikan sebagai ilmu atau disiplin hukum yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam pengejawantahan praktisnya, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan bermasyarakat.

Objek telaahnya adalah gejala umum dalam tatanan hukum positif yang meliputi analisis bahan hukum, metode dalam hukum dan kritik ideological terhadap hukum”

Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu terjadi dan sesuatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Menetapkan landasan teori pada

21Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, cetakan ke tiga, 2009), hlm. 122

16

waktu diadakan penelitian ini tidak salah arah. Sebelumnya diambil rumusan landasan teori seperti yang dikemukakan M.Solly Lubis yang menyebutkan bahwa landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang membuat kerangka berpikir dalam penulisan.22

Teori yang dipergunakan sebagai alat untuk melakukan analisis di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Teori Kepastian Hukum

Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu.

Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi.23

Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang.

Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum. Kata ”kepastian”

22M.Solly Lubis, Op.Cit., hlm. 80

23Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hlm. 20

17

berkaitan erat dengan asas kebenaran, yaitu sesuatu yang secara ketat dapat disilogismekan secara legal-formal. Melalui logika deduktif, aturan-aturan hukum positif ditempatkan sebagai premis mayor, sedangkan peristiwa konkret menjadi premis minor. Melalui sistem logika tertutup akan serta merta dapat diperoleh konklusinya. Konklusi itu harus sesuatu yang dapat diprediksi, sehingga semua orang wajib berpegang kepadanya. Dengan pegangan inilah masyarakat menjadi tertib. Oleh sebab itu, kepastian akan mengarahkan masyarakat kepada ketertiban.24 Kepastian hukum akan menjamin seseorang melakukan perilaku sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, sebaliknya tanpa ada kepastian hukum maka seseorang tidak memiliki ketentuan baku dalam menjalankan perilaku. Dengan demikian, tidak salah apabila Gustav Radbruch mengemukakan kepastian sebagai salah satu tujuan dari hukum. Dalam tata kehidupan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum. Kepastian hukum merupakan sesuai yang bersifat normatif baik ketentuan maupun keputusan hakim. Kepastian hukum merujuk pada pelaksanaan tata kehidupan yang dalam pelaksanaannya jelas, teratur, konsisten, dan konsekuen serta tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif dalam kehidupan masyarakat.25

Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna

24Ibid

25Sidharta, Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, Bunga Rampai Komisi Yudisial, Putusan Hakim : Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan, (Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2010), hlm. 3

18

karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang.

Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum. Apabila dilihat secara historis, perbincangan mengenai kepastian hukum merupakan perbincangan yang telah muncul semenjak adanya gagasan pemisahan kekuasaan dari Montesquieu.

Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bias dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis.

Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.26

Pemikiran mainstream beranggapan bahwa kepastian hukum merupakan keadaan dimana perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum. Secara etis, pandangan seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah dilontarkan oleh Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo hominilupus). Manusia adalah makhluk yang beringas yang merupakan suatu ancaman. Untuk itu, hukum lahir sebagai suatu pedoman untuk menghindari jatuhnya korban. Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa perilaku

26Yance Arizona, Apa Itu Kepastian Hukum? http://yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/, diakses pada tanggal 12 Juni 2018

19

manusia secara sosiologis merupakan refleksi dari perilaku yang dibayangkan dalam pikiran pembuat aturan. Barangkali juga pernah dilakukan untuk mengelola keberingasan para koboi di Amerika ratusan tahun lalu.27

Perkembangan pemikiran manusia modern yang disangga oleh rasionalisme yang dikumandangkan Rene Descarte (cogito ergo sum), fundamentalisme mekanika yang dikabarkan oleh Isaac Newton serta empirisme kuantitatif yang digemakan oleh Francis Bacon menjadikan sekomponen manusia di Eropa menjadi orbit dari peradaban baru. Pengaruh pemikiran mereka terhadap hukum pada abad XIX nampak dalam pendekatan law and order (hukum dan ketertiban). Salah satu pandangan dalam hukum ini mengibaratkan bahwa antara hukum yang normatif (peraturan) dapat dimuati ketertiban yang bermakna sosiologis. Sejak saat itu, manusia menjadi komponen dari hukum berbentuk mesin yang rasional dan terukur secara kuantitatif dari hukum-hukum yang terjadi karena pelanggarannya. Pandangan mekanika dalam hukum tidak hanya menghilangkan kemanusiaan dihadapan hukum dengan menggantikan manusia sebagai sekrup, mor atau gerigi, tetapi juga menjauhkan antara apa yang ada dalam idealitas aturan hukum dengan realitas yang ada dalam masyarakat. Idealitas aturan hukum tidak selalu menjadi fiksi yang berguna dan benar, demikian pula dengan realitas perilaku sosial masyarakat tidak selalu mengganggu tanpa ada aturan hukum sebelumnya. Ternyata law and order menyisakan kesenjangan antara tertib hukum dengan ketertiban sosial. Law and order kemudian hanya cukup untuk the order of law, bukan the order by the law. Jadi

27Ibid

20

kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Karena frasa kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian perilaku terhadap hukum secara benar. Demikian juga dengan mekanika Newton. Bahkan Mekanika Newton pun sudah dua kali dihantukkan dalam perkembangan ilmu alam itu sendiri, yaitu Teori Relativitas dari Einstein dan Fisika Kuantum.28

Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan. Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Dalam memahami nilai kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum yang positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya pada hukum positif. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati. Dari uraian-uraian mengenai kepastian hukum di atas, maka kepastian dapat mengandung

28Ibid

21

beberapa arti, yakni adanya kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber keraguan. Kepastian hukum menjadi perangkat hukum suatu negara yang mengandung kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, serta dapat dilaksanakan, yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara sesuai dengan budaya masyarakat yang ada.29

b. Teori Penegakan Hukum

Menurut Barda Nawawi Arief, dilihat dari aspek kebijakan hukum pidana, sasaran dari hukum pidana tidak hanya mengatur perbuatan warga masyarakat pada umumnya, tetapi juga mengatur perbuatan (dalam arti kewenangan atau kekuasaan) penguasa atau aparat penegak hukum. Barda Nawawi Arief juga menyatakan bahwa kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari tiga tahap kebijakan, yaitu: 30

1) Tahap kebijakan legislatif atau formulatif, yaitu kekuasaan dalam menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan.

29Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hlm. 33

30Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro), hlm. 17

22

2) Tahap kebijakan yudikatif atau aplikatif, yaitu kekuasaan dalam menerapkan hukum pidana.

3) Tahap kebijakan eksekutif atau administratif, yaitu kekuasaan dalam melaksanakan hukum pidana.31

Kebijakan hukum pidana digunakan untuk menghambat terjadinya tindak pidana dalam masyarakat, sehingga masyarakat dapat hidup damai dan tentram.

Dibutuhkan penegakan hukum yang pasti pada setiap tindak pidana yang terjadi agar prinsip-prinsip kepastian hukum dapat terlaksana dengan baik.

Menurut Satjipto Raharjo32 mengemukakan bahwa penegakan hukum merupakan pelaksanaan secara konkret dari tahap pembuatan hukum dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dalam bahasa Indonesia istilah penegakan hukum juga dikenal sebagai penerapan hukum. Sedangkan dalam bahasa asing, dikenal berbagai peristilahan, seperti rechstoepassing atau rechtshandhaving (Belanda), law enforcement atau application (Amerika).

Teori penegakan hukum oleh Wayne La Favfre, yang dikutip Soerjono Soekanto, menitikberatkan pada perlunya penerapan diskresi dalam proses penegakan hukum, yaitu “involves decision-making not strictly governed by legal rules, but rather with a significant element of personal judgement.” Hal tersebut disebabkan oleh diskresi, yang mengutip Roscoe Pound adalah “an authority coferred by law to act in certain conditions or situations in accordance with an official’s or an official

31Ibid., hlm. 18

32Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 191

23

agency’s own considered judgement and conscience. It is an idea of morals, belonging to the twilight zone between law and morals.”33

Penegakan hukum sangat ditentukan oleh aspek moral dan etika dari aparat penegak hukum itu sendiri. Aspek moral dan etika dalam penegakan hukum pidana merupakan sesuatu hal yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana. Kondisi distorsi dan penyimpangan dalam penegakan hukum pidana, dalam praktik sehari-hari sering terjadi proses penanganan perkaran pidana tidak sesuai dengan idealisme keadilan, padahal sistem peradilan pidana harus selalu mempromosikan kepentingan hukum dan keadilan.

Elemen dasar dari penegakan hukum pidana seharusnya merupakan proses penemuan fakta, yang tidak memihak (impartial) dan penuh dengan resolusi atau pemecahan masalah yang harus dilakukan secara riil (fair) dan patut (equitable).

Apapun teori keadilan yang dipakai, definisi keadilan harus mencakup kejujuran (fairness), tidak memihak (impartiality), serta pemberian sanksi dan hadiah yang patut (appropriate reward and punishment). Keadilan harus dibedakan dari kebajikan (benevolence), kedermawanan (generosity), rasa terima kasih (gratitude), dan perasaan kasihan (compassion).

Di dalam penegakan hukum pidana, maka tidak dapat dipisahkan dari sistem peradilan pidana yang berlaku pada sebuah Negara. Sistem peradilan pidana merupakan proses formal dalam mempertahankan hukum pidana materil. Di dalam

33Soerjono Soekanto, Beberapa Aspek Sosial Yuridis Masyarakat, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 131

24

penegakan hukum, selain daripada substansi hukum yang harus memang dapat memberikan ketertiban bagi setiap masyarakat, maka aparat penegak hukum juga memiliki peranan penting dalam penegakan hukum pidana.

Karakteristik hukum adalah memaksa disertai dengan ancaman dan sanksi.

Tetapi hukum bukan dipaksa untuk membenarkan persoalan yang salah, atau memaksa mereka yang tidak berkedudukan dan tidak beruang. Agar peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan benar-benar dipatuhi dan ditaati sehingga menjadi kaidah hukum, maka peraturan kemasyarakatan tersebut harus dilengkapi dengan unsur memaksa. Dengan demikian, hukum mempunyai sifat mengatur dan memaksa setiap orang supaya mentaati tata tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa saja yang tidak mau mematuhinya.34

Adanya aturan-aturan yang bersifat mengatur dan memaksa anggota masyarakat untuk patuh dan menaatinya, akan meyebabkan terjadinya keseimbangan dan kedamaian dalam kehidupan mereka. Para pakar hukum pidana mengutarakan bahwa tujuan hukum pidana adalah pertama, untuk menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan (preventif). Kedua, untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabi’atnya (represif).

Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia dan masyarakat. Tujuan hukum pidana di

34Suharto dan Junaidi Efendi, Panduan Praktis Bila Menghadapi Perkara Pidana, Mulai Proses Penyelidikan Sampai Persidangan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010), hlm 25-26

25

Indonesia harus sesuai dengan falsafah Pancasila yang mampu membawa kepentingan yang adil bagi seluruh warga negara. Dengan demikian hukum pidana di Indonesia adalah mengayomi seluruh rakyat Indonesia. Bagi setiap orang yang melakukan pelanggaran hukum pidana, maka harus bertanggungjawab dan mendapatkan sanksi dari hukum.

Pemberian pidana dan penjatuhan pidana dalam praktek peradilan selama ini dengan mempertimbangkan kualifikasi kejahatannya, dan segala bentuk pidana tersebut diberikan oleh Negara dengan asumsi bahwa warga negaranya adalah mahluk yang bertanggung jawab dan dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Menurut Yahya Harahap, Ideologi dan konsepsi negara hukum yang menempatkan kekuasaan kehakiman merdeka dan bebas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan negara lainnya, dengan sendirinya menuntut konsekuensi, diantaranya:35

1) Hukum diatas segala kehidupan bernegara dan bermasyarakat berdasarkan rule of law. Negara dan masyarakat diatur dan diperintah oleh hukum bukan oleh manusia. Peran rule of law dalam kehidupan masyarakat, menjadi unsur landasan (basic ingredient) tata tertib kehidupan dari pemaksaan dalam bentuk apapun. Upaya paksa yang dilakukan dalam setiap penyelesaian sengketa, baik pidana maupun perdata harus sesuai dengan proses yang ditentukan oleh hukum (due process of law) berdasar atas equal treatment before the law atau equal dealing (perlakuan yang sama didepan hukum);

equal protection on the law (perlindungan yang sama di depan hukum);

2) Peran dan fungsi utama kekuasaan kehakiman yang merdeka, memberi kewenangan kepada badan peradilan menjadi “katub penekanan” atau pressure valve” atas setiap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh siapa

35M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 33-39

26

dan pihak manapun tanpa kecuali:atas segala bentuk perbuatan yang tidak konstitusional (unconstitutional), ketertiban umum (public policy) dan kepatutan (reason ableness);

3) Sehubungan dengan peran dan fungsi serta kewenangan kekuasaan kehakiman sebagi katub penekan dalam negara hukum dan masyarakat demokrasi dengan sendirinya menempatkan kedudukan badan-badan peradilan sebagai tempat terakhir atau the last resort dalam upaya penegakan kebenaran dan keadilan. Dalam hal ini, tidak ada badan lain yang berkedudukan sebagai tempat mencari penegakan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice) apabila timbul sengketa atas pelanggaran hukum;

4) Peran, fungsi, kewenangan dan kedudukan kekuasaan kehakiman sebagai pressure valve dan the last resort, kekuasaan kehakiman melalui peradilan diberi kekuasaan sebagai pelaksana “penegakan hukum”. Kekuasaan ini lazim diungkapkan sebagai “judciary as the upholders of the rule of law”.

Pemberian kekuasaan kepada kekuasaan kehakiman sebagai upholders of the rule of law, dengan sendirinya menmpatkan kedudukan peradilan sebagai lembaga atau instiusi alat negara yang bertindak sebagai “penjaga kemerdekaan masyarakat” (in guarding the freedom of society)”. Kekuasaan kehakiman sebagai wali masyarakat (judiciary is regard as custodian of society);

5) Secara konstitusional kekuasaan kehakiman bertindak “tidak demokratis secara fundamental”. Sesuai dengan kemerdekaan dan kebebasan yang diberikan konstitusi kepada kekuasaan kehakiman, badan-badan peradilan dibenarkan bertindak dan mengambil putusan “fundamentallly undemocratic”. Pada saat peradilan mengambil tindakan dan putusan, tidak membutuhkan akses dari siapapun, tidak memerlukan negosiasi dari pihak manapun, dan tidak perlu kompromi dari pihak yang berperkara;

6) Mempunyai imunitas dalam melaksanakan fungsi dan kekuasaan peradilan.

Kerangka imunitasnya mengandung arti bahwa imunitas para hakim dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan peradilan (the immunity of judges), sifat imunitasnya absolut dan total, dalam arti mereka tidak dapat dituntut atas pelaksanaan yustisial, meskipun tindakan yang dilakukannya malapraktik (malpractive), melampui batas kewenangan (exceeds his authority) atau melakukan kesalahan proses (procedural error).

27

Tujuan hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan, kedamaian, serta keadilan. Hukum juga bertujuan untuk mengayomi manusia, yang tidak hanya melindungi manusia dalam arti pasif, yakni hanya mencegah tindakan sewenang-wenang dan pelanggaran hak saja, juga meliputi pengertian melindungi secara aktif, artinya meliputi upaya untuk menciptakan kondisi dan mendorong mansia untuk selalu memanusiakan diri secara terus menerus.

Peradilan yang adil mencakup sekurang-kurangnya:

a. Perlindungan terhadap tindakan kesewenang-wenangan dari pejabat negara;

b. Peradilanlah yang berhak menentukan salah tidaknya terdakwa;

c. Bahwa sidang pengadilan harus terbuka (kecuali sidang anak dan kesusilaan);

d. Bahwa tersangka atau terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk dapat

d. Bahwa tersangka atau terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk dapat