• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

Dalam dokumen k7KqcIv6saiH8Ifu prosiding forum iptekin 2015 (Halaman 107-110)

Agus Fanar Syukri, Jimmy Abdel Kadar, Amelia Febri Ariani, Rahmi Kartika Jati Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ;

LANDASAN TEORI

Sistem Manajemen Mutu (SMM)

Menurut Dharma (2007) SMM merupakan

sekumpulan prosedur yang terdokumentasi untuk

manajemen sistem yang bertujuan untuk

memastikan kesesuaian dari suatu proses dan produk berupa barang ataupun jasa terhadap persyaratan tertentu. SMM dibutuhkan untuk meyakinkan bahwa produk (barang/jasa) yang dihasilkan oleh organisasi memiliki kualitas sesuai dengan yang direncanakan. Pendekatan ini juga memberikan kemudahan bagi organisasi untuk merancang sistem yang membantu proses organisasi yang sesuai dengan kebutuhan dan tujuan dari

penciptaan produk, baik berupa barang ataupun jasa (Djatmiko & Jumaedi, 2011).

ISO 9001 menyediakan kerangka kerja bagi organisasi dan juga seperangkat prinsip-prinsip dasar dengan pendekatan manajemen yang dirancang untuk mengatur aktivitas organisasi, sehingga tercipta konsistensi untuk mencapai tujuan (Tjiptono & Diana, 2003).

ISO 9001:2008

ISO 9001:2008 (BSN, 2008) adalah standar mutakhir tentang SMM di mana organisasi yang memakainya dituntut memiliki kemampuan untuk memenuhi persyaratan pelanggan, peraturan dan perundang-undangan, sekaligus bertujuan untuk meningkatkan kepuasan pelanggan. Standar ISO 9001 merupakan standar internasional yang diakui untuk sertifikasi SMM, yang menjadi acuan untuk menilai praktik manajemen mutu suatu organisasi, yaitu kemampuan organisasi dalam melakukan proses desain, produksi dan pengantaran (delivery) produk ataupun jasa yang bermutu kepada pelanggan (customer).

Seiring berjalannya waktu, jumlah organisasi yang menggunakan ISO 9001 sebagai standar bagi manajemen mutu organisasi semakin meningkat. Hal ini juga membuktikan bahwa ada manfaat/keuntungan yang didapatkan organisasi dengan penerapan standar tersebut (Djatmiko & Jumaedi, 2011).

Manajemen Riset di Institusi Penelitian

Kegiatan riset yang berupa penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadi bagian yang penting dalam hal inovasi, kemajuan ekonomi, dan menghadapi permasalahan sosial (Mulyanto, 2014). Peran riset tersebut harus diimbangi dengan manajemen yang baik, karena manajemen berpengaruh terhadap kinerja sebuah organisasi (Beerkens, 2013), termasuk dalam hal produktivitas, efisiensi serta pemanfaatan hasil riset oleh masyarakat (Zulfah, 2010). Zulfah (2010) juga menyebutkan bahwa faktor terpenting keberhasilan sebuah manajemen organisasi adalah komitmen manajemen dan partisipasi personil.

Beerkens (2013) setelah melakukan penelitian terhadap efek penerapan manajemen terhadap produktivitas riset di beberapa universitas di Australia, menyatakan bahwa manajemen riset di universitas saat ini semakin profesional, di mana universitas mengubah struktur organisasi mereka dengan menunjuk staf eselon akademik dan administrasi yang bertanggung jawab penuh untuk mengawasi aktivitas penelitian. Dari hasil penelitian dapat diketahui penerapan manajemen memiliki beberapa efek positif terhadap produktivitas

94

Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015

penelitian. Keberhasilan penerapan tersebut dilakukan dengan berfokus pada keahlian, dukungan, dan insentif terhadap individu dan fakultas yang terlibat dalam penelitian. Manajemen riset yang baik akan membuat suasana lingkungan penelitian yang mendukung peningkatan produktivitas para peneliti.

Penelitian terhadap produktivitas penelitian telah dilakukan terhadap institusi penelitian yang dimiliki oleh pemerintahan Indonesia. Produktivitas diukur berdasarkan dua faktor pengukuran, yaitu produktivitas publikasi yang didasarkan pada karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal maupun prosiding ilmiah internasional, serta produktivitas teknologi yang berdasarkan pada produk atau layanan teknologi baru yang diberikan oleh institusi penelitian (Mulyanto, 2014).

Implementasi SMM dan Permasalahannya

SMM merupakan sebuah sistem yang mencakup proses bisnis, prosedur, dan interaksi manusia di dalamnya yang senantiasa berorientasi pada peningkatan mutu (To et al, 2011). Permasalahan mengenai efektivitas penerapan SMM organisasi terkait erat dengan pengetahuan yang dimiliki oleh sumber daya manusia di dalamnya mengenai sistem mutu itu sendiri (Dharma, 2007). Akan timbul permasalahan yang pelik jika karyawan sebagai pelaksana SMM di lapangan yang memiliki andil dalam melaksanakan fungsi operasional organisasi menganggap bahwa pemenuhan persyaratan seperti yang diminta ISO 9001 tersebut merupakan beban yang memberatkan, bukan dipandang atau diyakini sebagai cara atau kiat yang memberinya kemudahan dalam mengerjakan tugas-tugas mereka.

Kujalla & Lilirank (2004) dan Goestch & Davis (2010) menyatakan bahwa keberhasilan praktek penerapan SMM ditentukan oleh faktor budaya. Organisasi yang memiliki budaya mutulah yang akhirnya mampu menjalankan SMM secara optimal untuk meningkatkan mutu produk yang dihasilkan organisasi. Keterkaitan tersebut diperkuat oleh Wu & Zhang (2011), bahwa budaya mutu di organisasi harus melebur dalam praktek penerapan SMM yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas produk/jasa organisasi.

Permasalahan penerapan SMM dalam suatu organisasi dimulai sejak persiapan implementasi, dan tidak berhenti sampai memperoleh sertifikasi ISO 9001 semata, tetapi masih ada perjuangan lainnya yang tidak pernah berhenti yaitu bagaimana memelihara SMM dan meningkatkan secara berkelanjutan (continual improvement), sehingga menjadi sebuah sistem efektif yang mampu mendukung organisasi dalam meningkatkan mutunya, memenuhi persyaratan pelanggan

organisasi dan memuaskan mereka. Tetapi ada catatan bahwa SMM tidak selalu menciptakan hasil yang diinginkan oleh manajemen organisasi, dikarenakan adanya proses penerapan yang tidak/kurang efektif dalam organisasi (Kim, 2011).

Ada beberapa metode pengukuran kesiapan organisasi dalam menerapkan SMM berbasis ISO 9001, antara lain delapan prinsip manajemen mutu (Syukri, 2011), atau Total Quality Person (TQP)

(Syukri, 2014), atau dengan instrumen pengukuran iklim organisasi (organizational climate) (Syukri, 2015).

Permasalahan yang relatif sering muncul pasca implementasi ISO 9001 (Tanudjaja, 2004) antara lain:

1. Penerapan hanya dipersepsikan untuk memenuhi persyaratan administratif; 2. Menjalankan SMM tanpa membangun

budaya mutu; 3. Masalah komunikasi;

4. Aspek sumber daya manusia;

5. Program apresiasi tidak dilaksanakan; 6. Krisis kepemimpinan dalam menjalankan

sistem; dan

7. Implementasi hanya dianggap tanggung jawab Wakil Manajemen.

Masalah yang telah diutarakan umum terjadi pada organisasi yang berkomitmen awal yang lemah, dan pemahaman sivitas dalam budaya mutu kurang.

Koordinasi dalam suatu organisasi menjadi penting pada saat koordinasi tersebut dituangkan dalam panduan mutu. Pembagian fungsi antar bidang/bagian atau unit/divisi menjadi menentukan peran bagian tersebut. Peralihan tangung jawab pada unit layanan akan menentukan kepuasan pelanggan. Sehingga penerapannya dituntut untuk melakukan perbaikan-perbaikan di semua lini secara bertahap sesuai dengan konsep PDCA (Plan

Do Check Act).

Permasalahan lainnya yang sering muncul adalah kurangnya keterlibatan karyawan dalam menjalankan sistem mutu. Tidak sedikit manajemen tingkat menengah kurang tanggap akan dinamika bawahannya, serta minimnya pemahaman akan penghargaan pada karyawan tingkat bawah, terhadap prestasi keseharian dalam menjalankan SMM.

Pada tahun awal penerapan SMM merupakan tahun transisi dengan mengubah kebiasan yang sudah dilakukan bertahun-tahun dan tidaklah mudah. Komunikasi yang efektif merupakan langkah awal dalam penyelesaian masalah dan penghargaan dapat dilaksanakan sebagai motivasi untuk perbaikan yang sudah dilakukan. Faktor kedua adalah kurangnya

95

Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015

komitmen dari karyawan itu sendiri (Gaspersz, 2011).

Sisi lainya pemahaman sivitas akan panduan mutu terhadap pelaksanaan di lapangan. Sivitas dengan tanggung jawab unit layanan yang terlibat langsung dengan pelanggan pada saat bertambahnya layanan yang melebihi dari ketentuan, diperlukan keterlibatan manajemen dan keputusan dari Manajemen Puncak.

Pentingnya sosialisasi dan komunikasi yang fleksible antar bidang/bagian atau unit/divisi, dengan pemahaman mengubah perilaku karyawan tidak mudah dan perlu konsisten akan aturan yang telah disepakati. Komunikasi antara karyawan senior dan junior sangat diperlukan, komunikasi yang tepat akan mempermudah jalannya SMM yang diinginkan oleh seluruh sivitas.

Kunci sukses implementasi SMM

Dalam penelitiannya Asa dkk (2008) menyatakan bahwa faktor-faktor kritis keberhasilan

(Critical Success Factors) yang penting untuk diperhatikan dalam implementasi standar ISO 9000 adalah sebagai berikut:

1. Mendapatkan dukungan dan komitmen dari managemen puncak

2. Mendapatkan dukungan dan komitmen dari managemen menengah

3. Mendapatkan dukungan dan komitmen dari karyawan

4. Ketepatan dokumentasi proses

5. Pengertian terhadap sistem manajemen mutu 6. Komunikasi yang baik antara manajemen dan

karyawan

7. Adanya waktu tambahan untuk pelatihan dan pertemuan

8. Tercapainya penghematan biaya

Faktor sukses tertinggi adalah dukungan dan komitmen dari managemen puncak. Peran managemen puncak sangat berkorelasi dengan kesuksesan penerapan SMM.

Kaziliunas (2010, 2012) menyatakan bahwa sertifikasi ISO 9000 dapat mendatangkan keuntungan bisnis, tetapi manager dari organisasi harus berhati-hati dalam mendesain strategi dalam mengimplementasikan SMM berbasi ISO 9001. Hal ini bertujuan untuk menyejajarkan program mutu dengan goal jangka panjang organisasi. Faktor kritis dalam hal ini adalah komitmen manajemen puncak untuk memprioritaskan alokasi sumber daya dalam mendesain dan mengimplementasikan SMM berbasis ISO 9001 tersebut.

Selain hal yang telah disebutkan di atas, faktor ketergantungan yang kuat antara motivasi sertifikasi perusahaan dengan hasil yang akan dicapai, juga menjadi salah satu faktor kesuksesan

implementasi SMM berbasis ISO 9001. Sertifikasi ISO 9001 digunakan sebagai alat marketing, sementara tekanan dari pelanggan juga dapat berperan menjadi salah satu motivasi inti. Alasan utama untuk sertifikasi lebih baik tumbuh dari motivasi internal organisasi, bukan hanya benefit yang akan didapat dari pelanggan, sehingga organisasi harus memperhatikan perubahan lingkungan bisnis, baik internal maupun eksternal.

Pasca-sertifikasi hal yang sangat penting yang harus menjadi perhatian organisasi agar SMM berjalan baik adalah faktor perbaikan terus-menerus, perbaikan berkesinambungan pada proses, SDM dan sistem, termasuk sistem reward kepada karyawan, kerja sama tim, pengukuran kinerja dan komunikasi.

Auditor mutu dalam posisi yang kuat untuk dapat berperan meningkatkan nilai dari sertifikasi SMM yang telah diperoleh organisasi. Audit sertifikasi pun dapat membantu meningkatkan SMM dan dapat pula meningkatkan motivasi untuk bekerja dengan lebih berkualitas.

Cianfrani et all (2009) menyatakan dalam bukunya, bahwa faktor kunci sukses (key success factor) dalam implementasi SMM berbasi ISO 9001:2008 adalah :

1. Pemahaman SMM yang baik oleh seluruh karyawan organisasi dapat meningkatkan kinerja organisasi dan kepuasan pelanggan; 2. Keterlibatan manajemen puncak sebagai

manajer maupun leader dalam operasional dan implementasi SMM;

3. Mencapai dan menjaga pemahaman yang jelas mengapa organisasi perlu

mengimplementasikan SMM berbasis ISO 9001:2008;

4. Membangun prinsip-prinsip dan nilai-nilai organisasi;

5. Menyelaraskan seluruh tujuan bisnis dan tujuan mutu;

6. Merencanakan proses implementasi SMM; 7. Mengidentifikasi proses penting dan

pengontrolannya, di mana berkaitan dengan pemastian kesesuaian produk/jasa dengan pelanggan dan persyaratan lainnya; 8. Fokus pada tindakan perbaikan dan

peningkatan berkesinambungan; 9. Menjaga proses, dokumentasi dan

keseluruhan SMM sesederhana dan semudah mungkin;

10. Audit selama dan setelah implementasi; dan 11. Melaksanakan kaji ulang manajemen.

96

Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam dokumen k7KqcIv6saiH8Ifu prosiding forum iptekin 2015 (Halaman 107-110)

Dokumen terkait