DAERAH JAKARTA DAN SEKITARNYA
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 1 Identifikasi Kejadian
3.2 Hasil Penelitian
Dari peneilitian ini didapatkan hasil sebagai berikut
a. Penentuan Geser Angin dari VVP
Pada kondisi cuaca buruk dengan awan konvektif, profil angin secara vertikal
cenderung homogen sehingga sulit
menentukan lapisan dengan geser angin. Sebagai sample diambil VVP tanggal 22 April 2014 jam 07.30 UTC (gambar a) dan 08.00 UTC (gambar b).
Pada kondisi cuaca cerah, geser angin mudah terdeteksi melalui VVP. Sebagai sample diambil VVP tanggal 10 Oktober 2014 jam 03.20 UTC (gambar c) dimana geser angin terdeteksi pada lapisan 2,5 km dan jam 04.10 UTC (gambar d) dimana geser angin terdeteksi pada lapisan 2.5 km.
(a) (b) (c) (d) Gambar 6. Profil Vertical Angin produk VVP tanggal 22 April 2014 jam (a) 07.30; (b) 08.00; dan tanggal 10 Oktober 2014 jam (c) 03.20; (d) 04.10
b. Aktifitas Turbulensi dari Spectral Width
Pada kondisi cuaca buruk, spectral width mampu mendeteksi pergerakan per- pertikel dalam suatu sample volume yang menandakan adanya turbulensi pada sample volume tersebut. Dari sample citra vertical cut CAPPI tanggal 22 April 2014 jam 09 UTC (gambar a), pembacaan menunjukkan kecepatan turbulensi 1.8 m/s dan rata-rata
ketinggian maksimum 6.3 km dari
permukaan tanah.
Sementara pada cuaca cerah, tidak terdeteksi adanya pergolakan dalam suatu
sample volume. Hal ini dikarenakan saat cuaca cerah tidak ada partikel yang dapat dide teksi oleh radar.
162
(a) (b)
Gambar 7. Produk VCUT CAPPI (a) tanggal 22 April 2014 jam 09.10 UTC dan (b) tanggal 10 Oktober 2014 jam 03.20 UTC (LS 6.26 BT 106.79-106.86)
c. Aktifitas Turbulensi dari
Turbulance Index 2 (TI2) dan
Richardson Number (Ri) dari WRF
Hasil kalkulasi parameter
turbulensi dar WRF merupakan rata-rata dari nilai yang didapatkan atas suatu area.
Dalam penelitian ini area yang digunakan terletak antara 6.0 – 6.4 lintang selatan.
Model WRF tidak cukup baik
merepresentasikan aktifitas turbulensi yang terjadi di lapisan batas atmosfer. baik ketika cuaca buruk maupun cerah.
(i) Cuaca Buruk
(a) (b)
Gambar 8. Parameter Turbulensi pada cuaca buruk (a) Turbulance Index 2;
163
Saat cuaca buruk, aktifitas
turbulensi dari peta TI2 tergambar ± 0.5° (±55 km) sebelah barat dari area pantauan dengan nilai 3.5 – 4 yang termasuk kategori turbulensi lemah hingga ketinggian 950
meter. Sementara di peta Ri area dengan warna paling mendekati nol (0) terjadi ± 2° disebelah barat area pemantauan (± 220 km) dengan nilai 0 – 1.5 hingga ketinggian 700 meter.
(ii) Cuaca Cerah
(a) (b)
Gambar 9. Parameter Turbulensi pada cuaca buruk (a) Turbulance Index 2;
(b) Richardson Number
Saat cuaca cerah, aktifitas
turbulensi dari peta TI2 tergambar ± 1° (±110 km) sebelah barat dari area pantauan dengan nilai 8-11 yang termasuk kategori turbulensi sedang hingga kuat dengan
ketinggian mencapai 1100 meter.
Sementara di peta Ri area dengan warna paling mendekati nol (0) terjadi ± 2° disebelah barat area pemantauan (± 220 km) dengan nilai 0 – 1.5 hingga ketinggian 750 meter.
3.3 Analisa
Penelitian dilakukan pada dua kondisi cuaca, yaitu tanggal 22 April 2014 sebagai cuaca buruk dan 10 Oktober 2014 sebagai cuaca cerah. Parameter yang dikaji
adalah geser angin dan turbulensi dari radar serta turbulensi dari model NWP (WRF)
Tabel 3. Hasil Analisa
ANALISA KETINGGIAN LAPISAN BATAS ATMOSFER (meter)
ALAT CUACA BURUK CERAH
PARAMETER RADAR Geser Angin Vertikal X 2500 Spectral Width 6200 X WRF Turbulance Index X X Richardson Number X X
164
Penentuan puncak lapisan batas atmosfer dapat teridentifikasi dari profil vertikal angin, sehingga tebal lapisan batas pun dapat ditentukan dari lokasi adanya geser angin. Namun pada saat kondisi berawan, penentuan puncak LBA dengan metode ini cukup sulit dilakukan. Randall (1990) menyatakan bahwa kondisi troposfer ketika berawan cenderung hangat, hal ini menyebabkan lapisan inversi melemah sehingga geser angin tidak terlalu terlihat.
Spectral Width memiliki performa yang baik untuk memantau pergerakan partikel yang diasumsikan sebagai gerakan turbulensi dalam sample volume ketika terdapat awan Cb, namun tidak bisa menunjukan aktifitas turbulensi massa udara ketika cuaca cerah karena tidak ada partikel yang dapat di scan.
Kedua parameter turbulensi yang dihasilkan oleh WRF, TI2 maupun Ri, tidak mampu menggambarkan dengan baik turbulensi yang terjadi di dalam Lapisan
Batas. Ada beberapa faktor yang
megakibatkan hal ini terjadi. Pertama, karena WRF hanyalah model yang masih memerlukan verifikasi parameter yang sesuai. Berbeda dengan Radar, WRF bukan merupakan alat pengukuran in situ pada
atmosfer, melainkan hanya
pendekatan.sehingga diupayakan
menyerupai keadaan atmosfer sebenarnya. Kedua ada dua jenis turbulensi yang terjadi di atmosfer, yaitu turbulensi karena pengaruh dari permukaan dan peristiwa konveksi yang merupakan proses yang terjadi dalam lapisan batas, serta turbulensi karena adanya pertukaran momentum di atmosfer. Terdapat kemungkinan TI2 dan Ri turut menghitung adanya turbulensi dari peristiwa ini.
4.
KESIMPULAN
Pengukuran ketebalan LBA
berdasarkan ketinggian lapisan batas masih menjadi tantangan tersendiri bagi kita. Mengukur tebal lapisan batas memerlukan peralatan yang spesifik seperti Boundary Layer Radar, Radiosonde, Wind Profiler
Radar dan berbagai alat laiin yang penggunaannya tidak terlalu praktis karena terkendala biaya, tidak mampu mengcover area yang sangat luas, dan memiliki resolusi temporal yang kecil (khusus Radiosonde).
Berdasarkan penelitian ini, Radar cuaca telah mampu menyediakan data sebagai bahan analisa ketinggian lapisan batas melalui profil angin vertikal dan
spectral width. Namun Radar juga memiliki kelemahan tertentu. Selain penggunaannya untuk mengukur ketebalan lapisan batas dibatasi oleh kondisi cuaca, produk VVP juga hanya mengukur parameter angin setiap 250 meter. Range 250 meter antar lapisan dirasa terlalu besar. Karena geser angin bisa terjadi pada jarak yang cukup dekat bila diukur secara vertikal.
Meski demikian secara garis besar Radar cuaca yang telah banyak beroperasi di beberapa titik di wilayah Indonesia dapat dimaksimalkan pemanfaatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, R. (2014). Pemanfaatan Model WRF-ARW Untuk Deteksi Clear
Air Turbulence Menggunakan
Turbulence Index dan Richardson Number, Skripsi, Program Sarjana
Terapan Meteorologi, Sekolah
Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Tangerang Selatan Dewi, S. (2013). Identifikasi Ketebalan
Lapisan Batas Atmosfer
Menggunakan Profil Angin Radar Doppler Di Daerah Tangerang dan
Sekitarnya, Skripsi, Program
Sarjana Strata-1 (S-1) Meteorologi
Fakultas Ilmu dan Teknologi
Kebumian, Institut Teknologi
Bandung, Bandung
Kaimal, J.C. dan Finnigan, J.J. (1994).
Atmospheric Boundary Layer. Oxford University Press: New York
Listiaji, E. (2009). Simulasi Curah Hujan Di Atas Pulau Lombok Studi Kasus
165
Meteorologi Fakultas Ilmu dan
Teknologi Kebumian, Institut
Teknologi Bandung, Bandung
Rinehart, R.E. (2010). Radar for
Meteorologist (Fifth Edition). Rinehart Publishing: Nevada Santriyani, M., Octarina, D.T., Budaya,
B.J., Ghoir, N.U., dan Suradi (2009). Sensitivitas Parameterisasi Konveksi Dalam Prediksi Cuaca Numerik Menggunakan Model WRF-ARW (Studi Kasus Hujan Ekstrim Di Jakarta Tanggal 7 April 2009)
Stull, R. B. (1988). An Introduction to Boundary Layer Meteorology.
Kluwer Academic Publishers: