DAFTAR PUSTAKA
2. Pembahasan 2.1 Metakognitif
2.2 Pembelajaran Matemátika dengan Pendekatan Metakognitif
Pengertian belajar (Fontana dalam Suherman,dkk. 2003, h.7) adalah, “proses perubahan tingkah laku individu yang relatif tetap sebagai hasil dari
pengalaman”, sedangkan pembelajaran merupakan upaya penataan
lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar tumbuh dan
berkembang secara optimal.
Peristiwa belajar disertai dengan proses pembelajaran akan lebih terarah
dan sistematik daripada belajar yang hanya semata‐mata dari pengalaman
dalam kehidupan social di masyarakat. Belajar dengan proses pembelajaran ada peran guru, bahan belajar dan lingkungan kondusif yang sengaja diciptakan.
Pembelajaran dengan pendekatan metakognisi mengarahkan pada
perhatian siswa pada hal‐hal yang relevan dan membimbing mereka untuk
pertanyaan‐pertanyaan. Pertanyaan‐pertanyaan ini menuntun siswa untuk
memusatkan langkah penyelesaian soal dan untuk membimbing kesulitan yang
mungkin dialami siswa selama proses berlangsung.
Pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif adalah
pembelajaran matematika yang menitik beratkan pada aktivitas belajar siswa,
membantu dan membimbing siswa jika ada kesulitan, membantu siswa
mengembangkan kesadaran metakognisinya. Proses metakognisi, menurut
Cardelle Elawar (1992), adalah strategi pengaturan diri siswa dalam memilih,
mengingat, mengenali kembali, mengorganisasi informasi yang dihadapinya,
dan menyelesaikan masalah.
2.3 Kemampuan Pemecahan Masalah
Memecahkan masalah itu merupakan aktivitas mental yang tinggi. Perlu
diketahui bahwa suatu pertanyaan merupakan suatu masalah tergantung
kepada individu dan waktu. Artinya, suatu pertanyaan merupakan suatu
masalah bagi siswa, tetapi mungkin bukan suatu masalah bagi siswa lain.
Pertanyaan yang dihadapkan kepada siswa yang tidak bermakna akan bukan merupakan masalah bagi siswa tersebut. Dengan kata lain, pertanyaan yang
dihadapkan pada siswa haruslah dapat diterima oleh siswa tersebut. Jadi
pertanyaan itu harus sesuai dengan struktur kognitif siswa.
Dalam pengajaran matematika, pertanyaan yang dihadapkan kepada
siswa biasanya disebut soal. Menurut Hudojo (2003, h. 149), soal‐soal
matematika dibedakan menjadi dua bagian berikut: 1) latihan yang diberikan
pada waktu belajar matematika adalah bersifat berlatih agar terampil atau sebagai aplikasi dari pengertian yang baru saja diajarkan. 2) masalah tidak
seperti halnya latihan tadi, menghendaki siswa untuk menggunakan sintesis
pengetahuan, ketrampilan dan pemahaman, tetapi dalam hal ini ia
menggunakannya pada situasi baru.
Dalam memecahkan suatu masalah matematika, diperlukan beberapa
prasyarat. Menurut Hudoyo (2001, h. 171) pra‐syarat tersebut adalah pra‐syarat
pengetahuan (pengetahuan sebelumnya), ketrampilan, adanya kemampuan
pemahaman. Dalam matematika, kemampuan pemahaman berupa penguatan
terhadap suatu ide, prinsip, prosedural, atau fakta dan hukum. Sehingga, dapat
dikatakan bahwa seseorang telah memiliki kemampuan pemahaman berarti
dalam diri orang tersebut telah terbentuk suatu jaringan representasi mental.
Rasionalnya, sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa derajat
pemahaman ditentukan oleh jumlah dan kuatnya hubungan suatu ide, prinsip,
prosedural atau fakta, hukum dan akan lebih bermakna jika dapat digunakan
untuk memecahkan masalah.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kemampuan pemahaman
matematika mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah. Untuk itu, perlu
diupayakan dalam setiap proses pembelajaran matematika agar dapat
menumbuhkembangkan kemampuan pemahaman dan kemampuan pemecahan masalah. Salah satu upaya tersebut adalah menerapkan
pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif.
2.4 Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Metakognitif dalam
Pemecahan Masalah
Adapun aspek aktivitas metakognitif yaitu: (1) kesadaran mengenal informasi, (2) memonitor apa yang mereka ketahui dan bagaimana
mengerjakannya dengan mempertanyakan diri sendiri dan menguraikan
membandingkan dan membedakan solusi yang lebih memungkinkan (Flavell,
dalam Suzana, 2003).
Selanjutnya pembelajaran dengan pendekatan metakognitif
menggunakan serangkaian pertanyaan metakognitif yang meliputi pertanyaan
pemahaman yaitu didisain untuk mendorong siswa menterjemahkan konsep
dengan kata – kata sendiri setelah membaca soal dan memahami makna konsep
yang terkandung di dalamnya, pertanyaan strategi yaitu didisain untuk
mendorong siswa mempertimbangkan strategi yang sesuai digunakan untuk
memecahkan masalah yang diberikan dan memberikan alasannya, dan
pertanyaan refleksi yaitu didisain untuk mendorong siswa untuk
memfokuskan pada proses penyelesaian.
Upaya yang dapat dilakukan dalam pembelajaran metakognitif, salah
satunya dilakukan oleh Elawar (dalam Suzana, th 2003, h 32‐33), pembelajaran
metakognitif yang diupayakan melalui tiga tahap:
1. Tahap pertama diskusi awal (Introductory discussion)
Guru memberikan contoh pada siswa bagaimana menyelesaikan soal di
papan tulis dan diulang oleh siswa pertanyaan apa yang harus ditanyakan pada diri mereka sendiri dalam menyelesaikan soal.
Contohnya:
1. Apakah saya memahami semua kata dalam soal?
2. Apakah saya mempunyai semua informasi untuk menyelesaikannya? 3. Apakah saya mengetahui bagaimana saya harus mengatur informasi
ini?
4. Apakah saya tahu bagaimana penghitung penyelesaiannya?
2. Tahap kedua verja sendiri/individu (independent work)
Siswa bekerja sendiri, guru berkeliling kelas, memberi pengaruh timbal
Penyimpulan yang dilakukan oleh siswa merupakan rekapitulasi dari
apa yang telah dilakukan di kelas. Contoh pertanyaan yang ditanyakan
oleh guru:
a. Apa yang kamu pelajari hari ini?
b. Apa yang kamu pelajari tentang diri kamu sendiri dalam
menyelesaikan soal matematika?
Dalam rangka pemilihan masalah dalam hal ini soal terdapat tiga
kriteria. Menurut Kroll (dalam Yimer dan Ellerton ) kriterianya adalah: (a)
pemilihan masalah yang digunakan dalam jangkauan kemampuan siswa, dan
tidak memerlukan konsep matematika dan prinsip yang biasa dikerjakan siswa.
(b) permasalahan harus menantang dan (c) permasalahan harus nonrutin. Salah
satu permasalahannya, permasalahan tentang uang, yaitu:
Lima dolar dibagikan kedelepan belas anak‐anak, sehingga masing‐
masing anak prempuan mendapat dua sen kurang dari anak laki‐laki. Berapa
sen yang diperoleh oleh anak laki‐laki dan anak prempuan?
Masalah (soal) tersebut akan merupakan masalah bagi seorang siswa
sekolah menengah, bila siswa belum pernah menyelesaikan soal semacam itu. Masalah semacam itu memerlukan penganalisaan dan setelah pola diketahui
dapatlah ditemukan penyelesaiannya.
Adapun penyelesaian untuk masalah di atas adalah sebagai berikut:
Misalkan b = jumlah anak‐anak lelaki, g = jumlah anak‐anak perempuan.
g = 18 ‐ b
Misalkan c = jumlah sen yang diterima anak laki‐laki, dan c – 2 = jumlah sen yang diterima anak perempuan.
Yang $ 5 kemudian dibagi sebanyak b anak‐anak lelaki, masing‐masing menerima c sen, dan 18 ‐ b anak‐anak perempuan, masing‐masing menerima c ‐ 2 sen. Maka: bc + (18 ‐ b)(c ‐ 2) = 500 bc + 18c – 36 – bc + 2b = 500 18c + 2b = 536 9c + b = 268 ( 1 )
Sebab tidak diketahui bagaimana cara menyelesaikan suatu persamaan dengan
dua yang tak diketahui ( diasumsikan Persamaan Diophantine adalah di luar
kebiasaan, menyusun kembali ( 1) untuk mendapatkan: c =
9
268−b ( 2 )
Sekarang diketahui bahwa b nilainya terletak antara 1 dan 17, mensubstitusikan nilai ini ke persamaan ( 2) dan mencatat nilai‐nilai yang diperoleh c.
Diperoleh dua jawab:
b = 7 dan c = 29 (7 anak laki‐laki masing‐masing 29 cents dan 11
anak‐anak perempuan masing‐masing 27 cents )
b= 16 dan c = 28 ( 16 anak‐anak lelaki masing‐masing 28 sen dan 2 anak‐
anak perempuan masing‐masing 26 sen).
Mengajarkan pemecahan masalah kepada siswa merupakan kegiatan
dari seorang guru dimana guru itu membangkitkan siswa‐siswanya agar
kemudian ia membimbing siswa‐siswanya untuk sampai kepada penyelesaian
masalah.
Bagi siswa, pemecahan masalah haruslah dipelajari. Di dalam
menyelesaikan masalah, siswa diharapkan memahami proses menyelesaikan
masalah tersebut dan menjadi trampil di dalam memilih dan mengidentifikasi
kondisi dan konsep yang relevan, mencari generalisasi, merumuskan rencana
penyelesaian dan mengorganisasikan ketrampilan yang telah dimiliki
sebelumnya.
Nampaklah bahwa pemecahan masalah mempunyai fungsi yang
penting dalam kegiatan belajar mengajar matematika. Guru menyajikan
masalah‐masalah, sebab melalui penyelesaian masalah siswa‐siswa dapat
berlatih dan mengintegrasikan konsep‐konsep, teorema‐teorema dan
ketrampilan yang telah dipelajari. Hal ini penting bagi para siswa untuk
berlatih memproses data atau informasi. 3. Pentutup
1. Guru dalam pembelajaran metakognitif di dalam kelas harus berusaha
mengajari siswa untuk merencanakan, memantau, dan merevisi pekerjaan
mereka sendiri termasuk tidak hanya membuat siswa sadar tentang apa
yang mereka tahu tapi juga apa yang bisa mereka lakukan ketika mereka
gagal untuk memahami.
2. Guru harus terfokus dalam mengembangkan kemampuan siswa untuk
memecahkan soal serta rasa percaya diri siswa di dalam kemampuan
3. Pembelajaran dengan metakognitif ini mengarahkan perhatian siswa pada
sesuatu yang relevan dan membimbing mereka untuk memilih strategi yang
cocok untuk menyelesaikan soal‐soal.
Daftar Pustaka
Cardelle‐Elawar, M. (1992). “Effect of Teaching Metacognitive Skills Student
with Low Mathematics Ability”. In M.J. Dunkin & N.L. Gage (Eds),
Teaching and Teacher Education: An International Journal of Reaserch and Studies. 8, 109 – 111. Oxpord: Pergamon Press.
Costa, A.L. (1985). (Eds). Developing Minds. A Resource Book for Teaching Thinking. Association for Supervision and Curriculum Development: Alexandria, Virginia.
Dimyati dan Mudjiono (2002). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Goos, M. & Galbraith, P. (200). A Money Problem: A Source of Insight into
Problem Solving Action. www.cimt.plymouth,ac.uk/journal/pg
money.pdf (26 Okteber 2007).
Hudoyo, H. (2001). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: IKIP Malang.
Hudoyo, H. (2003). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Universitas Negeri Malang.
Kluwe, R.H. (1982). Cognitive Knowledge and Executive Control: Metacognition. In D. R Griffin (Eds.), Animal mind‐human mind. 201‐224. New York: Springer‐Verlag.
Matlin, M.W.(2003). Cognition. Fifth Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Suherman, E. Dkk (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
Suzana, Y (2003). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa SMU Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif. Tesis PPS. UPI: Tidak diterbitkan.
Yimer, A. & Ellerton, N.F. Cognitive and Metacognitive Aspects of
Mathematical Problem Solving: An Emerging Model.
http:www.merge.net.au/document/Rp672006.pdf (5 Nopember 2007)
Geometri Di Klas VII B SMP N 2 Demak Tahun 2006/07
Oleh:
Rasiman
IKIP PGRI SEMARANG
ABSTRAK
Pengajaran Matematika khususnya geometri di Sekolah Menengah Pertama (SMP) mempunyai
peran penting untuk mempelajari matematika tingkat lanjut maupun dalam kehidupan sehari‐hari.
Namun pada kenyataannya banyak siswa SMP yang masih mengalami berbagai kesulitan dalam
memahami konsep geometri maupun memecahkan soal bentuk cerita. Oleh karena itu, perlu ditemukan
solusi sedemikian hingga siswa SMP menjadi lebih mudah dan senang belajar matematika, khususnya
dalam belajar geometri.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bahwa model pembelajaran problem solving dengan
memanfaatkan alat peraga dapat meningkatkan hasil belajar geometri di kelas VIII B SMP N 2 Demak
tahun 2006 / 2007.
Dalam penelitian ini dilakukan dalam dua siklus, masing‐masing siklus dengan tahapan
perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dan refleksi. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan secara
kolaborasi partisipatif antara guru mata pelajaran matematika SMP Negeri 2 Demak dan peneliti.
Hasil dalam penelitian ini meliputi : (1) guru dapat meningkatkan kinerjanya dalam
pembelajaran; (2) keaktifan siswa dalam pembelajaran meningkat; (3) siswa dapat meningkatkan
kerjasama dan berkomunikasi dengan teman dalam kelompoknya; (4) hasil belajar siswa dapat geometri
dapat meningkat ; dan (5) tercipta suasana pembelajaran yang menyenangkan.
Kata Kunci : Problem solving, geometri, hasil belajar
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam melaksanakan pengajaran matematika di SMP, terdapat
tiga unit atau cabang matematika yaitu aljabar, geometri, dan aritmetika.
Pengajaran ketiga unit tersebut dilaksanakan secara sekuensial‐periodik. Ini
berarti bahwa tata urut bahan ajar matematika di SMP bersifat silih berganti
dan berkesinambungan. Dalam menyampaikan bahan ajar tersebut, guru
matematika dianjurkan untuk memilih metode mengajar secara fleksibel.
Namun kenyataan dari pengalaman para guru matematika di
SMP Negeri 2 Demak menunjukkan bahwa dalam menyajikan bahan ajar
yang berkaitan dengan pemahaman konsep‐konsep geometri maupun
penyelesaian soal geometri bentuk cerita. Kesulitan guru dalam menjelaskan
siswa tentang cara menyelesaikan soal geometri bentuk cerita adalah meliputi
dalam hal melatih siswa untuk memahami proses pemecahan, terampil
memilih dan mengidentifikasi kondisi serta konsep yang relevan, dan
menentukan teknik yang akan digunakan.
Di sisi lain, tujuan diberikannya mata pelajaran matematika di
SMP antara lain agar siswa mampu menghadapi perubahan keadaan di dunia
yang selalu berkembang melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara
logis, rasional, kritis, cermat, jujur, dan efektif. Hal ini, jelas merupakan
tuntutan yang tidak ringan dan tidak mungkin bisa dicapai hanya melalui
hapalan, latihan soal, dan proses pembelajaran biasa. Untuk memenuhi
tuntutan tujuan tersebut, maka perlu dikembangkan materi serta proses
pembelajaran yang relevan.
Menurut teori belajar yang dikemukakan Gagne (1970)
menyatakan bahwa ”ketrampilan intelektual yang tinggi dapat dikembangkan
melalui pemecahan masalah ( Problem Solving )”. Dalam pembelajaran matematika dengan problem solving, siswa dihadapkan dengan permasalahan
yang dapat memotivasi siswa untuk ingin tahu dengan melakukan
penyelidikan sehingga dapat menemukan sendiri jawabannya.
Berkaitan dengan pembelajaran geometri di SMP, maka siswa
SMP dituntut mengenal penalaran deduktif aksiomatik. Agar penalaran
tersebut dapat tercapai perlu diupayakan bahwa penyajian materi geometri
(matematika) baik di dalam kelas maupun dalam buku ajar benar‐benar diarahkan kepada penataan menalar ( R. Soedjadi, 2000 ). Oleh karena itu guru
matematika harus kreatif serta mampu merencanakan dan melaksanakan
Di samping dapat memilih metode yang tepat, guru matematika
dalam pembelajaran materi geometri dapat juga menggunakan alat bantu ajar (
alat peraga ). Andreas (2002) menyatalan bahwa, alat peraga diakui oleh
banyak ahli pendidikan memainkan peranan penting dalam efektivitas
pembelajaran. Sedangkan hasil penelitian Sugiarto dan Isti (1999)
menunjukkan bahwa pendayagunaan alat peraga sebagai alat bantu ajar dalam
pembelajaran matematika membuat pembelajaran lebih bermakna dan siswa
aktif.
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang yang telah diuraikan di muka, maka
dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut :
“Apakah model pembelajaran problem solving dengan memanfaatkan alat
peraga dapat meningkatkan hasil belajar geometri di kelas VIII B SMP Negeri 2
Demak?”.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bahwa model pembelajaran
problem solving dengan memanfaatkan alat peraga dapat meningkatkan hasil belajar geometri di kelas VIII B SMP N 2 Demak tahun 2006 / 2007.
D. Manfaat Penelitian
Hasil‐hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Guru :
a. Menambah alternatif model pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil
belajar siswa dalam memahami konsep geometri dan menyelesaikan soal
geometri bentuk cerita.
b. Mendapatkan pengalaman langsung dalam melakukan penelitian tindakan
kelas (PTK) untuk menimgkatkan kualitas pembelajaran dan profesi guru.
a. Menumbuhkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah yang
berkaitan dengan soal geometri bentuk cerita.
b. Menumbuhkan kebiasaan bekerja sama dan berkomunikasi dengan
teman dalam kelompoknya.
c. Meningkatkan keaktivan siswa dalam pembelajaran geometri
METODE PENELITIAN
A. Subyek Penelitian.
Subyek penelitian adalah siswa dan guru mata pelajaran
matematika SMP Negeri 2 Demak kelas VIII B tahun pelajaran 2006/2007,
yang banyaknya siswa 44 orang. B. Prosedur Penelitian.
Dalam penelitian ini dilakukan dalam dua siklus, masing‐masing
siklus dengan tahapan perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dan refleksi. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan secara kolaborasi partisipatif antara guru mata pelajaran matematika SMP Negeri 2 Demak dan peneliti.
Siklus 1 (1) Perencanaan
a. Guru dan peneliti secara kolaboratif merencanakan pembelajaran
problem solving dengan memanfaatkan alat peraga pada materi yang
akan diajarakan yaitu “Penerapan Dalil Pythagoras dalam geometri”
dengan membuat rencana pembelajaran.
b. Mempersiapkan sarana pembelajaran yang diperlukan
a. Guru menjelaskan materi sesuai dengan rencana pembelajaran dan
mengacu pada pembelajaran problem solving dengan memanfaatkan
alat peraga.
b. Guru membagi siswa dalam kelompok‐kelompok.
c. Guru membagikan permasalahan, lembar kerja, dan alat peraga yang
dibutuhkan.
d. Siswa menyelesaikan masalah yang diajukan secara kelompok.
e. Guru memberi motivasi siswa untuk melakukan diskusi dalam
kelompoknya.
f. Guru melakukan evaluasi terhadap hasil pekerjaan siswa.
g. Pada akhir siklus diadakan evaluasi.
(3) Pengamatan
Pengamatan dilakukan oleh peneliti sebagai kolaborator, sebagai berikut :
a. Observasi terhadap siswa
- Peneliti mengamati komunikasi antar siswa dalam kelompoknya. - Peneliti mengamati komunikasi guru dan siswa.
- Peneliti mengamati kerjasama siswa dalam kelompoknya. - Peneliti mengamati keaktifan siswa dalam pemecahan masalah.
b. Observasi terhadap guru
Peneliti mengamati guru dalam pengelolaan pembelajaran problem
solving dengan memanfaatkan alat peraga.
(4) Refleksi
Refleksi merupakan analisis hasil pengamatan, hasil lembar kerja dan
evaluasi dari tahapan‐tahapan pada siklus 1. Siklus 2
Pada siklus 2 ini, langkah‐langkahnya hampir sama dengan siklus 1.