• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Hasil Penelitian

Peneliti ingin mengetahui proses penemuan makna hidup ibu yang memiliki anak down syndrome dengan mengungkap tahap penemuan makna hidup menurut Bastaman (1996) dan hasil wawancara akan dianalisa menggunakan teknik analisis isi kulitatif dengan pendekatan deduktif terarah.

56

Ibu yang memiliki anak down syndrome merasakan sedih akan situasi yang dialami. Kesedihan ini dipengaruhi oleh adanya keadaan yang tidak sesuai dengan yang diinginkan dan kekhawatiran akan pengasuhan anak serta tujuan hidup ibu sendiri. Maka perlu bagi ibu yang memiliki anak down syndrome untuk dapat menemukan makna hidupnya guna menentukan dan menjalankan tujuan yang akan diambil.

Penemuan makna hidup dalam penelitian ini meliputi beberapa tahap yaitu pertama tahap derita yang merupakan tahap dimana individu mengalami situasi yang tidak dapat dihindari termasuk aspek hidup yang disebut situasi penderitaan. Kedua, tahap penerimaan diri yang artinya individu dapat memahami dirinya akan situasi dan mengalami perubahan dalam bersikap.

Ketiga, tahap penemuan makna hidup dimana individu sudah menemukan makna melalui nilai-nilai berharga dalam hidup. Keempat, tahap realisasi makna yaitu tahap seseorang sudah menemukan semangat dan dapat melakukan hal positif. Terakhir yang kelima tahap hidup dengan makna dimana individu sudah dapat menghayati hidup dengan lebih positif (Bastaman, 1996 dalam Santosa & Wijaya, 2014; Chaidir & Tuapattinaja, 2018; Charlys & Kurniati, 2007; Frankl, 1992; Qori’ah & Ningsih, 2020).

1. Tahap derita

Pada tahap derita, peneliti menemukan bahwa kelima pastisipan merasa sedih atau tidak senang dengan situasi yang dialami. P1, P2 dan P4 merasakan sedih karena mengetahui mengenai kondisi tubuh anak. P2, P3,

57

P4, dan P5 merasa sedih karena mendapat pandangan negatif dari orang lain. Hal ini tampak dari ungkapan partisipan yang mengatakan:

P1 : “Jadi habis itu pertama kan begini apa itu ee down syndome itu ketika saya pelajari memang katanya sih ada beberapa organ yang tidak matang ya kalo si kecil ini ketika kami periksa jantungnya gapapa nggak ada apa-apa. Berarti ini kekurangnya yaitu pertumbuhan mata ya jadi mata satunya kan mikro ya to kemudian itu kan tampak ya. Itu yang pertama kali saya merasakan kelainan yang tampak itu menjadi anu yaa ee pertamakan perasaan ya kecewa ya jadi penerimaan karna dari fisik udah keliatan nah ya satu bulan itu seperti itu.”

P2 : “Kakaknya bilang ekspresif terus lebih ini sih dia kan suka sama sukanya tentang ini dia kan rapi sekali dalam opo yo melipat selimut kegiatan-kegiatan harian itu lebih tertib gitu. Melipat selimut, melipat baju, melipat macem-macem itu lebih tertib gitu cuma dukanya kalo ada orang yang kadang belum tau apa-apa dia sudah mem mem apa ya mengejudge terus mengatakan (nama anak) itu nggak normal itu yang membuat saya yang lhoh gitu awalnya sih seperti itu dek (nama peneliti) awal-awal berapa tahun ya ck eeeee (berpikir) 5 tahun lah itu. Itu tu belum belum bisa aku terima gitu dengan dengan dengan apa hati yang tulus

58

gitu kok masih ada ya yang masih mengucilkan eeee anak kebutuhan khusus. Tidak hanya di di apa lingkungan masyarakat juga kadang eeeeee keluarga juga masih ada yang kaya gitu.

Bukan keluarga tapi keluarga secara keseluruhan gitu. Nah setelah (nama anak) eeee aku sering cerita (nama anak) itu sering kegiatannya ini ada yang keluarga ada yang sudah menerima sudah see anu tapi ya masih ada yang yang belum seutuhnya gitu itu gitu.”

P2 : ““Itu karna us ususnya kurang kurang kurang anu ssss kurang ini kurang panjang jadi kurang nyambung ke dubur jadi kurang nol koma nol berapaaaaa senti gitu. Gitu awalnya itu kan harus operasi tigaa kali terus operasi yang kedua itu kan membuka membuat dubur membuat lubang duburnya nah itu tu membutuhkan waktu sa saya merawat adek itu satu bulan di rumah sakit. Satu bulan lebih malah. Wong itu, iya jadi seharusnya di rumah sakit itu eeee (nama anak) itu hanya dua minggu. Kok operasi kedua itu. Tapi ternyata ad eeeee (nama anak) harus dirawat satu bulan satu bulananlah satu bulan di rumah sakit jadi. Karena harus ngalami diare nah diare ini itu membu itu eee tidak cepat tertangani dengan baik oleh oleh rumah sakit jadi (nama anak) itu sampe kehabisan cairan sampe berat badannya turun banget gitu sampe hampir maaf ya dek (nama anak) waktu tu hampir (nama anak) itu mau meninggal.”

59

P3 : “Biasane kan tiang kathah niku nggih ngoten niku to suarane mpun mboten sah dirasakke nek kula ngrungokke ngoten niku.”

P4 : “suka diolok-olok gitu diejek-ejek temen ya udah gapapa se tapi anaknya nurut suruh di rumah di rumah.”

P4 : “Iya itu jauh malah pernah ngomong nggak ngakuin gitu ya udah gapapa, makanya saya pengen pindah ke Jogja gini takutnya saya nanti mati di sana nggak keurus kan anak saya kalo di Jakarta.”

P4 : “Ini dari umur dua dua hari kan nggak punya lubang anus waktu itu waktu lahir operasi .Operasi tiga kali ini. Bikin hemm apa clustomi dulu selama enem bulan enem bulan nanti operasi lagi. Operasi bikin lubang anus.”

P5 : “(batuk) tanggapan keluarga sih nggak papa gitu baik maksudnya udah nggak papa kok gini gini gini gitu kan nggak papa pokoknya mereka menerima dengan baik mereka nggak ada yang gini gini gini nggak ada cuma waktu itu memang aku sempat ke dokter ada salah satu dokter yang terkenal di Jakarta jadi bukan dokternya anak aku kan yang pegang ini tapi temannya mertua aku jadi dokter ini memang bagus banget terkenallah di Jakarta aku pergilah ke klinik dia begitu aku bawa masuk dia hanya lihat face

60

terus dia bilang ibu tentunya udah pernah dikasih tahu kan sama rumah sakitnya kan sama dokternya juga kan bahwa anak ini down syndrome ngomongnya (tertawa), terus aku yang iya dok eeee jadi saya bisa bikin apa dong aku bilang gitu kan buat stimulasi dia. Yang gak ada dia bilang gitu nggak ada hah maksudnya dok dia bilang istilahnya ya Bu ini anak ibu nanti agak besaran dikit ya ada didorong orang ke lumpur dia jatuh udah dia jatuh aja begitu Bu lho aku nangis aku abis itu aduh Tuhan rasanya bukan karena apa dokter kok mulutnya begini banget ya (tertawa) maksudnya kok nggak bisa ngasih apa gitu ya incorrect gitu gitu kan kasih semangat kek apa kek gitu kan ya kok nggak ada oh iya dok makasih dok aku pulang itu aku nangis (batuk) nyeseknya waktu itu aku ketemu ipar aku aku bilang sama ipar aku dia kan pernah cerita dia punya keluarga ada yang down syndrome terus aku bilang aku mau nanya dong itu mereka stimulasi nya gimana yang nggak bisa lo apa apain lagi saudaraku itu aja ditinggal aja begitu dirumah nggak ke mana mana oh aku nangis lagi tuh di situ rasanya kok sedih ya kok kedua orang ini nggak ada yang positif gitu kan.”

Peneliti juga menemukan bahwa terdapat partisipan yang tidak dapat bersikap dengan benar akan situasi yang dialaminya karena ketiga partisipan belum dapat menerima akan kondisi dan lebih merasa kecewa

61

akan situasi yang dialami. P1 dan P2 merasa belum dapat menerima kelainan fisik yang dialami oleh anak down syndrome. P2 dan P5 mengalami kekecewaan akan pendapat dari orang lain dan membuat kedua partisipan tidak dapat bersikap baik kepada orang tersebut. Hal ini terungkap dari pernyataan partisipan mengenai perasaannya.

P1 : “Jadi habis itu pertama kan begini apa itu ee down syndome itu ketika saya pelajari memang katanya sih ada beberapa organ yang tidak matang ya kalo si kecil ini ketika kami periksa jantungnya gapapa nggak ada apa-apa. Berarti ini kekurangnya yaitu pertumbuhan mata ya jadi mata satunya kan mikro ya to kemudian itu kan tampak ya. Itu yang pertama kali saya merasakan kelainan yang tampak itu menjadi anu yaa ee pertamakan perasaan ya kecewa ya jadi penerimaan karna dari fisik udah keliatan nah ya satu bulan itu seperti itu.”

P2 : “Kakaknya bilang ekspresif terus lebih ini sih dia kan suka sama sukanya tentang ini dia kan rapi sekali dalam opo yo melipat selimut kegiatan-kegiatan harian itu lebih tertib gitu. Melipat selimut, melipat baju, melipat macem-macem itu lebih tertib gitu cuma dukanya kalo ada orang yang kadang belum tau apa-apa dia sudah mem mem apa ya mengejudge terus mengatakan (nama anak) itu nggak normal itu yang membuat saya yang lhoh gitu

62

awalnya sih seperti itu dek (nama peneliti) awal-awal berapa tahun ya ck eeeee (berpikir) 5 tahun lah itu. Itu tu belum belum bisa aku terima gitu dengan dengan dengan apa hati yang tulus gitu kok masih ada ya yang masih mengucilkan eeee anak kebutuhan khusus. Tidak hanya di di apa lingkungan masyarakat juga kadang eeeeee keluarga juga masih ada yang kaya gitu. Bukan keluarga tapi keluarga secara keseluruhan gitu.

Nah setelah (nama anak) eeee aku sering cerita (nama anak) itu sering kegiatannya ini ada yang keluarga ada yang sudah menerima sudah see anu tapi ya masih ada yang yang belum seutuhnya gitu itu gitu.”

P2 : “Kalo anu sedih pertama kali kan harus opname 2 hari ya tau (nama anak) itu eeeee apa seperti itu gitu jadi (diam) ya sedih, ya kadang, kok anakku kaya gini sedangkan anak-anak yang lain biasa gitu (suara seperti ingin menangis) tapi ya itu cuma berjalan beberapa tahun sih sedih, kecewa, ya marah (menghela nafas sambil tertawa kecil) satu macem campur aduk pokoknya.”

P5 : “(batuk) tanggapan keluarga sih nggak papa gitu baik maksudnya udah nggak papa kok gini gini gini gitu kan nggak papa pokoknya mereka menerima dengan baik mereka nggak ada yang gini gini gini nggak ada cuma waktu itu memang aku

63

sempat ke dokter ada salah satu dokter yang terkenal di Jakarta jadi bukan dokternya anak aku kan yang pegang ini tapi temannya mertua aku jadi dokter ini memang bagus banget terkenallah di Jakarta aku pergilah ke klinik dia begitu aku bawa masuk dia hanya lihat face terus dia bilang ibu tentunya udah pernah dikasih tahu kan sama rumah sakitnya kan sama dokternya juga kan bahwa anak ini down syndrome ngomongnya (tertawa), terus aku yang iya dok eeee jadi saya bisa bikin apa dong aku bilang gitu kan buat stimulasi dia. Yang gak ada dia bilang gitu nggak ada hah maksudnya dok dia bilang istilahnya ya Bu ini anak ibu nanti agak besaran dikit ya ada didorong orang ke lumpur dia jatuh udah dia jatuh aja begitu Bu lho aku nangis aku abis itu aduh Tuhan rasanya bukan karena apa dokter kok mulutnya begini banget ya (tertawa) maksudnya kok nggak bisa ngasih apa gitu ya incorrect gitu gitu kan kasih semangat kek apa kek gitu kan ya kok nggak ada oh iya dok makasih dok aku pulang itu aku nangis (batuk) nyeseknya waktu itu aku ketemu ipar aku aku bilang sama ipar aku dia kan pernah cerita dia punya keluarga ada yang down syndrome terus aku bilang aku mau nanya dong itu mereka stimulasi nya gimana yang nggak bisa lo apa apain lagi saudaraku itu aja ditinggal aja begitu dirumah nggak ke mana mana oh aku nangis lagi tuh di

64

situ rasanya kok sedih ya kok kedua orang ini nggak ada yang positif gitu kan.”

Kemudian, P5 merasa kehilangan tujuan untuk dapat merawat dan membuat anak menjadi mandiri. Seperti yang diungkapkan ketika wawancara.

P5 : “aku sedih karena aku bisa nggak ya jagain dia aku bisa nggak sih buat dia mandiri itu yang buat aku sedih aku (tertawa) bilang kan masih nggak yakin kan dia mandiri kan (tertawa) aduh iya (tertawa) bisa nggak aku jadi aku bukan sedih karena dia down syndrome bukan aku sedih karena aku bisa nggak ya gitu sih terus akhirnya periksa mata kan biasa mereka permasalahkan di mata.”

Dapat disimpulkan bahwa semua partisipan memiliki kesamaan yaitu mengalami situasi tidak menyenangkan yang menimbulkan perasaan sedih. Perbedaan dalam tahap derita yang dialami oleh partisipan yaitu mengenai pemahaman atau pemaknaan dalam situasi yang dialami karena dalam hal ini hanya 3 partisipan yang mengalami dan hanya 1 partisipan yang merasa putus asa atau kehilangan tujuan untuk dapat merawat anaknya.

65

2. Tahap penerimaan diri

Pada tahap penerimaan diri, partisipan mendapat dorongan dengan cara yang berbeda-beda untuk dapat menyadari situasi atau peristiwa yang dialami sebagai ibu dari anak down syndrome. Peneliti menemukan bahwa setelah melalui tahap derita P1 dan P2 melakukan perenungan diri untuk dapat memikirkan usaha dan menerima kondisi dari anak yang mengalami down syndrome . Hal ini tampak dari ungkapan partisipan yang mengatakan:

P1 : “Oh yaa, suka dukanya ya mungkin sejak lahir ya kita kembali pada sejak lahir ya to. Sejak lahir itu ya mungkin ada waktu lah satu bulan tante merenung ya merenung tapi tetep si tante namanya anak itu sayang ya tapi merenung gitu. Nah kemudian dalam 1 bulan itu tante menata hati terutama dengan suami untuk menerima anak ini. Kemudian setelah itu tante dan suami punya usaha-usaha gitu gimana anak ini mulai dari perkembangannya ya mulai dari dia bisa duduk, berdiri, berjalan itu kami usahakan ada fisioterapi dan alhamdulilah si kecil bisa jalan begitu ya kemudian juga ya bisa menerima dan keluarga di luar inti pun juga menerima jadi dukungan keluarga ada bagi tante.

P2 : “Kakaknya bilang ekspresif terus lebih ini sih dia kan suka sama sukanya tentang ini dia kan rapi sekali dalam opo yo melipat selimut kegiatan-kegiatan harian itu lebih tertib gitu. Melipat selimut, melipat baju, melipat macem-macem itu lebih tertib gitu cuma dukanya kalo ada orang yang kadang belum tau apa-apa dia sudah mem mem apa ya mengejudge terus mengatakan (nama

66

anak) itu nggak normal itu yang membuat saya yang lhoh gitu awalnya sih seperti itu awal-awal berapa tahun ya ck eeeee (berpikir) 5 tahun lah itu. Itu tu belum belum bisa aku terima gitu dengan dengan dengan apa hati yang tulus gitu kok masih ada ya yang masih mengucilkan eeee anak kebutuhan khusus. Tidak hanya di di apa lingkungan masyarakat juga kadang eeeeee keluarga juga masih ada yang kaya gitu. Bukan keluarga tapi keluarga secara keseluruhan gitu. Nah setelah (nama anak) eeee aku sering cerita (nama anak) itu sering kegiatannya ini ada yang keluarga ada yang sudah menerima sudah see anu tapi ya masih ada yang yang belum seutuhnya gitu itu gitu.”

P2 : “Jadi usia satu setengah tahun it kaya dibukakan sama Tuhan (suara putus-putus) ternyata aku tu harus lebih bersyukur dari pada yang di itu karna ada yang lebih parah banget ada yang lebih kelebihan usus operasi sampe lima kali harus ke Singapore harus itu. Puji Tuhan kan eee cuma melewati tiga kali operasi gitu semua berjalan lancar nggak harus ke Singapore karena waktu itu kan dokter udah memvonis gini kalo operasi pertama gagal ibu harus ke Singapore karena di di Indonesia itu tidak ada yang be belum nangani dengan baik kasus seperti adek nah saat itu itu yang membuat membuat aku sama bapake adek itu down itu. Terus akhirnya operasi pertama dua hari berhasil operasi kedua berhasil lha itu bersyukurnya disitu. Kalo startnya sampe menerima (nama anak) mungkin pas sa bener-bener selesai kuliah ehh selesai operasi adek tiga tahunan lah. Tapi kalo bener-benernya ya mungkin 5 tahun itu bener-bener aku harus menerima seutuhnya adek.”

Kemudian, peneliti juga menemukan bahwa semua partisipan mendapat pandangan berupa dukungan dari orang lain untuk dapat

67

menguatkan dan membantu partisipan supaya bisa menerima keadaan.

Seperti yang telah diungkapkan dalam wawancara.

P1 : “dari luar juga banyak nasihat-nasihat bahwa bagaimana perkembangan down syndrome itu gitu ya, banyak nasehat dari keluarga dari teman-teman begitu ya kita menjadi keluarga pilihan yang dianggap mampu untuk memiliki anak seperti ini.”

P2 : “Yaaaa (berpikir) apa ya eeee berdoa kadangggggg saya melakukan ak ya itu dek (nama peneliti) dengan bekerja, dengan eeee apa cari-cari kegiatan terus tidak hanya di rumah aja karena kan kalo kita di rumah terus kan juga liat anaknya juga kadang sedih juga kan.

Ya itu cari kerjaan terussss apa melakukan kegiatan-kegiatan yang positiflah terus terutama berdoa dek eee yang membuat semakin menguatkan dan apa dukungan duk dukungan eeee ibu, mama, bapak, waktu itu adek-adek. Adeknya mas (nama suami partisipan) terus adekku eeee pokoknya keluarga gitu yang semakin menguatkan gitu.”

P3 : “nek dukungan nggih saking sekolahan nggih saking sekolahan kemungkinan nek sekolahan diajari nek saget niki niki niki mboteno saget moco nulis niku kan sek penting dirinya sendiri saget ngoten.

Nganggo klambi eek pipis ngoten nggih mpun saget Alhamdulilah

68

disyukuri.”

P4 : “yaa kalo anak yang dari saya sendiri ya ndukung.”

P4 : “Ya pokoknya jangan sampe anak ini terlantar bu tolong dijagain gitu.”

P5 : “Ohh terus satu lagi aku bawa ke om cok kita sih manggilnya om, om ini lo tahu nggak dokter yang koperasi pertama kali kepala Dempet itu lo yang sekarang jadi dokter mereka di Jogja kan kalo nggak salah mereka anak anak siapa yang sekarang namanya aku lupa deh pokoknya dia dokter deh sekarang kan cewek cewek juga itu yang pertama kali tu di Indonesia di operasi nah si om itu kita ke situ aku waktu itu bawa (nama anak down syndrome) itu teman mertua aku juga terus aku bawa ke situ mau diliatin dong (nama anak down syndrome) wah ni anak kuat banget dia ngomong gitu lihat to tangannya nggak papa ini anak nggak apa apa dia ngomong gitu nah itu kan suara yang memberi semangat gitu kan.”

Peneliti juga menemukan bahwa P2 dan P5 mendekatkan diri pada Tuhan dengan cara berdoa dan berharap sepenuhnya kepada Tuhan. Hal ini terlihat dari ungkapan partisipan.

69

P2 : “Yaaaa (berpikir) apa ya eeee berdoa kadangggggg saya melakukan ak ya itu dek (nama peneliti) dengan bekerja, dengan eeee apa cari-cari kegiatan terus tidak hanya di rumah aja karena kan kalo kita di rumah terus kan juga liat anaknya juga kadang sedih juga kan.

Ya itu cari kerjaan terussss apa melakukan kegiatan-kegiatan yang positiflah terus terutama berdoa dek eee yang membuat semakin menguatkan dan apa dukungan duk dukungan eeee ibu, mama, bapak, waktu itu adek-adek. Adeknya mas (nama suami partisipan) terus adekku eeee pokoknya keluarga gitu yang semakin menguatkan gitu.”

P5 : “kita kan Puji Tuhan karena kita ini teruskan berharap sama Tuhan jadi dah gitu nah kalo enggak kan kasian sih buat aku kalo orang-orang tua yang dapet seperti itu.”

P2 dan P5 juga dapat menerima situasi yang dialami ini karena belajar atau melihat dari pengalaman orang lain bahwa kondisi partisipan masih lebih baik. Hal ini terbukti dari jawaban partisipan ketika wawancara.

P2 : “Jadi usia satu setengah tahun it kaya dibukakan sama Tuhan (suara putus-putus) ternyata aku tu harus lebih bersyukur dari pada yang di itu karna ada yang lebih parah banget ada yang lebih kelebihan usus operasi sampe lima kali harus ke Singapore harus itu. Puji Tuhan kan eee cuma melewati tiga kali operasi gitu semua

70

berjalan lancar nggak harus ke Singapore karena waktu itu kan dokter udah memvonis gini kalo operasi pertama gagal ibu harus ke Singapore karena di di Indonesia itu tidak ada yang be belum nangani dengan baik kasus seperti adek nah saat itu itu yang membuat membuat aku sama bapake adek itu down itu. Terus akhirnya operasi pertama dua hari berhasil operasi kedua berhasil lha itu bersyukurnya disitu. Kalo startnya sampe menerima (nama anak) mungkin pas sa bener-bener selesai kuliah ehh selesai operasi adek tiga tahunan lah. Tapi kalo bener-benernya ya mungkin 5 tahun itu bener-bener aku harus menerima seutuhnya adek.”

P5 : “Karena bener sih kalo aku eeee sekilas balik lagi kaya orang-orang emang kalo kita sayap ibu mereka sebatas liat anak-anak panti

P5 : “Karena bener sih kalo aku eeee sekilas balik lagi kaya orang-orang emang kalo kita sayap ibu mereka sebatas liat anak-anak panti

Dokumen terkait