• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seseorang yang telah memasuki usia lanjut pada umumnya mulai menghadapi kondisi fisik yang sifatnya patologis berganda (multiple pathology), misalnya tenaga berkurang gigi tanggal, tulang makin rapuh, dll. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik maupun sosial yang selanjutnya akan menyebabkan ketergantungan pada orang lain.

Aktivitas fisik buruk yang dimiliki oleh lansia sebesar 17.5 persen dari lansia yang tinggal di panti, lansia yang berada di masyarakat 25.9 persen. Aktivitas fisik baik yang dimiliki lansia yang berada di panti werdha sebesar 82.5 persen, yang berada di masyarakat sebesar 74.1 persen. Sebaran aktivitas fisik contoh dapat dilihat pada Gambar 13. 17.5 25.9 82.5 74.1 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 persentase Buruk Baik Panti Masyarakat

Gambar 13. Diagram batang sebaran aktivitas fisik lansia menurut tempat tinggal ( panti dan masyarakat)

Berdasarkan hasil uji beda dengan Chi-Square didapat hasil bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara aktivitas fisik lansia yang berada di panti dan di masyarakat p = .179 (p>0.05). Secara umum lansia masih memiliki aktivitas fisik yang baik. Mereka masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa dibantu seperti: mandi, berpakaian, menyisir rambut, makan, berjalan dan sebagainya.

Aktivitas fisik lansia di masyarakat berdasarkan posisi lansia dalam keluarga

Analisis aktivitas fisik lansia berdasarkan tempat tinggal dan posisi lansia dalam keluarga (lansia di panti, di masyarakat dalam rumah tangga lansia dan rumah tangga muda). Lansia yang berada dalam rumah tangga lansia dimaksudkan bahwa lansia bertindak sebagai kepala keluarga, sedangkan dalam rumah tangga muda berarti lansia ikut dengan anak dan menjadi tanggungan rumah tangga muda.

Aktivitas fisik yang buruk pada lans ia yang berada di panti sebesar 17.5 persen, 26.4 persen pada rumah tangga lansia dan 25.3 persen pada rumah tangga muda. Aktivitas fisik baik yang dimiliki lansia yang berada di panti werdha sebesar 82.5 persen, dalam rumah tangga lansia sebesar 73.6 persen, dan yang berada dalam rumah tangga muda sebesar 74.7 persen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 14.

82.5 73.6 74.7 17.5 26.4 25.3 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 persentase baik buruk Panti RTL RTM

Gambar 14. Diagram batang sebaran aktifitas fisik lansia berdasarkan tempat tinggaldan posisi lansia dalam keluarga

Berdasarkan hasil uji beda aktivitas fisik lansia dengan menggunakan Chi-Square menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan antara lansia yang berada di panti, dalam rumah tangga lansia dan dalam rumah tangga muda p=.523 (p>0.05). Secara umum mereka masih memiliki aktivitas fisik yang baik, kecuali pada lansia yang memiliki penyakit tertentu seperti stroke. Sebagian besar lansia masih mampu melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah dan sebagainya.

b. Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan lingkungan (Notoatmojo, 1997). Perilaku kesehatan dari

lansia yang berada di panti sebagian besar termasuk kategori baik, yaitu sebesar 75 persen dan yang berperilaku kurang sebesar 25 persen. Lansia yang berada di masyarakat dengan perilaku kesehatan yang baik sebesar 66 persen dan yang kurang sebesar 34 persen (lihat gambar 17). Pada umumnya lansia sudah memahami bagaimana menjaga kesehatan dirinya dengan melakukan hal-hal yang baik seperti menjaga kebersihan diri, tidak merokok dan mengonsumsi alkohol, mengonsumsi suplemen, melakukan olah raga serta aktifitas sehari- hari dan melaksanakan ibadah.

Beribadah (melaksanakan ibadah) menunjukkan bahwa lansia pada umumnya memiliki jiwa religius, mereka mempercayai adanya Tuhan YME serta adanya hari akhir. Hal inilah yang membedakan antara lansia di Indonesia dengan di negara lain seperti Jepang dan Amerika. Kondisi demikian dapat berpengaruh terhadap tingkat kepuasan dan depresi pada lansia.

75 66 25 34 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Persentase Baik Kurang Panti Masyarakat

Gambar 15. Diagram batang sebaran perilaku kesehatan lansia berdasarkan tempat tinggal (panti dan masyarakat).

Berdasarkan hasil uji beda dengan Chi-Square, didapat bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara perilaku kesehatan lansia yang berada di panti maupun di masyarakat p=.194 (p>0.05). Sebagian besar lansia memiliki perilaku kesehatan yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa umumnya lansia sudah memahami pentingnya kesehatan dan bagaimana berperilaku yang baik untuk menjaga kesehatan.

c. Konsumsi

Asupan gizi merupakan salah satu faktor penting dalam menjaga kesehatan fisik lansia. Analisis rata-rata konsumsi pangan lansia berdasarkan tempat tinggal panti dan masyarakat:

Rata-rata konsumsi energi pada lansia yang berada di panti dan di masyarakat berturut-turut adalah 1530 Kkal dan 1554 Kkal, protein 41.6 g dan 48.6 g, vitamin A 384.99 µgRE dan 361.86 µgRE , vitamin B 1.8 mg dan 1.51 mg, vitamin C 38.26 mg dan 54.88 mg, 378.30 mg dan 426.07 mg, phospor 528.28 mg dan 598.82 mg, besi (Fe) 11.46 mg dan 12.42 mg (lihat Tabel 27).

Berdasarkan hasil uji beda dengan menggunakan oneway ANOVA antara rata-rata konsumsi lansia yang berada di panti dan di masyarakat didapat hasil:

1. Terdapat perbedaan signifikan pada rata-rata konsumsi protein p= 0.011 (p<0.05) dan vitamin C p=0.014 (p<0.05) antara lansia yang berada di panti dan di masyarakat.

2. Tidak terdapat perbedaan signifikan pada rata-rata konsumsi energi p= 0.747 (p>0.05), vitamin A p=0.498 (p>0.05), vitamin B p=0.122 (p>0.05), kalsium

p=0.310 (p>0.05), phospor p=0.202 (p>0.05) dan besi p=0.375 (p>0.05) antara lansia yang berada di panti dan di masyarakat.

Tabel 27. Sebaran rata-rata konsumsi lansia berdasarkan tempat tinggal (Panti dan Masyarakat)

Konsumsi Panti Masyarakat Total

Energi (Kkl) 1530 1554 1579 Protein (g) 41.6 48.6 47.03 Vitamin A (µgRE) 384.99 361.86 385.64 Vitamin B (mg) 1.81 1.51 1.63 Vitamin C (mg) 38.26 54.88 53.25 Kalsium (mg) 378.30 426.07 413.46 Phospor 528.28 598.82 592.36 Besi (mg) 11.46 12.42 12.38

Berdasarkan hasil pengamatan, menu yang ada di panti sudah termasuk kategori menu sehat seimbang, juga memiliki variasi yang baik. Pada panti Sukma Raharja, penyusunan menu mendapat bantuan dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. Namun asupan protein dan vitamin C pada lansia di masyarakat lebih tinggi karena konsumsi bahan makanan sumber protein dan buah lebih beragam dan jumlahnya lebih banyak.sedangkan lansia di panti konsumsi buah dan sayur sudah dijatah oleh pengurus.

Rata-rata persentase kecukupan konsumsi energi pada lansia yang berada di panti dan di masyarakat berturut-turut adalah : 91 persen dan 78.75 persen. Rata-rata persentase kecukupan konsumsi protein dari lansia yang berada di panti dan di masyarakat berturut-turut adalah : 91.89 persen dan 97.48 persen. Rata-rata persentase kecukupan konsumsi Vitamin A dari lansia yang berada di panti dan di masyarakat berturut-turut adalah : 77.27 persen dan 81.37 persen . Rata-rata persentase kecukupan konsumsi vitamin B pada lansia yang berada di panti dan di masyarakat berturut-turut adalah : 205.08 persen dan 149.78 persen. Rata-rata persentase kecukupan konsumsi vitamin C pada lansia yang berada di panti dan di masyarakat berturut-turut adalah : 77.27 persen dan 90.29 persen. Rata-rata persentase kecukupan konsumsi kalsium pada lansia yang berada di panti dan di masyarakat berturut-turut adalah : 89.79 persen dan 84.98 persen. Rata-rata kecukupan konsumsi phospor pada lansia yang berada di panti dan di masyarakat berturut-turut adalah : 134.25 persen dan 126.96. Rata-rata kecukupan konsumsi Besi pada lansia yang berada di panti dan di masya rakat berturut-turut adalah : 82.01 persen dan 98.55 persen (lihat Tabel 28).

Hasil uji beda dengan menggunakan oneway ANOVA, menunjukkan hasil bahwa perbedaan signifikan persentase kecukupan konsumsi antara panti dengan masyarakat hanya terdapat pada persentase kecukupan konsumsi vitamin C p=0.022, selebihnya tidak terdapat perbedaan signifikan. Hal ini dapat terjadi karena konsumsi buah pada lansia yang tinggal di panti hanya sebatas pada jatah yang telah ditetapkan pengurus, sedangkan lansia di masyarakat lebih beragam jumlahnya, terutama bagi

lansia yang tergolong mampu secara ekonomi atau yang mendapat dukungan finansial yang baik dari keluarganya.

Tabel 28. Sebaran rata-rata persentase kecukupan konsumsi lansia berdasarkan tempat tinggal (panti dan masyarakat)

d. Status Gizi

Secara antropometri, status gizi ditentukan berdasarkan Indeks Masa Tubuh (IMT) dengan rumus sebagai berikut: berat badan dibagi tinggi badan kuadrat dalam meter BB (kg)__

TB2 (m)

Berdasarkan rumus tersebut, maka IMT lansia dalam penelitian ini dikategorikan menjadi tiga yaitu : 1. Kurus <17.5- 18.5

2. Normal >18.6 – 25.0

Konsumsi Panti (%) Masyarakat (%) Total

Energi (Kkl) 91 78.75 83 Protein (g) 91.89 97.98 97.79 Vitamin A (µgRE) 77.27 81.37 81.77 Vitamin B (mg) 205.08 149.78 163.16 Vitamin C (mg) 77.84 90.29 87.45 Kalsium (mg) 89.79 84.98 89.20 Phospor 134.25 126.96 133.51 Besi (mg) 82.10 98.55 95.21

3. Gemuk >25.0

Berdasarkan data yang diperoleh, maka sebaran IMT lansia di panti dan di masyarakat dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 29. Sebaran IMT lansia berdasarkan tempat tinggal (panti dan masyarakat)

IMT Panti n % Masyarakat n % Total n % Kurus 7 3.1 15 6.5 22 9.6 Normal 12 5.2 85 36.9 97 42.2 Gemuk 17 7.4 94 40.9 111 48.2 Total 36 15.6 194 84.3 230 100

Hasil uji beda rata-rata dengan menggunakan Chi-Square menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan antara IMT lansia yang berada di panti dengan di masyarakat p=0.157 (p>0.05).

Kondisi demikian sangat sesuai bila ditinjau dari data konsumsi lansia, pada umumnya lansia memiliki konsumsi makanan yang baik yaitu dengan persentase kecukupan di atas 80 persen, kecuali pada konsumsi vitamin A dan vitamin C bagi lansia yang berada di panti yaitu hanya 77.27 persen dan 77.84 persen sementara altifitas fisik yang dilakukan lansia tidaklah berat sehingga perbandingan antara pemasukan dan pengeluaran energi tidak berbeda jauh dengan kata lain asupan kalori sesuai dengan kebutuhan lansia.

Pada penelitian ini, tinggi badan lansia diukur dengan mengunakan dua cara yaitu dengan mengukur tinggi badan lansia secara langsung dan melalui pengukuran panjang tungkai. Dengan demikian maka didapatkan persamaan regresi sebagai berikut:

- Laki-laki = y = 39.182 + (2,756 x Panjang Tungkai ) – (0.208x Umur)

(- Jika panjang tungkai naik 1 cm, maka tinggi badan naik sebesar 2,756 cm pada umur yang sama. Jika umur naik 1 tahun maka tinggi badan menurun 0.208 cm pada panjang tungkai yang dianggap tetap)

- Perempuan = y = 58.749 + (2,111 x Panjang Tungkai) – (0.100 x Umur)

(Jika panjang tungkai naik 1 cm, maka tinggi badan naik sebesar 2,111 cm pada umur yang sama. Jika usia naik 1 tahun maka tinggi badan menurun 0.100 pada panjang tungkai dianggap tetap).

Bila dibandingkan dengan persamaan dalam estimasi tinggi badan melalui panjang tungkai di negara Inggris (Webb,G.P and Copeman, 1996 ) terdapat perbedaan yaitu:

- Laki- laki = y = 64.19 + (2.03 x panjang tungkai) – (0.04xumur) - Perempuan = y = 84.88 + (1.83 x panjang tungkai) – (0.24x umur)

Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan postur kerangka berdasarkan ras. Dengan demikian membuktikan bahwa panjang tungkai tidak dipengaruhi oleh umur, sehingga dapat dijadikan sebagai pendekatan yang baik dan stabil untuk pengukuran tinggi badan lansia yang terkadang sudah mulai bungkuk karena mengalami osteoporosis, atau lansia yang lumpuh sehingga tidak lagi dapat berdiri.

Lansia yang menjadi contoh pada penelitian ini secara umum masih memiliki tubuh yang tegak dan tidak bungkuk, hanya beberapa orang lansia yang berada di panti dan masyarakat yang sudah mulai bungkuk.

Adapun korelasi antara pengukuran tinggi badan dengan menggunakan tinggi badan sebenarnya dan pendekatan panjang tungkai pada laki-laki didapatkan hasil sebesar r = 0.889 (p=0.000) , sedangkan pada perempuan sebesar r = 0.779 (p=0.000) maka tampak adanya hubungan yang erat antara kedua pengukuran tersebut. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Marhamah (2005) pada lansia di Depok, yang menyatakan perbedaan antara pengukuran tinggi badan dengan menggunakan tinggi badan yang sesungguhnya dengan pendekatan panjang tungkai adalah sangat kecil. Demikian juga dengan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa negara lain.

Koefisien determinasi (R2) antara umur dan panjang tungkai terhadap tinggi badan pada laki- laki sebesar R2 = 0.761, sedangkan pada perempuan R2 = 0.607, hal ini menunjukkan bahwa keragaman dari tinggi badan mampu diterangkan oleh panjang tungkai dan umur sebesar 76.1 persen pada laki laki dan 60.7 persen pada perempuan.

Korelasi antara IMT yang diukur dengan menggunakan tinggi badan sebenarnya dengan tinggi badan dengan menggunakan pendekatan panjang tungkai pada laki- laki maka didapatkan hasil sebesar r = 0.939 (p=0.000) signifikansi pada tingkat kepercayaan 1 %, sedangkan pada perempuan sebesar r = 0.977 (p = 0.000) signifikansi pada taraf kepercayaan 1% . Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengukuran IMT dengan menggunakan pendekatan tinggi badan yang sesungguhnya

dengan panjang tungkai memiliki korelasi yang kuat dengan kata lain kedua pendekatan dapat digunakan sebagai pengukuran yang baik untuk mendapatkan data IMT pada lansia.

Dari data-data kondisi fisik yang didapat berdasarkan keberadaan lansia di panti dan di masyarakat, tampak banyak persamaan kondisi antara lansia yang berada di panti dan di masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya panti merupakan salah satu alternatif tempat tinggal yang layak bagi lansia yang tidak memiliki keluarga atau memiliki keluarga yang kurang mampu untuk merawat lansia.

PEMBAHASAN UM UM

Keadaan lansia di tiga kelurahan yang berbeda karakteristiknya serta dua panti werdha menunjukkan banyaknya persamaan baik kondisi psikososial maupun kondisi fisik. Berdasarkan kondisi depresi menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara tingkat depresi lansia yang berada di panti dan di masyarakat p=.116 (p>0.05). Lansia di panti meski kurang bahkan ada yang tidak mendapatkan dukungan sosial dari keluarganya namun kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi dari dukungan sosial dari masyarakat dan pemerintah, sehingga tampak tidak ada perbedaan tingkat depresi antara lansia di kedua tempat. Pada umumnya lansia di panti tidak memiliki keluarga atau memiliki keluarga namun tidak sanggup merawat lansia karena faktor ekonomi.

Demikian juga dengan hasil analisis dari ketiga kelompok lansia yang berbeda yaitu lansia yang berada di panti, lansia dalam rumah tangga lansia dan lansia dalam keluarga muda (ikut dengan anak) menunjukkan hasil yang tidak signifikan p=.195 (p>0.05). Maka dapat diambil kesimpulan bahwa lansia di ketiga kelompok memiliki kondisi mental yang sama.

Pada tingkat kepuasan hidup, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan pada tingkat kepuasan antara lansia yang berada di panti dan di masyarakat p=0.148 (p>0.05). Hal itu disebabkan oleh terpenuhinya seluruh kebutuhan hidup baik pada lansia yang berada di panti maupun masyarakat.

Analisis tingkat kepuasan lansia berdasarkan tempat tinggal dan posisi dalam keluarga menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan p=0.127 (p>0.05). Ketiga

kelompok lansia memiliki kepuasan yang sama dengan adanya dukungan sosial yang mereka miliki baik dari keluarga, masyarakat dan pemerintah.

Hasil analisis dari faktor- faktor yang kemungkinan dapat berpengaruh terhadap kepuasan hidup adalah sebaga i berikut: Aktivitas fisik tidak memberikan pengaruh terhadap tingkat kepuasan p=0.909 (p>0.05), peer group tidak memberikan pengaruh signifikan p=0.05 (p>0.05), yang berpengaruh secara signifikan adalah

spiritual awareness, dalam hal ini dilihat dari aktivitasnya dalam beribadah p=0.007 (p<0.05).

Temuan hasil penelitian aspek psikososial lansia menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan depresi dan kepuasan hidup lansia yang berada di panti dan di masyarakat, sementara untuk aspek fisik adalah sebagai berikut:

Tidak terdapat perbedaan signifikan antara aktivitas fisik lansia yang berada di panti dan di masyarakat p = .179 (p>0.05). Secara umum lansia masih memiliki kemampuan fisik yang baik. Mereka masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa dibantu seperti: mandi, berpakaian, menyisir rambut, makan, berjalan dan sebagainya, demikian juga halnya dengan lansia yang berada di panti, dalam rumah tangga lansia dan dalam rumah tangga muda p=.523 (p>0.05). Secara umum mereka masih memiliki kemampuan fisik yang baik, kecuali pada lansia yang memiliki penyakit tertentu seperti stroke. Sebagian besar lansia masih mampu melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah dan sebagainya.

Tidak ada perbedaan signifikan antara perilaku kesehatan lansia yang berada di panti maupun di masyarakat p=.194 (p>0.05). Sebagian besar lansia memiliki perilaku kesehatan yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa umumnya lansia sudah memahami pentingnya kesehatan dan bagaimana perilaku yang baik untuk menjaga kesehatan.

Asupan gizi merupakan salah satu faktor penting dalam menjaga kesehatan fisik lansia. Analisis rata-rata konsumsi pangan lansia berdasarkan tempat tinggal panti dan masyarakat menunjukkan:

1. Terdapat perbedaan signifikan pada rata-rata konsumsi protein p= 0.011 (p<0.05) dan vitamin C p=0.014 (p<0.05) antara lansia yang berada di panti dan di masyarakat.

2. Tidak terdapat perbedaan signifikan pada rata-rata konsumsi energi p= 0.747 (p>0.05), vitamin A p=0.498 (p>0.05), vitamin B p=0.122 (p>0.05), kalsium p=0.310 (p>0.05), phospor p=0.202 (p>0.05) dan besi p=0.375 (p>0.05) antara lansia yang berada di panti dan di masyarakat.

Menu yang ada di panti sudah termasuk kategori menu sehat seimbang, juga

memiliki variasi yang baik. Pada panti Sukma Raharja, penyusunan menu mendapat bantuan dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. Namun asupan protein dan vitamin C pada lansia di masyarakat lebih tinggi karena konsumsi bahan makanan sumber protein dan buah lebih beragam dan jumlahnya lebih banyak.sedangkan lansia di panti konsumsi buah dan sayur sudah dijatah oleh pengurus.

Rata-rata kecukupan konsumsi pangan lansia berdasarkan tempat tinggal panti dan masyarakat menunjukkan adanya perbedaan signifikan persentase kecukupan konsumsi antara panti dengan masyarakat hanya terdapat pada konsumsi vitamin C p=0.022, selebihnya tidak terdapat perbedaan nyata. Hal ini dapat terjadi karena konsumsi buah pada lansia yang tinggal di panti hanya sebatas pada jatah yang telah ditetapkan pengurus, sedangkan lansia di masyarakat lebih beragam jumlahnya, terutama bagi lansia yang tergolong mampu secara ekonomi atau yang mendapat dukungan finansial yang baik dari keluarganya.

IMT lansia yang berada di panti dengan di masyarakat tidak terdapat perbedaan signifikan p=0.157 (p>0.05). Hal itu berkaitan dengan konsumsi makanan yang tidak banyak berbeda. Pada penelitian ini, tinggi badan lansia diukur dengan mengunakan dua cara yaitu dengan mengukur tinggi badan lansia secara langsung dan melalui pengukuran panjang tungkai. Dengan demikian maka didapatkan persamaan regresi sebagai berikut:

- Laki-laki = y = 50,356 + (2,668 x Panjang Tungkai ) – (0.311x Umur)

(Jika panjang tungkai naik 1 cm, maka tinggi badan naik sebesar 2,668 cm pada umur yang sama. Jika umur naik 1 tahun maka tinggi badan menurun 0.311 pada panjang tungkai yang dianggap tetap)

- Perempuan = y = 40,742 + (2,357 x Panjang Tungkai) – (0.012 x Umur)

(Jika panjang tungkai naik 1 cm, maka tinggi badan naik sebesar 2,357 cm pada umur yang sama. Jika usia naik 1 tahun maka tinggi badan menurun 0.012 pada panjang tungkai dianggap tetap).

Hal ini membuktikan bahwa panjang tungkai tidak dipengaruhi oleh umur, sehingga dapat dijadikan sebagai pendekatan yang baik dan stabil untuk pengukuran tinggi badan lansia yang terkadang sudah mulai bungkuk karena mengalami osteoporosis, atau lansia yang lumpuh sehingga tidak lagi dapat berdiri. Tentu saja pengukuran ini hanya dapat dilakukan bila tersedia alat ukur panjang tungkai, namun alat ini masih sulit didapat di daerah lain , kecuali di Jakarta.

Pada penelitian ini dilakukan pengukuran tinggi badan dengan dua pendekatan untuk menganalisis korelasi antara kedua cara pengukuran tersebut, hal ini dapat dilakukan karena lansia yang menjadi contoh pada penelitian ini secara umum masih memiliki tubuh yang tegak dan tidak bungkuk, hanya beberapa orang lansia yang berada di panti dan masyarakat yang sudah mulai bungkuk.

Korelasi antara pengukuran tinggi badan dengan menggunakan tinggi badan sebenarnya dan pendekatan panjang tungkai pada laki- laki didapatkan hasil sebesar r = 0.889 (p=0.000) , sedangkan pada perempuan sebesar r = 0.779 (p=0.000) maka tampak adanya hubungan yang erat antara kedua pengukuran tersebut. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Marhamah (2005) pada lansia di Depok, yang menyatakan perbedaan antara pengukuran tinggi bada n dengan menggunakan tinggi badan yang sesungguhnya dengan pendekatan panjang tungkai adalah sangat kecil. Demikian juga dengan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa negara lain.

Koefisien determinasi (R2) antara umur dan panjang tungkai terhadap tinggi badan pada laki- laki sebesar R2 = 0.761, sedangkan pada perempuan R2 = 0.607, hal ini menunjukkan bahwa keragaman dari tinggi badan mampu diterangkan oleh

panjang tungkai dan umur sebesar 76.1 persen pada laki laki dan 60.7 persen pada perempuan.

Korelasi antara IMT yang diukur dengan menggunakan tinggi badan sebenarnya dengan tinggi badan dengan menggunakan pendekatan panjang tungkai pada laki- laki maka didapatkan hasil sebesar r = 0.939 pada taraf kepercayaan 1 %, sedangkan pada perempuan sebesar r = 0.977 pada taraf kepercayaan 1 % . Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengukuran IMT dengan menggunakan pendekatan tinggi badan yang sesungguhnya dengan panjang tungkai memiliki korelasi yang kuat dengan kata lain kedua pendekatan dapat digunakan sebagai pengukuran yang baik untuk mendapatkan data IMT pada lansia. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Marhamah pada lansia di Kota Depok (2006) serta Webb and Copeman (1996).

Dari data-data kondisi psikososial dan fisik yang didapat berdasarkan keberadaan lansia di panti dan di masyarakat, tampak banyak persamaan antara lansia yang berada di panti dan di masyarakat. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya panti merupakan salah satu alternatif tempat tinggal yang baik bagi lansia yang tidak memiliki keluarga atau memiliki keluarga yang kurang mampu untuk merawat lansia, hal tersebut dapat disebabkan karena lansia yang berada di panti mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah maupun dari masyarakat. Beberapa lansia yang berada di panti masih mendapatkan dukungan dari keluarga, sementara lansia yang berada di masyarakat seluruhnya mendapatkan dukungan dari keluarga

juga dari masyarakat dalam bentuk kegiatan pemeriksaan kesehatan dan pemberian obat dan makanan tambahan.

Berdasarkan kondisi tersebut di atas menunjukkan adanya penerapan paradigma struktural fungsional pada masyarakat, dimana masing-masing individu berperan dalam kehidupan keluarga. Anak dengan sukarela mengurus orang tuanya yang sudah lansia sebagai tanda kasih sayang dan pengabdian kepada orang tua. Seperti yang dinyatakan oleh Talcott Parsons (1902-1979) dalam Megawangi (1999) yang menggunakan teori Vilvredo Pareto, banyak sekali tingkah laku manusia yang didorong oleh faktor-faktor irrasional dan non logis, dan juga teori Durkheim tentang terciptanya ketertiban sosial melalui common values yang dipegang oleh masyarakat. Baik anggota keluarga maupun masyarakat dalam hal ini aktifis posbindu yang memberikan perawatan pada lansia atas dasar sukarela tanpa memperhitungkan keuntungan finansial, sesuai dengan teori ‘aksi sukarela’ dari Parsons bahwa individu bertindak karena adanya proses keputusan subyektif yang dilakukan secara sukarela. Adapun elemen dasar yang membentuk ‘ aksi sukarela’ adalah sebagai berikut :

1. Aktor atau individu

2. Aktor dianggap sebagai orang yang ingin mencapai tujuan

3. Aktor mempunyai alternatif seperangkat alat untuk mencapai tujuan

Dokumen terkait