• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING DI WILAYAH KERJA KEJAKSAAN NEGERI SERDANG BEDAGAI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING DI WILAYAH KERJA KEJAKSAAN NEGERI SERDANG BEDAGAI"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING DI WILAYAH KERJA

KEJAKSAAN NEGERI SERDANG BEDAGAI

TESIS

OLEH

FAUZAN IRGI HASIBUAN 137005048 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2019

(2)

ii

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING DI WILAYAH KERJA

KEJAKSAAN NEGERI SERDANG BEDAGAI

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH

FAUZAN IRGI HASIBUAN 137005048 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2019

(3)

iii

(4)

iv Telah diuji

Pada Tanggal : 15 Agustus 2019

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.

2. Dr. Mahmud Mulaydi, S.H., M.Hum 3. Dr. M. Ekaputra, S.H., M.Hum 4. Dr. Edi Yunara, S.H., M.Hum

(5)

v

PERNYATAAN ORIGINALITAS

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Fauzan Irgi Hasibuan

Nomor Pokok : 187005115

Program Studi : Ilmu Hukum FH USU

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS PERBANDINGAN HUKUM

PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KEBENCIAN INDIVIDU ATAS SARA (Studi Putusan Register No. : 1876/Pid.Sus/2018/

PN.Mdn dan Register No. 2429/Pid.Sus/2018/PN.Mdn)

Dengan ini menyatakan bahwa tesis saya adalah karya orisinal saya dan setiap serta seluruh sumber acuan telah ditulis sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah yang berlaku di Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suau Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, 15 Agustus 2019 Yang menyatakan

Fauzan Irgi Hasibuan

(6)

i ABSTRAK

Kedaulatan suatu negara di laut sangat tergantung kepada kemampuan negara melakukan pencegahan secara fisik terhadap wilayah laut yang dikuasainya. Semakin luas wilayah laut yang dikuasai oleh suatu negara akan semakin besar pula tanggungjawab negara untuk mengawasinya. Indonesia telah menyatakan akan memikul tanggungjawab terhadap pencegahan wilayah laut yang luas itu, yang memiliki luas wilayah 5,8 juta kilometer persegi, dimana 60 % dari luas itu merupakan wilayah laut yang berada di bawah kedaulatan Republik Indonesia.

Wilayah perairan Indonesia, salah satunya pesisir pantai timur Sumatera Utara yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka yang memiliki garis pantai sepanjang 545 kilometer yang terdiri dari wilayah Kabupaten Langkat, Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Asahan, Kota Tanjung Balai, dan Kabupaten Labuhan Batu. Kabupaten Serdang Bedagai merupakan kabupaten pemekaran baru dari kabupaten induk yakni Kabupaten Deli Serdang dengan luas wilayah 1999,2 km2 yang berbatasan langsung dengan perairan Selat Malaka di sebelah utara dan memiliki garis pantai sepanjang 95 km mencakup lima kecamatan yakni Pantai Cermin, Perbaungan, Teluk Mengkudu, Tanjung Beringin dan Bandar Khalifah. Proses hukum di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai khususnya dalam bidang penuntutan dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai sebagai salah satu Kejaksaan Negeri yang berada di wilayah naungan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara yang memiliki wilayah kerja di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai.

Wilayah perairan Indonesia terutama daerah perbatasan perlu dikelola dengan baik untuk pemanfaatan sumber kekayaan alam yang berada di sekitarnya sehingga dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Banyak masalah yang dihadapi pemerintah Indonesia dalam mengelola wilayah perairan negara, salah satunya adalah Illegal, Unreported, dan Unregulated Fishing (IUU Fishing) atau biasa kita kenal dengan illegal fishing/penangkapan ikan secara ilegal. Illegal fishing telah menimbulkan dampak multidimensi yang berhubungan dengan aspek ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari fungsi laut sebagai sebuah ekosistem yang di dalamnya mengandung tiga fungsi dasar yaitu hasil (produksi), lingkungan serta sosial.

Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Bagaimanakah ketentuan hukum yang mengatur mengenai tindak pidana illegal fishing, bagaimanakah proses penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal fishing, serta apa sajakah yang menjadi penghambat dalam proses penegakan hukum tersebut serta apa yang menjadi solusi atau upaya yang semestinya dilakukan agar proses penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal fishing tersebut dapat terlaksana dengan baik.

Kata Kunci : Tindak pidana illegal fishing, penegakan hukum, pelaku dan proses hukum

(7)

ii ABSTRACT

The soveregnity of a state on the sea highly depends on its ability to maintain its sea security. The wider the sea area is, the more responsible for the state to control it. Indonesian government has committed to control its sea area. The Indoenesian archipelago has the area of 5,8 million square kilometers, and 60% of it is the sea waters. The east coast of North Sumatera which is bordered with the Malaka Strait has the coast line of 545 kilometers. It consists of Langkat Regency, Medan, Deli Serdang Regency, Serdang Bedagai Regency, Asahan Regency, Tanjung Balai and Labuhan Batu Regency, Serdang Bedagai Regency ia a new regency as the extension of Deli Serdang Regency. It has the area of 1992. 2 square kilometers, and it is directlybbordered with the Malaka Strait in the north and has the coast line 0f 95 kilometers. It has five sub-districts: Pantai Cermin, Perbaungan, Teluk Mengkudu, Tanjung Beringin, and Bandar Khalifah, The legal process in this Regency, especialy in lawsuit, is done by the Attorney Office of Serdang Bedagai as the subsidiary of the Provincial Attorney’s Office of North Sumatera.

The Indonesian sea waters should be managed well for the benefit of the welfare of the people. One of the problems faced by the Indonesian government is Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU Fishing) of illegal fishing environmental aspects. It is a logical consequence of the function of sea as an ecosystem which has three basic functions: production, environment, and social affairs.

The research used juridical normative method. The research problems were how about the regulation on illegal fishing criminal offense, how about the process of law enforcement for illegal fishing criminal offense, how about athe obstacles in enforching law on it, and how about solution.

Keywords : Illegal Fishing Criminal Offense, Law Enforcement, Perpetrator, Legal Process

(8)

iii

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya yang maha pemurah lagi maha penyayang, penulis dapat menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Magister Hukum (MH) di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul tesis, “Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Illegal Fishing Di Wilayah Kerja Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai” dan telah dinyatakan lulus dalam yudisium dengan baik pada tanggal 15 Agustus 2019.

Dengan kerendahan hati yang tulus dan ikhlas, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, dan para Wakil Rektor, para Kepala Biro, dan Lembaga atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister (S.2);

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum;

3. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum, Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum.

4. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum., selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Pembimbing I; Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Pembimbing II; dan Dr.

Mahmud Muliyadi, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing III, yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan tesis ini;

(9)

iv

5. Seluruh dosen Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan dan mencurahkan ilmu pengetahuan hukum kepada penulis, serta seluruh staf/Pegawai Administrasi yang telah membantu melancarkan segala urusan berkenaan dengan administrasi dan informasi selama studi berlangsung;

6. Yang tersayang kedua orangtuaku serta seluruh keluarga besarku, dengan merekalah penulis termotivasi dalam setiap langkah, baik dalam pekerjaan maupun dalam pendidikan;

7. Yang terhormat, Bapak Jabal Nur, S.H., M.H., selaku Kepala Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai, yang telah memberikan kelapangan waktu serta dukungan untuk menyelesaikan penulisan tesis ini;

8. Seluruh teman-teman group A kelas regular stambuk 2013 Magister Hukum USU serta teman-teman sekantor yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Demikianlah dan mudah-mudahan penulisan tesis ini bermanfaat bagi semua orang dalam menambah dan memperkaya wawasan ilmu pengetahuan tentang hukum. Mudah-mudahan pula bagi penulis mampu menjawab tantangan atas perkembangan ilmu hukum yang berkembang dalam masyarakat dan dalam penegakan hukum.

(10)

v

Akhir kata, mohon maaf atas ketidaksempurnaan penulisan tesis ini, kritik dan saran yang membangun demi perbaikan ke depan sangat diharapkan.

Medan, Agustus 2019 Penulis

Fauzan Irgi Hasibuan

(11)

vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Fauzan Irgi Hasibuan

Tempat & Tgl Lahir : Medan, 30 Mei 1990 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Usia : 29 tahun

Status : Belum menikah

Alamat : Komplek Bumi Asri, Helvetia, Medan

E-mail : Kojanehasibuan@gmail.com.

II. Pendidikan

1. SD Percobaan Negeri Medan (1996-2002) 2. SMP Negeri 1 Medan (2002-2005)

3. SMA Negeri 8 Pekanbaru (2005-2008)

4. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2008-2012)

5. Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2013-2019)

(12)

vii DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR ISTILAH ... ix

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsep ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Kerangka Konsep ... 35

G. Metode Penelitian ... 37

1. Jenis, Sifat, dan Pendekatan Penelitian ... 37

2. Sumber Data/Bahan Hukum ... 39

3. Tekhnik Pengumpulan Data ... 40

4. Analisis Data ... 41

BAB II : KETENTUAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING ... 42

A. Ruang Lingkup Illegal Fishing ... 42

1. Pengertian Illegal Fishing ... 42

2. Jenis tindak pidana dibidang perikanan ... 48

3. Tindak Pidana Dibidang Perikanan (Illegal Fishing) ... 59

4. Dampak Illegal Fishing... 65

B. Ketentuan Hukum Mengenai Tindak Pidana Illegal Fishing ... 66

(13)

viii

BAB III : PROSES PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

ILLEGAL FISHING ... 77

A. Proses Hukum Illegal Fishing ... 77

B. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Illegal Fishing ... 95

BAB IV : HAMBATAN DAN UPAYA PENYELESAIAN DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING 111

A. Hambatan Dalam Proses Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Illegal Fishing………. ……111

B. Upaya Dalam Proses Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Illegal Fishing………..124

BAB V : KESIMPULANDAN SARAN 128

A. Kesimpulan……… ..128

B. Saran……….131

DAFTAR PUSTAKA...133 vii

(14)

ix

DAFTAR ISTILAH

Asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis : Peraturan Khusus Mengenyampinkan Peraturan Umum

Equality Before The Law : Asas Persamaan Di Hadapan Hukum

Equitable : Patut

Fairness : Kejujuran

Homo Homini Lupus : Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya

Illegal Fishing : Penangkapan Ikan Illegal

Impartial : Memihak

Know How : Tahu Caranya

Law And Order : Hukum dan Ketertiban

Law Reform : Pembaharuan Hukum

Law Enforcement : Penegakan Hukum

Policy : Kebijakan

Presumption Of Innocence : Asas Praduga Tak Bersalah

Riil : Fair

Rechtstoepassing : Penerapan Hukum

Unregulated Fishing : Penangkapam Ikan

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kedaulatan suatu negara di laut sangat tergantung kepada kemampuan negara melakukan pencegahan secara fisik terhadap wilayah laut yang dikuasainya. Semakin luas wilayah laut yang dikuasai oleh suatu negara akan semakin besar pula tanggungjawab negara untuk mengawasinya. Indonesia telah menyatakan akan memikul tanggungjawab terhadap pencegahan wilayah laut yang luas itu, yang memiliki luas wilayah 5,8 juta kilometer persegi, dimana 60 % dari luas itu merupakan wilayah laut yang berada di bawah kedaulatan Republik Indonesia.1

Dengan wilayah laut yang sangat luas tersebut, tentunya Indonesia memiliki banyak kekayaan alam yang terdapat di lautan. Hal tersebut merupakan anugerah dari Tuhan untuk dimanfaatkan sebagai modal bagi bangsa Indonesia untuk memperoleh kemakmurannya. Pemanfaatan kekayaan alam harus diikuti dengan pengelolaan yang baik dan terarah agar kekayaan alam tidak mengalami kerusakan yang dapat merugikan generasi penerus.

Masalah laut dan perikanan merupakan masalah yang tidak ada habis- habisnya, hal ini karena luas lautan Indonesia yang mencapai 5,8 juta kilometer persegi menyimpan kekayaan laut yang luar biasa, mulai dari potensi perikanan, industri kelautan, jasa kelautan, transportasi hingga wisata bahari. Panjang garis

1 Syamsumar Dam, Politik Kelautan, (Jakarta : Bumi Aksara, 2010), hlm. 11.

(16)

2

pantai Indonesia yang mencapai 95.000 km tidak dimafaatkan secara optimal, begitu juga lautan dangkal yang luasnya 24 juta hektar dan teluk yang luasnya 4,1 juta hektar masih disia-siakan.2

Wilayah perairan Indonesia terutama daerah perbatasan perlu dikelola dengan baik untuk pemanfaatan sumber kekayaan alam yang berada di sekitarnya sehingga dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Banyak masalah yang dihadapi pemerintah Indonesia dalam mengelola wilayah perairan negara, salah satunya adalah Illegal, Unreported, dan Unregulated Fishing (IUU Fishing) atau biasa kita kenal dengan illegal fishing/penangkapan ikan secara ilegal.3 Illegal fishing telah menimbulkan dampak multidimensi yang berhubungan dengan aspek ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari fungsi laut sebagai sebuah ekosistem yang di dalamnya mengandung tiga fungsi dasar yaitu hasil (produksi), lingkungan serta sosial.

Wilayah perairan Indonesia, salah satunya pesisir pantai timur Sumatera Utara yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka yang memiliki garis pantai sepanjang 545 kilometer yang terdiri dari wilayah Kabupaten Langkat, Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Asahan, Kota Tanjung Balai, dan Kabupaten Labuhan Batu. Kabupaten Serdang Bedagai merupakan kabupaten pemekaran baru dari kabupaten induk yakni Kabupaten Deli Serdang dengan luas

2 Supriadi dan Alimuddin, Hukum Perikanan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm.3.

3Boy Yendra Tamin, “Aspek Hukum dan Penerapan Sanksi Terhadap Eksploitasi Terumbu Karang, http://boyyendratamin.blogspot.com/2011/04/apek-hukum-dan-penerapan-sanksi.htm., diakses pada tanggal 08 Juni 2018

(17)

3

wilayah 1999,2 km2 yang berbatasan langsung dengan perairan Selat Malaka di sebelah utara dan memiliki garis pantai sepanjang 95 km mencakup lima kecamatan yakni Pantai Cermin, Perbaungan, Teluk Mengkudu, Tanjung Beringin dan Bandar Khalifah. Proses hukum di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai khususnya dalam bidang penuntutan dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai sebagai salah satu Kejaksaan Negeri yang berada di wilayah naungan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara yang memiliki wilayah kerja di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai.

Illegal fishing berasal dari kata illegal yang berarti tidak sah atau tidak resmi.

Fishing merupakan kata benda yang berarti perikanan; dari kata fish dalam bahasa inggris yang berarti ikan; mengambil, merogoh; mengail, atau memancing.4

Dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Perikanan, menyebutkan bahwa Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.5 Penangkapan ikan secara illegal berarti segala bentuk kegiatan penangkapan ikan yang melanggar Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dan peraturan perundangan lainnya yang masih berlaku.

4 Nunung Mahmudah, Illegal Fishing, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 80

5 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan

(18)

4

Pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan kementrian kelautan dan perikanan, memberi batasan pada istilah Illegal Fishing yaitu pengertian illegal, Unreported dan Unregulated (IUU) Fishing yang secara harfiah dapat diartikan sebagai kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang ada, atau aktivitasnya tidak dilaporkan kepada suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia.6

Hal ini merujuk pada pengertian yang dikeluarkan oleh International Plan Of Action (IPOA) illegal, unreported, unregulated (IUU) yang diprakarsai oleh FAO dalam konteks implementasi Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF).

Pengertian illegal fishing dijelaskan sebagai berikut:7

1. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh suatu Negara tertentu atau kapal asing di perairan yang bukan merupakan yurisdiksinya tanpa izin dari Negara yang memiliki yurisdiksi atau kegiatan penangkapan ikan tersebut bertentangan dengan hukum dan peraturan Negara;

2. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera salah satu negara yang bergabung sebagai anggota organisasi pengelolaan perikanan regional;

3. Kegiatan penangkapan ikan yang bertentangan dengan perundang-undnagan suatu negara atau ketentuan internasional.

6 Nunung Mahmudah, Op.Cit., hlm. 80

7 Ibid

(19)

5

Dan di dalam Pasal 1 butir 3 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 37/Permen-KP/2017 tentang Standar Operasional Prosedur Penegakan Hukum Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Illegal Fishing), menyatakan bahwa penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) adalah kegiatan perikanan yang tidak sah atau kegiatan perikanan yang dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan.

Kemudian dalam PERMA Nomor 01 Tahun 2007 tentang Pengadilan Perikanan, juga dikenal dengan istilah Illegal, Unregulated, and Unreported Fishing.

Adapun yang dimaksud dengan Illegal, Unregulated, and Unreported Fishing dalam PERMA Nomor 01 Tahun 2007 yaitu illegal fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh orang atau kapal perikanan berbendera asing atau berbendera Indonesia di WPP-RI (Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia) tanpa izin atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Unreported Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar kepada instansi yang berwenang, tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional. Kemudian Unregulated Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan pada suatu area penangkapan atau stok ikan WPP-RI.

Illegal fishing merupakan kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan dan bertentangan dengan kode etik penangkapan bertanggung jawab illegal fishing termasuk kegiatan malpraktek dalam pemanfaatan sumber daya perikanan yang merupakan kegiatan pelanggaran hukum.

(20)

6

Kegiatan ini termasuk dalam tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 9 yaitu “Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan / menggunakan alat penangkapan dan / atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu keberlangsungan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan Negara Republik Indonesia”.

Sumber daya ikan adalah salah satu sumber daya yang dapat diperbaharui, sekalipun demikian bukan berarti tidak terbatas, karenanya dalam memanfaatkan sumber daya ikan tersebut apabila dilakukan bertentangan dengan kaidah-kaidah pengelolaan sumber daya ikan seperti eksploitasi yang berlebihan, serta penggunaan alat tangkap yang dapat merusak sumber daya ikan atau lingkungan tentunya akan berakibat terjadinya kepunahan dan kerusakan terhadap kelestarian lingkungan dan ekosistem disekitar laut.

Untuk menjaga sumberdaya ikan agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari, perlu didasarkan pada suatu Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP). Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Perikanan. Kebijaksanaan (Policy) diartikan sebagai tata cara untuk mencapai suatu tujuan dengan mempertimbangkan hal-hal terbaik.

(21)

7

Untuk itu diperlukan adanya kerjasama yang baik antar lembaga-lembaga penegak hukum yang berorientasi di bidang perikanan, mengadakan koordinasi dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara.

Berdasarkan Perpres Nomor 115 Tahun 2015 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Illegal Fishing) dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa untuk mendukung upaya peningkatan penegakan hukum terhadap pelanggaran dan kejahatan dibidang perikanan khususnya penangkapan ikan secara ilegal secara terpadu dibentuk Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara ilegal (illegal fishing), yang selanjutnya dalam Peraturan Presiden ini disebut Satgas. Dalam Pasal 2 ayat (1) Satgas bertugas mengembangkan dan melaksanakan operasi penegakan hukum dalam upaya pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal di wilayah laut yurisdiksi Indonesia secara efektif dan efisien dengan mengoptimalkan pemanfaatan personil dan peralatan operasi, meliputi kapal, pesawat udara, dan teknologi lainnya yang dimiliki oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Badan Keamanan Laut, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, PT. Pertamina, dan institusi terkait lainnya.

Didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan memuat ancaman pidana, yakni didalam Bab XV ketentuan pidana yang dimulai dari Pasal 84 sampai dengan Pasal 105.

(22)

8

Sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana illegal fishing harus sesuai dengan kerugian yang diderita oleh bangsa Indonesia. Setelah sekian lama dioperasionalkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, ternyata masih belum mampu menjawab segala hambatan dan tantangan dibidang perikanan.

Hal ini adalah karena semakin berkembangnya teknologi dan berkembangnya kebutuhan hukum di masyarakat. Proses penegakan hukum tersebut juga yang dinilai dapat menghambat terpenuhinya kebutuhan hukum di masyarakat. Salahnya satunya yakni dalam hal kewenangan melakukan penyidikan, karena dalam undang-undang tersebut memberikan banyaknya instansi yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan.

Setiap tindakan yang dapat menimbulkan kerusakan dan kerugian terhadap pelestarian alam terhadap pelakunya perlu dikenakan pidana yang setimpal, pidana setimpal tersebut dipandang perlu karena kerusakan atau kepunahan salah satu sumber daya alam dan ekosistemnya akan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat dan bangsa Indonesia yang tidak dapat dinilai dengan materi, sedangkan proses pemulihan kepada keadaan semula adalah merupakan hal yang tidak mungkin.8

Illegal fishing sudah dianggap meresahkan masyarakat dan akibat perbuatan tersebut juga membahayakan bagi kehidupan masyarakat dan lingkungan maka sangat diperlukan adanya penegakan hukum pidana supaya para pelaku jera dan tidak

8http://repository.unpas.ac.id, diakses pada tanggal 10 Juni 2018

(23)

9

ada pengulangan perbuatan tersebut di masa yang akan datang. Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan. Dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan ini lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan yang mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan demikian perlu diatur secara khusus mengenai penyidik, penuntut umum, dan hakim.

Illegal fishing merupakan masalah serius yang harus segera ditanggulangi sebab sangat membahayakan kelestarian sumber daya dan merugikan secara ekonomi bagi Negara. Berdasarkan Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa tindakan khusus ini dilakukan apabila penyidik dan/atau pengawas perikanan yakin bahwa kapal ikan asing tersebut telah melakukan tindak pidana perikanan.

Pengawasan dan penegakan hukum dalam pemanfaatan sumberdaya ikan merupakan salah satu kegiatan dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan yang bertanggungjawab, selain kegiatan dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan yang

(24)

10

bertanggungjawab, selain kegiatan pengendalian dan monitoring. Pengawasan dan penegakan hukum dilakukan terhadap para pemanfaat sumberdaya ikan, baik untuk kegiatan penangkapan dan pengangkutan ikan, maupun kegiatan yang terkait dengan sumberdaya ikan tersebut. Pengawasan dan penegakan hukum dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya ikan merupakan hal yang relatif baru sehingga belum banyak dipahami seberapa besar pentingnya dari kegiatan ini.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dalam hal ini tertarik untuk melakukan kajian hukum dalam bentuk tesis dengan judul “Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Illegal Fishing Di Wilayah Kerja Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai”.

B. Perumusan Masalah

Berangkat dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana ketentuan hukum mengenai tindak pidana illegal fishing?

2. Bagaimana proses penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal fishing di wilayah kerja Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai?

3. Bagaimana hambatan dan upaya penyelesaian dalam proses penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal fishing?

(25)

11 C. Tujuan Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto tujuan penelitian dirumuskan secara deklaratif dan merupakan pernyataan-pernyataan tentang apa yang hendak dicapai dengan penulisan tersebut.9 Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis ketentuan hukum mengenai tindak pidana illegal fishing.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis proses penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal fishing di wilayah kerja Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan dan upaya penyelesaian dalam proses penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal fishing.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian merupakan pencerminan secara konkrit kegiatan ilmu dalam memproses ilmu pengetahuan.10 Secara operasional penelitian dapat berfungsi sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi, menunjang pembangunan, mengembangkan sistem dan mengembangkan kualitas manusia.11

Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam

9Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 118

10Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hlm. 10

11Ibid., hlm. 77

(26)

12

kerangka know-how di dalam hukum. Dengan melakukan penelitian hukum diharapkan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan.12 Bertitik tolak dari tujuan penelitian sebagaimana tersebut diatas, diharapkan dengan penelitian ini akan dapat memberikan manfaat atau kegunaan secara teoritis dan praktis di bidang hukum yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan membuka wawasan dan paradigma berpikir dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana llegal fishing. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan dan referensi bagi peneliti lanjutan serta dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam perkembangan ilmu pengetahuan hukum.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini ditujukan kepada Pemerintah Indonesia dan aparat penegak hukum melalui penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana illegal fishing. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan dan harmonisasi berbagai perangkat perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana illegal fishing.

12Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm. 41

(27)

13 E. Keaslian Penelitian

Dari hasil penelusuran kepustakaan yang ada di Lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul

“Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Illegal Fishing Di Wilayah Kerja Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai” belum pernah ada yang meneliti sebelumnya.

F. Kerangka Teori Dan Konsep 1. Kerangka Teori

Teori harus mengungkapkan suatu tesis atau argumentasi tentang fenomena tertentu yang dapat menerangkan bentuk substansi atau eksistensinya,13 dan suatu teori harus konsisten tentang apa yang diketahui tentang dunia sosial oleh partisipan dan ahli lainnya, minimal harus ada aturan-aturan penerjemah yang dapat menghubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lain,14 sedangkan kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoritis.15

Menurut W.L. Neuman, yang berpendapat dikutip dari Otje Salman dan Anton

13H.R. Otje Salman, S dan Anton F Susanto, Teori Hukum, (Bandung: Refika Aditama 2005), hlm. 23

14Ibid

15M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80

(28)

14

F Susanto menyebutkan bahwa : “Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia, ia adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”.16

Otje Salman dan Anton F Susanto akhirnya menyimpulkan pengertian Teori menurut pendapat beberapa ahli, dengan rumusan sebagai berikut: “Teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum”.17

Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jenis nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi.18 Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekontruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.19

Berdasarkan hal tersebut diatas, menurut Soerjono Soekanto, kerangka teori bagi suatu penelitian mempunyai beberapa kegunaan sebagai berikut:20

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi- definisi.

16H.R. Otje Salman, S dan Anton F Susanto, Op.Cit., hlm. 22

17Ibid., hlm. 23

18Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 254

19Ibid., hlm. 253

20 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 121

(29)

15

c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.

Menurut Sudikno berbicara tentang teori hukum berarti berbicara tentang hukum. Teori hukum bukanlah ilmu hukum. Hal ini dikemukakan karena pada umumnya Teori Hukum diidentikkan atau dijumbukan dengan Ilmu Hukum. Tetapi kiranya dapat dipahami bahwa Teori Hukum tidak sama dengan Ilmu Hukum. Untuk mengetahui apa teori hukum harus diketahui lebih dulu apa Ilmu Hukum itu. Ilmu hukum, atau yang semula dikenal dengan ajaran hukum (rechtsleer) sering disebut juga dogmatik hukum, mempelajari hukum positif (jus constitutum), yaitu hukum yang akan datang.

Menurut Benard Arief Sidharta, menyatakan bahwa:21

“Kini, secara umum, teori ilmu hukum dapat diartikan sebagai ilmu atau disiplin hukum yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam pengejawantahan praktisnya, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan bermasyarakat.

Objek telaahnya adalah gejala umum dalam tatanan hukum positif yang meliputi analisis bahan hukum, metode dalam hukum dan kritik ideological terhadap hukum”

Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu terjadi dan sesuatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta- fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Menetapkan landasan teori pada

21Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, cetakan ke tiga, 2009), hlm. 122

(30)

16

waktu diadakan penelitian ini tidak salah arah. Sebelumnya diambil rumusan landasan teori seperti yang dikemukakan M.Solly Lubis yang menyebutkan bahwa landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang membuat kerangka berpikir dalam penulisan.22

Teori yang dipergunakan sebagai alat untuk melakukan analisis di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Teori Kepastian Hukum

Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu.

Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi.23

Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang.

Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum. Kata ”kepastian”

22M.Solly Lubis, Op.Cit., hlm. 80

23Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hlm. 20

(31)

17

berkaitan erat dengan asas kebenaran, yaitu sesuatu yang secara ketat dapat disilogismekan secara legal-formal. Melalui logika deduktif, aturan-aturan hukum positif ditempatkan sebagai premis mayor, sedangkan peristiwa konkret menjadi premis minor. Melalui sistem logika tertutup akan serta merta dapat diperoleh konklusinya. Konklusi itu harus sesuatu yang dapat diprediksi, sehingga semua orang wajib berpegang kepadanya. Dengan pegangan inilah masyarakat menjadi tertib. Oleh sebab itu, kepastian akan mengarahkan masyarakat kepada ketertiban.24 Kepastian hukum akan menjamin seseorang melakukan perilaku sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, sebaliknya tanpa ada kepastian hukum maka seseorang tidak memiliki ketentuan baku dalam menjalankan perilaku. Dengan demikian, tidak salah apabila Gustav Radbruch mengemukakan kepastian sebagai salah satu tujuan dari hukum. Dalam tata kehidupan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum. Kepastian hukum merupakan sesuai yang bersifat normatif baik ketentuan maupun keputusan hakim. Kepastian hukum merujuk pada pelaksanaan tata kehidupan yang dalam pelaksanaannya jelas, teratur, konsisten, dan konsekuen serta tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif dalam kehidupan masyarakat.25

Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna

24Ibid

25Sidharta, Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, Bunga Rampai Komisi Yudisial, Putusan Hakim : Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan, (Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2010), hlm. 3

(32)

18

karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang.

Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum. Apabila dilihat secara historis, perbincangan mengenai kepastian hukum merupakan perbincangan yang telah muncul semenjak adanya gagasan pemisahan kekuasaan dari Montesquieu.

Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bias dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis.

Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.26

Pemikiran mainstream beranggapan bahwa kepastian hukum merupakan keadaan dimana perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum. Secara etis, pandangan seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah dilontarkan oleh Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo hominilupus). Manusia adalah makhluk yang beringas yang merupakan suatu ancaman. Untuk itu, hukum lahir sebagai suatu pedoman untuk menghindari jatuhnya korban. Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa perilaku

26Yance Arizona, Apa Itu Kepastian Hukum? http://yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu- kepastian-hukum/, diakses pada tanggal 12 Juni 2018

(33)

19

manusia secara sosiologis merupakan refleksi dari perilaku yang dibayangkan dalam pikiran pembuat aturan. Barangkali juga pernah dilakukan untuk mengelola keberingasan para koboi di Amerika ratusan tahun lalu.27

Perkembangan pemikiran manusia modern yang disangga oleh rasionalisme yang dikumandangkan Rene Descarte (cogito ergo sum), fundamentalisme mekanika yang dikabarkan oleh Isaac Newton serta empirisme kuantitatif yang digemakan oleh Francis Bacon menjadikan sekomponen manusia di Eropa menjadi orbit dari peradaban baru. Pengaruh pemikiran mereka terhadap hukum pada abad XIX nampak dalam pendekatan law and order (hukum dan ketertiban). Salah satu pandangan dalam hukum ini mengibaratkan bahwa antara hukum yang normatif (peraturan) dapat dimuati ketertiban yang bermakna sosiologis. Sejak saat itu, manusia menjadi komponen dari hukum berbentuk mesin yang rasional dan terukur secara kuantitatif dari hukum-hukum yang terjadi karena pelanggarannya. Pandangan mekanika dalam hukum tidak hanya menghilangkan kemanusiaan dihadapan hukum dengan menggantikan manusia sebagai sekrup, mor atau gerigi, tetapi juga menjauhkan antara apa yang ada dalam idealitas aturan hukum dengan realitas yang ada dalam masyarakat. Idealitas aturan hukum tidak selalu menjadi fiksi yang berguna dan benar, demikian pula dengan realitas perilaku sosial masyarakat tidak selalu mengganggu tanpa ada aturan hukum sebelumnya. Ternyata law and order menyisakan kesenjangan antara tertib hukum dengan ketertiban sosial. Law and order kemudian hanya cukup untuk the order of law, bukan the order by the law. Jadi

27Ibid

(34)

20

kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Karena frasa kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian perilaku terhadap hukum secara benar. Demikian juga dengan mekanika Newton. Bahkan Mekanika Newton pun sudah dua kali dihantukkan dalam perkembangan ilmu alam itu sendiri, yaitu Teori Relativitas dari Einstein dan Fisika Kuantum.28

Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan. Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Dalam memahami nilai kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum yang positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya pada hukum positif. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati. Dari uraian-uraian mengenai kepastian hukum di atas, maka kepastian dapat mengandung

28Ibid

(35)

21

beberapa arti, yakni adanya kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber keraguan. Kepastian hukum menjadi perangkat hukum suatu negara yang mengandung kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, serta dapat dilaksanakan, yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara sesuai dengan budaya masyarakat yang ada.29

b. Teori Penegakan Hukum

Menurut Barda Nawawi Arief, dilihat dari aspek kebijakan hukum pidana, sasaran dari hukum pidana tidak hanya mengatur perbuatan warga masyarakat pada umumnya, tetapi juga mengatur perbuatan (dalam arti kewenangan atau kekuasaan) penguasa atau aparat penegak hukum. Barda Nawawi Arief juga menyatakan bahwa kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari tiga tahap kebijakan, yaitu: 30

1) Tahap kebijakan legislatif atau formulatif, yaitu kekuasaan dalam menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan.

29Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hlm. 33

30Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro), hlm. 17

(36)

22

2) Tahap kebijakan yudikatif atau aplikatif, yaitu kekuasaan dalam menerapkan hukum pidana.

3) Tahap kebijakan eksekutif atau administratif, yaitu kekuasaan dalam melaksanakan hukum pidana.31

Kebijakan hukum pidana digunakan untuk menghambat terjadinya tindak pidana dalam masyarakat, sehingga masyarakat dapat hidup damai dan tentram.

Dibutuhkan penegakan hukum yang pasti pada setiap tindak pidana yang terjadi agar prinsip-prinsip kepastian hukum dapat terlaksana dengan baik.

Menurut Satjipto Raharjo32 mengemukakan bahwa penegakan hukum merupakan pelaksanaan secara konkret dari tahap pembuatan hukum dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dalam bahasa Indonesia istilah penegakan hukum juga dikenal sebagai penerapan hukum. Sedangkan dalam bahasa asing, dikenal berbagai peristilahan, seperti rechstoepassing atau rechtshandhaving (Belanda), law enforcement atau application (Amerika).

Teori penegakan hukum oleh Wayne La Favfre, yang dikutip Soerjono Soekanto, menitikberatkan pada perlunya penerapan diskresi dalam proses penegakan hukum, yaitu “involves decision-making not strictly governed by legal rules, but rather with a significant element of personal judgement.” Hal tersebut disebabkan oleh diskresi, yang mengutip Roscoe Pound adalah “an authority coferred by law to act in certain conditions or situations in accordance with an official’s or an official

31Ibid., hlm. 18

32Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 191

(37)

23

agency’s own considered judgement and conscience. It is an idea of morals, belonging to the twilight zone between law and morals.”33

Penegakan hukum sangat ditentukan oleh aspek moral dan etika dari aparat penegak hukum itu sendiri. Aspek moral dan etika dalam penegakan hukum pidana merupakan sesuatu hal yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana. Kondisi distorsi dan penyimpangan dalam penegakan hukum pidana, dalam praktik sehari-hari sering terjadi proses penanganan perkaran pidana tidak sesuai dengan idealisme keadilan, padahal sistem peradilan pidana harus selalu mempromosikan kepentingan hukum dan keadilan.

Elemen dasar dari penegakan hukum pidana seharusnya merupakan proses penemuan fakta, yang tidak memihak (impartial) dan penuh dengan resolusi atau pemecahan masalah yang harus dilakukan secara riil (fair) dan patut (equitable).

Apapun teori keadilan yang dipakai, definisi keadilan harus mencakup kejujuran (fairness), tidak memihak (impartiality), serta pemberian sanksi dan hadiah yang patut (appropriate reward and punishment). Keadilan harus dibedakan dari kebajikan (benevolence), kedermawanan (generosity), rasa terima kasih (gratitude), dan perasaan kasihan (compassion).

Di dalam penegakan hukum pidana, maka tidak dapat dipisahkan dari sistem peradilan pidana yang berlaku pada sebuah Negara. Sistem peradilan pidana merupakan proses formal dalam mempertahankan hukum pidana materil. Di dalam

33Soerjono Soekanto, Beberapa Aspek Sosial Yuridis Masyarakat, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 131

(38)

24

penegakan hukum, selain daripada substansi hukum yang harus memang dapat memberikan ketertiban bagi setiap masyarakat, maka aparat penegak hukum juga memiliki peranan penting dalam penegakan hukum pidana.

Karakteristik hukum adalah memaksa disertai dengan ancaman dan sanksi.

Tetapi hukum bukan dipaksa untuk membenarkan persoalan yang salah, atau memaksa mereka yang tidak berkedudukan dan tidak beruang. Agar peraturan- peraturan hidup kemasyarakatan benar-benar dipatuhi dan ditaati sehingga menjadi kaidah hukum, maka peraturan kemasyarakatan tersebut harus dilengkapi dengan unsur memaksa. Dengan demikian, hukum mempunyai sifat mengatur dan memaksa setiap orang supaya mentaati tata tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa saja yang tidak mau mematuhinya.34

Adanya aturan-aturan yang bersifat mengatur dan memaksa anggota masyarakat untuk patuh dan menaatinya, akan meyebabkan terjadinya keseimbangan dan kedamaian dalam kehidupan mereka. Para pakar hukum pidana mengutarakan bahwa tujuan hukum pidana adalah pertama, untuk menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan (preventif). Kedua, untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabi’atnya (represif).

Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia dan masyarakat. Tujuan hukum pidana di

34Suharto dan Junaidi Efendi, Panduan Praktis Bila Menghadapi Perkara Pidana, Mulai Proses Penyelidikan Sampai Persidangan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010), hlm 25-26

(39)

25

Indonesia harus sesuai dengan falsafah Pancasila yang mampu membawa kepentingan yang adil bagi seluruh warga negara. Dengan demikian hukum pidana di Indonesia adalah mengayomi seluruh rakyat Indonesia. Bagi setiap orang yang melakukan pelanggaran hukum pidana, maka harus bertanggungjawab dan mendapatkan sanksi dari hukum.

Pemberian pidana dan penjatuhan pidana dalam praktek peradilan selama ini dengan mempertimbangkan kualifikasi kejahatannya, dan segala bentuk pidana tersebut diberikan oleh Negara dengan asumsi bahwa warga negaranya adalah mahluk yang bertanggung jawab dan dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Menurut Yahya Harahap, Ideologi dan konsepsi negara hukum yang menempatkan kekuasaan kehakiman merdeka dan bebas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan negara lainnya, dengan sendirinya menuntut konsekuensi, diantaranya:35

1) Hukum diatas segala kehidupan bernegara dan bermasyarakat berdasarkan rule of law. Negara dan masyarakat diatur dan diperintah oleh hukum bukan oleh manusia. Peran rule of law dalam kehidupan masyarakat, menjadi unsur landasan (basic ingredient) tata tertib kehidupan dari pemaksaan dalam bentuk apapun. Upaya paksa yang dilakukan dalam setiap penyelesaian sengketa, baik pidana maupun perdata harus sesuai dengan proses yang ditentukan oleh hukum (due process of law) berdasar atas equal treatment before the law atau equal dealing (perlakuan yang sama didepan hukum);

equal protection on the law (perlindungan yang sama di depan hukum);

2) Peran dan fungsi utama kekuasaan kehakiman yang merdeka, memberi kewenangan kepada badan peradilan menjadi “katub penekanan” atau pressure valve” atas setiap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh siapa

35M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 33-39

(40)

26

dan pihak manapun tanpa kecuali:atas segala bentuk perbuatan yang tidak konstitusional (unconstitutional), ketertiban umum (public policy) dan kepatutan (reason ableness);

3) Sehubungan dengan peran dan fungsi serta kewenangan kekuasaan kehakiman sebagi katub penekan dalam negara hukum dan masyarakat demokrasi dengan sendirinya menempatkan kedudukan badan-badan peradilan sebagai tempat terakhir atau the last resort dalam upaya penegakan kebenaran dan keadilan. Dalam hal ini, tidak ada badan lain yang berkedudukan sebagai tempat mencari penegakan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice) apabila timbul sengketa atas pelanggaran hukum;

4) Peran, fungsi, kewenangan dan kedudukan kekuasaan kehakiman sebagai pressure valve dan the last resort, kekuasaan kehakiman melalui peradilan diberi kekuasaan sebagai pelaksana “penegakan hukum”. Kekuasaan ini lazim diungkapkan sebagai “judciary as the upholders of the rule of law”.

Pemberian kekuasaan kepada kekuasaan kehakiman sebagai upholders of the rule of law, dengan sendirinya menmpatkan kedudukan peradilan sebagai lembaga atau instiusi alat negara yang bertindak sebagai “penjaga kemerdekaan masyarakat” (in guarding the freedom of society)”. Kekuasaan kehakiman sebagai wali masyarakat (judiciary is regard as custodian of society);

5) Secara konstitusional kekuasaan kehakiman bertindak “tidak demokratis secara fundamental”. Sesuai dengan kemerdekaan dan kebebasan yang diberikan konstitusi kepada kekuasaan kehakiman, badan-badan peradilan dibenarkan bertindak dan mengambil putusan “fundamentallly undemocratic”. Pada saat peradilan mengambil tindakan dan putusan, tidak membutuhkan akses dari siapapun, tidak memerlukan negosiasi dari pihak manapun, dan tidak perlu kompromi dari pihak yang berperkara;

6) Mempunyai imunitas dalam melaksanakan fungsi dan kekuasaan peradilan.

Kerangka imunitasnya mengandung arti bahwa imunitas para hakim dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan peradilan (the immunity of judges), sifat imunitasnya absolut dan total, dalam arti mereka tidak dapat dituntut atas pelaksanaan yustisial, meskipun tindakan yang dilakukannya malapraktik (malpractive), melampui batas kewenangan (exceeds his authority) atau melakukan kesalahan proses (procedural error).

(41)

27

Tujuan hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan, kedamaian, serta keadilan. Hukum juga bertujuan untuk mengayomi manusia, yang tidak hanya melindungi manusia dalam arti pasif, yakni hanya mencegah tindakan sewenang-wenang dan pelanggaran hak saja, juga meliputi pengertian melindungi secara aktif, artinya meliputi upaya untuk menciptakan kondisi dan mendorong mansia untuk selalu memanusiakan diri secara terus menerus.

Peradilan yang adil mencakup sekurang-kurangnya:

a. Perlindungan terhadap tindakan kesewenang-wenangan dari pejabat negara;

b. Peradilanlah yang berhak menentukan salah tidaknya terdakwa;

c. Bahwa sidang pengadilan harus terbuka (kecuali sidang anak dan kesusilaan);

d. Bahwa tersangka atau terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk dapat membela diri sepenuhnya.

Supremasi hukum mengandung makna supremasi nilai, supremasi hukum pada hakikatnya mengandung makna bahwa dalam kehidupan kebangsaan harus dijunjung tinggi nilai-nilai substansial yang menjiwai hukum dan menjadi tuntutan masayrakat antara lain :

a. Tegaknya nilai keadilan, kebenaran, kejujuran, dan kepercayaan antara sesama;

b. Tegaknya nilai-nilai kemanusiaan yang beradab dan penghargaan/perlindungan HAM;

c. Tidak adanya praktik favoritisme dan korupsi, kolusi dan nepotisme;

Nilai-nilai supremasi hukum seyogyanya terwujud dalam seluruh tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara artinya tidak hanya diwujudkan

(42)

28

keadilan hukum, tetapi juga keadilan sosial, keadilan politik, dan keadilan di seluruh bidang kehidupan lainnya. Tidak ada penyalahgunaan kekuasaa politik, penyalahgunaan kekuasaan ekonomi, dan sebagainya, serta tidak ada praktik KKN.

Menurut Muladi, indikator dari hubungan hukum dengan keadilan substantif antara lain adalah:36

a. Tujuan hukum harus merupakan kombinasi antara perlindungan masyarakat, kejujuran prosedural, dan keadilan substantif;

b. Diskresi yang terkendali dan tidak bersifat opurtunis, dibatasi oeh hukum dan berorientasi pada tujuan yang sistemik;

c. Penggunaan paksaan secara ekstensif dengan kendali yang lemah harus dikurangi,kendali hukum yang jelas serta penggunaan insentif yang luas dikembangkan;

d. Menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara moralitas komunal, moralitas kelembagaan dan moral sipil;

e. Integrasi antara aspirasi hukum dan politik;

f. Kritik jangan semata-mata dilihat sebagai ketidaksetiaan atau disloyality.

Pandangan filosofis tentang peradilan berhubungan erat dengan konsepsi keadilan. Konsepsi tentang keadilan pada dasarnya merupakan nilai tertinggi di antara segala nilai yang ada dalam hubungan antara manusia dan masyarakat. Karena keadilan itu merupakan integrasi dari berbagai nilai kebijakan yang telah, sedang dan selalu diusahakan untuk dicapai pada setiap waktu dan segala bidang serta masalah yang dihadapi.

Keadilan dalam arti peradilan yang tepat, cepat tidak akan tercapai jika hanya didukung oleh kesiapan-siapan mental dan usaha-usaha paa hakim saja, jaksa juga

36Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995), hlm. 64

(43)

29

harus berusaha pula, antara lain dengan cepat dan tepat menyusun tuduhan dan tuntutan, mengajukan dalam keadaan utuh dan lengkap semua barang yang disita sebagai barang bukti di muka persidangan, dengan segera menjalankan perintah hakim dan sebagainya. Demikian pula dengan pengacara/penasihat hukum, harus memiliki kesiapan dalam proses persidangan.

Di dalam penegakan hukum pidana, ada 4 (empat) aspek dari perlindungan masyarakat yang harus mendapat perhatian yaitu:37

a) Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap bantuan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Penegakan hukum bertujuan untuk penanggulangan kejahatan;

b) Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat bahanya seseorang.

Penegakan hukum pidana bertujuan untuk memperbaiki tingkah lakunya agar kembali patuh pada hukum dan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna.

c) Masyarakat memerlukan pula perlindungan terhadap penyalahgunaan sanksi atau reaksi dari penegak hukum maupun warga masyarakat pada umumnya.

d) Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keseimbangan atau keselarsahan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu sebagai akibat dari adanya kejahatan. Penegakan hukum pidana harus dapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah:

a. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang);

b. Faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan hukum;

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

d. Faktor masyarakat yaitu lingkungan hukum berlaku/diterapkan;

e. Faktor kebudayaan yang lahir dalam pergaulan hidup manusia

37Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 12

(44)

30

Dari beberapa faktor diatas, yang paling penting adalah faktor penegak hukum. Penegak hukum yang utama adalah polisi sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut umum, hakim, petugas Lembaga Pemasyarakatan. Penegak hukum harus memiliki profesionalitas yang tinggi, untuk menghindari terjadinya malpraktik di bidang hukum.

c. Teori Hukum Pembangunan

Teori yang dipergunakan sebagai alat untuk melakukan analisis di dalam penelitian ini adalah Teori Roscoe Pound, law as a tool of engineering sebagai landasan teoretis pembinaan hukum di Indonesia yang dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Perkembangan selanjutnya, konsep pembinaan hukum ini diberi nama “teori hukum pembangunan”.38

Hubungan antara hukum dan pembangunan, menurut Michael Hager yang mengintrodusir konsep development law meliputi tindakan dan kegiatan yang memperkuat infrastruktur hukum seperti lembaga hukum, profesi hukum, dan lembaga pendidikan hukum, serta segala sesuatu yang berkenaan dengan penyelesaian problema-problema khusus pembangunan.39

Kiranya pendapat Michael Hager tersebut, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, bahwa hukum tidak saja merupakan keseluruhan asas- asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat,

38Otje Salman dan Eddy Damian (ed), Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan dari Prof.

Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M., (Bandung: Alumni, 2002), hlm. 5

39Syamsuhardi Bethan, Penerapan Prinsip-Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup dan Kehidupan Antar Generasi, (Bandung: Alumni, 2008), hlm. 25

(45)

31

melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses (processes) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.40 Dengan kata lain, suatu pendekatan yang normatif semata-mata tentang hukum tidak cukup apabila akan melakukan pembinaan hukum secara menyeluruh. Selanjutnya, Mochtar menyatakan bahwa hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga (institution) dan proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.41 Hukum dalam fungsinya sebagai sarana pembangunan, menurut Michael Hager dapat mengabdi dalam tiga sektor, yaitu sebagai berikut:42

1. Hukum sebagai alat penertib (ordering). Dalam rangka penertiban hukum dapat menciptakan suatu kerangka bagi pengambilan keputusan politik dan pemecahan sengketa yang mungkin timbul melalui suatu hukum acara yang baik. Ia pun dapat meletakkan dasar hukum (legitimacy) bagi penggunaan kekuasaan.

2. Hukum sebagai alat penjaga keseimbangan (balancing). Fungsi hukum dapat menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara kepentingan negara, kepentingan umum, dan kepentingan perorangan.

40Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, (Bandung: Bina Cipta, 1986), hlm. 11

41Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit., hlm. 15

42Ibid

Referensi

Dokumen terkait

Peserta didik diberikan stimulus berupa pemberian materi secara garis besar oleh guru (selain itu misalkan dalam bentuk lembar kerja, tugas mencari materi

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan perangkat pembelajaran matematika teologis, yang menggambarkan tentang validitas (perangkat pembelajaran),

Bencana alam dapat menyebabkan kondisi lingkungan yang merugikan seperti banjir atau angin kencang+ Kerusakan structural dari kejadian seperti gempa bumi dapat mengubah

Menetapkan : KEPUTUSAN WALIKOTA TASIKMALAYA TENTANG URAIAN TUGAS UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS PERALATAN DAN PERBENGKELAN PADA DINAS LINGKUNGAN HIDUP

Kedelapan: sesungguhnya propaganda pluralisme agama bila dimunculkan oleh seorang muslim, maka tindakan tersebut dianggap murtad nyata keluar dari agama Islam, karena

Dalam pembuatan karya seni tentunya hal pertama yang dilakukan adalah memikirkan bagaimana dan seperti apa karya tersebut yang bisa direalisasikan dengan kemampuan

sudut daun, umur keluar bunga jantan (tassel) dan bunga betina (silk), jumlah cabang bunga jantan (tassel), panjang tongkol total, panjang tongkol efektif, diameter tongkol,