• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEMUAN MAKNA HIDUP IBU YANG MEMILIKI ANAK DOWN SYNDROME. Skripsi. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENEMUAN MAKNA HIDUP IBU YANG MEMILIKI ANAK DOWN SYNDROME. Skripsi. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi"

Copied!
253
0
0

Teks penuh

(1)

PENEMUAN MAKNA HIDUP IBU YANG MEMILIKI ANAK DOWN SYNDROME

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Marcelina Viodhy Ardiyaari Trinidya 169114010

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2021

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan untuk:

1. Tuhan Yesus, yang selalu memberi saya kekuatan, kesehatan dan mendengarkan segala permohonan saya serta mempermudah saya dalam proses penyelesaian skripsi ini, karena anugerahNya saya bisa sampai di akhir skripsi ini.

2. Diri saya sendiri, yang sudah mau berjuang sampai titik akhir.

3. Mama dan Papa, yang selalu memberi semangat kepada saya untuk terus kuat dan berjuang dalam penyelesaian skripsi ini, yang selalu menemani saya saat saya mengerjakan skripsi. Tidak pernah sekalipun muncul dalam perkataan kalian untuk membuatku putus asa hanya dukungan dan dukungan yang kalian berikan untuk saya.

4. Kedua kakak saya Mas Ano dan Mbak Onya, yang tidak pernah lelah memberi solusi dan dukungan ketika saya merasa putus asa. Kalian yang selalu mendengarkan keluh kesah saya.

5. Ibu-ibu yang memiliki anak down syndrome, walaupun ada dalam kondisi yang kurang baik, ibu-ibu tetap berjuang untuk dapat melanjutkan hidupnya dan berusaha untuk selalu memberikan yang terbaik kepada anak kalian.

(5)

v

HALAMAN MOTTO

“Pergunakan hidupmu dengan baik berusahalah selagi masih bisa berusaha dan jangan sia-siakan hidup yang kamu miliki.”

Saya sendiri

“Karena masa depanmu sungguh ada dan harapanmu tidak akan hilang.”

Amsal 23:18

“Jangan jadikan kesuksesan sebagai tujuan, semakin anda jadikan kesuksesan sebagai tujuan dan target utama. Semakin anda akan menjauh

darinya”

Viktor Frankl, 1992

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 2021

Peneliti,

Marcelina Viodhy Ardiyaari Trinidya 23 September

(7)

vii

Penemuan Makna Hidup Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome Marcelina Viodhy Ardiyaari Trinidya

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian kulitatif yang bertujuan untuk mengetahui proses penemuan makna hidup ibu yang memiliki anak down syndrome. Proses penemuan makna hidup yang dimaksud merupakan tahap penemuan makna hidup Bastaman (1996) yang dikembangkan dari makna hidup menurut Frankl (1992). Tahap penemuan makna hidup tersebut meliputi: (1). Tahap derita; (2). Tahap penerimaan diri; (3). Tahap penemuan makna; (4). Tahap realisasi makna; dan (5). Hidup dengan makna. Partisipan merupakan lima orang ibu yang memiliki anak down syndrome. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara semi terstruktur. Analisis data dilakukan menggunakan metode Analisis Isi Kualitatif (AIK) dengan pendekatan deduktif terarah. Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak down syndrome dapat melewati masa sulitnya dan dapat menemukan makna dari penderitaan yang dihadapi. Ketika partisipan sudah menemukan makna hidup dan menjalani hidup dengan makna, maka partisipan merasa bahwa hidupnya lebih baik dan bahagia serta dapat memaknai segala macam penderitaan yang dialami dengan baik.

Kata Kunci: makna hidup, ibu, down syndrome

(8)

viii

Penemuan Makna Hidup Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome Marcelina Viodhy Ardiyaari Trinidya

ABSTRACT

The current research was a qualitative research that was aimsed to investigate the process of finding the meaning of life of mothers who have a children with Down syndrome. The process of finding the meaning of life was based on the stage of discovering the meaning of life by Bastaman (1996) which was developed from the meaning of life according to Frankl (1992). The stages of finding the meaning of life include: (1). Stage of suffering; (2). Stage of self-acceptance; (3). The stage of finding the meaning; (4). Meaning realization stage; and (5). Live with the meaning. The participants studied were five mothers who had children with Down syndrome. Data collection was carried out using a semi-structured interview method, while data analysis used the Qualitative Content Analysis (AIK) method with a directed deductive approach, and the results of the study showed that mothers with Down syndrome children could go through the difficult times and could to find the meaning of suffering of their lives. When participants have found the meaning of life in their lives, participants feel that their lives are better and happier and also could to interpret all their suffering as well.

Key word: meaning of life, mother, down syndrome

(9)

ix

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Marcelina Viodhy Ardiyaari Trinidya NIM : 169114010

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmuah saya yang berjudul:

Penemuan Makna Hidup Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome Beserta perngkat yang dibutuhkan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola di internet atau media lainnya untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap tercantumkan nama saya sebagai peneliti.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Dibuat di : Yogyakarta Pada tanggal :

Yang menyatakan,

Marcelina Viodhy Ardiyaari Trinidya 23 September 2021

(10)

x

KATA PENGANTAR

Pengalaman pribadi memiliki kakak sepupu seorang ibu yang memiliki anak down syndrome membuat peneliti sadar akan kebahagiaan yang sekarang beliau rasakan. Dimulai dari kisah kakak sepupu peneliti melahirkan anak yang mengalami down syndrome dan melihat pejuangannya dalam menghadapi situasi yang ada disekitarnya sampai dapat memiliki hidup yang bahagia, membuat peneliti ingin menuliskan kisah tersebut. Karya ini peneliti persembahkan untuk para ibu- ibu yang memiliki anak down syndrome sebagai dukungan dan rasa empati kepada mereka bahwa kehagiaan tidak jauh dari situasi yang mereka alami.

Puji syukur peneliti haturkan kepada Tuha Yesus dan Bunda Maria atas segala pertolongan, anugerah, kekuatan, kesabaran, dan cinta kasih yang diberikan sehingga peneliti dapat selesai menulis skripsi yang berjudul “Makna Hidup Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome”. Penelitian ini juga tidak akan selesai tanpa bimbingan, bantuan, doa, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Agung Santoso, Ph. D., selaku dosen pembimbing yang tidak pernah lelah memberi masukan positif dan memberikan waktunya untuk melakukan bimbingan pada setiap minggu. Terima kasih atas bantuan, dukungan, saran, dan juga kepedulian yang diberikan kepada peneliti untuk memberikan hasil yang terbaik.

(11)

xi

2. Dosen dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, terima kasih karena sudah memberikan pengetahuan, pelajaran, dan pengalaman selama peneliti berkuliah di Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu-ibu partisipan, terima kasih sudah mempercayai peneliti dan bersedia untuk bercerita secara terbuka mengenai pengalaman yang telah dilalui.

Peneliti juga sangat mengucapkan terima kasih banyak karena sudah meluangkan waktu, dan dukungan yang sudah diberikan. Banyak sekali hal yang peneliti terima dari ibu-ibu partisipan dan semua itu sangat bermanfaat bagi peneliti pribadi terutama dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Budi dan Ibu Evi selaku mama dan papa dari peneliti, terima kasih untuk segala kasih sayang, kesabaran, dukungan, doa, dan perhatian yang sudah diberikan selama ini. Mama dan papa yang selalu ada ketika peneliti sedang putus asa atau merasa down dan tidak pernah lelah untuk selalu mengingatkan dan percaya bahwa perjuangan yang peneliti lakukan akan selesai dengan baik. Peneliti juga mengucapkan terimakasih atas fasilitas yang telah diberikan untuk mendukung selesainya skripsi ini.

5. Mbak Onya dan Mas Ano selaku kakak dari peneliti, terima kasih banyak atas dukungan yang diberikan berupa apapun dan yang selalu memberikan solusi yang harus dilakukan ketika peneliti sudah bingung.

Kalian yang selalu mengingatkan peneliti untuk terus berusaha dan berjuang supaya dapat menyelesaikan skripsi ini.

(12)

xii

6. Mas Gah dan Kak Ratna sebagai kakak iparku yang memberiku semangat menyelesaikan skripsi ini.

7. Anya keponakanku, teman berantemku dan penghiburku disaat merasa suntuk.

8. Semua saudara peneliti, terima kasih atas doa, perhatian dan dukungan yang selalu diberikan kepada peneliti.

9. Fortha Odhiliano, terima kasih sudah selalu mau mendengarkan keluh kesah peneliti, menemani peneliti ketika mengerjakan skripsi, menghibur dan mendukung peneliti untuk dapat menyelesaikan penelitian ini.

10. Mbak Thia psikolog dari peneliti, terima kasih atas segala saran dan dukungan yang diberikan sehingga peneliti dapat memiliki pikiran dan perasaan yang baik.

11. Judith sahabatku, terima kasih sudah selalu menegur kalau peneliti malas dan mendukungku untuk bisa melalui proses ini dengan baik. Yang selalu bertanya kepada peneliti mengenai progres skripsi sehingga peneliti memiliki semangat untuk lebih berusaha lagi.

12. Irena, terima kasih sudah mau berjuang bersama dan selalu memberi dukungan bahwa kami berdua bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

13. Shela dan Cynthia, terima kasih atas doa dan dukungan untuk peneliti bisa menikmati proses ini dengan baik.

14. Alma dan Lita, terima kasih atas perhatian sudah menjadi teman dalam segalanya yang selalu menasihati dan menegur aku kalo aku salah.

(13)

xiii

15. Silva dan teman-teman BTC, terimakasih atas kata semangat yang diberikan kepada peneliti.

16. Teman-teman BEM khususnya Bagas, Indri, dan Sammy, terimakasih sudah menjadi teman belajar di waktu sibuk dan memberi pembelajaran dalam banyak hal selama berdinamika.

17. Kelas A, terima kasih sudah menjadi kelas yang supportif untuk peneliti selama kuliah di Universitas Sanata Dharma.

18. Seluruh pihak yang tidak bisa diucapkan satu persatu, peneliti sangat mengucapkan banyak terimakasih atas doa dan dukungannya.

19. Kepada diri saya sendiri, terima kasih sudah mau berjuang sampai di titik ini. Masih mau bekerja sama untuk bisa melakukan dan mengerjakan skripsi ini dengan konsisten serta jadi lebih belajar untuk bisa mencintai diri sendiri.

Dalam penelitian ini, tidak bisa dipungkiri bahwa ada keterbatasan, kekurangan, dan kesalahan yang peneliti lakukan selama menulis skripsi. Kritik dan saran merupakan hal yang sangat berarti bagi peneliti. Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan dapat bermanfaat untuk banyak orang. Terima kasih.

Yogyakarta,

Marcelina Viodhy Ardiyaari Trinidya 23 September 2021

(14)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN...ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI...iii

HALAMAN PERSEMBAHAN...iv

HALAMAN MOTTO...v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...vi

ABSTRAK...vii

ABSTRACT...viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN...ix

KATA PENGANTAR...x

DAFTAR ISI...xiv

DAFTAR GAMBAR...xvi

DAFTAR TABEL...xvii

DAFTAR LAMPIRAN...xviii

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah...8

C. Tujuan Penelitian...8

D. Manfaat Penelitian...8

BAB II LANDASAN TEORI...9

A. Logoterapi...9

B. Makna Hidup...10

(15)

xv

C. Down Syndrome...16

D. Perbedaan Anak Down Syndrome dan Anak Sehat...18

E. Ibu Yang Memiliki Anak Down Syndrome...20

F. Dinamika Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome...22

BAB III METODE PENELITIAN...24

A. Jenis dan Desai Penelitian...24

B. Fokus Penelitian...25

C. Partisipan Penelitian...28

D. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian...30

E. Proses Pengumpulan Data...33

F. Analisis Data...34

G. Kredibilitas Data...38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...39

A. Pelaksanaan Penelitian...39

B. Latar Belakang Partisipan dan Dinamika Wawancara...40

C. Hasil Penelitian...55

D. Pembahasan...91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...100

A. Kesimpulan...100

B. Saran...102

DAFTAR PUSTAKA...106

LAMPIRAN...114

(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka konseptual...23

(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Blueprint...26

Tabel 2 Pedoman yang digunakan untuk wawancara...30

Tabel 3 Matriks analisis dan indikator tahapan penemuan makna hidup...35

Tabel 4 Waktu dan lokasi pelaksanaan wawancara...39

Tabel 5 Ringkasan hasil analisis tahap penemuan makan hidup...88

(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Contoh Lembar Persetujuan Partisipan (Informed Consent)...115

Lampiran 2 Lembar Persetujuan Partisipan 1...117

Lampiran 3 Transkrip wawancara Partisipan 1...118

Lampiran 4 Transkrip Triangulasi Partisipan 1...127

Lampiran 5 Lembar Persetujuan Partisipan 2...130

Lampiran 6 Transkrip Wawancara Partisipan 2...131

Lampiran 7 Transkrip Triangulasi Partisipan 2...148

Lampiran 8 Lembar Persetujuan Partisipan 3...154

Lampiran 9 Transkrip Wawancara Partisipan 3...155

Lampiran 10 Transkrip Triangulasi Partisipan 3...167

Lampiran 11 Lembar Persetujuan Partisipan 4...171

Lampiran 12 Transkrip Wawancara Partisipan 4...172

Lampiran 13 Transkrip Triangulasi Partisipan 4...189

Lampiran 14 Lembar Persetujuan Partisipan 5...192

Lampiran 15 Transkrip Wawancara Partisipan 5...193

Lampiran 16 Transkrip Triangulasi Partisipan 5...23

(19)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Memiliki anak yang sehat merupakan harapan dari orang tua terlebih ibu.

Ibu yang telah mengandung selama beberapa bulan mengharapkan dapat melahirkan anak yang sehat secara rohani dan jasmani, tetapi ada juga ibu yang melahirkan anak dengan beberapa kelainan mental ataupun fisik. Salah satu kelainan fisik dan mental disebut dengan down syndome. Kelainan yang terjadi pada anak, dapat berpengaruh pada perasaan ibu untuk dapat menerima situasi dan merawat anaknya.

Tidak jarang juga ibu yang tetap dapat menjalankan tanggung jawabnya secara penuh untuk merawat anak dan memberikan kasih sayang walaupun mengalami beberapa keterbatasan (Ediyati, 2018). Meskipun dalam keterbatasan, ibu sebenarnya masih memiliki keinginan untuk dapat bertahan dan menjadi ibu yang baik dari anak down syndrome. Keinginan untuk dapat bertahan dan menjadi ibu yang baik walaupun dalam kondisi yang tidak baik dapat terlaksana ketika ibu dapat menerima semua situasi yang ada sebagai ibu yang memiliki anak down syndrome.

World Health Organization (2016) menjelaskan bahwa Down syndrome adalah kelainan genetik pada kromosom ke 21 atau sering disebut dengan trisomi 21. Kelainan tersebut ditandai dengan keterbelakangan mental,

(20)

2

pertumbuhan terhambat, wajah datar dengan hidung pendek, lipatan kulit menonjol, telinga kecil, lidah pecah-pecah dan menebal, tangan dan kaki lebar, serta jari yang pendek (Mangunsong, 2009). Kasus down syndrome di Indonesia meningkat (Wardah, 2019). Sejak tahun 2010 sampai tahun 2018 kasus down syndrome pada anak berusia 25 bulan sampai 59 bulan mengalami kenaikan sebesar 0,15%.

Kasus down syndrome ini membuat orang tua dari anak down syndrome memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk dapat membesarkan dan membantu anak bisa berkembang optimal. Beban cukup berat memiliki anak down syndrome dirasakan oleh orang tua, terutama ibu (Carr, 1988). Tidak sedikit orang tua yang mengurangi waktu bekerja, atau bahkan berhenti bekerja untuk bisa membesarkan anak yang memiliki kebutuhan khusus (Lestari &

Mariyati, 2015). Tanggung jawab membesarkan anak tersebut tidak jarang dibebankan pada ibu karena ibu secara sosial diserahi tanggung jawab utama dalam pengasuhan anak (Barnard & Martell, dalam Santrock, 2007). Selain itu, ibu memiliki kedekatan dengan anak secara emosional dan kejiwaan (Dewi, 2017).

Hasil penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa pengalaman ibu yang memiliki anak down syndrome merasakan reaksi negatif. Reaksi negatif tersebut ditandai dengan adanya kestabilan emosi yang kurang baik, kurang memiliki penerimaan diri, kurang memiliki motivasi hidup, memiliki kecemasan, adanya penolakan, memiliki tingkat stres yang tinggi, kesulitan dalam menerima kenyataan dan reaksi munculnya psikologi negatif (Carr,

(21)

3

1988; Mangunsong, 2011; Sarah & Achmad, 2016). Ibu yang memiliki anak down syndrome juga mengalami kekhawatiran lingkungan karena adanya rasa takut akan penolakan sosial yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, ibu yang memiliki anak down syndrome dituntut untuk dapat lebih positif dalam memaknai situasi yang dialami, sehingga ibu memiliki perasaan yang lebih baik dalam menjalani dan memaknai hidup sebagai ibu yang memiliki anak down syndrome.

Beban yang diberikan secara timpang pada ibu dengan anak down syndrome yang mengakibatkan munculnya reaksi psikologis yang tidak menguntungkan, mendorong peneliti memilih ibu daripada ayah sebagai partisipan penelitian. Ibu yang memiliki anak down syndrome dituntut untuk memiliki waktu yang banyak bersama anaknya agar bisa menyesuaikan diri dan dapat mengasuh secara optimal (Sarah & Achmad, 2016). Ibu juga memiliki tanggung jawab besar dalam perkembangan anak yang memiliki kebutuhan khusus. Rasa tanggung jawab yang besar untuk dapat membesarkan dan membantu perkembangan anak membuat ibu yang mempunyai anak down syndrome harus berusaha lebih dalam memberikan pengasuhan dan dapat melanjutkan hidup dengan baik.

Kemampuan untuk tetap berfungsi normal dan menjalankan hidup dengan baik dapat dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain penerimaan diri, subjective well-being, dan resiliensi. Penerimaan diri adalah menerima semua kondisi yang ada pada individu atau yang dimiliki individu berupa kekuatan maupun kelemahan, kekurangan ataupun kelebihan, dan dorongan maupun

(22)

4

hambatan yang ada dalam diri (Prihadhi, 2004). VandenBos (2007) menjelaskan subjective well-being adalah hasil evaluasi mengenai kualitas hidup yang bertujuan untuk menyadari seberapa baik kualitas hidup individu.

Resiliensi adalah kemampuan untuk dapat mengatasi dan beradaptasi dengan masalah yang terjadi dalam kehidupan seperti bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity), atau trauma yang dialami dalam kehidupan (Reivich dan Shatte, 2002). Ketiga hal tersebut dapat membantu individu dalam menghadapi situasi untuk dapat tetap berfungsi normal dan menjalankan hidupnya.

Seseorang juga dapat berfungsi normal dan menjalankan hidup dengan baik ketika mampu menemukan makna dan memaknai hidupnya secara positif, meskipun dalam situasi yang tidak menguntungkan (Frankl, 1959, dalam Bastaman, 1996). Penemuan makna hidup penting karena dapat membantu individu bersikap benar dan tepat atas situasi yang dialami (Bastaman 2007).

Individu yang menilai hidup sebagai hal positif akan memiliki hidup yang berarti, berguna, dan berharga (meaningful) sehingga dapat memunculkan kebahagiaan, namun jika individu menilai hidup sebagai hal negatif, individu tersebut akan memiliki hidup yang tidak berarti (meaningless) dan akan memunculkan perasaan menderita. Siapa pun dan sebagai apa pun seseorang akan mempertanyakan arti hidupnya yang sudah dijalani.

Penemuan makna hidup perlu bagi individu untuk dapat memunculkan kebahagian dan bersikap akan situasi yang dialami. Individu dapat menemukan makna hidup melalui proses yang terjadi dalam hidupnya karena proses adalah

(23)

5

rangkaian tindakan atau runtutan peristiwa untuk dapat berkembang (KBBI, 2016; UU, 2014). Pentingnya makna hidup bagi individu membuat peneliti tertarik untuk mengetahui proses ibu yang memiliki anak down syndrome dalam menemukan makna hidupnya. Penemuan makna hidup bagi ibu yang memiliki anak down syndrome dapat membantu ibu menerima situasi, bersikap tepat akan situasi, dan dapat memiliki hidup yang lebih berkualitas serta berharga. Sikap yang muncul ketika ibu menemukan makna hidup berpengaruh juga dalam mengasuh anak down syndrome.

Individu harus melalui beberapa tahapan untuk dapat menemukan dan memenuhi makna hidupnya. Tahapan tersebut yaitu tahap derita, penerimaan diri, pemenuhan makna hidup, realisasi makna, dan hidup dengan makna (Bastaman, 1996). Melalui tahapan tersebut, peneliti memiliki ketertarikan untuk mengetahui gambaran proses penemuan makna hidup ibu yang memiliki anak down syndrome. Makna hidup sangat penting dalam kehidupan individu karena dapat membantu individu untuk memahami tujuan hidupnya dan memiliki perasaan bahagia serta menyenangkan (Atsniyah & Supradewi, 2019;

Frankl, 1959).

Pada penelitian sebelumnya, makna hidup diteliti dalam berbagai peristiwa penderitaan. Peristiwa penderitaan tersebut seperti trauma karena kehilangan orang terdekat atau orang yang dicintai (Bogensperger &Schuster, 2014; Bailey et al, 2013; Michael & Snyder, 2005; Murphy et al, 2010), trauma karena pembantaian (Wulandari et al, 2018) dan penderitaan karena mengalami sakit (Kallay & Miclea, 2007; Ozanne et al, 2013). Terdapat juga

(24)

6

penelitian mengenai makna hidup yang dapat membantu mahasiswa memahami emosinya saat memikirkan kematian (Abeyta et al, 2015).

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penemuan makna hidup sangat penting bagi individu untuk dapat melanjutkan hidup, memiliki tujuan hidup, memiliki kualitas hidup yang lebih baik, mengalami perubahan hidup ke arah yang lebih positif, dan membuat individu dapat memahami mengenai emosinya (Abeyta et al, 2015; Bogensperger &Schuster, 2014; Kallay &

Miclea, 2007; Wulandari et al, 2018). Adanya kesadaran mengenai penemuan makna hidup serta adanya dukungan sosial akan memberikan dampak baik untuk kehidupan individu (Bailey et al, 2013; Michael & Snyder, 2005). Jika dilihat dari proses penemuan makna hidup, makna hidup dapat ditemukan melalui beberapa hal yaitu dalam mencintai pekerjaan, percaya akan adanya Tuhan, dan menerima keadaan positif atau negatif yang dialami (Frankl, 1999).

Dalam penemuan makna hidup, Frankl telah membuat konsep yang bernama logoterapi. Logoterapi memiliki tiga prinsip dasar dalam penemuan makna hidup. Tiga konsep tersebut yang pertama adanya kebebasan bagi individu untuk memilih sikap dalam menghadapi situasi, yang kedua adanya keinginan bagi individu untuk dapat memiliki makna, dan yang tiga dengan adanya pemilihan sikap yang benar serta keinginan memiliki makna dalam hidup, maka individu dapat dengan mudah memaknai hidupnya (Frankl, 1967;

Frankl, 1968; Frankl, 1986). Tidak sampai di situ, Frankl (1999) juga merangkum nilai-nilai yang dapat membantu individu dalam menemukan makna hidupnya. Nilai-nilai tersebut yaitu nilai kreatif, nilai pengalaman, dan

(25)

7

nilai bersikap. Peneliti juga menemukan pandangan Frankl mengenai penemuan makna hidup yang dikembangkan lagi oleh H. D. Bastaman (1996) dalam tahap penemuan makna hidup. Bastaman (1996) menuliskan beberapa tahap dalam menemukan makna hidup. Tahap yang dimaksud meliputi tahap derita, tahap penerimaan diri, tahap penemuan makna, tahap realisasi makna, dan tahap hidup dengan makna.

Peneliti akan menggunakan tahap penemuan makna hidup Bastaman (1996) yang dikembangkan dari makna hidup menurut Frankl. Peneliti memilih Frankl karena Frankl merupakan pelopor pertama penemuan makna hidup dalam pengalamannya di Kamp Konsentrasi. Bastaman merangkum pengalaman Frankl dalam membantu orang-orang di Kamp Konsentrasi untuk dapat menemukan makna hidup dalam lima tahap penemuan makna hidup.

Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan, peneliti ingin mencoba meneliti mengenai proses penemuan makna hidup dengan partisipan ibu yang memiliki anak down syndrome.

Penelitian yang sudah ada lebih fokus kepada makna hidup yang dihubungkan dengan individu yang menderita penyakit atau individu yang memiliki trauma kehilangan. Maka dari itu, peneliti ingin meneliti mengenai proses penemuan makna hidup ibu yang memiliki anak down syndrome.

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai proses penemuan makna hidup kepada ibu-ibu yang memiliki anak down syndrome dan belum dapat menemukan kebahagiaan atau hal menyenangkan dari peristiwa yang dialami.

(26)

8

B. Rumusan Masalah

Penemuan makna hidup penting bagi ibu yang memiliki anak down syndrome karena dengan menemukan makna hidup, ibu dapat menerima peristiwa yang dialami dan dapat menjalani hidup dengan lebih bahagia serta positif. Adanya hidup bahagia dan positif ini juga akan berdampak pada pengasuhan ibu dalam mengasuh anak down syndrome. Sehingga peneliti ingin mengetahui “Bagaimana proses penemuan makna hidup ibu yang memiliki anak down syndrome?” sebagai masalah penelitian.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses penemuan makna hidup ibu yang memiliki anak down syndrome secara mendalam dan jelas.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan kajian literatur dalam proses penemuan makna hidup.

2. Manfaat Praktis

Bagi ibu yang memiliki anak down syndrome penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai proses penemuan makna hidup kepada ibu-ibu yang memiliki anak down syndrome dan belum dapat menemukan kebahagiaan atau hal menyenangkan dari peristiwa yang dialami.

(27)

9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Logoterapi

Pelopor yang memperkenalkan konsep makna hidup adalah Viktor Frankl dalam teori yang disebut Logoterapi (Schulenberg et al., 2008).

Logoterapi merupakan sarana atau terapi untuk membangun tujuan hidup melalui pemahaman mengenai makna karena logoterapi memusatkan perhatiannya pada masa depan atau pencarian makna terlebih dahulu (Crumbaugh, 1988; Frankl, 1962; Frankl 1968; Frankl, 1992; Kalmar, 1984;

Schulenberg et al., 2008; Wong, 1998b). Perjuangan dalam menemukan makna hidup merupakan motivasi utama individu dalam hidupnya. Wong (2017) mengatakan bahwa logoterapi memiliki tiga dasar untuk dapat menemukan makna.

Jika individu menyadari akan tiga dasar logoterapi, maka individu akan dapat mengatasi kesulitan dalam hidupnya dan pada akhirnya akan merasa puas atas hidup yang telah dijalani. Berikut adalah tiga dasar dalam logoterapi (Frankl, 1967; Frankl, 1968; Frankl, 1986; Wong, 2017):

1. Kebebasan berkehendak (freedom of will)

Kebebasan yang dimaksud bukan bebas untuk dapat memilih hidup secara biologis, psikologis, ataupun sosiologis tetapi bebas untuk memilih sikap dalam menghadapi keadaan. Manusia diberi

(28)

10

kebebasan untuk memilih sikap dengan tanggung jawab guna mendapatkan hidup yang berkualitas dan mengandung makna.

2. Keinginan untuk memiliki makna (will to meaning)

Keinginan untuk memiliki makna merupakan motivasi utama individu dan hanya dipenuhi oleh individu tersebut. Adanya keinginan untuk hidup dengan makna ini yang mendorong individu untuk memiliki pola pikir yang benar dan melakukan kegiatan yang dapat mengembangkan dirinya serta dapat mencegah melakukan hal yang dapat membuat individu mengakhiri hidupnya. Ketika individu dapat memiliki pola pikir yang benar dan melakukan kegiatan pengembangan diri, maka individu tersebut dapat membuat hidupnya memiliki makna.

3. Makna hidup

Ketika individu dapat mengambil sikap yang benar dalam menghadapi keadaan dan memiliki keinginan untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat, maka individu tersebut telah membuat dirinya hidup dengan makna.

B. Makna Hidup

Makna hidup adalah upaya yang sangat penting dan berharga yang dapat membantu individu memahami kehidupan, keberadaan, dan tujuannya melalui kegiatan kesehariannya (Bastaman, 2007, p. 45; Bauer-Wu & Farran, 2005). Hidup individu menyimpan makna dalam setiap situasi, bahkan dalam

(29)

11

situasi yang menyedihkan. Oleh karena itu, makna hidup dapat ditemukan dalam situasi menyenangkan maupun tidak menyenangkan (Frankl, 1992).

Individu menjalani hidup tidak terlepas dari aspek negatif dalam hidup seperti penderitaan, rasa bersalah, rasa sakit, dan kematian. Ketika individu dapat mengambil sikap yang benar dalam menghadapi aspek negatif, maka individu tersebut dapat menemukan makna dalam kehidupannya (Frankl, 1997).

Penemuan makna hidup dapat membuat individu memiliki kepuasan, kebahagiaan, dan rasa penguasaan diri akan hidupnya (Kiang & Fuligni, 2010; Ho et al., 2010; Shek, 2001). Adanya makna dalam hidup juga dapat meminimalisir individu untuk mengalami kecemasan, depresi, dan keputusasaan dalam menjalani hidup (Brassai et al., 2012; Ho et al., 2010;

Shek, 1992). Oleh karena itu, individu yang berhasil menemukan makna dapat memperkuat keinginannya untuk hidup dan memiliki ketahanan dalam menghadapi kekerasan, penderitaan, dan kematian (Baldacchino, 2011;

Schuhmann & Geugten, 2017).

Hidup dengan makna tidak sama dengan hidup bahagia, tetapi hidup yang memiliki makna dapat membuat individu memupuk kebahagiaan karena dapat memaknai setiap peristiwa yang ditemui (Lin & Shek, 2018). Frankl mengatakan bahwa makna tidak dapat dicapai hanya dengan proses akal atau usaha intelektual, tetapi individu harus menunjukkan komitmen dari dalam dan pusat kepribadiannya (Koeswara, 1992). Oleh karena itu, terdapat tiga nilai yang dibuat oleh Frankl dalam memfasilitasi setiap individu dalam

(30)

12

menemukan makna hidupnya (Frankl, 1969; & Frankl, 1977, p. 104). Ketiga nilai tersebut yaitu (Frankl, 1962):

1. Nilai Kreatif (Creative values)

Nilai kreatif merupakan nilai yang bisa diberikan kepada dunia. Individu dapat menemukan makna hidupnya dengan melakukan kegiatan keseharian seperti, bekerja dan mengembangkan hobi. Kegiatan lainnya yaitu menyelesaikan tugas yang ada, menciptakan karya seperti membuat kerajinan tangan atau melakukan perbuatan baik. Mengisi waktu luang dengan melakukan kegiatan yang berguna akan membantu individu dalam menemukan makna hidupnya (Frankl, 1992).

2. Nilai Pengalaman (Experiential values)

Nilai pengalaman yaitu nilai yang dapat diambil dari dunia.

Individu dapat menemukan makna hidupnya dengan mengalami dan menghadapi sesuatu dalam hidupnya. Dalam nilai pengalaman terdapat unsur kebenaran, keindahan, kepercayaan akan adanya Tuhan, dan adanya rasa cinta. Rasa cinta dalam nilai pengalaman yang sebenarnya adalah rasa cinta kepada manusia dan dapat menjalin hubungan atau relasi (Frankl, 1986).

3. Nilai Bersikap (Attitudial values)

Nilai bersikap yaitu ketepatan dalam bersikap untuk menghadapi situasi yang tidak dapat dihindari dan diubah atau dapat disebut dengan situasi penderitaan yang tidak terhindarkan. Nilai ini

(31)

13

dapat membantu individu menemukan perspektif baru tentang kehidupan. Ketika individu dapat menyikapi situasi yang tidak dapat diubah, maka individu tersebut dapat mengubah situasi yang tidak menyenangkan menjadi sebuah kemenangan dalam hidupnya.

Kemudian, Wong (1997) memperluas teori Frankl mengenai penemuan makna hidup yang menyatakan bahwa individu dapat dikatakan memiliki makna hidup apabila dirinya memenuhi tiga komponen berikut, yaitu:

1. Komponen motivasi

Komponen motivasi dalam makna hidup, terdiri dari penetapan tujuan dan sikap untuk dapat mencapai tujuan hidupnya.

Komponen ini berasal dari komponen kognitif dalam menentukan tujuan hidup individu. Komponen motivasi adalah sikap atau perilaku yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2. Komponen kognitif

Komponen kognitif dalam makna hidup, terdiri dari keyakinan, skema, harapan individu dalam hidupnya, dan semua proses kognitif yang dapat membantu orang memahami lingkungan serta kehidupannya. Hal ini memungkinkan individu untuk dapat menjelaskan peristiwa dan pengalaman yang dialaminya, serta membantu individu dalam memilih tujuan hidupnya. Perkembangan komponen ini berawal dari pengalaman lampau individu yang membentuk struktur makna hidupnya.

(32)

14

3. Komponen emosi

Komponen emosi dalam makna hidup, terdiri dari perasaan terpenuhi atau perasaan baik mengenai hidup individu. Perasaan terpenuhi ini berasal dari dua keyakinan individu akan pentingnya hidup dan pengejaran dari tujuan hidup yang berharga. Komponen ini berfungsi untuk mengukur tingkat individu dalam memaknai hidupnya.

Saat individu memiliki ketiga komponen di atas maka individu dapat memiliki keyakinan positif mengenai hidupnya, dapat mengejar tujuan yang telah direncanakan, dan dapat merasakan hidup yang baik serta memuaskan.

Terdapat juga perkembangan penemuan makna hidup Frankl yang dibungkus menjadi tahap-tahap mulai dari tahap derita, tahap penerimaan diri, tahap penemuan makna, tahap realisasi makna, dan hidup dengan makna (Bastaman, 1996 dalam Santosa & Wijaya, 2014; Chaidir & Tuapattinaja, 2018; Charlys & Kurniati, 2007; Frankl, 1992; Qori’ah & Ningsih, 2020):

1. Tahap derita

Tahap derita merupakan situasi yang tidak dapat dihindari individu dan termasuk dalam aspek hidup yang disebut situasi penderitaan. Dalam menemukan makna hidup individu akan melewati situasi yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan, akan tetapi individu akan lebih mudah menemukan makna hidup pada situasi yang menyenangkan. Jerry Long merupakan penderita kelumpuhan dari leher hingga bawah karena kecelakaan, dari

(33)

15

pengalamannya tersebut Jerry mengatakan bahwa tanpa penderitaan ia tidak dapat berkembang. Salah satu cara penemuan makna hidup dapat ditemukan ketika individu menghadapi penderitaan.

Penderitaan yang dimaksud yaitu situasi tidak menyenangkan, bosan, kekecewaan, tidak dapat memaknai suatu peristiwa, merasa hampa, tidak peduli, dan kehilangan tujuan hidup.

2. Tahap penerimaan diri

Pada tahap ini, muncul pemahaman diri akan situasi dan adanya perubahan dalam bersikap. Hal ini didorong dengan adanya beberapa faktor seperti, perenungan diri, adanya bantuan dari ahli, mendapat pandangan dari orang lain, mendekatkan diri dengan Tuhan, atau bahkan belajar dari orang lain. Adanya kesadaran akan situasi yang dialami akan dapat membantu individu dalam mencari jalan keluar dan membuat individu tahu bahwa dengan mengalami situasi yang kurang mereka jadi dapat menemukan makna dalam situasi atau hidup yang mereka alami (Frankl, 1992). Hal ini juga akan membantu individu mengerti apa yang harus dilakukan dalam situasi yang dialami.

3. Tahap penemuan makna hidup

Tahap yang membuat individu sadar akan nilai-nilai berharga dalam hidup. Nilai-nilai tersebut ialah nilai kreatif (melakukan karya, tindakan atau melakukan pekerjaan), nilai pengalaman (menjalin relasi dan merasakan cinta dengan seseorang) dan nilai

(34)

16

bersikap (dapat menghadapi atau menyikapi situasi yang tidak bisa diubah).

4. Tahap realisasi makna

Tahap individu sudah menemukan semangat dalam hidupnya dan dapat melakukan hal positif yang membuat individu dapat bertahan serta menghadapi penderitaan karena hal ini dapat meningkatkan kepuasan hidup individu.

5. Hidup dengan makna

Tahap individu telah memiliki hidup yang lebih baik dan dapat lebih menghayati hidupnya dengan lebih positif. Jika individu sudah sampai pada tahap ini maka individu sudah dapat mengatasi penderitaan yang tidak dapat diubahkan dan tidak menjadikan situasi tersebut sebagai kekecewaan atau rasa sakit.

C. Down Syndrome

World Health Organization (2016) menjelaskan bahwa down syndrome adalah kelainan genetik pada kromosom ke 21 atau sering disebut dengan trisomi 21. Normalnya seseorang memiliki 23 kromosom yang berpasangan sehingga menjadi 46. Pada down syndrome jumlah kromosom 21 berjumlah 3 sehingga total jumlahnya adalah 47 kromosom. Perbedaan kromosom tersebut ada hubungannya dengan sistem metabolisme sel yang dapat memunculkan down syndrome. Munculnya down syndrome kemungkinan dipengaruhi oleh kesehatan sperma ayah atau sel telur ibu. Lahirnya anak

(35)

17

down syndrome juga memiliki hubungan dengan usia ibu ketika hamil, semakin tua usia ibu maka kemungkinan lahirnya anak yang mengalami down syndrome akan semakin besar (Duran & Barlow dalam Wijayanti 2015).

Ciri-ciri anak yang mengalami down syndrome selain dapat dilihat dari kromosomnya, dapat juga dilihat dari fisiknya seperti, wajah datar dengan hidung pendek, lipatan kulit menonjol, telinga kecil, lidah pecah-pecah dan menebal, tangan dan kaki lebar, serta jari yang pendek. Anak yang mengalami down syndrome memiliki tahap perkembangan yang sama dengan anak pada umunya (Mangunsong, 2009). Hanya saja anak down syndorme mengalami keterlambatan dalam perkembangannya (Wijayanti, 2014; Santrock, 2011).

Disabilitas intelektual juga merupakan salah satu karakteristik yang dimiliki oleh down syndrome. Tingkat disabilitas intelektual pada down syndrome dapat dilihat dari nilai Intelligence Quotient (IQ) antara 30 sampai 70, dengan rata-rata IQ bernilai 50 (Uyanik et al., 2003). Gasquoine (2011) menghatakan bahwa anak down syndrome sering mengalami perubahan fungsi kognitif yang dipengaruhi oleh ganguan sensori, kondisi medis, dan psikiatris lainnya. Mayoritas anak-anak down syndrome mengalami retardasi mental sedang dengan nilai IQ antara 35-50 sampai retardasi mental berat dengan nilai IQ antara 20-35, sedangkan minoritas anak-anak down syndrome mengalami retardasi mental ringan dengan nilai IQ 50-70 sampai kecerdasan normal (Silverstein et al., 1982)

Anak down syndrome yang berusia 16-40 minggu rata-rata memiliki nilai IQ 71-75, tetapi ketika usia 1 tahun nilai IQ anak down syndrome akan

(36)

18

mengalami penurunan menjadi 69. Seiring bertambahnya usia maka nilai IQ anak down syndrome mengalami penurunan. Down syndrome yang memiliki nilai IQ antara 55-80 diharapkan dapat mengikuti pendidikan formal minimal kelas 3 SD dan terkadang dapat berada di pendidikan dasar selama 6 tahun (Hodapp & Zigler, 1990).

Pada masa remaja, anak down syndrome juga mengalami masa pubertas dan memiliki kebutuhan seksual yang sama dengan anak pada umumnya (Maryane, 2011 dalam Nastitie & Aritonang, 2017). Anak laki-laki akan mengalami kematangan organ reproduksi yang ditandai dengan mimpi basah dan anak perempuan yang ditandai dengan menstruasi. Perubahan secara fisik juga akan dialami oleh anak down syndrome. Sehingga anak yang mengalami down syndrome juga perlu mendapatkan pendidikan seksual dari orang tua maupun dari guru.

D. Perbedaan Anak Down Syndrome dan Anak Normal

Perkembangan anak down syndrome berbeda dengan anak normal. Perbedaan perkembangan ini meliputi perkembangan kognitif, bahasa, dan motorik (Gasquoine, 2011). Berikut merupakan jabaran mengenai perbedaan pekembangan anak down syndrome dan anak normal:

1. Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif adalah perubahan pemikiran, inteligensi dan bahasa dari individu. Anak down syndrome memiliki perbedaan mendasar dalam hal struktur dan cara kerja otak dengan

(37)

19

anak normal. Perbedaan dipengaruhi oleh tingkat intelektual yang dapat dilihat dari nilai Intelligence Quotient (IQ). Anak down syndrome memiliki nilai IQ antara 30-70, sedangkan anak normal memiliki nilai IQ diatas 70 (Silverstein et al., 1982; Uyanik et al., 2003).

2. Perkembangan Bahasa

Perkembangan bahasa tidak hanya pada cara berbicara, tetapi juga ekspresi wajah, senyuman, dan bahasa tubuh. Anak down syndrome mengalami keterlambatan daripada anak normal dalam perkembangan bahasa (Buckley, 1993; Down Syndrome Association, 2000). Bray & Woolnough (1988) menjelaskan bahwa anak down syndrome berbicara dengan pengucapan yang kurang baik atau tersendat-sendat. Anak normal akan mulai tersenyum di usia 2 bulan, sedangkan anak down syndrome di usia 3 bulan.

Perbedaan perkembangan bahasa anak down syndrome dan anak normal juga terlihat dari mulainya kata pertama yang diucapkah, bahwa anak normal akan mulai mengucapkan kata pertama di usia 10 bulan, sedangkan anak down syndrome di usia 22 bulan. Ketika usia 18 bulan anak normal sudah dapat mengucapkan 5-7 kata, sedangkan anak down syndrome dapat melakukannya di usia 31 bulan (Rusell et al., 2016).

(38)

20

3. Perkembangan Motorik

Perkembangan morotik terbagi menjadi motorik kasar dan motorik halus. Pola perkembangan motorik anak down syndrome dan anak normal sana hanya waktu perkembangan yang ditempuh pada anak down syndrome memiliki keterlambatan. Keterlambatan yang dialami anak down syndrome diakibatkan karena adanya faktor kognisi, hipotoni, berkurangnya kekuatan otot, sendi serta ligament yang longgar, dan susunan tangan (Sacks & Sandy, 2000). Anak normal akan mulai menegakkan kepada di usia 3 bulan, , merangkak di usia 10 bulan, berdiri sendiri di usia 12 bulan, dan berjalan di usia 12-18 bulan. Perkembangan motorik anak down syndrome mengalami keterlambatan daripada anak normal karena anak down syndrome akan mulai menegakkan kepada di usia 3-4 bulan, merangkak di usia 17 bulan, berdiri sendiri di usia 22 bulan, dan berjalan di usia 23-26 bulan (Rusell et al., 2016).

E. Ibu Yang Memiliki Anak Down Syndrome

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Ibu adalah sapaan untuk wanita yang sudah bersuami. Jika dihubungkan dengan anak, ibu adalah wanita yang telah mengandung dan melahirkan seorang anak. Ibu memiliki kedekatan dengan anak secara emosional dan kejiwaan (Dewi, 2017). Dalam pengasuhan, ibu membutuhkan dukungan sosial emosi dalam waktu yang lama dan informasi lebih untuk mengetahui mengenai kondisi

(39)

21

anak. Tidak jarang hal pengasuhan dan membesarkan anak dibebankan kepada ibu (Barnard & Mertell, dalam Santrock 2007).

Setiap ibu menginginkan bahwa anak yang dilahirkannya memiliki kondisi sehat secara keseluruhan, namun ada beberapa kasus ibu melahirkan anak yang mengalami down syndrome. Ibu yang mengetahui bahwa anaknya mengalami down syndrome untuk pertama kalinya akan memiliki perasaan shock dan tidak percaya dengan kenyataan. Perasaan yang dirasakan membuat ibu merasa stres dan khawatir akan penolakan (Mangunsong, 2011).

Stress yang dialami ibu tidak hanya dikarenakan dari perasaan shock atau tidak percaya dengan kenyataan, tetapi juga disebabkan karena kecemasan serta ketegangan untuk dapat menjalankan peran ibu dengan anak down syndrome, dan perasaan pesimis ibu akan masa depan anak (Little, 2002).

Tidak jarang bahwa ibu yang awalnya bekerja memilih berhenti bekerja untuk merawat anaknya, tetapi ada juga ibu yang memilih menggunakan jasa pengasuh untuk merawat anaknya selama ibu bekerja. Hal ini dikarenakan anak yang mengalami down syndrome membutuhkan perhatian yang lebih, namun hal ini tidak mudah bagi seorang ibu yang baru saja mengetahui bahwa anaknya mengalami down syndrome (Wijayanti, 2015). Tantangan ibu yang memiliki anak down syndrome bertambah ketika anak memasuki usia remaja karena ibu perlu menjelaskan mengenai perubahan-perubahan yang akan terjadi.

Pengasuhan akan lebih optimal dalam mengasuh anak down syndrome ketika ibu memiliki kondisi emosi yang baik, pendidikan yang cukup,

(40)

22

dukungan keluarga, dan dapat menerima kondisi atau kenyataan yang ada (Hurlock, 2006). Menerima kondisi yang ada merupakan hal penting supaya ibu dapat dengan mudah menerima kekurangan pada anaknya. Ibu juga dapat merasakan kebahagiaan walaupun dalam kondisi yang sebenarnya tidak diinginkan.

F. Dinamika Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome

Ibu yang memiliki anak down syndrome secara psikologis pada awalnya mengalami perasaan stress, ketakutan akan adanya penolakan, kekhawatiran lingkungan, kecemasan menjalankan peran sebagai ibu, dan kecemasan akan masa depan anak. Perasaan yang dialami ibu dapat berubah menjadi lebih baik ketika ibu dapat menerima segala situasi yang ada dan memiliki makna sebagai ibu dari anak down syndrome. Tahap proses penemuan makna yang dialami akan membantu ibu untuk dapat memiliki perasaan yang lebih baik dan memiliki makna atas situasi yang ditemui.

Tahapan tersebut dimulai dengan tahap derita yaitu bahwa ibu mengalami perasaan yang tidak baik seperti sedih, kecewa, marah, dan tidak menerima situasi yang dialami. Kedua adalah tahap penerimaan diri yaitu bahwa ibu mendapat dorongan yang membuat ibu sadar akan situasi yang sedang terjadi. Ketiga adalah tahap penemuan makna bahwa ibu sudah dapat mengerti akan situasi yang dialami sehingga, ibu juga dapat memaknai pekerjaan, perasaan, dan dapat bersikap akan situasi yang dialami. Ketika ibu sudah dapat menerima dan menemukan makna maka ibu dapat

(41)

23

merealisasikan makna tersebut dengan memiliki semangat untuk dapat bertahan hidup dan dapat berkomitmen untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat. Tahap-tahap tersebut dapat membuat ibu hidup dengan makna artinya merasakan hidup yang berkualitas dan dapat menjalani hidup dengan sikap yang benar atas situasi yang dialami.

Gambar 1.

Kerangka Konseptual

Ibu yang memiliki anak down syndrome

Proses penemuan makna hidup

Kecemasan menjalankan peran sebagai ibu, dan masa

depan anak.

Perasaan stress, ketakutan adanya penolakan dan kekhawatiran lingkungan.

Tahap derita Tahap

penerimaan diri Tahap penemuan

makna Tahap realisasi makna

Tahap hidup dengan makna

Munculnya perasaan

sedih, hampa, bosan, dan kehilangan tujuan dalam

menghadapi situasi.

Sadar akan situasi yang

didorong dengan adanya bantuan dari

puhak luar.

Melakukan 3 nilai yaitu:

nilai kreatif, nilai pengalaman,

dan nilai bersikap.

Semangat dalam hidup

dan berkomitmen

untuk melakukan

kegiatan produktif.

Hidup lebih berkualitas dan bersikap

benar akan situasi.

(42)

24

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses penemuan makna hidup ibu yang memiliki anak down syndrome dengan menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif memiliki tujuan untuk mendeskripsikan pengalaman hidup seseorang, sehingga penelitian ini dipilih untuk mendeskripsikan pengalaman ibu yang memiliki anak down syndrome dalam proses penemuan makna hidup. Hal ini juga sesuai dengan ciri penelitian kualitatif yaitu meneliti pengalaman nyata seseorang yang menjadi partisipan penelitian dan disajikan dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti (Supratiknya, 2018).

Menurut Lincoln (dalam Meleong, 2007) dengan menggunakan penelitian kualitatif, peneliti dapat mengungkap suatu fenomena yang terjadi di lingkungan. Selain itu, penelitian kualitatif memiliki sifat eksploratif dan lebih mengutamakan data yang diperoleh dari ungkapan langsung atau penuturan partisipan, sehingga sesuai jika digunakan peneliti untuk mengeksplorasi proses penemuan makna hidup ibu yang memiliki anak down syndrome (Supratiknya, 2015).

Desain penelitian ini akan menggunakan analisis isi kualitatif dengan pendekatan deduktif. AIK dipilih karena peneliti ingin menguji teori yang sudah ada, digunakan untuk meneliti proses penemuan makna hidup ibu

(43)

25

yang memiliki anak down syndrome (Supratiknya, 2015). Peneliti menggunakan tahap penemuan makna hidup Bastaman yang dikembangkan dari penemuan makna hidup menurut Frankl.

B. Fokus Penelitian

Penelitian berfokus pada satu variabel yang diteliti yaitu proses penemuan makna hidup pada ibu yang memiliki anak down syndrome. Ibu yang memiliki anak down syndrome yang dimaksud adalah ibu yang melahirkan anak yang mengalami down syndrome. Proses penemuan makna hidup Bastaman (1996) yang dikembangkan dari penemuan makna hidup menurut Frankl meliputi lima tahap yaitu (1) tahap derita; (2) tahap penerimaan diri; (3) tahap penemuan makna; (4) tahap realisasi makna; dan (5) tahap hidup dengan makna. Pengambilan data diawali dengan membuat pedoman wawancara yang disusun berdasarkan tahap penemuan makna hidup menurut Bastaman (1996) dan selanjutnya akan dilakukan wawancara semi terstruktur kepada partisipan. Analisis data akan dilakukan setelah mendapat data dari wawancara yang sudah dilakukan dan analisis data diawali dengan membuat teks atau verbatim hasil wawancara. Hasil wawancara akan dianalisis dengan Analisis Isi Kualitatif dengan pendekatan deduktif berdasarkan tahap penemuan makna hidup Bastaman (1996).

(44)

26

Tabel 1

Blueprint wawancara

No. Dimensi Indikator Pertanyaan

1. Tahap derita

a. Kondisi tidak menyenangkan.

3b, 3c

b. Tidak dapat memaknai suatu peristiwa.

3c.

c. Adanya perasaan hampa

3a

d. Adanya rasa bosan. 3a e. Adanya perasaan

tidak peduli.

3a

f. Kehilangan tujuan hidup.

3d

2. Tahap penerimaan diri

a. Adanya

perenungan diri.

4a, 4b, 4c

b. Adanya bantuan dari ahli.

4b, 4c

c. Adanya pandangan dari orang lain.

4b, 4c

d. Mendekatkan diri pada Tuhan.

4b, 4c

(45)

27

No. Dimensi Indikator Pertanyaan

e. Belajar dari orang lain.

4b, 4c

3. Tahap penemuan makna

a. Adanya kesadaran akan nilai kreatif (bekerja/berkarya).

5a

b. Adanya kesadaran akan nilai

pengalaman (cinta kasih dan

kepercayaan dengan Tuhan).

5b, 5c, 5d

c. Adanya kesadaran akan nilai bersikap (dapat mengambil sikap yang tepat).

5e, 5f

4. Tahap realisasi makna

a. Memiliki semangat untuk hidup.

6b

b. Melakukan suatu kegiatan yang mengarah pada pemenuhan hidup.

6a

(46)

28

No. Dimensi Indikator Pertanyaan

5.

Tahap hidup dengan makna

a. Merasakan hidup yang lebih baik.

7a

b. Dapat menghayati hidup dengan positif.

7a

C. Partisipan Penelitian

Pemilihan partisipan didasarkan oleh kriteria tertentu, berdasarkan tujuan dari penelitian. Partisipan dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak down syndrome. Jumlah partisipan ditentukan oleh kekayaan informasi yang didapat saat melakukan wawancara (Patton, 1990 seperti dikutip dalam Supratiknya, 2018). Kekayaan informasi ini berdasarkan pada proses yang dialami partisipan dalam menemukan makna hidupnya. Tidak menutup kemungkinan jika peneliti menambah partisipan karena kurangnya informasi yang didapat. Dalam pengambilan sampel peneliti menggunakan convenience sampling.

Convenience sampling adalah pengambilan sampel yang mudah diperoleh dengan cara bebas dan mudah berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan dalam penelitian (Sugiarto, 2001; Sugiyono, 2005). Peneliti memilih convenience sampling sebagai teknik pengambilan sampel karena peneliti mendapatkan partisipan dari satu sumber yaitu saudara peneliti.

Pengambilan sampel menggunakan metode convenience sampling tepat

(47)

29

digunakan pada masa pandemi COVID-19 karena dapat dilakukan secara online. Pengambilan sampel ini didasari oleh kriteria yang sudah ditentukan sebagai berikut:

1. Ibu yang memiliki anak down syndrome yang berusia di atas 12 tahun, dipilihnya kriteria ini karena sesuai dengan tujuan penelitian bahwa peneliti ingin mengetahui proses ibu yang memiliki anak down syndrome dapat menemukan makna hidupnya. Peneliti memilih ibu yang memiliki anak down syndrome usia di atas 12 tahun karena ibu sudah lebih memiliki pengalaman dalam menghadapi hidup dalam memiliki dan mengasuh anak down syndrome.

2. Merawat anak tanpa bantuan atau dengan bantuan dari pihak luar, adanya kriteria ini karena peneliti ingin melihat proses penemuan makna hidup ibu yang merawat anak down syndrome tanpa bantuan atau dengan bantuan pihak lain. Sehingga peneliti mendapatkan informasi mengenai proses penemuan makna hidup ibu yang memiliki anak down syndrome dengan atau tanpa bantuan dari bantuan pengasuh.

3. Ibu dengan anak down syndrome yang bekerja di luar rumah, memiliki usaha di rumah, maupun yang tidak bekerja, dipilihnya kriteria ini karena peneliti ingin melihat proses penemuan makna hidup ibu yang merawat anaknya sambil bekerja dan yang sepenuhnya merawat anaknya.

(48)

30

D. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian

Pengambilan data dilakukan dengan teknik wawancara. Peneliti memilih teknik wawancara supaya dapat melakukan wawancara dengan partisipan secara tatap muka atau dapat melalui telepon (Creswell, 2009 seperti dikutip dalam Supratiknya, 2015). Selain itu, teknik wawancara membantu peneliti untuk mendapat informasi mengenai pengalaman dan pemaknaan partisipan dalam fenomena yang diteliti. Peneliti menggunakan wawancara semi terstruktur dan menyediakan pedoman wawancara dalam pengambilan data. Pedoman wawancara ini bertujuan untuk membantu proses wawancara supaya informasi yang didapat sesuai dengan fenomena yang diteliti (Supratiknya, 2015; 2018).

Adanya pedoman wawancara ini tidak menutup kemungkinan untuk peneliti menambah pertanyaan pada partisipan supaya informasi yang diterima peneliti dapat lebih kaya dan mendalam (Morrow, 2005 seperti dikutip dalam Supratiknya 2018).

Tabel 2

Pedoman yang digunakan untuk wawancara

NO. PERTANYAAN

1. Latar Belakang Partisipan a. Berapa usia Ibu?

b. Apa pendidikan terakhir Ibu?

c. Berapa jumlah anak Ibu?

d. Apakah Ibu memiliki pengasuh untuk membantu dalam

(49)

31

NO. PERTANYAAN

anak Ibu yang mengalami down syndrome?

e. Bagaimana hubungan ibu dengan keluarga terutama dengan suami dan anak-anak?

f. Apa kesibukan Ibu saat ini?

2. Pemahaman Ibu yang Memiliki anak Down Syndrome a. Apakah yang Ibu ketahui mengenai anak down syndrome?

b. Apakah Ibu sudah mengetahui mengapa anak Ibu bisa mengalami down syndrome?

3. Tahap Derita

a. Bisakah menceritakan mengenai perasaan Ibu ketika mengetahui bahwa anak Ibu mengalami down syndrome?

b. Bisakah Ibu menceritakan suka duka memiliki anak down syndrome?

c. Apakah Ibu mengalami kesulitan dalam mengasuh anak down syndrome dari sejak lahir sampai sekarang?

d. Pernahkah Ibu merasa kecewa atau putus asa selama Ibu memiliki anak down syndrome?

4. Tahap Penerimaan Diri

a. Manakah hal yang sering Ibu rasakan dari dulu hingga dalam menjalani hidup sehari-hari, senang atau sedih?

b. Apakah Ibu sudah dapat menerima bahwa anak Ibu mengalami down syndrome?

(50)

32

NO. PERTANYAAN

c. Jika sudah, dengan cara apa Ibu dapat menerima kondisi tersebut?

5. Tahap Penemuan Makna

a. Apakah ibu bisa menceritakan mengenai kesibukan yang sekarang sudah dijalani?

b. Apakah ibu sudah memiliki keberanian untuk bersosialisasi dengan orang lain?

c. Apakah ibu dapat merasakan rasa cinta kepada orang-orang di sekitar termasuk dengan anak ibu yang mengalami down syndrome?

d. Apakah ibu percaya dengan adanya Tuhan?

e. Apakah ibu sudah bisa menyikapi dengan baik untuk situasi ini?

f. Apakah Ibu sudah mencapai tujuan hidup ibu?

6. Tahap Realisasi Makna

b. Rencana apa yang dilakukan untuk mencapai tujuan hidup Ibu?

c. Apakah semangat Ibu dalam menjalani hidup sekarang sudah lebih besar dari yang sebelumnya?

7. Tahap Hidup dengan Makna

a. Apakah sekarang Ibu sudah dapat merasakan bahwa hidup Ibu lebih bahagia?

(51)

33

E. Proses Pengumpulan Data

Peneliti melakukan beberapa tahap dalam proses pengumpulan data, sebagai berikut:

1. Peneliti menghubungi partisipan untuk melakukan pendekatan dengan tujuan membangun suasana ketika melangsungkan wawancara (Supratiknya, 2018). Dalam melakukan pendekatan ini, peneliti menjelaskan maksud serta tujuan dari penelitian yang akan dilakukan dan menjadwalkan waktu untuk wawancara.

2. Peneliti menyiapkan pedoman wawancara yang disusun berdasarkan teori yang digunakan.

3. Peneliti membuat Informed Consent yang bertujuan untuk melindungi hak-hak partisipan melakukan proses wawancara (Supratiknya, 2018). Informed Consent merupakan dokumen yang berisi prosedur mengenai kegiatan wawancara yang perlu diketahui partisipan sebelum melakukan wawancara (Grady, 2017 dalam Supratiknya, 2018)

4. Melakukan wawancara sesuai kesepakatan yang sudah dilakukan sebelumnya mengenai tempat dan waktu. Wawancara didasarkan pada pedoman yang sudah disiapkan sebelumnya.

5. Pada saat melalukan wawancara peneliti melakukan perekaman data menggunakan alat perekam suara sebagai alat bantu untuk mencatat informasi yang diberikan partisipan kepada peneliti.

(52)

34

6. Selesainya proses wawancara peneliti melakukan member checking untuk menyamakan persepsi informasi yang diberikan partisipan dan yang diterima peneliti, supaya tidak ada kesalahpahaman dalam menuliskan hasil.

7. Peneliti juga melalukan triangulasi yang bertujuan untuk membandingkan hasil yang diterima dari partisipan dengan sumber lain yang merupakan kerabat dekat partisipan.

8. Data yang terkumpul atau terekam akan dibuat menjadi teks atau diverbatim oleh peneliti. Selanjutnya akan dianalisis berdasarkan teori yang digunakan.

F. Analisis data

Peneliti menggunakan metode Analisis Isi Kualitatif untuk melakukan analisis dan interpretasi data. AIK dipilih karena dapat mengungkap isi atau makna dari hasil wawancara yang dilakukan sesuai dengan fenomena. Setelah itu data akan dideskripsikan dengan pendekatan deduktif atau analisis ini terarah. Tujuan dari pendekatan deduktif adalah untuk memvalidasi kerangka teori yang sudah pernah ada dalam konteks baru (Hsieh & Shanon, 2005 dalam Supratiknya, 2015). Data dalam penelitian ini akan dibuat dalam bentuk percakapan dari hasil wawancara. Langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam menganalisis dengan menggunakan pendekatan deduktif yaitu:

1. Peneliti menyusun sebuah matriks kategori yang dilihat dari kerangka teori (Elo & Kyngas, 2008 dalam Supratiknya 2015).

(53)

35

Matriks kategori yang dibuat berasal dari kerangka teori yang digunakan dan dapat membantu peneliti dalam merumuskan pertanyaan penelitian dan pernyataan partisipan dalam wawancara.

2. Peneliti melakukan coding atau pengodean. Coding yang dilakukan peneliti menggunakan dua tahap. Pertama, peneliti membaca keseluruhan hasil wawancara yang sudah dibuat dalam bentuk teks dan menandai bagian dari teks yang sesuai dengan fenomena yang diteliti. Kedua, peneliti menentukan kode dari teks wawancara yang sudah dibaca dengan menggunakan kode-kode yang ditentukan dalam matriks kategori. Kemudian jika ada bagian teks yang menunjukkan fenomena yang diteliti namun belum memiliki kode maka dapat ditambahkan atau diberi kode baru (Hsieh & Shannon, 2005 dalam Supratiknya, 2015).

Tabel 3

Matriks analisis dan indikator tahapan penemuan makna hidup yang berdasarkan pada tahap penemuan makna hidup menurut Bastaman (1996)

No. Tahap Indikator Kode

1. Tahap derita

a. Kondisi tidak menyenangkan (munculnya perasaan sedih).

A1

b. Tidak dapat memaknai suatu peristiwa (tidak dapat bersikap dengan baik dan benar).

A2

c. Adanya perasaan hampa (merasa A3

(54)

36

No. Tahap Indikator Kode

sepi dan kosong).

d. Adanya perasaan bosan (merasa tidak menyukai situasi).

A4

e. Adanya perasaan tidak peduli (bertindak pasif akan situasi).

A5

f. Kehilangan tujuan hidup (merasakan putus asa).

A6

2.

Tahap penerimaan

diri

a. Adanya perenungan diri

(mengambil waktu untuk berpikir akan situasi).

B1

b. Adanya bantuan dari ahli (mendapatkan penanganan dari psikolog).

B2

c. Adanya pandangan dari orang lain (mendapat dukungan dari pihak luar).

B3

d. Mendekatkan diri pada Tuhan (berdoa dan berharap kepada Tuhan).

B4

e. Belajar dari orang lain (melihat pengalaman orang lain).

B5

3. Tahap a. Nilai kreatif (melakukan C1

(55)

37

No. Tahap Indikator Kode

penemuan makna

pekerjaan/berkarya).

b. Nilai pengalaman (merasakan cinta kasih dan percaya dengan Tuhan).

C2

c. Nilai bersikap (mengambil sikap yang tepat)

C3

4.

Tahap realisasi

makna

a. Memiliki semangat untuk hidup (menjalani hidup dengan hati yang senang dan lebih baik).

D1

b. Melakukan kegiatan yang mengarah pada pemenuhan hidup (berkomitmen untuk melakukan kegiatan produktif).

D2

5

Tahap hidup dengan

makna

a. Merasakan hidup yang lebih baik (bersikap baik dan tepat akan segala situasi).

E1

b. Dapat menghayati hidup dengan positif (menjalani hidup dengan perasaan baik/positif).

E2

(56)

38

G. Kredibilitas Data

Dalam penelitian kualitatif terdapat reliabilitas dan validitas.

Reliabilitas dilakukan untuk melihat sejauh mana pendekatan yang digunakan oleh peneliti konsisten dengan yang digunakan oleh peneliti-peneliti lain dan dalam penelitian yang lain. Sedangkan validitas adalah untuk melihat ketepatan hasil penelitian dari kaca mata peneliti, partisipan, dan pembaca (Supratiknya, 2015). Oleh karena itu, peneliti akan melakukan reliabilitas dan validitas dalam penelitian yang dilakukan untuk melihat ketepatan dalam pendekatan yang digunakan dan hasil dari penelitian.

Peneliti menguji reliabilitas dalam penelitian ini dengan membaca dan memeriksa transkrip rekaman wawancara untuk memastikan tidak ada kesalahan selama proses wawancara. Selain itu, peneliti juga menguji validitas dengan menggunakan dua strategi. Yang pertama peneliti melakukan trianggulasi, strategi ini dilakukan peneliti guna membandingkan informasi yang sudah didapatkan dengan sumber lain atau kerabat dekat dari partisipan untuk menentukan hasil yang benar-benar berhubungan dengan tema-tema yang ditemukan. Kedua peneliti melakukan member checking, hal ini dilakukan untuk pengecekan temuan-temuan peneliti dengan pengungkapan partisipan pada saat wawancara (Creswell, 2009 dalam Supratiknya 2015).

(57)

39

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian

Pengumpulan data dimulai pada tanggal 3 Februari 2021 sampai dengan 8 Maret 2021. Pada tanggal 3 Februari 2021 peneliti melakukan uji coba wawancara. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kekurangan dalam pertanyaan yang sudah dibuat. Setelah dilakukannya uji coba wawancara, peneliti merasa terdapat pertanyaan yang belum dituliskan dalam pedoman wawancara sehingga peneliti menambahkan beberapa pertanyaan yang dapat memperkaya informasi. Hasil wawancara yang didapatkan dari uji coba tersebut tetap digunakan sebagai data. Durasi waktu untuk wawancara berbeda satu dengan yang lain mulai dari 35 menit sampai dengan 60 menit.

Rangkuman waktu dan tempat wawancara disajikan pada tabel 5.

Tabel 4

Waktu dan lokasi pelaksanaan wawancara

No. Partisipan Waktu Lokasi

1. P1 3 Februari 2021 Rumah masing-masing

2. P2 27 Februari 2021 Rumah masing-masing

3. P3 3 Maret 2021 Rumah partisipan

4. P4 3 Maret 2021 Rumah partisipan

5. P5 8 Maret 2021 Rumah masing-masing

(58)

40

Wawancara dilakukan oleh peneliti secara online melalui telepon whatsapp dengan tiga partisipan dan tatap muka dengan dua partisipan.

Peneliti melakukan wawancara secara online melalui telepon whatsapp karena adanya pandemi. Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa mereka tidak ingin untuk ditemui sehingga tidak memungkinkan peneliti melakukan wawancara secara tatap muka dengan ketiga partisipan. Kesepakatan antara peneliti dan partisipan untuk melakukan wawancara melalui telepon whatsapp atau tatap muka bermula dari penawaran yang diberikan dari peneliti. Peneliti melakukan penawaran tersebut karena adanya pandemi COVID-19.

B. Latar Belakang Partisipan dan Dinamika Wawancara

Pencarian partisipan dalam penelitian, peneliti meminta rekomendasi dari kerabat peneliti yang merupakan ibu dari anak down syndrome.

Rekomendasi yang diberikan oleh saudara peneliti didasarkan pada kriteria- kriteria yang telah dibuat oleh peneliti yaitu memiliki anak down syndrome dan merawat anak tanpa atau dengan bantuan dari pihak luar. Saudara peneliti, memberikan lima rekomendasi ibu-ibu yang sesuai dengan kriteria dalam penelitian ini. Kemudian peneliti menjelaskan maksud dari tujuan penelitian dan menanyakan kesediaan kelima calon partisipan yang telah direkomendasikan. Hal ini dilakukan supaya tidak ada kesalahpahaman antara peneliti dan calon partisipan mengenai maksud dan tujuan dari penelitian ini. Apabila peneliti mendapatkan persetujuan dari calon

Gambar

Gambar 1 Kerangka konseptual......................................................................23

Referensi

Dokumen terkait

Terlepas dari sumbangannya dalam mengakhiri kekerasan September 1999, negara-negara besar anggota masyarakat internasional ikut mengemban tanggungjawab atas kejahatan yang

“ Praktek Pembagian Harta Warisan Di Desa Simpur Kecamatan Simpur Kabupaten HSS (Studi Kasus Terhadap Tiga Problem Kewarisan Ashabah) ”.

Kinerja Sasaran Strategi 2.1 Meningkatka n penyediaan sarana dan prasarana dasar dengan kapasitas dan kualitas yang setara dengan standar dunia Berkembangnya

1) Kebutuhan dasar yang seperti makan, minum, pakain dan tempat tinggal. 2) Kebutuhan sosial seperti komunikasi, kebersamaan, dan perhatian. 3) Kebutuhan individu

GUNAKAN DETEKTOR IONISASI KEPING SEJAJAR. Detektor ionisasi keping sejajar direko- mendasikan untuk pengukuran dosis serap berkas elektron energi rendah dati pesawat

Tujuan kegiatan ini adalah: (1) Membantu BPTP DI Yogyakarta, Sulut dan NTB dalam pelaksanaan Prima Tani, khususnya dalam hal menyempurnakan hasil identifikasi

Translasi Ribosom membentuk polipeptida Codons tRNA molecules mRNA Growing polypeptide Large subunit Small subunit mRNA mRNA binding site P site A site P A Growing polypeptide

Penekanan OFF pada layar HMI ( Humman machine interface ) dibagian silo 1 untuk menghentikan sistem (Sistem akan berhenti secara otomatis ketika material