• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

Manfaat teoretis dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan kajian literatur dalam proses penemuan makna hidup.

2. Manfaat Praktis

Bagi ibu yang memiliki anak down syndrome penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai proses penemuan makna hidup kepada ibu-ibu yang memiliki anak down syndrome dan belum dapat menemukan kebahagiaan atau hal menyenangkan dari peristiwa yang dialami.

9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Logoterapi

Pelopor yang memperkenalkan konsep makna hidup adalah Viktor Frankl dalam teori yang disebut Logoterapi (Schulenberg et al., 2008).

Logoterapi merupakan sarana atau terapi untuk membangun tujuan hidup melalui pemahaman mengenai makna karena logoterapi memusatkan perhatiannya pada masa depan atau pencarian makna terlebih dahulu (Crumbaugh, 1988; Frankl, 1962; Frankl 1968; Frankl, 1992; Kalmar, 1984;

Schulenberg et al., 2008; Wong, 1998b). Perjuangan dalam menemukan makna hidup merupakan motivasi utama individu dalam hidupnya. Wong (2017) mengatakan bahwa logoterapi memiliki tiga dasar untuk dapat menemukan makna.

Jika individu menyadari akan tiga dasar logoterapi, maka individu akan dapat mengatasi kesulitan dalam hidupnya dan pada akhirnya akan merasa puas atas hidup yang telah dijalani. Berikut adalah tiga dasar dalam logoterapi (Frankl, 1967; Frankl, 1968; Frankl, 1986; Wong, 2017):

1. Kebebasan berkehendak (freedom of will)

Kebebasan yang dimaksud bukan bebas untuk dapat memilih hidup secara biologis, psikologis, ataupun sosiologis tetapi bebas untuk memilih sikap dalam menghadapi keadaan. Manusia diberi

10

kebebasan untuk memilih sikap dengan tanggung jawab guna mendapatkan hidup yang berkualitas dan mengandung makna.

2. Keinginan untuk memiliki makna (will to meaning)

Keinginan untuk memiliki makna merupakan motivasi utama individu dan hanya dipenuhi oleh individu tersebut. Adanya keinginan untuk hidup dengan makna ini yang mendorong individu untuk memiliki pola pikir yang benar dan melakukan kegiatan yang dapat mengembangkan dirinya serta dapat mencegah melakukan hal yang dapat membuat individu mengakhiri hidupnya. Ketika individu dapat memiliki pola pikir yang benar dan melakukan kegiatan pengembangan diri, maka individu tersebut dapat membuat hidupnya memiliki makna.

3. Makna hidup

Ketika individu dapat mengambil sikap yang benar dalam menghadapi keadaan dan memiliki keinginan untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat, maka individu tersebut telah membuat dirinya hidup dengan makna.

B. Makna Hidup

Makna hidup adalah upaya yang sangat penting dan berharga yang dapat membantu individu memahami kehidupan, keberadaan, dan tujuannya melalui kegiatan kesehariannya (Bastaman, 2007, p. 45; Bauer-Wu & Farran, 2005). Hidup individu menyimpan makna dalam setiap situasi, bahkan dalam

11

situasi yang menyedihkan. Oleh karena itu, makna hidup dapat ditemukan dalam situasi menyenangkan maupun tidak menyenangkan (Frankl, 1992).

Individu menjalani hidup tidak terlepas dari aspek negatif dalam hidup seperti penderitaan, rasa bersalah, rasa sakit, dan kematian. Ketika individu dapat mengambil sikap yang benar dalam menghadapi aspek negatif, maka individu tersebut dapat menemukan makna dalam kehidupannya (Frankl, 1997).

Penemuan makna hidup dapat membuat individu memiliki kepuasan, kebahagiaan, dan rasa penguasaan diri akan hidupnya (Kiang & Fuligni, 2010; Ho et al., 2010; Shek, 2001). Adanya makna dalam hidup juga dapat meminimalisir individu untuk mengalami kecemasan, depresi, dan keputusasaan dalam menjalani hidup (Brassai et al., 2012; Ho et al., 2010;

Shek, 1992). Oleh karena itu, individu yang berhasil menemukan makna dapat memperkuat keinginannya untuk hidup dan memiliki ketahanan dalam menghadapi kekerasan, penderitaan, dan kematian (Baldacchino, 2011;

Schuhmann & Geugten, 2017).

Hidup dengan makna tidak sama dengan hidup bahagia, tetapi hidup yang memiliki makna dapat membuat individu memupuk kebahagiaan karena dapat memaknai setiap peristiwa yang ditemui (Lin & Shek, 2018). Frankl mengatakan bahwa makna tidak dapat dicapai hanya dengan proses akal atau usaha intelektual, tetapi individu harus menunjukkan komitmen dari dalam dan pusat kepribadiannya (Koeswara, 1992). Oleh karena itu, terdapat tiga nilai yang dibuat oleh Frankl dalam memfasilitasi setiap individu dalam

12

menemukan makna hidupnya (Frankl, 1969; & Frankl, 1977, p. 104). Ketiga nilai tersebut yaitu (Frankl, 1962):

1. Nilai Kreatif (Creative values)

Nilai kreatif merupakan nilai yang bisa diberikan kepada dunia. Individu dapat menemukan makna hidupnya dengan melakukan kegiatan keseharian seperti, bekerja dan mengembangkan hobi. Kegiatan lainnya yaitu menyelesaikan tugas yang ada, menciptakan karya seperti membuat kerajinan tangan atau melakukan perbuatan baik. Mengisi waktu luang dengan melakukan kegiatan yang berguna akan membantu individu dalam menemukan makna hidupnya (Frankl, 1992).

2. Nilai Pengalaman (Experiential values)

Nilai pengalaman yaitu nilai yang dapat diambil dari dunia.

Individu dapat menemukan makna hidupnya dengan mengalami dan menghadapi sesuatu dalam hidupnya. Dalam nilai pengalaman terdapat unsur kebenaran, keindahan, kepercayaan akan adanya Tuhan, dan adanya rasa cinta. Rasa cinta dalam nilai pengalaman yang sebenarnya adalah rasa cinta kepada manusia dan dapat menjalin hubungan atau relasi (Frankl, 1986).

3. Nilai Bersikap (Attitudial values)

Nilai bersikap yaitu ketepatan dalam bersikap untuk menghadapi situasi yang tidak dapat dihindari dan diubah atau dapat disebut dengan situasi penderitaan yang tidak terhindarkan. Nilai ini

13

dapat membantu individu menemukan perspektif baru tentang kehidupan. Ketika individu dapat menyikapi situasi yang tidak dapat diubah, maka individu tersebut dapat mengubah situasi yang tidak menyenangkan menjadi sebuah kemenangan dalam hidupnya.

Kemudian, Wong (1997) memperluas teori Frankl mengenai penemuan makna hidup yang menyatakan bahwa individu dapat dikatakan memiliki makna hidup apabila dirinya memenuhi tiga komponen berikut, yaitu:

1. Komponen motivasi

Komponen motivasi dalam makna hidup, terdiri dari penetapan tujuan dan sikap untuk dapat mencapai tujuan hidupnya.

Komponen ini berasal dari komponen kognitif dalam menentukan tujuan hidup individu. Komponen motivasi adalah sikap atau perilaku yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2. Komponen kognitif

Komponen kognitif dalam makna hidup, terdiri dari keyakinan, skema, harapan individu dalam hidupnya, dan semua proses kognitif yang dapat membantu orang memahami lingkungan serta kehidupannya. Hal ini memungkinkan individu untuk dapat menjelaskan peristiwa dan pengalaman yang dialaminya, serta membantu individu dalam memilih tujuan hidupnya. Perkembangan komponen ini berawal dari pengalaman lampau individu yang membentuk struktur makna hidupnya.

14

3. Komponen emosi

Komponen emosi dalam makna hidup, terdiri dari perasaan terpenuhi atau perasaan baik mengenai hidup individu. Perasaan terpenuhi ini berasal dari dua keyakinan individu akan pentingnya hidup dan pengejaran dari tujuan hidup yang berharga. Komponen ini berfungsi untuk mengukur tingkat individu dalam memaknai hidupnya.

Saat individu memiliki ketiga komponen di atas maka individu dapat memiliki keyakinan positif mengenai hidupnya, dapat mengejar tujuan yang telah direncanakan, dan dapat merasakan hidup yang baik serta memuaskan.

Terdapat juga perkembangan penemuan makna hidup Frankl yang dibungkus menjadi tahap-tahap mulai dari tahap derita, tahap penerimaan diri, tahap penemuan makna, tahap realisasi makna, dan hidup dengan makna (Bastaman, 1996 dalam Santosa & Wijaya, 2014; Chaidir & Tuapattinaja, 2018; Charlys & Kurniati, 2007; Frankl, 1992; Qori’ah & Ningsih, 2020):

1. Tahap derita

Tahap derita merupakan situasi yang tidak dapat dihindari individu dan termasuk dalam aspek hidup yang disebut situasi penderitaan. Dalam menemukan makna hidup individu akan melewati situasi yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan, akan tetapi individu akan lebih mudah menemukan makna hidup pada situasi yang menyenangkan. Jerry Long merupakan penderita kelumpuhan dari leher hingga bawah karena kecelakaan, dari

15

pengalamannya tersebut Jerry mengatakan bahwa tanpa penderitaan ia tidak dapat berkembang. Salah satu cara penemuan makna hidup dapat ditemukan ketika individu menghadapi penderitaan.

Penderitaan yang dimaksud yaitu situasi tidak menyenangkan, bosan, kekecewaan, tidak dapat memaknai suatu peristiwa, merasa hampa, tidak peduli, dan kehilangan tujuan hidup.

2. Tahap penerimaan diri

Pada tahap ini, muncul pemahaman diri akan situasi dan adanya perubahan dalam bersikap. Hal ini didorong dengan adanya beberapa faktor seperti, perenungan diri, adanya bantuan dari ahli, mendapat pandangan dari orang lain, mendekatkan diri dengan Tuhan, atau bahkan belajar dari orang lain. Adanya kesadaran akan situasi yang dialami akan dapat membantu individu dalam mencari jalan keluar dan membuat individu tahu bahwa dengan mengalami situasi yang kurang mereka jadi dapat menemukan makna dalam situasi atau hidup yang mereka alami (Frankl, 1992). Hal ini juga akan membantu individu mengerti apa yang harus dilakukan dalam situasi yang dialami.

3. Tahap penemuan makna hidup

Tahap yang membuat individu sadar akan nilai-nilai berharga dalam hidup. Nilai-nilai tersebut ialah nilai kreatif (melakukan karya, tindakan atau melakukan pekerjaan), nilai pengalaman (menjalin relasi dan merasakan cinta dengan seseorang) dan nilai

16

bersikap (dapat menghadapi atau menyikapi situasi yang tidak bisa diubah).

4. Tahap realisasi makna

Tahap individu sudah menemukan semangat dalam hidupnya dan dapat melakukan hal positif yang membuat individu dapat bertahan serta menghadapi penderitaan karena hal ini dapat meningkatkan kepuasan hidup individu.

5. Hidup dengan makna

Tahap individu telah memiliki hidup yang lebih baik dan dapat lebih menghayati hidupnya dengan lebih positif. Jika individu sudah sampai pada tahap ini maka individu sudah dapat mengatasi penderitaan yang tidak dapat diubahkan dan tidak menjadikan situasi tersebut sebagai kekecewaan atau rasa sakit.

C. Down Syndrome

World Health Organization (2016) menjelaskan bahwa down syndrome adalah kelainan genetik pada kromosom ke 21 atau sering disebut dengan trisomi 21. Normalnya seseorang memiliki 23 kromosom yang berpasangan sehingga menjadi 46. Pada down syndrome jumlah kromosom 21 berjumlah 3 sehingga total jumlahnya adalah 47 kromosom. Perbedaan kromosom tersebut ada hubungannya dengan sistem metabolisme sel yang dapat memunculkan down syndrome. Munculnya down syndrome kemungkinan dipengaruhi oleh kesehatan sperma ayah atau sel telur ibu. Lahirnya anak

17

down syndrome juga memiliki hubungan dengan usia ibu ketika hamil, semakin tua usia ibu maka kemungkinan lahirnya anak yang mengalami down syndrome akan semakin besar (Duran & Barlow dalam Wijayanti 2015).

Ciri-ciri anak yang mengalami down syndrome selain dapat dilihat dari kromosomnya, dapat juga dilihat dari fisiknya seperti, wajah datar dengan hidung pendek, lipatan kulit menonjol, telinga kecil, lidah pecah-pecah dan menebal, tangan dan kaki lebar, serta jari yang pendek. Anak yang mengalami down syndrome memiliki tahap perkembangan yang sama dengan anak pada umunya (Mangunsong, 2009). Hanya saja anak down syndorme mengalami keterlambatan dalam perkembangannya (Wijayanti, 2014; Santrock, 2011).

Disabilitas intelektual juga merupakan salah satu karakteristik yang dimiliki oleh down syndrome. Tingkat disabilitas intelektual pada down syndrome dapat dilihat dari nilai Intelligence Quotient (IQ) antara 30 sampai 70, dengan rata-rata IQ bernilai 50 (Uyanik et al., 2003). Gasquoine (2011) menghatakan bahwa anak down syndrome sering mengalami perubahan fungsi kognitif yang dipengaruhi oleh ganguan sensori, kondisi medis, dan psikiatris lainnya. Mayoritas anak-anak down syndrome mengalami retardasi mental sedang dengan nilai IQ antara 35-50 sampai retardasi mental berat dengan nilai IQ antara 20-35, sedangkan minoritas anak-anak down syndrome mengalami retardasi mental ringan dengan nilai IQ 50-70 sampai kecerdasan normal (Silverstein et al., 1982)

Anak down syndrome yang berusia 16-40 minggu rata-rata memiliki nilai IQ 71-75, tetapi ketika usia 1 tahun nilai IQ anak down syndrome akan

18

mengalami penurunan menjadi 69. Seiring bertambahnya usia maka nilai IQ anak down syndrome mengalami penurunan. Down syndrome yang memiliki nilai IQ antara 55-80 diharapkan dapat mengikuti pendidikan formal minimal kelas 3 SD dan terkadang dapat berada di pendidikan dasar selama 6 tahun (Hodapp & Zigler, 1990).

Pada masa remaja, anak down syndrome juga mengalami masa pubertas dan memiliki kebutuhan seksual yang sama dengan anak pada umumnya (Maryane, 2011 dalam Nastitie & Aritonang, 2017). Anak laki-laki akan mengalami kematangan organ reproduksi yang ditandai dengan mimpi basah dan anak perempuan yang ditandai dengan menstruasi. Perubahan secara fisik juga akan dialami oleh anak down syndrome. Sehingga anak yang mengalami down syndrome juga perlu mendapatkan pendidikan seksual dari orang tua maupun dari guru.

D. Perbedaan Anak Down Syndrome dan Anak Normal

Perkembangan anak down syndrome berbeda dengan anak normal. Perbedaan perkembangan ini meliputi perkembangan kognitif, bahasa, dan motorik (Gasquoine, 2011). Berikut merupakan jabaran mengenai perbedaan pekembangan anak down syndrome dan anak normal:

1. Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif adalah perubahan pemikiran, inteligensi dan bahasa dari individu. Anak down syndrome memiliki perbedaan mendasar dalam hal struktur dan cara kerja otak dengan

19

anak normal. Perbedaan dipengaruhi oleh tingkat intelektual yang dapat dilihat dari nilai Intelligence Quotient (IQ). Anak down syndrome memiliki nilai IQ antara 30-70, sedangkan anak normal memiliki nilai IQ diatas 70 (Silverstein et al., 1982; Uyanik et al., 2003).

2. Perkembangan Bahasa

Perkembangan bahasa tidak hanya pada cara berbicara, tetapi juga ekspresi wajah, senyuman, dan bahasa tubuh. Anak down syndrome mengalami keterlambatan daripada anak normal dalam perkembangan bahasa (Buckley, 1993; Down Syndrome Association, 2000). Bray & Woolnough (1988) menjelaskan bahwa anak down syndrome berbicara dengan pengucapan yang kurang baik atau tersendat-sendat. Anak normal akan mulai tersenyum di usia 2 bulan, sedangkan anak down syndrome di usia 3 bulan.

Perbedaan perkembangan bahasa anak down syndrome dan anak normal juga terlihat dari mulainya kata pertama yang diucapkah, bahwa anak normal akan mulai mengucapkan kata pertama di usia 10 bulan, sedangkan anak down syndrome di usia 22 bulan. Ketika usia 18 bulan anak normal sudah dapat mengucapkan 5-7 kata, sedangkan anak down syndrome dapat melakukannya di usia 31 bulan (Rusell et al., 2016).

20

3. Perkembangan Motorik

Perkembangan morotik terbagi menjadi motorik kasar dan motorik halus. Pola perkembangan motorik anak down syndrome dan anak normal sana hanya waktu perkembangan yang ditempuh pada anak down syndrome memiliki keterlambatan. Keterlambatan yang dialami anak down syndrome diakibatkan karena adanya faktor kognisi, hipotoni, berkurangnya kekuatan otot, sendi serta ligament yang longgar, dan susunan tangan (Sacks & Sandy, 2000). Anak normal akan mulai menegakkan kepada di usia 3 bulan, , merangkak di usia 10 bulan, berdiri sendiri di usia 12 bulan, dan berjalan di usia 12-18 bulan. Perkembangan motorik anak down syndrome mengalami keterlambatan daripada anak normal karena anak down syndrome akan mulai menegakkan kepada di usia 3-4 bulan, merangkak di usia 17 bulan, berdiri sendiri di usia 22 bulan, dan berjalan di usia 23-26 bulan (Rusell et al., 2016).

E. Ibu Yang Memiliki Anak Down Syndrome

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Ibu adalah sapaan untuk wanita yang sudah bersuami. Jika dihubungkan dengan anak, ibu adalah wanita yang telah mengandung dan melahirkan seorang anak. Ibu memiliki kedekatan dengan anak secara emosional dan kejiwaan (Dewi, 2017). Dalam pengasuhan, ibu membutuhkan dukungan sosial emosi dalam waktu yang lama dan informasi lebih untuk mengetahui mengenai kondisi

21

anak. Tidak jarang hal pengasuhan dan membesarkan anak dibebankan kepada ibu (Barnard & Mertell, dalam Santrock 2007).

Setiap ibu menginginkan bahwa anak yang dilahirkannya memiliki kondisi sehat secara keseluruhan, namun ada beberapa kasus ibu melahirkan anak yang mengalami down syndrome. Ibu yang mengetahui bahwa anaknya mengalami down syndrome untuk pertama kalinya akan memiliki perasaan shock dan tidak percaya dengan kenyataan. Perasaan yang dirasakan membuat ibu merasa stres dan khawatir akan penolakan (Mangunsong, 2011).

Stress yang dialami ibu tidak hanya dikarenakan dari perasaan shock atau tidak percaya dengan kenyataan, tetapi juga disebabkan karena kecemasan serta ketegangan untuk dapat menjalankan peran ibu dengan anak down syndrome, dan perasaan pesimis ibu akan masa depan anak (Little, 2002).

Tidak jarang bahwa ibu yang awalnya bekerja memilih berhenti bekerja untuk merawat anaknya, tetapi ada juga ibu yang memilih menggunakan jasa pengasuh untuk merawat anaknya selama ibu bekerja. Hal ini dikarenakan anak yang mengalami down syndrome membutuhkan perhatian yang lebih, namun hal ini tidak mudah bagi seorang ibu yang baru saja mengetahui bahwa anaknya mengalami down syndrome (Wijayanti, 2015). Tantangan ibu yang memiliki anak down syndrome bertambah ketika anak memasuki usia remaja karena ibu perlu menjelaskan mengenai perubahan-perubahan yang akan terjadi.

Pengasuhan akan lebih optimal dalam mengasuh anak down syndrome ketika ibu memiliki kondisi emosi yang baik, pendidikan yang cukup,

22

dukungan keluarga, dan dapat menerima kondisi atau kenyataan yang ada (Hurlock, 2006). Menerima kondisi yang ada merupakan hal penting supaya ibu dapat dengan mudah menerima kekurangan pada anaknya. Ibu juga dapat merasakan kebahagiaan walaupun dalam kondisi yang sebenarnya tidak diinginkan.

F. Dinamika Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome

Ibu yang memiliki anak down syndrome secara psikologis pada awalnya mengalami perasaan stress, ketakutan akan adanya penolakan, kekhawatiran lingkungan, kecemasan menjalankan peran sebagai ibu, dan kecemasan akan masa depan anak. Perasaan yang dialami ibu dapat berubah menjadi lebih baik ketika ibu dapat menerima segala situasi yang ada dan memiliki makna sebagai ibu dari anak down syndrome. Tahap proses penemuan makna yang dialami akan membantu ibu untuk dapat memiliki perasaan yang lebih baik dan memiliki makna atas situasi yang ditemui.

Tahapan tersebut dimulai dengan tahap derita yaitu bahwa ibu mengalami perasaan yang tidak baik seperti sedih, kecewa, marah, dan tidak menerima situasi yang dialami. Kedua adalah tahap penerimaan diri yaitu bahwa ibu mendapat dorongan yang membuat ibu sadar akan situasi yang sedang terjadi. Ketiga adalah tahap penemuan makna bahwa ibu sudah dapat mengerti akan situasi yang dialami sehingga, ibu juga dapat memaknai pekerjaan, perasaan, dan dapat bersikap akan situasi yang dialami. Ketika ibu sudah dapat menerima dan menemukan makna maka ibu dapat

23

merealisasikan makna tersebut dengan memiliki semangat untuk dapat bertahan hidup dan dapat berkomitmen untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat. Tahap-tahap tersebut dapat membuat ibu hidup dengan makna artinya merasakan hidup yang berkualitas dan dapat menjalani hidup dengan sikap yang benar atas situasi yang dialami.

Gambar 1. peran sebagai ibu, dan masa

depan anak.

Perasaan stress, ketakutan adanya penolakan dan kekhawatiran lingkungan.

Tahap derita Tahap

penerimaan diri Tahap penemuan

makna Tahap realisasi

24

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses penemuan makna hidup ibu yang memiliki anak down syndrome dengan menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif memiliki tujuan untuk mendeskripsikan pengalaman hidup seseorang, sehingga penelitian ini dipilih untuk mendeskripsikan pengalaman ibu yang memiliki anak down syndrome dalam proses penemuan makna hidup. Hal ini juga sesuai dengan ciri penelitian kualitatif yaitu meneliti pengalaman nyata seseorang yang menjadi partisipan penelitian dan disajikan dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti (Supratiknya, 2018).

Menurut Lincoln (dalam Meleong, 2007) dengan menggunakan penelitian kualitatif, peneliti dapat mengungkap suatu fenomena yang terjadi di lingkungan. Selain itu, penelitian kualitatif memiliki sifat eksploratif dan lebih mengutamakan data yang diperoleh dari ungkapan langsung atau penuturan partisipan, sehingga sesuai jika digunakan peneliti untuk mengeksplorasi proses penemuan makna hidup ibu yang memiliki anak down syndrome (Supratiknya, 2015).

Desain penelitian ini akan menggunakan analisis isi kualitatif dengan pendekatan deduktif. AIK dipilih karena peneliti ingin menguji teori yang sudah ada, digunakan untuk meneliti proses penemuan makna hidup ibu

25

yang memiliki anak down syndrome (Supratiknya, 2015). Peneliti menggunakan tahap penemuan makna hidup Bastaman yang dikembangkan dari penemuan makna hidup menurut Frankl.

B. Fokus Penelitian

Penelitian berfokus pada satu variabel yang diteliti yaitu proses penemuan makna hidup pada ibu yang memiliki anak down syndrome. Ibu yang memiliki anak down syndrome yang dimaksud adalah ibu yang melahirkan anak yang mengalami down syndrome. Proses penemuan makna hidup Bastaman (1996) yang dikembangkan dari penemuan makna hidup menurut Frankl meliputi lima tahap yaitu (1) tahap derita; (2) tahap penerimaan diri; (3) tahap penemuan makna; (4) tahap realisasi makna; dan (5) tahap hidup dengan makna. Pengambilan data diawali dengan membuat pedoman wawancara yang disusun berdasarkan tahap penemuan makna hidup menurut Bastaman (1996) dan selanjutnya akan dilakukan wawancara semi terstruktur kepada partisipan. Analisis data akan dilakukan setelah mendapat data dari wawancara yang sudah dilakukan dan analisis data diawali dengan membuat teks atau verbatim hasil wawancara. Hasil wawancara akan dianalisis dengan Analisis Isi Kualitatif dengan pendekatan deduktif berdasarkan tahap penemuan makna hidup Bastaman (1996).

26

Tabel 1

Blueprint wawancara

No. Dimensi Indikator Pertanyaan

1. Tahap derita

2. Tahap penerimaan diri

a. Adanya

27

No. Dimensi Indikator Pertanyaan

e. Belajar dari orang lain.

4b, 4c

3. Tahap penemuan makna

a. Adanya kesadaran

4. Tahap realisasi makna

a. Memiliki

28

No. Dimensi Indikator Pertanyaan

5.

Tahap hidup dengan makna

a. Merasakan hidup yang lebih baik.

7a

b. Dapat menghayati hidup dengan positif.

7a

C. Partisipan Penelitian

Pemilihan partisipan didasarkan oleh kriteria tertentu, berdasarkan tujuan dari penelitian. Partisipan dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak down syndrome. Jumlah partisipan ditentukan oleh kekayaan informasi yang didapat saat melakukan wawancara (Patton, 1990 seperti dikutip dalam Supratiknya, 2018). Kekayaan informasi ini berdasarkan pada proses yang dialami partisipan dalam menemukan makna hidupnya. Tidak menutup kemungkinan jika peneliti menambah partisipan karena kurangnya informasi yang didapat. Dalam pengambilan sampel peneliti menggunakan convenience sampling.

Convenience sampling adalah pengambilan sampel yang mudah diperoleh dengan cara bebas dan mudah berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan dalam penelitian (Sugiarto, 2001; Sugiyono, 2005). Peneliti memilih convenience sampling sebagai teknik pengambilan sampel karena peneliti mendapatkan partisipan dari satu sumber yaitu saudara peneliti.

Pengambilan sampel menggunakan metode convenience sampling tepat

29

digunakan pada masa pandemi COVID-19 karena dapat dilakukan secara online. Pengambilan sampel ini didasari oleh kriteria yang sudah ditentukan

digunakan pada masa pandemi COVID-19 karena dapat dilakukan secara online. Pengambilan sampel ini didasari oleh kriteria yang sudah ditentukan

Dokumen terkait