Analisis data dilakukan mengacu pada bentuk penelitian quasi‐ experimental research dan mengacu pada hipotesis penelitian yang ditetapkan. Statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah uji t satu pihak
dengan hipotesis statistik yang ditetapkan,
H0: μ1 ≤ μ2 dan H1: μ1 > μ2. Dengan taraf signifikansi α dan derajat kebebasan (δ, N), maka hipotesis nol ditolak jika thitung > ttabel.
Teknik analisis data yang digunakan adalah sebagai berikut. (a) Pengujian
perbedaan hasil belajar Geometri Ruang Mahasiswa dalam pembelajaran
dengan memanfaatkan media pembelajaran SWiSHmax dibandingkan dengan menggunakan pendekatan ekspositori dengan menggunakan t‐test; (b) Pengujian perbedaan minat dengan menggunakan t‐test
4. P E M B A H A S A N
Berdasarkan data hasil T2 diperoleh hasil nilai signifikan F adalah 0,123 > 0,05 artinya tidak signifikan, artinya Varians data dianggap tidak ada
signifikan 2‐tailed adalah 0,000 < 0,05, artinya signifikan, artinya ada perbedaan hasil belajar yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dengan kata lain, kelas dengan memanfaatkan SWiSHmax dengan pendekatan
mathematics problem solving lebih baik daripada pembelajaran geometri ruang dengan ekspositori dengan memanfaatkan alat peraga.
Berdasarkan data hasil angket minat diperoleh hasil nilai signifikan F
adalah
0,229 > 0,05 artinya tidak signifikan, artinya Varians data dianggap tidak ada
perbedaan yang signifikan. Dipilih statistik dengan equal varians assumed. Nilai signifikan 2‐tailed adalah 0,613 < 0,05, artinya signifikan, artinya tidak ada perbedaan minat yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dengan kata lain, kelas dengan memanfaatkan SWiSHmax dengan pendekatan
mathematics problem solving memiliki minat yang sama pada waktu belajar geometri ruang dengan kelas kontrol, yaitu kelas dengan model pembelajaran
ekspositori dengan memanfaatkan alat peraga.
Dengan mengoptimalkan pemanfaatan media SWiSHmax dengan
pembelajaran mathematics problem solving diperoleh pengalaman yang baik. Pengalaman ini dapat tumbuh dan berkembang seperti pengalaman mahasiswa
di dalam memahami materi geometri ruang. Pengalaman mahasiswa yang
sangat bermakna ini dapat dikembangkan dalam pembelajaran pokok bahasan
irisan bidang, jarak dan sudut.
Mahasiswa mengalami sendiri bentuk‐bentuk dan visual dari irisan
bangun ruang, dapat pula melakukan manipulasi dengan melakukan rotasi
dengan lukisan matematika tersebut. Pengalaman dengan mengalami sendiri inilah yang menjadi inti dari mathematics problem solving. Mahasiswa tak hanya mendengar nmun juga mengalami sendiri. Dari pengelaman tersebut,
diharapkan mahasiswa dapat meningkatkan kemampuan keruangannya
sehingga hasil yang diperoleh dapat dimanfaatkan untuk bidang yang lain.
Jarak dan sudut merupakan materi dalam geometri ruang yang menuntut
mahasiswa untuk dapat melihat jauh ke dalam. Hubungan yang terjadi antara
mahasiswa dan permasalahan tidak sekedar mahasiswa membaca dan
memahami, namun diharapkan mahasiswa dapat masuk ke dalam
permasalahan dan kemudaian mencari solusi dari permasalahan dengan cara
yang cerdas. Hal tersebut di atas tidaklah mudah, perlu latihan berulang‐ulang
dengan soal yang kreatif.
Dalam menghitung jarak dan sudut dalam geometri ruang tidaklah sulit.
Akan lebih sulit bagi mahasiswa untuk menentukan manakah jarak yang
dimaksud. Contoh kecil adalah jarak antara ruas garis BC dan EF pada sebuah
kubus. Banyak mahasiswa yang tidak memahami konsep jarak dengan jelas
sehingga permasalahan tersebut menjadi sulit.
Pembelajaran mathematics problem solving, selain mengasah kemampuan berpikir mahasiswa, juga mengemukakan permasalahan kontekstual dalam
prosesnya. Sebagai contoh, ketika mengajarkan konsep sudut, akan lebih mudah jika mahasiswa mengalami sendiri berada dalam kubus, sehingga sudut
yang dimaksud menjadi lebih terlihat. Contoh sederhana adalah ketika
mahasiswa dihadapkan pada permasalahan menghitung sudut antara ruas
garis BH dengan ruas garis AC. Mahasiswa akan lebih mudah melukis dengan
bantuan visualisasi SWiSHmax dibandingkan dengan mengangan‐angan.
Pada dasarnya, pengajaran kontekstual dapat dilaksanakan dengan 7
(tujuh) pendekatan sebagai berikut. (a) Belajar Berbasis Masalah (Problem‐Based Learning, yaitu belajar dengan menggunakan masalah dunia nyata sebagai
suatu konteks; (b) Pengajaran Autentik (Authentic Instruction), intinya adalah
Inquiri (Inquiry‐Based Learning), yaitu mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna dengan menemukan
sendiri permasalahan yang dihadapi; (d) Belajar Berbasis Proyek (Project‐Based Learning), lingkungan belajar siswa didesain agar siswa dapat melakukan
penyelidikan dan pendalaman materi, siswa dapat bekerja sendiri untuk
mengkonstruksi dan mengkulminasikan dalam produk nyata; (e) Belajar
Berbasis Kerja (Work‐Based Learning), yaitu siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran, dan kemudian dikembalikan lagi ke
tempat kerja; (f) Belajar Jasa‐Layanan (Service Learning) yaitu menyajikan
penerapan praktis yang diperlukan dan berbagai ketrampilan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat; dan
(g) Belajar Kooperatif (Cooperative Learning), yaitu menggunakan kelompok
kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam
mencapai tujuan belajar.
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual bertujuan membekali
mahasiswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan
(ditransfer) dari suatu permasalahan ke permasalahan lain, dari suatu konteks ke konteks yang lain.
Pendekatan kontekstual dapat diimpelementasikan dalam bentuk belajar berbasis masalah (problem‐based learning), yaitu pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk
belajar berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah untuk memperoleh
konsep atau pengetahuan yang esensial.
Pada kegiatan pendahuluan, dosen mengingatkan semua mahasiswa tentang materi perkuliahan yang lalu, memotivasi mahasiswa,
mengkomunikasikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai secara rinci dan
Pada kegiatan inti mencakup 5 (lima) fase. Pada fase pertama, dosen
mengajukan masalah pada mahasiswa dan meminta mahasiswa
mengemukakan ide mereka untuk memecahkan masalah tersebut. Pada fase
kedua, mahasiswa melakukan penyelidikan/pemecahan secara bebas baik
dalam kelompok besar maupun kelompok kecil. Dosen bertugas mendorong
mahasiswa mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen aktual hingga
mereka benar‐benar mengerti dimensi situasi permasalahannya. Pada fase
ketiga, dosen menyuruh salah seorang mahasiswa untuk mempresentasikan
hasil pemecahan masalah dan membantu mahasiswa jika mereka mengalami
kesulitan. Pada fase keempat, dosen membantu menganalisis dan mengevaluasi
proses berpikir mahasiswa sedangkan mahasiswa menyusun kembali hasil
pemikiran dan kegiatan yang telah dilakukan untuk digunakan menyelesaikan
masalah berikutnya.
Dengan layanan dosen yang memadai melalui berbagai bentuk
penugasan (project‐based learning), mahasiswa belajar bekerja sama untuk menyelesaikan masalah (problem‐based learning) dan saling menghargai sehingga hubungan antar mahasiswa akan menjadi lebih harmonis. Mahasiswa yang merasa “kurang” dapat belajar bersama‐sama mahasiswa yang pandai
mengerjakan dan mempertanggung‐jawabkan solusi yang ditugaskan.
Sesuai dengan hasil angket maka diketahui bahwa tingkat keberminatan
mahasiswa dalam belajar geometri ruang tidaklah berbeda secara signifikan.
Hal ini dapat disebabkan karena tujuan mahasiswa dalam mengikuti
perkuliahan sudah jelas, sehingga model pembelajaran dan media yang
digunakan tidak mempengaruhi minat mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan dalam kelas.
5. S I M P U L A N D A N S A R A N
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang disajikan di dalam Bab
V, kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut: (a) Hasil belajar
Geometri Ruang memanfaatkan SWiSHmax dengan pendekatan mathematics problem solving lebih baik daripada pembelajaran geometri ruang dengan ekspositori berbantuan alat peraga matematika; (b) Tidak ada perbedaan yang
signifikan pada tingkat keberminatan mahasiswa dalam pembelajaran
memanfaatkan SWiSHmax dengan pendekatan mathematics problem solving dan pembelajaran geometri ruang dengan ekspositori berbantuan alat peraga
matematika.
5.2 Saran
Saran‐saran yang diajukan adalah sebagai berikut: (a) Para dosen mata
kuliah geometri ruang di lingkungan Universitas Negeri Semarang lebih
mengoptimalkan pemanfaatan media SWiSHmax dengan pendekatan mathematics problem solving dalam rangka peningkatan kompetensi mahasiswa dalam bidang geometri ruang; (b) Jurusan Matematika memprakarsai
pengembangan media SWiSHmax dengan memberikan waktu luang kepada
para dosen untuk mengembangkan media tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Darsono, M. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Semarang Press. Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta. Hidayah, I. dan Sugiman. 1998. Pengembangan Model Pengajaran Matematika SD
Kurikulum 2005 Jurusan Matematika Universitas Negeri Semarang.
NCTM. 1989. 1989 NCTM Standards: Grades 9‐12 Mathematics as Problem Solving. Download dari http://www.nctm.org pada tanggal 15 Januari 2006.
Prabowo, A. 2004. Pengaruh Penggunaan Media Visual Compact Disc (VCD)
Terhadap Hasil Belajar Mahasiswa Sekolah Dasar Negeri Petompon 5, 6,
7, pada Pokok Bahasan Pengukuran Luas, Keliling dan Berat Serta
Pengukuran Waktu (Skripsi). Matematika UNNES.
Prabowo, A. 2005. Generasi SWiSH untuk Pembelajaran Matematika Sekolah
Dasar dalam Proseeding Seminar Nasional MIPA UNNES. 1:PM‐13‐1
Sugiarto dan Hidayah, I.. 1999. Implementasi dan Pengembangan Model Pembelajaran Matematika SD Bercirikan Pendayagunaan Alat Peraga di Kabupaten Semarang. (Penelitian Dosen Muda Tahap II). Semarang: IKIP Semarang.
Jigsaw Dan Team Game Tournamen(Tgt) Pada Siswa Sekolah Menengah Pertama
Oleh : Asep Ikin Sugandi
STKIP Siliwangi Bandung
Abstrak
Rendahnya pemahaman matematika siswa di tingkat SMP menjadi tantangan bagi para guru untuk
mengubahnya. Salah satu alternatif yang dapat ditempuh adalah dengan memilih model pembelajaran
yang dapat memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan dan meningkatkan aktivitas siswa
dalam belajar serta meningkatkan pemahaman siswa terhadap matematika. Model belajar yang dapat
meningkatkan pemahaman siswa terhadap matematika siswa adalah model belajar kooperatif Tipe STAD,
Jigsaw dan TGT.
Kata Kunci : Kooperatif Tipe STAD, Jigsaw dan TGT serta Pemahaman Matematika
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Hasil belajar siswa beberapa tahun belakangan ini banyak dipersoalkan, terutama karena hasil belajar yang dicapai tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Hal ini dapat kita lihat dari rata‐rata nilai UAN siswa SMP Negeri
dan Swasta di Jawa Barat yang masih berada di bawah 6. Jadi dengan demikian
hasil belajar siswa dalam bidang studi matematika sangat rendah.
Selain itu kedudukan dan fungsi guru dalam proses belajar mengajar saat
ini cenderung masih dominan. Aktivitas guru masih sangat besar
dibandingkan dengan aktivitas siswa yang masih rendah kadarnya. Padahal yang diharapkan dalam proses pembelajaran tidaklah seperti demikian. Yang
diharapkan dalam proses pembelajaran adalah siswa aktif . Proses komunikasi
yang diharapkan adalah komunikasi banyak arah.
Pada masa sekarang ini masih ada guru yang bertugas memberikan
guru. Hal ini sejalan dengan pendapat Hudoyo (1979 : 205) bahwa
pembelajaran matematika hingga kini lebih didominasi oleh sistem
pembelajaran konvensional, seperti ceramah dan “drill”.
Melihat kenyataan nilai NEM matematika dan aktivitas siswa yang masih
kurang memuaskan, sudah sewajarnya bila para peneliti dan staf ahli dalam
bidang pendidikan mencari alternatif untuk memecahkan masalah tersebut.
Salah satu usaha yang mulai nampak dilaksanakan terhadap para guru dan
siswa adalah dengan diadakannya penataran ‐ penataran guru, pengayaan bagi
siswa, pengembangan dan perbaikan Model, metode pembelajaran dan usaha‐
usaha lainnya yang dapat mengaktifkan siswa untuk belajar baik secara mental,
fisik maupun sosial.
Untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika
yang salah satunya adalah pemahaman matematika, hendaknya guru dapat
memilih dan menerapkan suatu Model pembelajaran yang efektif untuk
meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal‐soal yang berupa
pemamahan matematika.
Salah satu Model pembelajaran yang dapat efektif dalam meningkatkan kemampuan pemahaman dan aktivitas siswa dalam belajar adalah Model
Belajar Kooperatif, yang terdiri dari model belajar kooperatif tipe STAD, Jigsaw
dan TGT.
Rumusan Masalah
Berdasakan latar belakang yang telah diuraikan, maka masalah dalam
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
Apakah kemampuan pemahaman matematika siswa yang pembelajarannya
menggunakan model belajar kooperatif tipe jigsaw lebih baik dari pada
kemampuan pemahaman matematika siswa yang pembelajaranya
menggunakan model belajar TGT maupun STAD? Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan pemahaman
matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan model belajar kooperatif tipe jigsaw lebih baik dari pada kemampuan pemahaman
matematika siswa yang pembelajaranya menggunakan model belajar TGT
maupun STAD
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk mencari model belajar kooperatif yang
efektif dalam upaya meningkatkan pemahaman matematika.
Studi Pustaka
1. Pemahaman Matematika
Pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap konsep matematika menurut
NCTM (1989 : 223) dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam (1)
Mendefinisikan konsep secara verbal dan tulisan; (2) mengindentifikasikan dan
membuat contoh dan bukan contoh; (3) Menggunakan model, diagram dan
simbol‐simbol untuk merepresentasikan suatu konsep; (4) Mengubah suatu
bentuk representasi ke bentuk lainnya; (5) Mengenal berbagai makna dan
interpretasi konsep; (6) Mengidentifikasi sifat‐sifat suatu konsep dan mengenal
syarat yang menentukan suatu konsep; (7) Membandingkan dan membedakan konsep‐konsep.
Pemahaman matematika dapat dibedakan beberapa macam. Ruseffendi
(1988 : 221) mengatakan, “Ada 3 macam pemahaman : pengubahan
(translation), pemberian arti (interpretation), dan pembuatan ekstrapolasi
(ekstrapolation)”. Sedangkan Skemp (Utari , 2002 : 12) membedakan dua jenis
pemahaman yaitu (1) pemahaman instrumental : hapal sesuatu secara terpisah
atau dapat menerapkan sesuatu pada perhitungan rutin/sederhana,
mengerjakan sesuatu secara algoritmik saja; (2) pemahaman relasional : dapat
mengkaitkan sesuatu dengan hal lainnya secara benar dan menyadari proses
yang dilakukan