• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN DISKUSI

Dalam dokumen k7KqcIv6saiH8Ifu prosiding forum iptekin 2015 (Halaman 143-146)

Influence And Its Effect On Innovation Policy In Indonesia

HASIL DAN DISKUSI

Kondisi Kebijakan Inovasi di Indonesia

Belanja kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) masih didominasi dari anggaran pemerintah. Di tahun 2013 total belanja litbang kotor (GERD) di Indonesia ialah Rp. 8,09 triliun dari total PDB-nya sebesar Rp. 9.083,97 triliun. Dari sisi komparasi antara GERD terhadap PDB ialah 0,09%. Angka ini menunjukkan bahwa perhatian pemerintah dalam kegiatan litbang masih jauh dari jumlah minimal, (angka ditetapkan sebesar 1% rasio anggaran litbang terhadap PDB di dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) (Pappiptek LIPI, 2014).

Kegiatan litbang dan aktivitas inovasi di sektor perusahaan swasta sangat terbatas dan lebih terkonsentrasi di sektor manufaktur yang pada umumnya didominasi oleh perusahaan-perusahaan menengah ke bawah dan sebagian kecil perusahaan-perusahaan besar dan multinasional. Umumnya perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak tertarik melakukan inovasi. Sementara, perusahaan-perusahaan asing seperti foreign direct investment (FDI) dan multinasional dengan teknologi manufaktur tinggi, namun sangat terbatas dalam kegiatan litbang di Indonesia (OECD, 2013). Di Indonesia sekitar 65-70% perusahaan didominasi oleh perusahaan berteknologi rendah (Aminullah dalam Arifin, 2011).

Hingga saat ini, kebijakan pemerintah cenderung mengabaikan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Permasalahan koordinasi dan juga adanya tumpang tindih kelembagaan masih menjadi isu sentral dalam melakukan kegiatan litbang dan juga inovasi. Studi dari Triyono (2014) menunjukkan bahwa masih adanya ketimpangan koordinasi antar pelaku aktor dalam mewujudkan sistem inovasi nasional (SIN) di Indonesia. Masing-masing aktor penghasil litbang masih terpaku pada kepentingan organisasi masing-masing.

Isu Perubahan Iklim dan Kebijakannya

Pemerintah memiliki agenda pembangunan karbon-rendah untuk sektor energi sehingga dapat memanfaatkan pendanaan iklim berbiaya-rendah untuk menciptakan insentif bagi energi terbarukan, mengurangi emsisi tidak sehat, menstimulasi

130

Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015

investasi baru, menambah lapangan kerja dan meningkatkan ketahanan energi (World Bank, 2014). Di sisi lain dari keuntungan perbaikan kualitas bahan bakar untuk energi terutama listrik akan dapat menurunkan biaya kesehatan dan dampak negatif dari pencemaran lingkungan, sehingga akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia (Indrawati, 2015; Soebagio, 2012; UNDP Indonesia, 2014; World Bank, 2014).

Pemerintah Indonesia sedang melakukan reformasi sektor kelistrikan pada tiga area yaitu ekspansi sistem, akses rumah tangga dan keberlanjutan lingkungan. Rencana lain adalah mengalihkan sumber energi dengan menambah energi terbarukan dengan pembangunan pembangkit listrik 10,000 MW dengan memanfaatkan semaksimal mungkin penggunaan tenaga panas bumi dana energi terbarukan (World Bank, 2014).

Bangsa Indonesia harus mampu beradaptasi dengan perubahan iklim sebagai prioritas yang mendesak, dengan melibatkan seluruh kementerian, pemerintah daerah, serta masayarakat umum baik perorangan ataupun organisasi non pemerintahan serta swasta. Pembangunan nasional yang adaptif adalah kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim pada ketahanan ekonomi dan ketahanan sistem hidup dengan kemandirian energi yang didukung dengan infrastruktur yang memadai salah satunya ketahanan energi listrik terbarukan (Bappenas, 2013).

Pemerintah Indonesia sendiri telah menyusun Rencana Kerja Nasional untuk Perubahan Iklim dan Respons Perencanaan Pembangunan Nasional terhadap Perubahan Iklim oleh Departemen Keuangan dan Bappenas dengan melakukkan penelitian dan integrasi perubahan iklim ke dalam kerangka perencanaan pembangunan jangka menengah. Pertumbuhan hijau dan bersifat inklusif dapat dilakukan dengan mengatasi kebutuhan energi secara berkelanjutan dengan mengelola sumber daya secara bertanggung jawab dan menciptakan mekanisme tata kelola pemerintah secara tepat (Indrawati, 2015).

Inovasi di Sektor Photovoltaik dan Dinamikanya

Salah satu keuntungan dari energi surya adalah ketersediaannya yang merata di seluruh dunia dan di Indonesia. Hal ini menyebabkan energi surya sangat sesuai tidak hanya di wilayah perkotaan tetapi juga di wilayah pedesaan dan daerah-derah terpencil bahkan di tengah laut sekalipun. Teknologi dari pembangkit listrik tenaga surya juga sudah sangat mapan, dan terus dikembangkan, sehingga harga energi listrik dari tenaga surya telah mencapai grid parity. Tahun 2012 Australia telah menyatakan bahwa harga listrikd ari PLTS telah mencapai grid parity,

sedangkan di Amerika Serikat tercapai di tahun 2015 seperti terlihat di gambar di bawah ini (Frontier, 2007).

Sumber : Frontier, 2007

Perkembangan Harga Grid dan Pembangkit Listrik Surya di Amerika Serikat

Indonesia memiliki banyak daerah terpencil yang sukar untuk dijangkau, dan miskin sumberdaya energi. Akibatnya untuk melakukan elektrifikasi akan mengalami kesulitan, dimana sumberdaya energi harus dibawa ke tempat terpencil tersbeut. Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan energi surya, dimana energi surya terdapat diseluruh wilayah Indonesia, bahkan potensinya dilaporkan oleh ESDM (2014) mencapai 112.000 GW dengan penyinaran sebesar 4,8 kWh/m2/hari. Oleh karena itu penggunaan listrik terutama di daerah terpincil sangat baik menggunakan energi surya, sedangkan daerah perkotaan masih belum dapat menyaingin harga listrik PLN yang disubsidi.

Namun selain keuntungan tersebit, terdapat kelemahan vital dari energi surya, yaitu sifatnya yang transien, dimana besar energi akan berubah-ubah sesuai dengan penyinaran matahari, jika terdapat awan akan menurun dan pada malam hari akan tidak mendapat energi sama sekali. Hal ini menyebabkan diperlukan sistem energi pendukung, berupa penyimpanan energi atau penggunaan energi hybrid.

Potensi inovasi yang terbesar adalah pada 2 bidang yaitu, efisiensi dari sel surya itu sendiri dan sistem penyimpanannya. Dewasa ini efisiensi tertinggi mencapai 44% (NREL 2013). Sedangkan sistem penyimpanan mulai digunakan baterai lithium pada aplikasi yang membutuhkan densitas energi tinggi dengan berat ringan, dan baterai nikel

– besi untuk aplikasi dengan umur yang panjang tetapi densitas energi rendah.

131

Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015

Implikasi Kebijakan

Dari Kebijakan Lingkungan ke Kebijakan Photovoltaik

Isu perubahan iklim dikemas di dalam beberapa kelembagaan antara lain, United Nations

framework Convention on Climate Change” yang kemudian diratifikasi menjadi Undang-undang RI No. 6 Year 1994, World Summit on Sustainable Development (WSSD) in Johannesburg 2002,

pembentukan dewan perubahan iklim nasional di tahun 2008, dan koordinasi nasional terkait ketahanan energi dan perwujudan ekonomi hijau tahun 2010.

Perubahan iklim dan perubahan kebijakan iklim telah banyak difokuskan pada sektor energi dan terkait pada kesiapan dalam beradaptasi pada perencanaan dan investasi sebagai strategi menjadikan udara yang bersih dengan mengantisipasiefek gas rumah kaca. Strategi yang dilakukan oleh negara maju seperti U.S. adalah dengan menggunakan transisi dari bahan bakar fosil seperti batu bara diganti dengan menggunakan bahan bakar yang terbarukan seperti angin, photovoltaic, geothermal, hydroelectric, dan bioenergy yang secara signifikan mendukung tercapainya pembangunan hijau yang ramah lingkungan (Beecher & Kalmbach, 2012). Dampak dari perubahan iklim dan kebijakan perubahan iklim dalam sektor energi lebih pada isu terkait dengan supply dan demand mengenai kebutuhan energi.

Perubahan iklim dan kebutuhan serta ketersediaan cadangan energi menjadi kausalitas yang tidak terlepas sebagai isu yang penting untuk dituntaskan setiap negara dengan kebijakan yang selaras dengan pembangunan dan penggunaan energi terbarukan yang ramah lingkungan (Beecher & Kalmbach, 2012).

Terbukti selama 20 tahun terakhir beberapa negara telah melakukan langkah besar dalam mengurangi intensitas energi dengan menggunakan teknologi efisiensi energi sebagaimana negara Tiongkok telah melakukannya dengan pertimbangan ekonomi dapat memiliki intensitas energi dua kali lebih besar dari pada Jepang. Di Indonesia telah membangun gedung zero net energy yang kebutuhan energinya berasal dari tenaga matahari yang dialirkan ke dalam jaringan untuk dipakai pihak lain (Indrawati, 2015). Adanya kemajuan teknologi yang pesat telah dapat menurunkan biaya energi terbarukan bagi tiap orang, sehingga memudahkan dalam melakukan investasi energi terbarukan. Sebagai contoh adalah turunnya harga per unit solar PV menjadi sepertiga dari harga pada tahun 2010 telah membantu menempatkan tenaga matahari pada harga yang bisa bersaing dengan energi tradisional (Indrawati, 2015). Sepanjang 2010-2012 ada kenaikan 4 persen secara global

dalam penggunaan energi terbarukan dengan Asia Timur pengguna 42 persen dari tiga perempat penyedia energi terbarukan dari tenaga angin, matahari, dan air.

Bank dunia menyediakan pinjaman sebesar 90 persen ditujukan untuk pembangkit listrik dari energi bersih yaitu gas alam, tenaga air, matahari, tenaga angin, dan panas bumi (Indrawati, 2015; World bank, 2014). Serta tidak memberikan bantuan pinjaman untuk pembangkit listrik tenaga batubara. Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan iklim yang dapat mendukung investasi lebih besar dalam bidang energi terbarukan. Salah satu tujuan kebijakan bank dunia dalam memberikan pinjaman pembangunan energi terbarukan adalah adanya kemiskinan energi yang menjadi perhatian dunia terutama bekerjasama dengan Sekertaris Jenderal PBB memimpin inisiatif Sustainable Energy fo All

yang berfokus pada tiga sasaran untuk memastikan akses universal layanan energi modern, melipatgandakan porsi energi terbarukan dalam bauran energi global, dan melipatgandakan peningkatan efisiensi energi (Indrawati, 2015) Pembangunan energi bersih bertujuan untuk meminimalkan dampak buruk dari polusi dan perubahan iklim demi kelangsungan masa depan (Indrawati, 2015; Soebagio, 2012; World Bank, 2014).

Saat ini energi matahari (solar cell)

diarahkan pada program kemandirian energi. Tantangannya dalam beradaptasi terhadap perubahan lingkungan adalah perencanaan dan pembangunan yang ramah lingkungan salah satunya adalah penggunaan energi terbarukan, meningkatkan wilayah penyerapan dengan penanaman hutan kembali, dan penanaman hutan mangrove (UNDP Indoensia, 2014). Tantangan bagi energi terbarukan adalah ketersediaan listrik yang tidak konsisten, seperti tenaga matahari hanya bisa dihasilkan pada siang hari, tenaga angin memiliki intensitas bervariasi tergantung pada pola cuaca/iklim yang berbeda (Indrawati, 2015). Hal tersebut menjadi salah satu sebab energi terbarukan sulit untuk diintegrasikan ke dalam jaringan.

Kebijakan Inovasi dan Dua Isu Pencetusnya

Keberhasilan untuk penerapan dari PLTS di Indonesia untuk elektrifikasi terutama di daerah terpencil pada dasarnya tergantung pada tiga elemen, yaitu elemen regulasi, ekonomi dan soft instrument. Elemen-elemen tersbeut dapat dielaborasi sebagai berikut :

Regulasi : terkait penekanan polusi, penggunaan

energi ramah lingkungan, menggiatkan industri pv, dukungan bagi pembangunan infrastruktur industri PV dan komponennya, menghidupkan riset-riset

132

Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015

perubahan iklim dan pv serta keterkaitan antara keduanya

Ekonomi : keringanan pajak, insentif ekonomi/

finansial untuk kegiatan R&D, modal usaha bagi aktivitas perekonomian yang mengarah pada studi perubahan iklim dan penciptaan PV serta industrinya. Pajak minimal bagi industri PV.

Soft instrument : membuat standardisasi bahwa produk PV dan industrinya harus ramah lingkungan,

mengkondisikan agar perilaku dan

lingkungan/ekosistem sesuai antara perubahan iklim dan PV. Perjanjian/kerjasama antara pelaku swasta, pengguna energi, dan masyarakat agar menggunakan PV sebagai energi alternatif. Memperhatikan norma/nilai dalam mewujudkan isu PV dan perubahan iklim.

Ketiga instumen di atas akan memicu tumbuhnya industri ketenaga suryaan, baik dari industri perangkat tenaga surya maupun industri pembagkit tenaga surya itu sendiri. Hingga saat ini, berbagai isu perubahan iklim masih belum mampu menjadi penggerak utama pemanfaatan sel surya sebagai energi listrik yang ramah lingkungan di Indonesia. Paling tidak ada tiga hal mengapa perubahan iklim belum memprioritaskan sel surya sebagai energi alternatif di Indonesia. Pertama,

photovoltaic hanya sebagai proyek dari pemerintah yang dilakukan secara insidental. Artinya, pengadaan photovoltaic baik dalam bentuk SHS maupun pendirian PLTS menunggu dari kucuran dana dari pemerintah. Proyek tersebut hanya mengandalkan proyek dari pemerintah, terutama dari anggaran Kementerian ESDM dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (Asep, 2012), mengingat investasi ini masih tergolong mahal dan tidak kompetitif dengan energi fossil yaitu batu bara dan minyak bumi (Sumiarso, 2010).

Pemerintah Indonesia belum menunjukkan dukungan politiknya dalam bentuk pendirian industri sel surya. Bahkan pemanfaatan produksi industri modul surya nasional masih sekitar 20% atau sekitar 2 megawatt modul surya per perusahaan tiap tahun. Sebagian besar modul surya diimpor dari China yang menguasai pasar domestik sekitar 85% (Sopandi, 2012).

Dalam dokumen k7KqcIv6saiH8Ifu prosiding forum iptekin 2015 (Halaman 143-146)

Dokumen terkait