DAFTAR PUSTAKA
A. Hasil Penelitian
Tahapan penelitian tindakan kelas ini meliputi dua siklus. Dalam
satu siklus terdiri atas tahapan perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan, dan refleksi. Hasil masing‐masing tahap disajikan sebagai berikut: 1. Pelaksanaan Siklus 1
Pelaksanaan tindakan (pembelajaran) pada siklus 1 dilaksanakan tanggal
25 Agustus 2006. Tahapan pada siklus 1 diuraikan sebagai berikut:
a. Perencanaan. pelaksanaan tindakan, dan pengamatan seperti yang
dikemukakan di depan
b. Refleksi
Setelah melakukan pengamatan atas tindakan pembelajaran, selanjutnya
diadakan refleksi dari tindakan yang telah dilaksanakan. Dalam kegiatan pada
1). Berdasarkan hasil observasi peneliti pada lembar pengamatan
pembelajaran matematika dengan problem solving dan memanfaatkan
alat peraga oleh guru, diperoleh skor 34, dari skor maksimal 48
2). Komunikasi siswa pada siklus 1 ini sudah baik. skor aktivitas matematika
siswa dalam lembar pengamatan sebesar 13 dari skor maksimal 20
3). Dari hasil angket kerja sama siswa, diperoleh skor 29,8, dari skor
maksimal 40.
4). Hasil evaluasi siswa pada siklus 1, diperoleh nilai rata‐rata 6,26
5). Dari hasil angket refleksi siswa terhadap pembelajaran diperoleh hasil :
bahwa siswa merasa pembelajaran problem solving dengan
memanfaatkan alat peraga ini menyenangkan bagi mereka. 2. Pelaksanaan Siklus 2
Pelaksanaan tindakan (pembelajaran) pada siklus 2 dilaksanakan pada
tanggal 4 September 2006 dengan waktu 2 x 45 menit. Tahapan pada siklus 2
dilaksanakan seperti siklus 1 dengan memperbaiki kekurangan‐kekurangan
pada siklus 1, khususnya untuk langkah perencanaan, pelaksanaan, dan
pengamatan. Sedangkan refleksi pada siklus 2 diperoleh hasil sebagai berikut : a). Pengelolaan pembelajaran oleh guru pada siklus 2 ini lebih baik dari siklus
sebelumnya. Berdasarkan hasil observasi peneliti dalam lembar
pengamatan pembelajaran matematika oleh guru diperoleh skor 44 dari
skor maksimal 48
b) Keaktivan siswa dalam pembelajaran juga terlihat meningkat, rata‐rata skor
keaktivan siswa dalam pembelajaran sebesar 18, dari skor maksimal 20
c) Berdasarkan angket kerja sama siswa dalam pembelajaran, diperoleh rata‐ rata skor 38,4 dari skor maksimal 40
d) Nilai rata‐rata evaluasi siklus 2 ini adalah 7,45. Ada peningkatan
e). Dari hasil angket refleksi siswa terhadap pembelajaran diperoleh hasil :
bahwa siswa merasa pembelajaran problem solving dengan memanfaatkan
alat peraga lebih menarik dan menyenangkan.
B. Pembahasan
Pembahasan hasil penelitian ini didasarkan atas hasil pengamatan dan
dilanjutkan refleksi masing‐masing siklus, sebagai berikut : Siklus 1
Pembelajaran matematika dengan problem solving dan memanfaatkan
alat peraga sudah cukup baik, hal ini terlihat dari skor yang diperoleh yaitu 34
dari skor maksimal 48. Namun ada beberapa hal yang perlu diperbaiki antara
lain : (1) pada saat memulai pelajaran, guru tidak menyampaikan model
pembelajaran yang akan digunakan pada saat itu., (2) bimbingan guru yang diberikan kepada siswa kurang merata, sehingga ada kelompok siswa yang tidak menyelesaikan permasalahan dengan tuntas., (3) pengelolaan waktu pada
siklus ini masih belum baik. Waktu yang digunakan untuk pembagian
kelompok, mengerjakan soal evaluasi dan pengisian angket tidak efesien,
sehungga dengan terpaksa menggunakan jam mata pelajaran lain, (4) aktivitas
siswa sudah cukup baik, karena berdasarkan skor aktivitas sebesar 13 dari skor
maksimal 20. Namun masih perlu peningkatan dengan cara guru memberi
banyak motivasi kepada siswa, (5) kerja sama siswa dalam siklus ini sudah
baik, hal ini terlihat dari skor yang diperoleh yaitu 29,8 dari skor maksimal 40.
Namun menurut pengamatan peliliti, pembagian kerja dalam kelompok belum
baik karena dominasi siswa yang pandai masih menonjol. (6) kemampuan
siswa dalam menyelesaikan permasalahan belum begitu baik, karena dari 8
Sedangkan hasil evaluasi siklus I diperoleh skor 6,26. Dalam hal ini, ada
beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain: kemampuan siswa, belum
terbiasa kerja kelompok, dan juga belum terampil menggunakan alat peraga
yang tersedia, (7) menurut pendapat siswa, pembelajaran dengan problem
solving dan memanfaatkan alat peraga. Namun dengan pembelajaran model
ini, masih ada beberapa siswa yang mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan
karena siswa kurang memperhatikan masalah dengan cermat, dan juga siswa
belum terbiasa dengan pembelajaran problem solving. Siklus 2
Pelaksanaan pembelajaran matematika dengan problem solving dan
memanfaatkan alat peraga oleh guru pada siklus 2 ini lebih baik dari siklus sebelumnya. Hal ini dapat ditunjukkan sebagai berikut : (1) guru sudah
menyampaikan tujuan pembelajaran maupun model pembelajaran yang akan
digunakan, serta memberi motivasi yang baik kepada siswa. Bimbingan yang
diberikan guru kepada kelompok maupun individu dalam proses
menyelesaikan masalah dengan lembar kerja juga sudah merata. Berdasarkan
hasil observasi peneliti dalam lembar pengamatan pembelajaran matematika
oleh guru diperoleh skor 44 dari skor maksimal 48. (2) keaktivan siswa
dalam pembelajaran juga terlihat meningkat. Dominasi siswa yang pandai
sudah berkurang, diskusi antar teman dalam kelompok sudah berjalan dengan
baik Dalam lembar pengamatan aktivitas siswa diperoleh rata‐rata skor
keaktivan siswa dalam pembelajaran sebesar 18, dari skor maksimal 20.
Meskipun begitu masih ada beberapa siswa namun relative sedikit yang tidak
siswa sudah terbiasa bekerja kelompok. Berdasarkan angket kerja sama siswa
dalam pembelajaran, diperoleh rata‐rata skor 38,4 dari skor maksimal 40. Ini
berarti kerja sama mereka baik, (4) Kemampuan siswa dalam memecahkan
masalah sudah meningkat. Ada enam kelompok yang dapat menyelesaikan
LKS dengan baik dan hanya satu kelompok yang melakukan sedikit kesalahan.
Nilai rata‐rata evaluasi siklus 2 ini adalah 7,45, hal ini jelas ada peningkatan
dibandingkan siklus 1 ( skor rata‐ratanya 6,26 ), (5) berdasarkan angket releksi
pembelajaran dengan problem solving dan memanfaatkan alat peraga, respon
siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran sangat baik, suasana pembelajaran
menyenangkan. Di samping itu siswa termotivasi belajar lebih giat dengan
soal‐soal geometri yang berkaitan teorema Pythagoras. Dengan pembelajaran model ini, beberapa siswa yang mengalami kesulitan pada siklus 1 sudah dapat
diatasi. Hal ini disebabkan karena siswa lebih memperhatikan masalah dengan
cermat, dan juga siswa sudah terbiasa dengan pembelajaran problem solving
dan menggunakan alat peraga.
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Setelah pelaksanaan pembelajaran geometri dengan problem solving dan
memanfaatkan alat peraga melalui tahapan 2 siklus yang diuraikan di atas,
maka diperoleh hasil sebagai berikut :
1. Skor pembelajaran matematika dengan problem solving dan memanfaatkan
91,7 % ) dari skor maksimal 48. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja guru
dalam pembelajaran matematika lebih meningkat.
2. Skor aktivitas siswa pada siklus 1 adalah 13 ( 65 % ), sedangkan pada siklus
2 sebesar 18 ( 90 % ) dari skor maksimal 20. Hasil ini, dapat ditafsirkan
bahwa keaktifan siswa telah meningkat.
3. Skor kerjasama siswa dalam pembelajaran matematika pada siklus 1 sebesar
29,8 ( 74,5 % ) dan pada siklus 2 sebesar 38,4 ( 96 % ). Dalam hal ini nampak
bahwa kerjasama siswa dalam kelompoknya telah berjalan dengan baik. 4. Nilai rata‐rata siklus 1 adalah 6,26 sedangkan pada siklus 2 sebesar 7,45.
Hasil menunjukkan bahwa hasil belajar siswa dalam menyelesaikan soal
geometri bentuk cerita telah meningkat.
5. Berdasarkan angket releksi pembelajaran dengan problem solving dan
memanfaatkan alat peraga, respon siswa terhadap pelaksanaan
pembelajaran sangat baik dan suasana pembelajaran lebih menyenang kan. B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas pada siswa kelas VIII B SMP
Negeri 2 Demak, peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut.
1. Model pembelajaran matematika dengan problem solving dan
memanfatkan alat peraga perlu dilakukan guru matematika di SMP, karena
pembelajaran ini dapat meningkatkan aktivitas siswa, kerjasama siswa
dalam kerja kelompok juga baik, dan hasil belajar siswa meningkat serta model pembelajaran ini menjadi lebih menyenangkan.
2. Dalam pembelajaran matematika, guru dituntut lebih kreatif dalam memilih
model pembelajaran sehingga siswa dapat mengikuti pelajaran dengan baik.
Di samping itu, jika memungkinkan dalam pembelajaran matematika
3. Mempresentasikan hasil kerja siswa perlu dilatih agar siswa berani
mengemukakan pendapat dan melatih siswa untuk bertanya, sehingga pada
gilirannya mereka terbiasa berfikir kritis.
DAFTAR PUSTAKA
Amin suyitno, 1997, Dasar‐dasar dan Proses Pembelajaran Matematika III, Semarang : Jurusan pendidikan matematika.
Arnie Fajar, 2002, Portofolio Dalam Pelajaran IPS, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Downs, S.S, 1987, Developing Learning Skills In Learning Management :Emerging Direction For Learning To learn In The Workplace, Edited By M.E.Chern,Columbus : Ohio State University.
Bell, F,H, 1981, Teaching amd Learning Mathematics in Secondary Schools, Dubuque, Iowa : Wm.C. Browwn Company Publishers.
Dahlanm M.D, 1984, Model‐model Mengajar, Bandung : CV. Diponegoro.
Hudoyo, H, 1988, Mengajar Belajar Matematika, Jakarta : Ditjen Dikti, P2LPTK.
Novack, D. And Gowin, 1985, Learning How To Learn, Second Edition, New york : Cambrige University Press.
Novick, L.R. and Holyoak, 1991, Matematical Problem Solving By Analogy. Journal of Experimental Psicology, Learning, Memory and Cognition.
R. Soedjadi, 2000, Kiat Pendidikan Matematika Indonesia, Konsistansi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa depan,Jakarta : Dirjen Dikti Pendidikan Nasional.
Slametto, 1992, Keefektivan metode Lembaran Tugas dalam Meningkatkan Kemampuan Membuat Model Matematika Untuk Menyelesaikan Soal Bentuk Essai (Thesis), Jakarta : IKIP Jakarta.
Sudjana, N. dan Arifin, D, 1987, Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung : Sinar Baru.
Sugiarto dan Isti Hidayah, 1999, Umplementasi dan Pengembangan Model Matematika SD Bercirikan Pemberdayagunaan Alat Peraga di Kabupaten Semarang, Semarang : IKIP Semarang.
Suharsimi A, 1986, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : Rineka Cipta.
Koneksi Matematik Siswa SMK
Oleh:
Rudy Kurniawan
Program Studi Pendidikan Matematika
Stkip Yasika Majalengka
Abstrak
Penelitian ini berupaya mengungkap hasil pembelajaran, berupa perbandingan peningkatan
kemampuan koneksi matematik, antara siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan
kontekstual dengan siswa yang pembelajarannya secara tradisional. Selain itu, mengungkap hubungan
positif antara sikap dan pengetahuan penunjang terhadap kemampuan koneksi matematik siswa.
Populasi penelitian yaitu seluruh siswa kelas I SMKN Kadipaten dan sampelnya adalah kelas I Ak1
sebagai kelas eksperimen dan kelas I Ak2 sebagai kelas kontrol. Instrumen yang digunakan adalah tes dan
nontes. Tes berupa soal uraian, terdiri dari tes pengetahuan penunjang dan tes kemampuan koneksi
matematik. Bentuk nontes berupa, format observasi, format wawancara dan skala sikap model Likert
dengan 4 pilihan. Berdasarkan pengolahan analisis data hasil pretes dan tes pengetahuan penunjang
secara kuantitatif, ternyata diketahui bahwa siswa‐siswa pada kedua kelas penelitian mempunyai
kemampuan awal matematik yang sama. Hasil analisis data pada postes yang ditinjau berdasarkan
peningkatan kemampuan koneksi matematik, kemampuan jenis koneksi matematik, serta peningkatan
kemampuan koneksi matematik berdasarkan siswa yang berkemampuan rendah, sedang dan tinggi,
ternyata siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan kontekstual secara signifikan lebih baik dari
pada siswa yang pembelajarannya secara tradisional. Selain itu, terdapat hubungan yang positif, antara
sikap dan pengetahuan penunjang terhadap kemampuan koneksi matematik siswa. Berdasarkan respon
melalui skala sikap pasca pembelajaran kontekstual, ternyata rata‐rata siswa menunjukan sikap yang
positif terhadap matematika dan pembelajarannya. Sikap positif tersebut merupakan modal dasar untuk
peningkatkan kemampuan koneksi matematik siswa dimasa mendatang.
Latar Belakang Masalah
Dalam menjalani abad 21, kita harus mempersiapkan sumber daya
manusia (SDM) yang benar‐benar unggul dan dapat diandalkan untuk
menghadapi persaingan bebas di segala bidang kehidupan sebagai dampak
dari globalisasi dunia.
Pendidikan merupakan ujung tombak dalam mempersiapkan SDM yang
handal, karena pendidikan diyakini akan dapat mendorong memaksimalkan
potensi siswa sebagai calon SDM yang handal untuk dapat bersikap kritis, logis
dan inovatif dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapinya. Hal
pendidikan matematika sebagai proses yang aktif, dinamik, dan generatif
melalui kegiatan matematika (doing math) memberikan sumbangan yang
penting kepada siswa dalam pengembangan nalar, berfikir logis, sistematik,
ktitis dan cermat, serta bersikap obyektif dan terbuka dalam menghadapi
berbagai permasalahan.
Salah satu tujuan umum pembelajaran matematika kelompok program
adaptif di tingkat SMK (Depdikbud : 2004) yaitu berfungsi untuk membentuk
peserta didik sebagai individu agar memiliki dasar pengetahuan yang luas dan
kuat untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan perubahan yang terjadi
di lingkungan sosial, lingkungan kerja, serta mampu mengembangkan diri
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, tehnologi dan seni. Artinya
target kompetensi dasar matematik, khususnya kemampuan koneksi
matematik siswa harus dapat ditumbuh‐kembangkan melalui pendekatan
pembelajaran yang sesuai dengan bahan ajar serta sarana dan prasarananya.
Dalam proses kegiatan belajar‐mengajar perlu adanya pendekatan
pembelajaran yang penekanannya mengarah kepada kemampuan koneksi
matematik, baik koneksi antar pokok bahasan dalam matematika, koneksi matematika dengan pelajaran lain dan koneksi matematika dengan kehidupan
sehari‐hari.
Pelaksanaan pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan
koneksi matematik harus mengacu pada empat pilar pendidikan universal
yang disarankan UNESCO, yaitu learning to know, learning to do, learning to be dan learning to live together in peace and harmony. Melalui proses learning to know siswa akan memiliki pemahaman dan penalaran akan matematika dari hasil dan proses yang terkoneksikan, serta dari mana asal muasal konsep, dan ide‐
ide matematika terbentuk. Melalui proses mengetahui akan matematika, siswa
akan memiliki potensi untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari‐hari
siswa untuk trampil dalam mengkoneksikan antara pengetahuan yang sudah
dimiliki dengan pengetahuan baru, sehingga dalam benaknya tercipta bahwa
ide‐ide/konsep matematika terjalin dari suatu hubungan yang erat, dan tak
dapat terpisah berdiri sendiri. Proses learning to be matematika, menurut Sumarmo (2004:9) bersamaan dengan proses learning to do, sehingga siswa akan memahami, menghargai atau mempunyai apresiasi terhadap nilai‐nilai dan
keindahan akan produk dan proses serta terbentuknya matematika. Sedangkan
melalui learning to live together in peace and harmony siswa akan diberi kesempatan untuk belajar secara berkelompok, bekerja sama, bertukar pikiran‐
sharing dan saling menghargai.
Namun kenyataan di lapangan menunjukan indikasi yang berbeda,
siswa memandang pelajaran matematika sebagai pelajaran yang “sulit dan
menyeramkan”, matematika susah dimengerti dan dipenuhi rumus‐rumus.
Disamping itu, guru terbiasa melakukan pembelajaran secara konvensional,
guru hanya sekedar penyampai pesan pengetahuan, sementara siswa
cenderung sebagai penerima pengetahuan semata dengan cara mencatat,
mendengarkan dan menghapal apa yang telah disampaikan oleh gurunya. Tentu, hasil dari pembelajaran seperti itu dapat kita rasakan dan lihat hasilnya
sekarang ini, prestasi belajar matematika siswa pada umumnya masih rendah.
Bahkan Ruspiani (2000:46) mengungkap bahwa rata‐rata nilai kemampuan
koneksi matematik siswa sekolah menengah masih rendah, nilai rata‐ratanya
kurang dari 60 pada skor 100, yaitu sekitar 22.2% untuk koneksi matematik
dengan pokok bahasan lain, 44.9% untuk koneksi matematik dengan bidang
studi lain, dan 67.3 % untuk koneksi matematik dengan kehidupan keseharian. Menyimak kesenjangan harapan dan kenyataan pembelajaran
matematika dewasa ini, maka penulis termotivasi untuk meneliti pembelajaran