• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsentrasi IgA serum

A.3. Perubahan-perubahan yang Terjadi Pada Proses Penuaan:

Pada lansia akan terjadi perubahan pada fisik maupun psikisnya. Adapun perubahan fisiologi yang berhubungan dengan aspek gizi pada lansia menurut Krause dan Kathleen (1984) adalah sebagai berikut:

1. Semakin berkurangnya indera penciuman dan perasa sehingga umumnya lansia kurang dapat menikmati makanan dengan baik. Hal itu sering menyebabkan kurangnya asupan pada lansia atau penggunaan bumbu, seperti kecap atau garam yang berlebihan yang tentunya dapat berdampak kurang baik bagi kesehatan lansia.

2. Perubahan yang banyak terjadi pada fisiologi gastrointestinal yang mempengaruhi bioavailabilitas adalah atrophy gastritis. Rasinski et al

(1986) melaporkan bahwa perkiraan prevalensi atrophik gastritis pada lansia di Boston sebesar 24% pada lansia berusia 60 -69 tahun, 32% pada lansia berusia 70 -79 tahun, dan 40% pada lansia berusia di atas 80 tahun.

3. Berkurangnya sekresi saliva yang dapat menimbulkan kesulitan dalam menelan dan dapat mempercepat terjadinya proses kerusakan pada gigi (Webb & Copeman, 1996)

4. Kehilangan gigi.

Separuh lansia telah banyak kehilangan gigi, hal ini mengakibatkan terganggunya kemampuan dalam mengonsumsi makanan dengan tekstur keras, sedangkan makanan yang memiliki tekstur lunak biasanya kurang mengandung vitamin A, vitamin C, dan serat sehingga menyebabkan mudah mengalami konstipasi.

6. Menurunnya sekresi HCl

HCl merupakan faktor ekstrinsik yang membantu penyerapan vitamin B12 dan kalsium, serta utilisasi protein. Kekurangan HCl dapat menyebabkan lansia mudah terkena osteoporosis. Selain itu menurunnya HC l dapat mengakibatkan terjadinya defisiensi zat besi yang menyebabkan ane mia, sehingga oksigen tidak dapat diangkut dengan baik.

7. Menurunnya sekresi pepsin dan enzim proteolitik yang mengakibatkan pencernaan protein tidak efisien.

8. Menurunnya sekresi garam empedu, sehingga mengganggu proses penyerapan lemak dan vitamin A, D, E, K.

9. Terjadinya penurunan motilitas usus, sehingga memperpanjang “transit time” dalam saluran gastrointestinal yang mengakibatkan pembesaran perut dan konstipasi

Selain itu menurut Astawan dan Wahyuni (1988) perubahan-perubahan pada lansia meliputi:

a. Berkurangnya cairan di dalam jaringan b. Meningkatnya kadar lemak di dalam tubuh,

c. Meningkatnya kadar zat kapur dalam jaringan otak dan pembuluh darah tetapi mengalami penurunan dalam tulang

d. Terjadinya perubahan pada jaringan ikat

e. Menurunnya laju metabolisme basal per satuan berat badan f. Menurunnya aktivitas hormon

g. Terbentuknya pigmen ketuaan pada otot jantung, sel-sel saraf, kulit, dan sebagainya

h. Berkurangnya frekuensi denyut jantung sehingga mengakibatkan berkurangnya peredaran darah dan peredaran zat gizi.

Perubahan-perubahan lain yang terjadi pada lansia menurut Kartari (1990) adalah: a. Kulit berubah menjadi tipis, kering, keriput dan tidak elastis lagi. Dengan

demikian fungsi kulit sebagai penyekat suhu lingkungan dan perisai terhadap masuknya kuman terganggu.

b. Rambut rontok, warna menjadi putih, kering dan tidak mengkilat. Hal ini berkaitan dengan perubahan degeneratif kulit.

c. Berkurangnya jumlah sel otot, ukurannya atrofi, volume otot secara keseluruhan menyusut, fungsinya menurun dan kekuatannya berkurang.

d. Tulang menjadi keropos akibat penurunan kadar kalsium sehingga mudah patah.

e. Menurunnya produksi hormon seks pada pria dan wanita A.4. Teori-teori tentang aging:

Teori Sistim Organ Dasar (Organ System Based). Teori ini berdasarkan atas dugaan bahwa adanya hambatan dari organ tertentu dalam tubuh menyebabkan terjadinya proses penuaan. Organ tersebut adalah system endokrin dan system imun. Pada proses penuaan kelenjar timus mengecil, hal itu menyebabkan menurunnya fungsi imun. Penurunan system imun mengakibatkan meningkatnya insiden penyakit infeksi pada lansia. Dapat dikatakan bahwa adanya peningkatan usia berhubungan dengan peningkatan insiden penyakit.

Teori kekebalan tubuh yang juga termasuk dalam breakdown theories, memandang proses penuaan terjadi akibat adanya penurunan sistem kekebalan secara bertahap. Sehingga tubuh tidak dapat lagi mempertahankan diri terhadap luka, penyakit, cel mutant, ataupun sel asing. Hal ini terjadi karena hormon-hormon yang dikeluarkan kelenjar timus, yang mengontrol sistem kekebalan tubuh, menghilang dengan bertambahnya usia.

Teori kekebalan (autoimmunity), menekankan bahwa tubuh lansia yang mengalami penuaan sudah tidak dapat lagi membedakan antara sel normal dan tidak normal, dan muncul antibodi ya ng menyerang keduanya yang pada akhirnya menyerang jaringan itu sendiri (Aiken, 1989). Mutasi yang berulang atau perubahan protein pascatranslasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun

tubuh mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun (Goldstein, 1989). Salah satu bukti yang ditemukan ialah bertambahnya prevalensi outo antibodi bermacam- macam pada orang lanjut usia (Brocklehurst, dalam Darmojo, 2000)

Teori Radikal bebas. Teori ini paling banyak dianut serta lebih populer. Radikal bebas merupakan penyebab yang penting dari kesalahan dalam fungsi seluler. Macam- macam radikal bebas termasuk superoxide, hydroxyl, lipid peroxy, purine dan pyrimidine radicals, dihasilkan selama proses metabolisme normal. Radikal bebas oksigen dan hydrogen peroksida dalam tubuh sebagai perantara untuk menghasilkan ATP dan energi di mitokondria. Tanpa adanya perantara maka respirasi pada mitokondria akan terhenti.

Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, dan di dalam tubuh jika fagosit pecah, dan sebagai produk sampingan di dalam rantai pernafasan dalam mitokondria. Walaupun telah ada sistem penangkal, namun sebagian radikal bebas tetap lolos, bahkan semakin lanjut usia makin banyak radikal bebas terbentuk sehingga proses pengrusakan terus terjadi, kerusakan organel sel makin lama makin banyak akhirnya sel mati (Oen, 1993).

Meski dibutuhkan, namun kehadiran radikal bebas dalam konsentrasi tinggi pada tempat dan waktu yang tidak tepat akan berbahaya karena mempunyai elektron yang tidak berpasangan sehingga sangat reaktif terhadap senyawa kimia lainnya dalam upaya mendapatkan elektron. Jika radikal bebas berada dalam inti sel, maka akan dapat merusak DNA dan menyebabkan mutasi yang mengarah pada kematian sel. Selain itu radikal bebas juga merusak membran sel, hal ini terjadi pada saat konsentrasi darah putih yang tinggi akan membebaskan radikal bebas yang akan merusak dinding pembuluh darah. Oleh karena itu tingginya jumlah sel darah putih berkaitan dengan peningkatan resiko penyakit jantung dan arthritis.

Terjadinya radikal bebas dalam tubuh menyebabkan molekul- molekul menjadi reaktif. Beberapa makromolekul dan protein akan bereaksi dan menghasilkan suatu ikatan silang (crosslinking), sehingga makro molekul dan protein tidak berfungsi. Hubungan ini tidak dapat diperbaiki dan akan bertumpuk seiring waktu sehingga mengarah pada malfungsi molekul, yang merupakan karakterisasi penuaan organisme.

Teori Fisiologik, contohnya teori Adaptasi Stres (Stress Adaptation Theory) menjelaskan proses menua sebagai akibat adaptasi terhadap stres. Stres dapat berasal dari dalam maupun dari luar, juga dapat bersifat fisik, psikologik maupun sosial. Teori Psikologik. Teori Kognitif menerangkan proses menua dalam aspek kognitif. Teori Kontinuitas berdasarkan pada asumsi bahwa identitas merupakan fungsi dari pada hubungan serta interaksi dengan orang lain. Seseorang yang sukses sebelumnya, pada usia lanjut akan tetap berinteraksi dengan lingkungannya serta

tetap memelihara identitas dan kekuatan egonya. Teori tahap-tahap perkembangan manusia dari Erickson menerangkan bahwa pada tahap terakhir manusia harus memilih antara sense of integrity atau sense of despair, sedangkan Peck menambahkan bahwa pada usia lanjut seseorang harus memilih antara ego differentiation melawan work role preoccupation (pensiun). Juga harus memilih antara memulihkan hubungan yang baik dengan orang lain dan tetap aktif kreatif, atau terikat pada pikiran yang terpusat pada kemunduran fisiknya.

Teori Sosiologik. Teori Perubahan Sosial yang menerangkan menurunnya sumberdaya dan meningkatnya ketergantungan mengakibatkan keadaan sosial tidak merata dan menurunnya sistem penunjang sosial. Teori Penglepasan Ikatan (Disengagement theory) menjelaskan bahwa pada usia lanjut terjadi penurunan partisipasi ke dalam masyarakat karena terjadi proses penglepasan ikatan/penarikan diri secara pelan-pelan. Pensiun merupakan contoh ilustrasi proses penglepasan ikatan, memungkinkan seseorang untuk bebas dari tanggungjawab dari pekerjaan dan tidak perlu mengejar peran lain untuk mendapatkan tambahan penghasilan (Powell, 2001). Teori ini banyak mendapatkan kritikan dari berbagai ilmuwan sosial.

Teori aktivitas memberikan tambahan penjelasan bahwa kehilangan peran, aktivitas, atau hubungan dapat digantikan dengan peran baru atau aktivitas baru yang dapat memberikan kebahagiaan, nilai konsensus, dan kesejahteraan. Dalam teori ini menganggap bahwa penglepasan ikatan bukan merupakan proses alamiah seperti pendapat Cumming dan Hendry. Dalam pandangan teori aktivitas, teori penglepasan adalah melekatnya sifat/pembawaan lansia dan tidak mengembangkan ke arah masa

tua yang positif (Powell, 2001). Pada teori ini jika seseorang sebelumnya sangat aktif pada usia lanjut akan tetap memelihara keaktivannya seperti peran dalam keluarga, peran dalam masyarakat dalam berbagai kegiatan sosial dan keagamaan.

B. Psikososial

Definisi psikososial (psikologi sosial) menurut McDavid dan Harari ialah studi ilmiah tentang pengalaman dan perilaku individual dalam kaitan dengan individu lain, kelompok, dan kebudayaan. Pada definisi ini fokus bukan hanya pada perilaku individu, melainkan juga pada pengalamannya. Dengan demikian pengaruh masa lampau secara nyata ikut diperhitungkan. Sementara Baron dan Ryrne mendefinisikan psikologi sosial adalah bidang ilmiah yang mencari pengertian tentang hakikat dan sebab-sebab dari perilaku dan pikiran-pikiran individu dalam situasi sosial. Pada definisi ini tidak hanya mempelajari perilaku tetapi juga mencari pengertian dan sebab-sebab dari perilaku itu (Sarwono, 1999).

Perspektif psikososial pada proses penuaan adalah sebagai berikut : Proses penuaan didefinisikan sebagai transformasi dari manusia sesudah usia kematangan fisik yang memberikan peluang terjadinya penurunan daya tahan dan ini merupakan gabungan dari tansformasi reguler dalam penampilan, perilaku, pengalaman, dan peran sosial. Psikososial pada proses penuaan dapat dijelaskan sebagai hasil tidak dipakainya lagi kemampuan yang dimiliki, perubahan dalam kemampuan beradaptasi terhadap variabel lingkungan, dan kehilangan sumberdaya internal maupun eksternal, pengaruh keturunan pada usia harapan hidup. Para ilmuwan bersepakat bahwa

genetik/keturunan mempengaruhi panjangnya usia, meski lingkungan juga memainkan peranan yang penting untuk memodifikasi (meningkatkan) usia harapan hidup. Dasar dari teori psikososial pada proses penuaan ialah : pada saat seseorang menjadi tua, mereka memiliki perubahan perilaku, perubahan interaksi sosial, dan perubahan aktifitas karena adanya penglepasan ikatan.

Hasil penelitian Darmojo (1991) menunjukkan bahwa keadaan psikososial para lansia di Indonesia pada umumnya masih baik, rasa kesepian yang banyak dijumpai di negara-negara Barat tak dijumpai, juga perasaan depresi dan yang keadaan penuh tergantung pada orang lain hanya kurang dari lima persen. Yang masih ingin tetap bekerja dan masih tetap aktif di rumah berkisar antara enam puluh sampai tujuh puluh lima persen.

C. Depresi pada lansia

Secara umum lansia terpapar pada beberapa faktor resiko depresi. Bertambahnya penyakit-penyakit fisik, faktor- faktor psikososial dan proses penuaan otak, semuanya ikut berkontribus i terhadap tingginya prevalensi depresi pada lansia. Terjadinya depresi pada lansia merupakan interaksi faktor-faktor biologik-psikologik dan sosial. Faktor sosial adalah berkurangnya interaksi sosial, kesepian, berkabung, dan kemiskinan. Faktor psikologi dapat berupa: rasa rendah diri/kurang percaya diri, kurang rasa keakraban dan menderita penyakit fisik, sedangkan faktor biologik yaitu hilangnya sejumlah neuron maupun neurotransmiter di otak, resiko genetik maupun adanya penyakit (Nasrun, 1999)

Penyesua ian kembali merupakan tantangan bagi sebagian besar lansia. Hal ini berkaitan dengan berkurangnya sumberdaya kepribadian, isolasi sosial dan berbagai macam “kehilangan”. Oleh karenanya golongan lansia lebih banyak mengalami gangguan kejiwaan dibandingkan golongan muda. Depresi pada lansia merupakan suatu gangguan psikiatrik yang banyak dijumpai di samping gangguan kognitif dan gangguan cemas. Sekitar 8% lansia di dalam masyarakat mempunyai gejala depresi yang serius dan hampir 19% mempunyai gejala depresi ringan. Sekitar 50% lansia di rumah sakit jiwa dirawat karena kondisi depresi dan dijumpai sekitar 30% lansia yang menderita gangguan medik akut dan kronik. Menurut Wattis dan Martin angka prevalensi untuk semua jenis depresi adalah 10 – 14% dan 2 – 4% untuk depresi berat (Laksmana, 1996).

Depresi pada lansia akan meningkatkan isolasi sosial, morbiditas medik, kekacauan keluarga dan penderitaan pribadi. Pada umumnya lansia jarang mengeluh perasaan depresi, namun lebih berfokus pada keluhan somatik.

Menurut ICD-10 WHO, 1992/PPDGJ-III, 1993, diagnosis Episode Depresi di dasarkan pada pedoman berikut:

a. Selama paling sedikit 2 minggu dan hampir setiap hari mengalami: suasana perasaan (mood) yang depresif, kehilangan minat dan kegembiraan dan berkurangnya energi menuju keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas. b. Keadaan tersebut di atas selama paling sedikit 2 minggu dan hampir setiap hari

dialami akan disertai gejala-gejala berikut: konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang perasaan bersalah dan

tidak berguna (bahkan pada episode tipe ringan sekalipun), pandangan masa depan yang suram dan pesimistik, gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu dan napsu makan berkurang.

Periode berlangsungnya gejala lebih pendek dari 2 minggu dapat dibenarkan jika gejala tersebut luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.

c. Gejala-gejala tersebut diatas menyebabkan hambatan fungsi psiko-sosial seperti cacat fungsi pekerjaan, hubungan sosial dan kegiatan sehari-hari.

Ketidakmampuan, kesehatan fisik, dukungan sosial, faktor sosial ekonomi mempengaruhi tingkat depresi pada lansia (Hariss,T. et al,. 2003). Depresi dapat diperberat oleh faktor- faktor berikut: adanya penyakit-penyakit fisik, 20-30% pasien lansia yang dirawat karena penyakit fisik menderita depresi, penyakit neurologik seperti demensia, parkinson, dan alzheimer; obat, seperti antihistamin, obat jantung, hipertensiantibiotik sedatif, anti parkinson dll; kehilangan seperti kehilangan pasangan hidup atau teman dekat, kehilangan rasa aman, jabatan serta kekuasaan, menurunnya kesehatan, dan lain lain; Isolasi sosial dan situasi lingkungan hidup yang buruk (Laksmana, 1996).

D. Kepuasan

Kepuasan pada la nsia dapat tercapai bila memiliki status ekonomi yang baik, juga kesehatan fisik dan mental, kehidupan sosial yang baik seperti kepedulian kepada masyarakat, dan memiliki hubungan yang baik dengan anak, cucu dan antar saudara kandung. Lansia akan mendapatkan kepuasan hidup apabila dapat mencapai

succesfull aging yaitu kesuksesan yang diperoleh pada usia tua yang merupakan dambaan bagi setiap orang dalam konteks kultural. “Kesuksesan” merupakan evaluasi yang didefinisikan secara relatif pada konteks tertentu. Pada saat ini antara berbagai kultur ada kesepakatan bahwa kesehatan dan keamanan material merupakan hal yang didambakan lansia (Keith, Fry dan Ikels, 1990).

Menurut Bearon (1996) Succesfull aging dapat diukur melalui beberapa indikator dari kesejahteraan secara subyektif seperti: kepuasan hidup, kebahagiaan, moral, kesenangan/kesukaan, pandangan tentang kualitas hidup, atau ukuran yang berhubungan dengan hal yang nega tif seperti depresi, kecemasan, dan lain- lain.

Aspek sosial seperti kemiskinan, kurang gizi, tempat tinggal di pedesaan, perumahan yang kurang memadai, terbatasnya kesempatan pendidikan, kehilangan akibat kekerasan atau bencana mengurangi peluang hidup dan keterbatasan akses untuk mencapai kehidupan masa tua yang baik/sejahtera (Austin, 1991).

Perasaan bahagia yang dimiliki lansia dapat meningkatkan kepuasan diri pada lansia. Menurut penelitian yang dilakukan Jauhari, M (2003) disebutkan bahwa hal yang membuat sebagian besar lansia bahagia adalah terjaminnya kebutuhan hidup.

Dokumen terkait