• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

C. Down Syndrome

World Health Organization (2016) menjelaskan bahwa down syndrome adalah kelainan genetik pada kromosom ke 21 atau sering disebut dengan trisomi 21. Normalnya seseorang memiliki 23 kromosom yang berpasangan sehingga menjadi 46. Pada down syndrome jumlah kromosom 21 berjumlah 3 sehingga total jumlahnya adalah 47 kromosom. Perbedaan kromosom tersebut ada hubungannya dengan sistem metabolisme sel yang dapat memunculkan down syndrome. Munculnya down syndrome kemungkinan dipengaruhi oleh kesehatan sperma ayah atau sel telur ibu. Lahirnya anak

17

down syndrome juga memiliki hubungan dengan usia ibu ketika hamil, semakin tua usia ibu maka kemungkinan lahirnya anak yang mengalami down syndrome akan semakin besar (Duran & Barlow dalam Wijayanti 2015).

Ciri-ciri anak yang mengalami down syndrome selain dapat dilihat dari kromosomnya, dapat juga dilihat dari fisiknya seperti, wajah datar dengan hidung pendek, lipatan kulit menonjol, telinga kecil, lidah pecah-pecah dan menebal, tangan dan kaki lebar, serta jari yang pendek. Anak yang mengalami down syndrome memiliki tahap perkembangan yang sama dengan anak pada umunya (Mangunsong, 2009). Hanya saja anak down syndorme mengalami keterlambatan dalam perkembangannya (Wijayanti, 2014; Santrock, 2011).

Disabilitas intelektual juga merupakan salah satu karakteristik yang dimiliki oleh down syndrome. Tingkat disabilitas intelektual pada down syndrome dapat dilihat dari nilai Intelligence Quotient (IQ) antara 30 sampai 70, dengan rata-rata IQ bernilai 50 (Uyanik et al., 2003). Gasquoine (2011) menghatakan bahwa anak down syndrome sering mengalami perubahan fungsi kognitif yang dipengaruhi oleh ganguan sensori, kondisi medis, dan psikiatris lainnya. Mayoritas anak-anak down syndrome mengalami retardasi mental sedang dengan nilai IQ antara 35-50 sampai retardasi mental berat dengan nilai IQ antara 20-35, sedangkan minoritas anak-anak down syndrome mengalami retardasi mental ringan dengan nilai IQ 50-70 sampai kecerdasan normal (Silverstein et al., 1982)

Anak down syndrome yang berusia 16-40 minggu rata-rata memiliki nilai IQ 71-75, tetapi ketika usia 1 tahun nilai IQ anak down syndrome akan

18

mengalami penurunan menjadi 69. Seiring bertambahnya usia maka nilai IQ anak down syndrome mengalami penurunan. Down syndrome yang memiliki nilai IQ antara 55-80 diharapkan dapat mengikuti pendidikan formal minimal kelas 3 SD dan terkadang dapat berada di pendidikan dasar selama 6 tahun (Hodapp & Zigler, 1990).

Pada masa remaja, anak down syndrome juga mengalami masa pubertas dan memiliki kebutuhan seksual yang sama dengan anak pada umumnya (Maryane, 2011 dalam Nastitie & Aritonang, 2017). Anak laki-laki akan mengalami kematangan organ reproduksi yang ditandai dengan mimpi basah dan anak perempuan yang ditandai dengan menstruasi. Perubahan secara fisik juga akan dialami oleh anak down syndrome. Sehingga anak yang mengalami down syndrome juga perlu mendapatkan pendidikan seksual dari orang tua maupun dari guru.

D. Perbedaan Anak Down Syndrome dan Anak Normal

Perkembangan anak down syndrome berbeda dengan anak normal. Perbedaan perkembangan ini meliputi perkembangan kognitif, bahasa, dan motorik (Gasquoine, 2011). Berikut merupakan jabaran mengenai perbedaan pekembangan anak down syndrome dan anak normal:

1. Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif adalah perubahan pemikiran, inteligensi dan bahasa dari individu. Anak down syndrome memiliki perbedaan mendasar dalam hal struktur dan cara kerja otak dengan

19

anak normal. Perbedaan dipengaruhi oleh tingkat intelektual yang dapat dilihat dari nilai Intelligence Quotient (IQ). Anak down syndrome memiliki nilai IQ antara 30-70, sedangkan anak normal memiliki nilai IQ diatas 70 (Silverstein et al., 1982; Uyanik et al., 2003).

2. Perkembangan Bahasa

Perkembangan bahasa tidak hanya pada cara berbicara, tetapi juga ekspresi wajah, senyuman, dan bahasa tubuh. Anak down syndrome mengalami keterlambatan daripada anak normal dalam perkembangan bahasa (Buckley, 1993; Down Syndrome Association, 2000). Bray & Woolnough (1988) menjelaskan bahwa anak down syndrome berbicara dengan pengucapan yang kurang baik atau tersendat-sendat. Anak normal akan mulai tersenyum di usia 2 bulan, sedangkan anak down syndrome di usia 3 bulan.

Perbedaan perkembangan bahasa anak down syndrome dan anak normal juga terlihat dari mulainya kata pertama yang diucapkah, bahwa anak normal akan mulai mengucapkan kata pertama di usia 10 bulan, sedangkan anak down syndrome di usia 22 bulan. Ketika usia 18 bulan anak normal sudah dapat mengucapkan 5-7 kata, sedangkan anak down syndrome dapat melakukannya di usia 31 bulan (Rusell et al., 2016).

20

3. Perkembangan Motorik

Perkembangan morotik terbagi menjadi motorik kasar dan motorik halus. Pola perkembangan motorik anak down syndrome dan anak normal sana hanya waktu perkembangan yang ditempuh pada anak down syndrome memiliki keterlambatan. Keterlambatan yang dialami anak down syndrome diakibatkan karena adanya faktor kognisi, hipotoni, berkurangnya kekuatan otot, sendi serta ligament yang longgar, dan susunan tangan (Sacks & Sandy, 2000). Anak normal akan mulai menegakkan kepada di usia 3 bulan, , merangkak di usia 10 bulan, berdiri sendiri di usia 12 bulan, dan berjalan di usia 12-18 bulan. Perkembangan motorik anak down syndrome mengalami keterlambatan daripada anak normal karena anak down syndrome akan mulai menegakkan kepada di usia 3-4 bulan, merangkak di usia 17 bulan, berdiri sendiri di usia 22 bulan, dan berjalan di usia 23-26 bulan (Rusell et al., 2016).

E. Ibu Yang Memiliki Anak Down Syndrome

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Ibu adalah sapaan untuk wanita yang sudah bersuami. Jika dihubungkan dengan anak, ibu adalah wanita yang telah mengandung dan melahirkan seorang anak. Ibu memiliki kedekatan dengan anak secara emosional dan kejiwaan (Dewi, 2017). Dalam pengasuhan, ibu membutuhkan dukungan sosial emosi dalam waktu yang lama dan informasi lebih untuk mengetahui mengenai kondisi

21

anak. Tidak jarang hal pengasuhan dan membesarkan anak dibebankan kepada ibu (Barnard & Mertell, dalam Santrock 2007).

Setiap ibu menginginkan bahwa anak yang dilahirkannya memiliki kondisi sehat secara keseluruhan, namun ada beberapa kasus ibu melahirkan anak yang mengalami down syndrome. Ibu yang mengetahui bahwa anaknya mengalami down syndrome untuk pertama kalinya akan memiliki perasaan shock dan tidak percaya dengan kenyataan. Perasaan yang dirasakan membuat ibu merasa stres dan khawatir akan penolakan (Mangunsong, 2011).

Stress yang dialami ibu tidak hanya dikarenakan dari perasaan shock atau tidak percaya dengan kenyataan, tetapi juga disebabkan karena kecemasan serta ketegangan untuk dapat menjalankan peran ibu dengan anak down syndrome, dan perasaan pesimis ibu akan masa depan anak (Little, 2002).

Tidak jarang bahwa ibu yang awalnya bekerja memilih berhenti bekerja untuk merawat anaknya, tetapi ada juga ibu yang memilih menggunakan jasa pengasuh untuk merawat anaknya selama ibu bekerja. Hal ini dikarenakan anak yang mengalami down syndrome membutuhkan perhatian yang lebih, namun hal ini tidak mudah bagi seorang ibu yang baru saja mengetahui bahwa anaknya mengalami down syndrome (Wijayanti, 2015). Tantangan ibu yang memiliki anak down syndrome bertambah ketika anak memasuki usia remaja karena ibu perlu menjelaskan mengenai perubahan-perubahan yang akan terjadi.

Pengasuhan akan lebih optimal dalam mengasuh anak down syndrome ketika ibu memiliki kondisi emosi yang baik, pendidikan yang cukup,

22

dukungan keluarga, dan dapat menerima kondisi atau kenyataan yang ada (Hurlock, 2006). Menerima kondisi yang ada merupakan hal penting supaya ibu dapat dengan mudah menerima kekurangan pada anaknya. Ibu juga dapat merasakan kebahagiaan walaupun dalam kondisi yang sebenarnya tidak diinginkan.

F. Dinamika Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome

Ibu yang memiliki anak down syndrome secara psikologis pada awalnya mengalami perasaan stress, ketakutan akan adanya penolakan, kekhawatiran lingkungan, kecemasan menjalankan peran sebagai ibu, dan kecemasan akan masa depan anak. Perasaan yang dialami ibu dapat berubah menjadi lebih baik ketika ibu dapat menerima segala situasi yang ada dan memiliki makna sebagai ibu dari anak down syndrome. Tahap proses penemuan makna yang dialami akan membantu ibu untuk dapat memiliki perasaan yang lebih baik dan memiliki makna atas situasi yang ditemui.

Tahapan tersebut dimulai dengan tahap derita yaitu bahwa ibu mengalami perasaan yang tidak baik seperti sedih, kecewa, marah, dan tidak menerima situasi yang dialami. Kedua adalah tahap penerimaan diri yaitu bahwa ibu mendapat dorongan yang membuat ibu sadar akan situasi yang sedang terjadi. Ketiga adalah tahap penemuan makna bahwa ibu sudah dapat mengerti akan situasi yang dialami sehingga, ibu juga dapat memaknai pekerjaan, perasaan, dan dapat bersikap akan situasi yang dialami. Ketika ibu sudah dapat menerima dan menemukan makna maka ibu dapat

23

merealisasikan makna tersebut dengan memiliki semangat untuk dapat bertahan hidup dan dapat berkomitmen untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat. Tahap-tahap tersebut dapat membuat ibu hidup dengan makna artinya merasakan hidup yang berkualitas dan dapat menjalani hidup dengan sikap yang benar atas situasi yang dialami.

Gambar 1. peran sebagai ibu, dan masa

depan anak.

Perasaan stress, ketakutan adanya penolakan dan kekhawatiran lingkungan.

Tahap derita Tahap

penerimaan diri Tahap penemuan

makna Tahap realisasi

24

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses penemuan makna hidup ibu yang memiliki anak down syndrome dengan menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif memiliki tujuan untuk mendeskripsikan pengalaman hidup seseorang, sehingga penelitian ini dipilih untuk mendeskripsikan pengalaman ibu yang memiliki anak down syndrome dalam proses penemuan makna hidup. Hal ini juga sesuai dengan ciri penelitian kualitatif yaitu meneliti pengalaman nyata seseorang yang menjadi partisipan penelitian dan disajikan dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti (Supratiknya, 2018).

Menurut Lincoln (dalam Meleong, 2007) dengan menggunakan penelitian kualitatif, peneliti dapat mengungkap suatu fenomena yang terjadi di lingkungan. Selain itu, penelitian kualitatif memiliki sifat eksploratif dan lebih mengutamakan data yang diperoleh dari ungkapan langsung atau penuturan partisipan, sehingga sesuai jika digunakan peneliti untuk mengeksplorasi proses penemuan makna hidup ibu yang memiliki anak down syndrome (Supratiknya, 2015).

Desain penelitian ini akan menggunakan analisis isi kualitatif dengan pendekatan deduktif. AIK dipilih karena peneliti ingin menguji teori yang sudah ada, digunakan untuk meneliti proses penemuan makna hidup ibu

25

yang memiliki anak down syndrome (Supratiknya, 2015). Peneliti menggunakan tahap penemuan makna hidup Bastaman yang dikembangkan dari penemuan makna hidup menurut Frankl.

B. Fokus Penelitian

Penelitian berfokus pada satu variabel yang diteliti yaitu proses penemuan makna hidup pada ibu yang memiliki anak down syndrome. Ibu yang memiliki anak down syndrome yang dimaksud adalah ibu yang melahirkan anak yang mengalami down syndrome. Proses penemuan makna hidup Bastaman (1996) yang dikembangkan dari penemuan makna hidup menurut Frankl meliputi lima tahap yaitu (1) tahap derita; (2) tahap penerimaan diri; (3) tahap penemuan makna; (4) tahap realisasi makna; dan (5) tahap hidup dengan makna. Pengambilan data diawali dengan membuat pedoman wawancara yang disusun berdasarkan tahap penemuan makna hidup menurut Bastaman (1996) dan selanjutnya akan dilakukan wawancara semi terstruktur kepada partisipan. Analisis data akan dilakukan setelah mendapat data dari wawancara yang sudah dilakukan dan analisis data diawali dengan membuat teks atau verbatim hasil wawancara. Hasil wawancara akan dianalisis dengan Analisis Isi Kualitatif dengan pendekatan deduktif berdasarkan tahap penemuan makna hidup Bastaman (1996).

26

Tabel 1

Blueprint wawancara

No. Dimensi Indikator Pertanyaan

1. Tahap derita

2. Tahap penerimaan diri

a. Adanya

27

No. Dimensi Indikator Pertanyaan

e. Belajar dari orang lain.

4b, 4c

3. Tahap penemuan makna

a. Adanya kesadaran

4. Tahap realisasi makna

a. Memiliki

28

No. Dimensi Indikator Pertanyaan

5.

Tahap hidup dengan makna

a. Merasakan hidup yang lebih baik.

7a

b. Dapat menghayati hidup dengan positif.

7a

C. Partisipan Penelitian

Pemilihan partisipan didasarkan oleh kriteria tertentu, berdasarkan tujuan dari penelitian. Partisipan dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak down syndrome. Jumlah partisipan ditentukan oleh kekayaan informasi yang didapat saat melakukan wawancara (Patton, 1990 seperti dikutip dalam Supratiknya, 2018). Kekayaan informasi ini berdasarkan pada proses yang dialami partisipan dalam menemukan makna hidupnya. Tidak menutup kemungkinan jika peneliti menambah partisipan karena kurangnya informasi yang didapat. Dalam pengambilan sampel peneliti menggunakan convenience sampling.

Convenience sampling adalah pengambilan sampel yang mudah diperoleh dengan cara bebas dan mudah berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan dalam penelitian (Sugiarto, 2001; Sugiyono, 2005). Peneliti memilih convenience sampling sebagai teknik pengambilan sampel karena peneliti mendapatkan partisipan dari satu sumber yaitu saudara peneliti.

Pengambilan sampel menggunakan metode convenience sampling tepat

29

digunakan pada masa pandemi COVID-19 karena dapat dilakukan secara online. Pengambilan sampel ini didasari oleh kriteria yang sudah ditentukan sebagai berikut:

1. Ibu yang memiliki anak down syndrome yang berusia di atas 12 tahun, dipilihnya kriteria ini karena sesuai dengan tujuan penelitian bahwa peneliti ingin mengetahui proses ibu yang memiliki anak down syndrome dapat menemukan makna hidupnya. Peneliti memilih ibu yang memiliki anak down syndrome usia di atas 12 tahun karena ibu sudah lebih memiliki pengalaman dalam menghadapi hidup dalam memiliki dan mengasuh anak down syndrome.

2. Merawat anak tanpa bantuan atau dengan bantuan dari pihak luar, adanya kriteria ini karena peneliti ingin melihat proses penemuan makna hidup ibu yang merawat anak down syndrome tanpa bantuan atau dengan bantuan pihak lain. Sehingga peneliti mendapatkan informasi mengenai proses penemuan makna hidup ibu yang memiliki anak down syndrome dengan atau tanpa bantuan dari bantuan pengasuh.

3. Ibu dengan anak down syndrome yang bekerja di luar rumah, memiliki usaha di rumah, maupun yang tidak bekerja, dipilihnya kriteria ini karena peneliti ingin melihat proses penemuan makna hidup ibu yang merawat anaknya sambil bekerja dan yang sepenuhnya merawat anaknya.

30

D. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian

Pengambilan data dilakukan dengan teknik wawancara. Peneliti memilih teknik wawancara supaya dapat melakukan wawancara dengan partisipan secara tatap muka atau dapat melalui telepon (Creswell, 2009 seperti dikutip dalam Supratiknya, 2015). Selain itu, teknik wawancara membantu peneliti untuk mendapat informasi mengenai pengalaman dan pemaknaan partisipan dalam fenomena yang diteliti. Peneliti menggunakan wawancara semi terstruktur dan menyediakan pedoman wawancara dalam pengambilan data. Pedoman wawancara ini bertujuan untuk membantu proses wawancara supaya informasi yang didapat sesuai dengan fenomena yang diteliti (Supratiknya, 2015; 2018).

Adanya pedoman wawancara ini tidak menutup kemungkinan untuk peneliti menambah pertanyaan pada partisipan supaya informasi yang diterima peneliti dapat lebih kaya dan mendalam (Morrow, 2005 seperti dikutip dalam Supratiknya 2018).

Tabel 2

Pedoman yang digunakan untuk wawancara

NO. PERTANYAAN

1. Latar Belakang Partisipan a. Berapa usia Ibu?

b. Apa pendidikan terakhir Ibu?

c. Berapa jumlah anak Ibu?

d. Apakah Ibu memiliki pengasuh untuk membantu dalam

31

NO. PERTANYAAN

anak Ibu yang mengalami down syndrome?

e. Bagaimana hubungan ibu dengan keluarga terutama dengan suami dan anak-anak?

f. Apa kesibukan Ibu saat ini?

2. Pemahaman Ibu yang Memiliki anak Down Syndrome a. Apakah yang Ibu ketahui mengenai anak down syndrome?

b. Apakah Ibu sudah mengetahui mengapa anak Ibu bisa mengalami down syndrome?

3. Tahap Derita

a. Bisakah menceritakan mengenai perasaan Ibu ketika mengetahui bahwa anak Ibu mengalami down syndrome?

b. Bisakah Ibu menceritakan suka duka memiliki anak down syndrome?

c. Apakah Ibu mengalami kesulitan dalam mengasuh anak down syndrome dari sejak lahir sampai sekarang?

d. Pernahkah Ibu merasa kecewa atau putus asa selama Ibu memiliki anak down syndrome?

4. Tahap Penerimaan Diri

a. Manakah hal yang sering Ibu rasakan dari dulu hingga dalam menjalani hidup sehari-hari, senang atau sedih?

b. Apakah Ibu sudah dapat menerima bahwa anak Ibu mengalami down syndrome?

32

NO. PERTANYAAN

c. Jika sudah, dengan cara apa Ibu dapat menerima kondisi tersebut?

5. Tahap Penemuan Makna

a. Apakah ibu bisa menceritakan mengenai kesibukan yang sekarang sudah dijalani?

b. Apakah ibu sudah memiliki keberanian untuk bersosialisasi dengan orang lain?

c. Apakah ibu dapat merasakan rasa cinta kepada orang-orang di sekitar termasuk dengan anak ibu yang mengalami down syndrome?

d. Apakah ibu percaya dengan adanya Tuhan?

e. Apakah ibu sudah bisa menyikapi dengan baik untuk situasi ini?

f. Apakah Ibu sudah mencapai tujuan hidup ibu?

6. Tahap Realisasi Makna

b. Rencana apa yang dilakukan untuk mencapai tujuan hidup Ibu?

c. Apakah semangat Ibu dalam menjalani hidup sekarang sudah lebih besar dari yang sebelumnya?

7. Tahap Hidup dengan Makna

a. Apakah sekarang Ibu sudah dapat merasakan bahwa hidup Ibu lebih bahagia?

33

E. Proses Pengumpulan Data

Peneliti melakukan beberapa tahap dalam proses pengumpulan data, sebagai berikut:

1. Peneliti menghubungi partisipan untuk melakukan pendekatan dengan tujuan membangun suasana ketika melangsungkan wawancara (Supratiknya, 2018). Dalam melakukan pendekatan ini, peneliti menjelaskan maksud serta tujuan dari penelitian yang akan dilakukan dan menjadwalkan waktu untuk wawancara.

2. Peneliti menyiapkan pedoman wawancara yang disusun berdasarkan teori yang digunakan.

3. Peneliti membuat Informed Consent yang bertujuan untuk melindungi hak-hak partisipan melakukan proses wawancara (Supratiknya, 2018). Informed Consent merupakan dokumen yang berisi prosedur mengenai kegiatan wawancara yang perlu diketahui partisipan sebelum melakukan wawancara (Grady, 2017 dalam Supratiknya, 2018)

4. Melakukan wawancara sesuai kesepakatan yang sudah dilakukan sebelumnya mengenai tempat dan waktu. Wawancara didasarkan pada pedoman yang sudah disiapkan sebelumnya.

5. Pada saat melalukan wawancara peneliti melakukan perekaman data menggunakan alat perekam suara sebagai alat bantu untuk mencatat informasi yang diberikan partisipan kepada peneliti.

34

6. Selesainya proses wawancara peneliti melakukan member checking untuk menyamakan persepsi informasi yang diberikan partisipan dan yang diterima peneliti, supaya tidak ada kesalahpahaman dalam menuliskan hasil.

7. Peneliti juga melalukan triangulasi yang bertujuan untuk membandingkan hasil yang diterima dari partisipan dengan sumber lain yang merupakan kerabat dekat partisipan.

8. Data yang terkumpul atau terekam akan dibuat menjadi teks atau diverbatim oleh peneliti. Selanjutnya akan dianalisis berdasarkan teori yang digunakan.

F. Analisis data

Peneliti menggunakan metode Analisis Isi Kualitatif untuk melakukan analisis dan interpretasi data. AIK dipilih karena dapat mengungkap isi atau makna dari hasil wawancara yang dilakukan sesuai dengan fenomena. Setelah itu data akan dideskripsikan dengan pendekatan deduktif atau analisis ini terarah. Tujuan dari pendekatan deduktif adalah untuk memvalidasi kerangka teori yang sudah pernah ada dalam konteks baru (Hsieh & Shanon, 2005 dalam Supratiknya, 2015). Data dalam penelitian ini akan dibuat dalam bentuk percakapan dari hasil wawancara. Langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam menganalisis dengan menggunakan pendekatan deduktif yaitu:

1. Peneliti menyusun sebuah matriks kategori yang dilihat dari kerangka teori (Elo & Kyngas, 2008 dalam Supratiknya 2015).

35

Matriks kategori yang dibuat berasal dari kerangka teori yang digunakan dan dapat membantu peneliti dalam merumuskan pertanyaan penelitian dan pernyataan partisipan dalam wawancara.

2. Peneliti melakukan coding atau pengodean. Coding yang dilakukan peneliti menggunakan dua tahap. Pertama, peneliti membaca keseluruhan hasil wawancara yang sudah dibuat dalam bentuk teks dan menandai bagian dari teks yang sesuai dengan fenomena yang diteliti. Kedua, peneliti menentukan kode dari teks wawancara yang sudah dibaca dengan menggunakan kode-kode yang ditentukan dalam matriks kategori. Kemudian jika ada bagian teks yang menunjukkan fenomena yang diteliti namun belum memiliki kode maka dapat ditambahkan atau diberi kode baru (Hsieh & Shannon, 2005 dalam Supratiknya, 2015).

Tabel 3

Matriks analisis dan indikator tahapan penemuan makna hidup yang berdasarkan pada tahap penemuan makna hidup menurut Bastaman (1996)

No. Tahap Indikator Kode

1. Tahap derita

a. Kondisi tidak menyenangkan (munculnya perasaan sedih).

A1

b. Tidak dapat memaknai suatu peristiwa (tidak dapat bersikap dengan baik dan benar).

A2

c. Adanya perasaan hampa (merasa A3

36

No. Tahap Indikator Kode

sepi dan kosong).

d. Adanya perasaan bosan (merasa tidak menyukai situasi).

A4

e. Adanya perasaan tidak peduli (bertindak pasif akan situasi).

A5

f. Kehilangan tujuan hidup (merasakan putus asa).

a. Adanya perenungan diri

(mengambil waktu untuk berpikir akan situasi).

B1

b. Adanya bantuan dari ahli (mendapatkan penanganan dari psikolog).

B2

c. Adanya pandangan dari orang lain (mendapat dukungan dari pihak luar).

B3

d. Mendekatkan diri pada Tuhan (berdoa dan berharap kepada Tuhan).

B4

e. Belajar dari orang lain (melihat pengalaman orang lain).

B5

3. Tahap a. Nilai kreatif (melakukan C1

37

No. Tahap Indikator Kode

penemuan makna

pekerjaan/berkarya).

b. Nilai pengalaman (merasakan cinta kasih dan percaya dengan (menjalani hidup dengan hati yang senang dan lebih baik).

D1

b. Melakukan kegiatan yang mengarah pada pemenuhan hidup (berkomitmen untuk melakukan kegiatan produktif). positif (menjalani hidup dengan perasaan baik/positif).

E2

38

G. Kredibilitas Data

Dalam penelitian kualitatif terdapat reliabilitas dan validitas.

Reliabilitas dilakukan untuk melihat sejauh mana pendekatan yang digunakan oleh peneliti konsisten dengan yang digunakan oleh peneliti-peneliti lain dan dalam penelitian yang lain. Sedangkan validitas adalah untuk melihat ketepatan hasil penelitian dari kaca mata peneliti, partisipan, dan pembaca (Supratiknya, 2015). Oleh karena itu, peneliti akan melakukan reliabilitas dan validitas dalam penelitian yang dilakukan untuk melihat ketepatan dalam pendekatan yang digunakan dan hasil dari penelitian.

Peneliti menguji reliabilitas dalam penelitian ini dengan membaca dan memeriksa transkrip rekaman wawancara untuk memastikan tidak ada kesalahan selama proses wawancara. Selain itu, peneliti juga menguji validitas dengan menggunakan dua strategi. Yang pertama peneliti melakukan trianggulasi, strategi ini dilakukan peneliti guna membandingkan informasi yang sudah didapatkan dengan sumber lain atau kerabat dekat dari partisipan untuk menentukan hasil yang benar-benar berhubungan dengan tema-tema yang ditemukan. Kedua peneliti melakukan member checking, hal ini dilakukan untuk pengecekan temuan-temuan peneliti dengan pengungkapan partisipan pada saat wawancara (Creswell, 2009 dalam Supratiknya 2015).

39

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian

Pengumpulan data dimulai pada tanggal 3 Februari 2021 sampai

Pengumpulan data dimulai pada tanggal 3 Februari 2021 sampai

Dokumen terkait