• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSES PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA IILEGAL FISHING

B. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Illegal Fishing

Penegakan hukum adalah merupakan usaha atau kegiatan negara berdasarkan kedaulatan negara atau berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, baik aturan hukum nasional itu sendiri maupun aturan hukum internasional dapat diindahkan oleh setiap orang dan badan-badan hukum, bahkan negara-negara lain untuk memenuhi kepentingannya namun tidak sampai mengganggu kepentingan pihak lain.85

85https://nurhasanaquacultur.wordpress.com/2015/12/17/penyelesaian-illegal-fishing-berdasarka n-undang-undang-nomor-45-tahun-2009, diakses pada tanggal 24 Januari 2019

92

Penegakan hukum dalam pengertian yustisial diartikan sebagai suatu proses peradilan yang terdiri dari kegiatan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan hakim, hal ini bertujuan untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum. Berdasarkan pengertian yustisial maka yang dimaksud dengan penegakan hukum di laut ialah suatu proses kegiatan dalam penyelesaian suatu perkara yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran dilaut atas ketentuan hukum yang berlaku baik ketentuan hukum internasional maupun nasional.

Delik atau tindak pidana ialah perbuatan yang melanggar undang-undang pidana, dan karena itu bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan sengaja oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan diperairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan atau mengawetkannya.

Keberadaan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan merupakan langkah positif dan merupakan landasan/aturan bagi Penegak Hukum dan Hakim Perikanan dalam memutuskan persoalan hukum yang terkait dengan illegal fishing, yang dampaknya sangat merugikan negara bahkan telah disinyalir dapat merusak perekonomian bangsa.

Selain itu beberapa permasalahan mendasar dalam illegal fishing antara lain ketidakpastian dan ketidakjelasan hukum, birokrasi perijinan yang semrawut.

93

Ketidakpastian hukum dicirikan oleh beberapa hal seperti pemahaman yang berbeda atas aturan yang ada, inkonsistensi dalam penerapan, diskriminasi dalam pelaksanaan hukuman bagi kapal-kapal asing melanggar, persengkokolan antara pengusaha lokal, pengusaha asing dan pihak peradilan. Peradilan terhadap pelanggarpun lambat, berlarut-larut dan korup.86

Oleh karena itu para Penegak Hukum seperti Pegawai KKP, Polisi Perairan dan TNI-AL diharapkan secara maksimal dapat menjaga laut kita dari pencurian ikan dan kejahatan lainnya. Dibentuknya pengadilan perikanan diharapkan juga mampu menjawab persoalan kejahatan pencurian ikan yang tercermin dalam putusan-putusan yang dihasilkan, baik kejahatan yang dilakukan oleh warga negara maupun yang dilakukan oleh warganegara asing. Dan dari putusan-putusan ini diharapkan ada efek jera bagi para pelaku kejahatan illegal fishing.

Banyak penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana di bidang perikanan yang berakhir dengan kegagalan atau putusan yang kurang memuaskan, karena tidak menimbulkan daya tangkal atau daya jera. Sebagian besar dari kegagalan tersebut disebabkan kurang efektifnya strategi dan teknis yustisial yang digunakan oleh Penyidik dalam proses penyidikan dan oleh penuntut umum dalam proses penuntutan, khususnya pada tahap upaya pembuktian dakwaan dan konstruksi penuntutan.87

86Ibid

87 Daniel R, Analisis Dampak Pengoperasian di Perairan ZEE terhadap Perikanan, (Bogor:

Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor, 1995), hlm. 58

94

Penegakan hukum dalam tataran teoritis, bukan saja hanya memberikan sanksi kepada orang atau badan hukum yang melakukan pelanggaran terhadap suatu peraturan perundang-undangan, tetapi perlu dipahami bahwa penegakan hukum tersebut juga berkaitan dengan konsep penegakan hukum yang bersifat preventif.

Terminologi penegakan hukum saat ini telah mengarah pada satu tindakan yakni

“menjatuhkan sanksi” pidana. Penegakan hukum yang ada kaitannya dengan kegiatan usaha perikanan ini, dikaitkan dengan suatu tindakan yang akan memberikan sanksi kepada setiap orang atau badan hukum yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perundang-undangan di bidang perikanan.

Pelanggaran hukum dalam peraturan perundang-undangan perikanan ini, sama halnya dengan pelanggaran pidana pada umumnya, yang prosesnya sama dengan perkara pidana biasa yang sebelum diajukan ke Pengadilan, maka terlebih dahulu didahului oleh suatu proses hukum yang lazim disebut penyidikan.

Proses penegakan hukum di wilayah Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai dalam perkara tindak pidana illegal fishing proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan.

Sehingga, lembaga Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.

Serta Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan, dan wewenang lain berdasarkan undang-undang.

95

Terkait dengan proses penegakan hukum di wilayah Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai terhadap kasus tindak pidana perikanan atau illegal fishing dari tahun 2016 sampai dengan tahun 2018 memiliki 46 kasus tindak pidana perikanan atau illegal fishing yang akan diuraikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:

Tabel. 1

7 Januari 2016 MHD. YUSUF Perikanan Erthy Puspa Evawati

ABDUL MUIS Perikanan Erthy Puspa Evawati

11 Maret 2016 MULIYADI Als IMUL

01 April 2016 ANDRE ADES Perikanan Erthy Puspa Evawati Simbolon, SH SPDP/05/IV/2016/Sat

Pol Air

01 April 2016 SUDIMAN Als COYOT

20 April 201 RAMLI PANE Perikanan Erthy Puspa Evawati Simbolon, SH SPDP/06/IV/2016/Sat

polair

20 April 2016 KAMANTO Als AHIN

88 Sistem Informasi Manajemen Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai.

96

29 Juni 2016 SYAHRIL Perikanan Agus Adi Atmaja, SH

JUSRI Perikanan Erthy Puspa Evawati

SURIADI Perikanan Juita Citra Wiratama, SH SPDP/15/IX/2016/Sat

polair

01 September 2016

TUSIMAN Perikanan Agus Adi Atmaja, SH SPDP/16/IX/2016/Sat

polair

15 September 2016

SUTRISNO Perikanan Erthy Puspa Evawati

USMAN Perikanan Agus Adi Atmaja, SH

97

05 April 2018 SULAIMAN Als LEMAN

98

Proses penegakan hukum yang dimulai dari tahap penyidikan hingga pemeriksaan di pengadilan. Berikut ini adalah analisis terhadap data-data tersebut.

Tahap awal dalam proses perkara pidana ialah penyidikan, penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP ialah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Sedangkan yang dimaksud dengan penyidik menurut Pasal 1 angka 1 KUHAP ialah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Sedangkan menurut Pasal 73 Undang-Undang Perikanan menyatakan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dalam tingkat penyidikan, di wilayah kerja Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai, umumnya dalam tingkat penyidikan, penyidiknya berasal dari penyidik Polri. Pelanggaran-pelanggaran terhadap UU Perikanan yang terjadi di ZEEI sudah ditentukan bahwa pihak yang berwenang melakukan penyidikan adalah penyidik TNI AL dan penyidik PNS (Pasal 73 ayat (2) UU Perikanan, sedangkan penyidik Polri tidak disebutkan kewenangannya di wilayah tersebut. Hal ini ialah karena tugas pokok Polri yang menjaga keamanan sampai batas laut teritorial.

Setelah penyidik menerima laporan atau menemukan suatu tindak pidana di bidang perikanan, hal selanjutnya yang dilakukan penyidik ialah mengeluarkan surat

99

perintah penyidikan. Dasar hukum diterbitkannya surat perintah penyidikan yakni mengacu pada Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 106, Pasal 109 ayat (1) Pasal 110 ayat (1) KUHAP Jo. Pasal 73, Pasal 73 A Undang-Undan Perikanan, setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan, maka selambat-lambatnya penyidik memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum (SPDP) paling lama 7 hari. Hal ini adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 73 B ayat (1) Undang-Undang Perikanan. Setelah SPDP dikirimkan ke penuntut umum (Kejaksaan) maka sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) huruf a, Pasal 14 huruf a,b, dan i, Pasal 109, Pasal 110 KUHAP Jo. Pasal 73 B ayat (1) Undang-Undang Perikanan, Kepala Kejaksaan selaku penuntut umum selanjutnya mengeluarkan surat perintah penunjukkan jaksa penuntut umum untuk mengikuti perkembangan penyidikan perkara tindak pidana (P-16)89. Selanjutnya untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat menahan tersangka paling lama 20 hari dan apabila pemeriksaan terhadap perkara tersebut belum selesai maka dapat dimintakan perpanjangan kepada penuntut umum paling lama 10 hari (T-4)90. Hal ini adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 73 B ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perikanan.

Selanjutnya apabila penyidik telah selesai melakukan penyidikan, maka selanjutnya penyidik menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum.

Penyerahan berkas perkara ini ialah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 ayat (2)

89 Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : KEP-518/A/J.A/11/2001 tanggal 01 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : KEP-132/J.A/11/1994 tanggal 07 Nopember 1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana, Hlm. 38.

90 Ibid, Hlm 231.

100

dan ayat (3) huruf a dan Pasal 110 ayat (1) KUHAP. Setelah penuntut umum menerima hasil penyidikan dari penyidik, maka selanjutnya penuntut umum meneliti berkas perkara tersebut selama 5 hari sejak tanggal diterimanya berkas perkara tersebut (Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Perikanan). Apabila hasil penyidikan belum lengkap, maka penuntut umum mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik dengan disertai petunjuk tentang hal-hal yang harus dilengkapi (Pasal 76 ayat (2) Undang-Undang Perikanan). Dalam waktu paling lama 10 hari terhitung sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada penuntut umum (Pasal 76 ayat (3) Undang-Undang Perikanan). Selanjutnya apabila berkas perkara telah dinyatakan lengkap oleh penuntut umum (P-21)91, maka sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) huruf b dan Pasal 110 ayat (4) KUHAP, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.

Setelah penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum, maka tahap penyidikan sudah selesai dilakukan. Tahap selanjutnya yakni tahap penuntutan. Menurut Pasal 1 angka 7 (KUHAP), penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Dalam tahap penuntutan, Kepala Kejaksaan selaku penuntut umum mengeluarkan surat perintah penunjukan jaksa penuntut umum untuk penyelesaian

91 Ibid, Hlm. 52

101

perkara tindak pidana (P-16.A)92. Penunjukkan penuntut umum dalam tahap ini yakni harus sesuai dengan Pasal 75 Undang-Undang Perikanan. Dalam tahap penuntutan ini, penuntut umum berwenang melakukan penahanan selama 10 hari (T-7)93, dan apabila dalam tahap penuntutan masih ada kepentingan pemeriksaan maka penahanan tersebut dapat dimintakan perpanjangannya kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang selama 10 hari (T-6)94. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (6) dan ayat (7) Undang-Undang Perikanan. Dalam tahap penuntutan ini juga penuntut umum melakukan penelitian terhadap tersangka dan barang bukti. Penelitian terhadap tersangka dan barang bukti selanjutnya dituangkan dalam berita acara. Tujuan dilakukannya penelitian ini yakni untuk menentukan apakah orang dan/atau benda yang tersebut dalam hasil penyidikan telah sesuai dan telah memenuhi syarat pembuktian (Penjelasan Pasal 138 KUHAP). Dalam tahap penuntutan ini juga penuntut umum menyusun surat dakwaan. Surat dakwaan harus sesuai dengan Pasal 143 ayat (2) KUHAP yang memuat nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka serta memuat mengenai uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

Tahap selanjutnya yakni penuntut umum melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk mengadili dengan membuat surat pelimpahan

(P-92 Ibid, Hlm. 39.

93 Ibid, Hlm. 238

94 Ibid, Hlm. 236

102

31)95 dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 137, Pasal 143 ayat (1), Pasal 152 KUHAP Jo. Pasal 76 ayat (9) Undang-Undang Perikanan. Dalam melakukan pelimpahan perkara selain membuat surat pelimpahan perkara, penuntut umum juga melampirkan dakwaan, surat perintah penunjukan jaksa penuntut umum untuk penyelesaian perkara tindak pidana (P-16.A), surat perintah penahanan (T-7) disertai dengan berita acara pelaksanaan perintah penahanan (BA-7), berita acara penelitian tersangka (BA-4), berita acara penelitian barang bukti (BA-5), dan surat penyerahan barang bukti ke pengadilan (P-34)96 berikut barang buktinya. Surat pelimpahan (P-31) bersama dengan surat dakwaan juga disampaikan kepada tersangka atau kepada penasihat hukumnya bersamaan dengan dilimpahkannya perkara ke pengadilan. Dengan dilimpahkannya perkara kepada pengadilan negeri maka penahanan terhadap tersangka juga beralih kepada pengadilan negeri.

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai Juncto Pasal 12 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, disebutkan bahwa Kabupaten Serdang Bedagai terdiri atas 17 Kecamatan, 6 Kelurahan, dan 237 desa. 17 Kecamatan tersebut yakni Kecamatan Bandar Khalipah, Kecamatan Bintang Bayu, Kecamatan Dolok Masihul, Kecamatan Dolok Merawan, Kecamatan Kotarih, Kecamatan Pantai Cermin,

95 Ibid, Hlm. 77.

96 Ibid, Hlm. 86.

103

Kecamatan Pegajahan, Kecamatan Perbaungan, Kecamatan Sei Bamban, Kecamatan Sei Rampah, Kecamatan Serba Jadi, Kecamatan Silinda, Kecamatan Sipispis, Kecamatan Tanjung Beringin, Kecamatan Tebing Syahbandar, Kecamatan Tebing Tinggi, dan Kecamatan Teluk Mengkudu.

Kabupaten Serdang Bedagai baru memiliki Pengadilan Negeri pada tanggal 22 Oktober 2018. Sebelum Pengadilan Negeri Sei Rampah berdiri, perkara yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Lubuk Pakam dan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi. Menurut Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesi Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kepaniteraan Dan Kesekertariatan Peradilan, dalam lampiran III disebutkan bahwa wilayah kerja Pengadilan Negeri Tebing Tinggi meliputi Kota Tebing Tinggi dan Kabupaten Serdang Bedagai yang terdiri atas Kecamatan Sei Rampah, Kecamatan Sei Bamban, Kecamatan Teluk Mengkudu, Kecamatan Tanjung Beringin, Kecamatan Dolok Masihul, Kecamatan Sipispis, Kecamatan Bandar Khalipah, Kecamatan Dolok Merawan, Kecamatan Tebing Tinggi, Kecamatan Tebing Tinggi Syahbandar, Kecamatan Serbajadi, dan Kecamatan Silinda. Jadi dari 17 Kecamatan yang ada di Kabupaten Serdang Bedagai, 12 diantaranya masuk kedalam wilayah kerja Pengadilan Negeri Tebing Tinggi, sedangkan 5 Kecamatan lainnya yakni Kecamatan Pantai Cermin, Kecamatan Perbaungan, Kecamatan Pegajahan, Kecamatan Kotarih, dan Kecamatan Bintang Bayu masuk ke dalam wilayah kerja Pengadilan Negeri Lubuk Pakam.

104

Di wilayah Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai, tindak pidana perikanan sering terjadi di wilayah Kecamatan Tanjung Beringin, sehingga perkara tindak pidana di wilayah kerja Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai di limpahkan ke Pengadilan Negeri Tebing Tinggi. Ada beberapa kasus tindak pidana perikanan di wilayah kerja Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai yang dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Tebing Tinggi. Hal ini tentunya bertentangan dengan kompetensi absolut dan Pasal 71 A Undang-Undang Perikanan yang berbunyi Pengadilan perikanan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing.

Setelah penuntut umum melimpahkan berkas perkara ke pengadilan, tahap selanjutnya yakni tahap pemeriksaan sidang di pengadilan. Setelah pengadilan menerima pelimpahan perkara dari penuntut umum, selanjutnya pengadilan mengeluarkan penetapan mengenai majelis hakim yang akan menangani perkara tersebut beserta ketua majelis hakimnya, panitera pengganti, hari, waktu serta ruang sidang, serta penetapan penahan lanjutan tersangka. Setelah menerima penetapan tersebut, selanjutnya penuntut umum menghadirkan terdakwa ke depan persidangan dengan agenda pertama yakni pembacaan surat dakwaan. Setelah pembacaan surat dakwaan, ketua majelis akan bertanya kepada terdakwa apakah ada keberatan terhadap surat dakwaan tersebut, jika ada maka sidang akan ditunda ke hari lainnya agar terdakwa atau penasihat hukumnya dapat mempersiapkan keberatannya. Jika tidak ada keberatan maka agenda selanjutnya yakni pemeriksaan terhadap alat bukti.

105

Sesuai dengan Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Setelah alat-alat bukti selesai diperiksa, maka agenda selanjutnya yakni pembacaan tuntutan, yang setelah pembacaan tuntutan maka agenda selanjutnya yakni nota pembelaan dan agenda selanjutnya yakni putusan.

Sesuai dengan Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perikanan, hakim di sidang pengadilan berwenang menetapkan penahanan selama 20 hari dan apabila belum selesai maka dapat diperpanjang selama 10 hari. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa dalam jangka waktu 30 hari tersebut, sidang perkara perikanan harus sudah selesai, hal ini juga sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 80 ayat (1) yang menyatakan dalam jangka waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal penerimaan pelimpahan perkara dari penuntut umum, hakim harus sudah menjatuhkan putusan. Sama halnya dengan pemeriksaan di tingkat banding dan kasasi, baik dalam tingkat banding maupun kasasi, pemeriksaan terhadap perkara perikanan tersebut harus diperiksa dan diputus dalam jangka waktu 30 hari (Pasal 82 dan Pasal 83 Undang-Undang Perikanan).

Waktu 30 hari tersebut tergolong waktu yang singkat dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Ketentuan pembatasan waktu tersebut sering berbenturan dengan dengan kondisi riil di lapangan. Pada tingkat penuntutan akan berbenturan dengan mekanisme kontrol di Kejaksaan yang berjenjang sehingga penyelesaian di Kejaksaan (menyusun tuntutan) membutuhkan waktu yang cukup lama, sedangkan pada pemeriksaan di pengadilan akan berbenturan dengan

106

mekanisme beracara yang harus dilalui. Waktu 30 hari sering tidak cukup karena digunakannya hak terdakwa mengajukan eksepsi, adanya tanggapan penuntut umum terhadap eksepsi, tuntutan pidana penuntut umum, pembelaan, replik, maupun duplik.

Kesulitan memanggil saksi maupun atau terdakwa agar sah dan patut menurut KUHAP juga membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Terlebih lagi harus memberikan kesempatan kepada penuntut umum mengajukan tuntutan pidananya.

Penuntut umum biasanya harus menunggu rencana tuntutan dari Kejaksaan Agung.

Pada tingkat pemeriksaan di PT atau MA, waktu 30 hari tersebut juga sering menyulitkan karena perkara yang ditangani kedua lembaga tersebut juga selalu overload.97

97 https://pn-tilamuta.go.id/2016/05/23/hukum-acara-pengadilan-perikanan-dan-tindak-pidana-perikanan/ diakses pada tanggal 27 Juli 2019.

107 BAB IV