• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETENTUAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING

B. Ketentuan Hukum Mengenai Tindak Pidana Illegal Fishing

Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat memiliki kedaulatan dan yurisdiksi atas wilayah perairan Indonesia serta kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan tentang pemanfaatan sumberdaya ikan, baik untuk kegiatan penangkapan maupun pembudidayaan ikan sekaligus meningkatkan kemakmuran dan keadilan guna pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa dan negara dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan pembangunan perikanan nasional.69

Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas perikanan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan di bidang perikanan secara berdaya guna dan berhasil guna.

Dalam Pasal 10 KUHP dikenal ada dua jenis hukuman pidana yang diberikan kepada pelaku kejahatan yakni pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok merupakan hukuman yang wajib dijatuhkan olah hakim yang terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda. Sedangkan pidana tambahan

69 Supriadi Alimudin, Hukum Perikanan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 11

64

sifatnya tidak wajib dijatuhkan hakim, yaitu berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.70

Untuk jenis hukuman pidana di bidang perikanan hanya mengenal pidana pokok, sedangkan pidana tambahan tidak diatur di dalam Undang-Undang perikanan.

Mengenai pidana pokok yang dapat dijatuhkan hakim dalam perkara perikanan berupa pidana penjara dan pidana denda. Meskipun Undang-Undang Perikanan tidak mengatur secara khusus pidana tambahan, namun hakim perikanan tetap dapat menjatuhkan pidana tambahan berdasarkan Pasal 10 KUHP.71

Mengingat perkembangan perikanan saat ini dan yang akan datang, maka Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, mengatur hal-hal yang berkaitan dengan antara lain:

a. Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan;

b. Pengelolaan perikanan wajib didasarkan pada prinsip perencanaan dan keterpaduan pengendaliannya;

c. Pengelolaan perikanan dilakukan dengan memperhatikan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah;

70 Gatot Supramono, Op.Cit, hlm. 153.

71 Ibid, Hlm. 154.

65

d. Pengelolaan perikanan yang memenuhi unsur pembangunan yang berkesinambungan, yang didukung dengan pnelitian dan pengembangan perikanan serta pengendalian yang terpadu;

e. Pengelolaan perikanan dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan di bidang perikanan;

f. Pengelolaan perikanan yang di dukung dengan sarana dan prasarana perikanan serta sistem informasi dan data statistik perikanan;

g. Penguatan kelembagaan di bidang pelabuhan perikanan, kesyahbandaran perikanan, dan kapal perikanan;

h. Pengelolaan perikanan yang di dorong untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan kelautan dan perikanan;

i. Pengelolaan perikanan dengan tetap memperhatikan dan memberdayakan nelayan kecil atau pembudi-daya ikan kecil;

j. Pengelolaan perikanan yang dilakukan di perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas yang ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dengan tetap memperhatikan persyaratan atau standar internasional yang berlaku;

k. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan, baik yang berada di perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia, maupun laut lepas dilakukan pengendalian melalui pembinaan perizinan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan internasional sesuai dengan kemampuan sumber daya ikan yang tersedia;

66 l. Pengawasan perikanan;

m. Pemberian kewenangan yang sama dalam penyidikan tindak pidana di bidang perikanan kepada penyidik pegawai negeri sipil perikanan, perwira TNI AL dan pejabat polisi negara Republik Indonesia.

Di dalam Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, penangkapan ikan adalah kegiatan yang memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya. Dan di dalam Pasal 1 butir 3 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 37/PERMEN-KP/2017 tentang Standar Operasional Prosedur Penegakan Hukum Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Illegal Fishing), penangkapan ikan secara ilegal (Illegal Fishing) adalah kegiatan perikanan yang tidak sah atau kegiatan perikanan yang dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan kemudian di dalam Pasal 1 butir 2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 37/PERMEN-KP/2017 tentang Standar Operasional Prosedur Penegakan Hukum Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Illegal Fishing) menyatakan bahwa tindak pidana di bidang perikanan adalah penangkapan ikan secara ilegal (Illegal Fishing) dan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan (Unreported Fishing).

67

Ketentuan pidana dalam perkara tindak pidana perikanan (illegal fishing) diatur di dalam Bab XV Pasal 84 sampai dengan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Ketentuan Pasal 84 menyebutkan, bahwa:

(1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).

(2) Nahkoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus rupiah).

68 Ketentuan Pasal 85 menyebutkan, bahwa:

Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Ketentuan Pasal 86 menyebutkan, bahwa:

(1) Setiap orang yang akan dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah).

69

(3) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan hasil rekayasa genetikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Ketentuan Pasal 88 menyebutkan, bahwa:

Setiap orang yang dengan sengaja memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Ketentuan Pasal 89 menyebutkan, bahwa:

Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

70 Ketentuan Pasal 90 menyebutkan, bahwa:

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Ketentuan Pasal 92 menyebutkan, bahwa:

Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yag tidak memiliki SIUP, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Ketentuan Pasal 93 menyebutkan, bahwa:

(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

71 Ketentuan Pasal 94 menyebutkan, bahwa:

Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Ketentuan Pasal 95 menyebutkan, bahwa:

Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Ketentuan Pasal 98 menyebutkan, bahwa:

Nahkoda kapal perikanan yang tidak memiliki surat persetujuan berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Ketentuan Pasal 100 menyebutkan, bahwa:

Setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.

250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

72 Ketentuan Pasal 101 menyebutkan, bahwa:

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, dan Pasal 96 dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan diatas, maka dapatlah dipahami penangkapan ikan yang merusak atau mengganggu keberlangsungan sumber daya ikan dan ekosistem lingkungan laut memberikan sanksi pidana penjara dan pidana denda terhadap pelaku yang merusak dan mencemari sumber daya ikan maupun lingkungan sekitarnya.

Sifat dari pidana kumulatif, yakni kedua ancaman pidana yakni pidana penjara dan denda dapat diterapkan, dan apabila pidana denda tidak dapat dibayar, maka dapat digantikan dengan hukuman pengganti berupa kurungan.

Hukuman pidana di bidang perikanan sebagian besar bersifat kumulatif, baik ditujukan terhadap delik kejahatan maupun delik pelanggaran. Dalam hukuman kumulatif pidana badan (penjara) dengan pidana denda diterapkan sekaligus. Tidak ada alasan bagi hakim untuk tidak menjatuhkan kedua pidana tersebut, juga hakim tidak dapat memilih salah satu hukuman untuk dijatuhkan, melainkan wajib menjatuhkan pidana pokok kedua-duanya.72

72 Ibid, Hlm. 154.

73

Penerapan pidana denda selalu dibayangi dengan penerapan pidana penjara yang telah mendapatkan tantangan dari berbagai kajian, penelitian dan pengalaman empiris, sehingga membuka pemikiran kearah berbagai pidana alternatif dari pidana kehilangan kemerdekaan.73

73 Syaiful Bakhri, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, (Yogyakarta, Total Media, 2009), hlm. 131

74 BAB III

PROSES PENEGAKAN HUKUM TERHADAP