• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR TABEL

III. Pengurus Harian

4.2 Hasil Penelitian

Keran informasi disetiap badan publik sudah terbuka ketika undang-undang keterbukaan informasi publik (UU KIP) disahkan pada tanggal 30 April 2008. Tepatnya, undang-undang ini berlaku setelah dua tahun diundangkan (30 April 2010). Dengan dibukanya keran informasi disetiap badan publik, wartawan selaku profesi yang bertujuan untuk mencari, mengolah dan menyebarluaskan informasi yang kerap berurusan dengan badan publik mendapat dukungan atas hadirnya UU KIP.

Oleh karena kontribusi penting dari UU KIP terhadap kerja jurnalistik yang menjadi salah satu syarat penting dalam membuka arsip-arsip publik, wartawan perlu memahami bagaimana dan seperti apa undang-undang ini. Berangkat dari hal itu, penelitian ini dilakukan guna menjawab pokok permasalahan tadi. Adapun hasil penelitiannya sebagai berikut :

Herman merupakan informan pertama dalam penelitian ini. Awalnya, peneliti mengirim pesan singkat (SMS) guna menjelaskan niat peneliti. Selain itu, peneliti juga memberikan surat izin penelitian kepadanya pada tanggal 23 April 2015 di depan kantor Medan Bisnis. Pada saat pertama kalinya bertemu dengan Herman, peneliti meminta data dan nomor telepon anggota AJI Medan dan kemudian memintanya untuk menjadi informan dalam penelitian ini. Herman meminta peneliti untuk bersabar atas waktunya yang padat sebagai jurmalis. Setelah itu, kesepakatan waktu dan tempat wawancara disetujui antara peneliti dengan Herman pada tanggal 29 April 2015 pukul 13:00 di kantor Medan Bisnis.

Kegiatan jurnalistik sudah dijalani Herman semenjak mahasiswa di universitas Sumatera Utara yaitu dengan bergabung di pers mahasiswa Suara USU. Akan tetapi, wartawan profesional baru ia mulai sejak tahun 2007 di Medan Bisnis. Hingga saat ini, Herman masih bekerja di media tersebut dengan menduduki jabatan redaktur perdagangan dan politik. Selama hampir satu dekade berkarir dalam jurnalistik, Herman bergabung dengan organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan pada tahun 2007. Ia melihat AJI sebagai wadah perlindungan bagi jurnalis yang rentan terhadap pelbagai resiko pada saat meliput peristiwa di lapangan :

“Begini ya, kitakan orang di lapangan. Pasti adalah masalah, kendala dan pasti butuh perlindungan. Jadi, untuk meminimalisir kemungkinan buruk itu kita harus berserikat. Intinya itu. Jadi, setelah berproses, apa yang kita dapatkan setelah masuk organisasi ? jadi, mungkin disetiap organisasi itu punya program ‘capacity building’ (peningkatan kapasitas). Bagaimana sih menulis isu-isu itu. Di AJI itu kan isu yang diangkat isu lingkungan, jaminan sosial, isu perburuhan. Mulai tahun 2000, AJI itu menyatakan bahwa jurnalis itu adalah buruh”.

Menurut Herman, isu-isu yang diangkat AJI seperti isu lingkungan, jaminan sosial dan isu perburuhan merupakan capacity building (peningkatan kapasitas) bagi seorang jurnalis yang bergabung dengan AJI. Proses seperti itu hanya dapat dipatri dengan cara berorganisasi, khususnya dalam organisasi AJI yang ia ikuti. Selain itu, Herman menambahkan bahwa AJI sendiri pada tahun 2000 yang lalu mendeklarasikan jurnalis sebagai buruh.

lxxvii

Universitas Sumatera Utara Herman sendiri merupakan Pejabat Sementara Ketua di AJI Medan. Posisi itu ia duduki setelah ketua AJI tidak berdomisili di kota Medan lagi. Hal ini dikarenakan anggaran dasar dan rumah tangga (AD/ART) organisasi yang mengatur tentang kepemimpinan AJI kota.

“Ketuanyakan lagi pindah ke Pontianak. Kalau di AJI itu anggotanya harus berdomisili di Kota. Kan dia sudah pindah, otomatis dia tidak bisa lagi menjadi pengurus AJI Medan”.

Sebagai Pejabat Sementara Ketua AJI, Herman mengetahui undang-undang keterbukaan informasi publik pertama kalinya sejak tahun 2005. Pada saat ini, kegiatan jurnalistik pun sidah ia geluti.

Jadi, pembikinan (rancangan) untuk sebuah payung hukum agar informasi ini bisa diserap semua orang, tidak hanya jurnalis dengan Undang-Undang Persnya, Inikan sudah dimulai sejak 2005-an, tapi idenya itukan masih dari kawan-kawan di Jakarta. 2005-an inikan (UU KIP) sudah mulai digodok, didiskusikan, FGD (focus group discussion) kan. Inikan masuknya ke DPR tahun 2007-an lalu disahkan tahun 2008 dan berlaku tahun 2010”.

Jika dilihat dari perjalanan panjang UU KIP, sebenarnya undang-undang tersebut memiliki dua fase pembahasan di DPR. Fase pertama terjadi ketika 40 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung kedalam satu koalisi (AJI merupakan salah satu dari koalisi itu) merapatkan barisan untuk melahirkan sebuah rancangan undang-undang kebebasan memperoleh informasi publik (KMIP). Hasil rancangan tersebut resmi diajukan kepada DPR pada bulan Mei tahun 2000 yang diadopsi sebagai RUU inisiatif DPR. Perjalanan UU KIP mengalami kemandekan pada tahap ini. Dipenghujung masa jabatan anggota DPR periode 1999-2004 hanya menghasilkan draft RUU kebebasan memperoleh informasi (KMI) yang disahkan menjadi draft DPR.

Fase kedua terjadi disaat usaha keras dari koalisi untuk meyakinkan anggota DPR periode 2004-2009 yang baru terpilih guna melakukan proses pembahasan draft RUU KMI. Setelah disetujui DPR yang ditetapkan melalui sidang paripurna, koalisi

terus berupaya melakukan pembahasan, pengawasan dan kampanye gagasan atas pentingnya kebebasan informasi. Pada fase kedua inilah Herman mengetahui rancangan undang-undang kebebasan memperoleh informasi melalui anggota AJI lainnya.

Pada saat pertama kali mengetahui adanya UU KIP, Herman memandang bagus atas hadirnya undang-undang itu. Hal ini dikarenakan adanya kewajiban yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut kepada badan publik dalam meyampaikan informasi.

Jadi, ketika itu yang saya lihat ini (UU KIP) bagus”. Jadikan, selama ini kewajiban (informasi) tidak kepada publik, itukan disampaikan secara satu arah. Misalkan ada program dari Pemko (Pemerintah Kota), Humas menyampaikan melalui media, sebelum ada KIP ini, informasi disampaikan kepada jurnalis, dan jurnalislah yang menyampaikannya kepada masyarakat. Artinya, tidak ada semacam interaksi ketika kita butuh informasi seperti dana BOS. Jadi dulunya ketika kita butuh informasi, kita harus nunggu koran, nunggu media. Jadi, kita tidak bisa meminta apa yang kita inginkan sebagai pembaca. Jadi, kita hanya menunggu apa yang diberikan media massa karena ketika itu belum ada kewajiban, payung hukum ketika kita meminta informasi itu caranya bagaimana ? begitu”.

Herman juga memandang bahwa informasi yang disampaikan badan publik secara satu arah melalui media massa merupakan tidak adanya interaksi dari publik ketika menginginkan suatu informasi. Hal ini menunjukkan bahwa publik berada dalam keadaan yang pasif. Akibatnya, publik hanya bisa menunggu informasi dari media yang memiliki otoritas dalam hal informasi. Setelah itu, ia memandang bahwa tidak adanya kewajiban dalam meyampaikan informasi merupakan masalah utama yang menjangkit badan publik sebelum UU KIP hadir. Dengan memanfaatkan jurnalis sebagai pencari informasi, masyarakat tidak mengetahui bagaimana tata cara meminta informasi yang mereka butuhkan. Namun, dengan kehadiran UU KIP problem-problem tadi dapat teratasi dengan dimanfaatkannya undang-undang itu oleh publik.

lxxix

Universitas Sumatera Utara Meskipun Herman memandang bagus UU KIP ini, ia menilai bahwa ada celah yang dapat menutup dalam kebebasan informasi itu sendiri.

“Kalau aku sih begini, yang terdetak pertama kali, sebenarnya ada enam hal pengecualian di dalam UU KIP. Jadi, UU KIP ini mulai heboh lagi ketika masuk Undang-Undang Intelijen dan masuk lagi Undang-Undang ITE. Yang aku lihat, ada ketidakinginan sebenarnya ketika misalkan Undang-Undang KIP ini membuka informasi sebesar-besarnya masih ada pasal pengecualian. Ditambah lagi dengan UU ITE, UU Intelijen, UU Pornografi. Artinya begini, ada celah yang menutup. Yang aku pikir begitu”.

Menurutnya, ketika UU KIP membuka informasi yang sebesar-besarnya masih ada pasal pengecualian di dalamnya. Kehebohan atau semacam wacana publik meningkat ketika Undang ITE, Undang Intelijen dan Undang-Undang Pornografi masuk. Menurutnya, ketiga paket undang-undang tersebut bersama pasal pengecualian merupakan wujud ketidakinginan dalam membuka informasi yang sebesar-besarnya. Maka dari itu, Herman memandang bahwa ketiga paket undang-undang itu dan pasal pengecualian adalah celah penutup dalam kebebasan informasi publik.

Selanjutnya, Herman memberikan pandangan terhadap pasal pengecualian ini. Dalam pandangannya, hal-hal yang berkaitan dengan finansial nasional dan kebijakan strategis harus mempertemukan satu garis korelasi pemahaman dari masing-masing anggota AJI.

“Yang kami (internal AJI) perdebatkan itu. Semua sudah satu persepsi belum dengan pengecualian itu ? inikan sudah Undang-Undang nih, sudah ada nih pasal pengecualian. Begini, kalau semua sudah satu persepsi, pengecualian itu apa ?, mungkin ini bisa ‘clear’. Pertanyannya begini, PPID (Panitia Penyedia Informasi dan Data) inikan bukan orang profesional. Misalnya, di Humas ada orang yang tidak punya struktural, dialah yang jadi PPID-nya. Inikan ‘basic-nya’ apa ya ?. Artinya, kalau kepentingannya untuk si penyedia informasi sepertinya bisa ditutup. Jadi ketika nanti itu dibutuhkan dia punya alasan ini dikecualikan. Artinya, ada hal-hal yang ketika terbuka sendiri itu dikatakan terbuka. Dan ketika bisa ditutup, itu dikecualikan”.

Dengan adanya pasal pengecualian di dalam UU KIP menimbulkan perbedaan pendapat dalam internal AJI sendiri. Menurut Herman, apabila sudah ditemukannya satu garis korelasi pemahaman atau persepsi yang sama terhadap pengecualian itu, masalah-masalah yang timbul dapat teratasi. Pada konteks ini, ia mempertanyakan profesionalisme Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di setiap badan publik yang ditunjuk oleh pejabat fungsional sebagaimana yang diatur dalam UU KIP. Selain kapasitas dan profesionalisme dari PPID, Herman menganggap dengan adanya pasal pengecualian dalam UU KIP, pasal tersebut menjadi alasan strategis bagi kepentingan badan publik dalam melakukan buka tutup informasi.

Mekanisme memperoleh informasi yang diatur dalam UU KIP merupakan aspek penting bagi publik ketika menginginkan informasi. Dalam hal ini, Herman memandang minimnya kesiapan PPID sebagai faktor sentral dalam menyediakan informasi jika diminta.

“Kesiapan orang itu belum ada. Itukan harus ada PPID, bisa kita ceklah di Sumut berapa sih lembaga publik atau instansi pemerintah yang punya PPID ? belum semua. Di Pemko (Pemerintah Kota Medan) itu baru satu. harusnyakan begini, kalau kita lihat KPID, dia itukan sendiri, ada staf-stafnya. KI pun ada stafnya. Kayak yang aku bilang tadi, dia Humas, nganggur, gak ada kerja, karena ada UU KIP ini dibuatlah struktural, dia masuk PPID, ngerti gak dia dengan kewajiban dia, ngerti gak dia dengan tugas dia ? Jadi, pernah kami buat diskusi dengan Komisi Informasi, ternyata orang-orang yang ditugaskan di PPID itu pun belum tahu. Lebih parah lagi orang itu dari pada awak. Artinya, orang inikan (PPID) yang mengerjakan ini, tapi gimana sih caranya mendapatkan informasi ? mereka pun tak tahu. Tahunya orang itu, datang surat, dibalas, tanya atasan, tanya ke kabag Humas atau ke Sekda atau ke Wali Kota. Jadi, ini bisa gak di apain ? Seharusnyakan orang ini tahu, diproses dulu, jadi tinggal mereka buat semacam permohonan untuk membuka informasi ini”.

Meskipun prosedur mekanisme memperoleh informasi sudah ditetapkan dalam UU KIP, Herman memandang bahwa PPID tidak perlu meminta klarifikasi dari atasan. Menurutnya, mereka seharusnya memproses setiap permohonan permintaan informasi guna melahirkan permohonan informasi yang efektif kepada badan publik terkait. Namun, realitas ini sungguh berbeda disaat Herman ikut serta

lxxxi

Universitas Sumatera Utara dalam suatu acara diskusi bersama Komisi Informasi. Ia memandang PPID sebagai orang-orang yang diberi kewajiban dalam menentukan mekanisme memperoleh informasi memiliki kapasitas dan kesiapan yang minim.

Sebagai seorang jurnalis, Herman menilai mekanisme memperoleh informasi yang diatur dalam UU KIP tidak sesuai dengan tuntutan deadline berita. Selain kesiapan yang minim dari PPID, ia memandang mekanisme itu terlalu lama.

“Jadi begini, di UU KIP ini memberikan tiga puluh hari kerja, ada yang empat belas hari kerja. Jadi ketika kita meminta itu, kita harus buat surat lagi. Bayangkan misalkan media yang terbitnya harian, kita itu (wartawan) kerja dari jam tujuh sampai sepuluh malam. PNS kerja jam berapa ? jam delapan sampai jam empat, kita masukkan surat, istirahat orang ini, nyari data lagi, gak bisa sehari dan di UU KIP pun gak dibilang sehari, gak segera datanya. Kalau aku pribadi, jurnalis ngapain pakai UU KIP. Jadikan begini, semangatnya inikan membuka informasi ke publik, apakah UU KIP ini harus dijadikan pegangan bagi jurnalis ? kalau aku bilang gak perlu, pakai UU Pers aja. Jadi, kalau misalkan masyarakat, kalian pakai apa coba ? ya, harus pakai UU KIP”.

Prosedur dan waktu yang lama ketika meminta informasi menurutnya menjadi penghambat bagi media yang terbitnya harian. Selain itu, PPID yang merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak memiliki pola waktu kerja yang sama dengan wartawan. Jadi, setiap informasi yang diminta tidak up date lagi. Hal inilah yang menurutnya jurnalis tidak perlu memakai UU KIP ketika meminta informasi kepada badan publik. Herman juga menambahkan meskipun semangat UU KIP adalah membuka informasi kepada publik, seyogiyanya publik yang harus memakai undang-undang tersebut disaat meminta informasi kepada badan publik.

Tugas dan peran Komisi Informasi menjadi lokomotif utama dalam merealisasikan UU KIP. Dalam hal ini, Herman memandang tugas, pokok dan fungsi dari Komisi Informasi sudah berjalan. Ia menilai ini disebabkan oleh lahirnya pelbagai putusan yang dikeluarkan Komisi Informasi itu sendiri.

“Kalau aku lihat sih sudah jalan. Masalahnya begini, selain masalah di organ penyelenggaranya misalkan KI, instansi pemerintah dan

badan publik, masalahnya di publiknya. Misalnya begini, pernah gak kita membuka informasi ? Masalahnya disitu. Jadi, kita (publik) inikan punya hak untuk meminta informasi, pernah gak kita minta informasi itu ? KI (Komisi Informasi) ini hampir sama dengan pengadilan, diakan hakim. Ada nih yang gak mau kasih informasi, apakah KI-nya salah ? kita lihat dulu ada gak pengaduan, karena mereka itu bekerja berdasarkan pengaduan. Tapi, apakah UU KIP ini sudah berjalan ? sudah berjalan. Kalau kita lihat KI Sumut, sudah banyak putusan. Artinya mereka itu bekerja dengan TUPOKSI-nya. Tapi, ketika informasi ini masih tertutup, kita butuh analisis lagi, karena mereka itu (KI) pasif. Jadi, datang nih pengaduan, kita (KI) ambil, kita ajudikasi, mediasilah, gimana nih ? Nah, ketika keputusannya itu harus dibuka, mereka (KI) buat rekomendasi itu harus dibuka. Ketika tidak ada pengaduan, kita gak bisa nilai kinerja KI ini. Kalau bisa dibilang ini lembaga perdata. Tapi apakah itu sudah berjalan ? berjalan.

Meskipun Komisi Informasi sudah menjalankan tugasnya, Herman menganggap bahwa komisi ini bersifat pasif. Dengan menggunakan hak sebagai warga negara seperti yang diatur dalam UU KIP merupakan salah satu faktor penting dalam menilai Komisi Informasi secara objektif. Dengan kata lain, meskipun lembaga ini bersifat pasif, publik harus tetap aktif dalam menganalisis dan meminta informasi kepada badan publik.

Pada konteks pidana yang diatur dalam UU KIP, Herman menilai bahwa semangat kebebasan informasi publik bukan terletak pada aturan pidana.

Disitukan (UU KIP) ada katanya kalau tidak menyampaikan kewajibannya, itu dua tahun atau lima ratus juta. Jadikan semangatnya KIP itu bukan pidananya. Jadi, di keterbukaan informasi publiknya, makanya sebisa mungkin itu diselesaikan melalui persidangan di Komisi Informasi. Kalau menurut aku, kurang suka juga aku pidana-pidana ini. Lebih sukanya bagaimana di Komisi Informasi ini betul-betul final. Jadi, bisa memaksa karena itu sudah kewajiban, yang ada sanksi pidana dua tahun dan denda lima ratus juta. Lebih bagus sih di mediasi aja. Jadi kalau masuk pidana, bahaya juga itu”.

Menurutnya, pidana tersebut membahayakan bagi semangat kebebasan informasi yang terkandung dalam UU KIP. Sebaiknya persengketaan informasi lewat

lxxxiii

Universitas Sumatera Utara mediasi saja di Komisi Informasi tanpa harus dilanjutkan kejenjang pengadilan. Persidangan di Komisi Informasi menurutnya harus betul-betul final dan mengikat.

Herman sendiri belum pernah memakai UU KIP selama ia menjalani tugas jurnalistik. Meskipun demikian, fungsi UU KIP dalam jurnalistik sangat membantu. Hal ini ia utarakan bahwa UU KIP memberikan kontribusi penting dalam liputan depth news. Selain itu, UU KIP merupakan salah satu pendukung kebebasan pers di tanah air.

“Jadi kalau misalkan ini (UU KIP) dimanfaatkan publik, pers inikan sekarang sudah jadi industri, UU Pers pun kadang sudah gak patuh lagi orang itu. Ini (UU KIP) bisa jadi kontrol atau semacam kritik untuk kebebasan pers, UU KIP ini bisa dipakai oleh masyarakat pembaca. Maksudnya begini, ketika misalkan berita yang disajikan itu tidak sesuai dengan yang kita harapkan atau ada bias disitu, kita bisa pakai UU KIP. Artinya begini, harapannya kalau semua orang baca UU KIP seperti itu, pers ini akan berfikir ulang kembali ke ‘khittah -nya’, baliklah dia, kalian itu bukan alat penguasa, kalian itu bukan industri, kalian itu alatnya massa, kalian itu media massa. Bisa balik kesitu. Bisa menjaga kehormatan pers bebas itulah jika UU KIP ini dimanfaatkan oleh yang punya hak. Saya pikir itu kaitannya”.

Selain untuk menjaga kehormatan kebebasan pers, UU KIP bisa berubah menjadi alat kritik terhadap pers kontemporer yang bercorak industri. Menurut Herman, hal itu bisa terwujud apabila publik memanfaatkan UU KIP dengan maksimal ketika pemberitaan media massa sudah tidak valid. Maka dari itu, pers akan melakukan reformasi dalam dirinya sendiri. Hal inilah yang diungkapkan Herman pada akhir wawancara dengan peneliti.

Informan kedua : Agus

Informan yang kedua ini peneliti jumpai setelah menerima nomor telepon beliau dari Herman yang menjadi informan pertama. Setelah itu, peneliti mengirim pesan singkat (SMS) untuk menjelaskan niat dan tujuan peneliti kepada Agus. Pada saat menjelaskan niat dan tujuan peneliti, tak lama kemudian kesepakatan waktu dan

tempat wawancara disetujui yakni, di Dwi Kupe Uleekareng Jalan Ring Road pukul 19:30 WIB.

Pengalaman sebagai jurnalis sudah dimulai Agus pada tahun 2002 yang lalu. Dalam perkembangannya sebagai jurnalis profesional, saat ini Agus menjabat editor in chief (pemimpin redakasi) di Kabar Medan.com. Beliau bergabung dengan organisasi AJI Medan pada tahun 2007. Ia memandang AJI sebagai salah satu organisasi jurnalis yang memperjuangkan kebebasan pers, upah layak bagi jurnalis, kekerasan terhadap jurnalis dan masalah ketenagakerjaan serta pentingnya independensi bagi seorang jurnalis dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

“Dari sekian banyak organisasi pers yang ada di Indonesia memang saya memilih AJI karena beberapa hal; pertama, dipilih dari sejarah berdirinya AJI. AJI itukan berdiri awalnya karena pembredelan beberapa media di zaman rezim orde baru dan muncul disaat, waktu itu cuman ada satu organisasi pers di Indonesia. Nah, AJI muncul sebagai satu organisasi wartawan atau jurnalis yang baru di Indonesia dan dalam definisinya perjuangannyakan lebih kearah kebebasan pers, memperjuangkan hak-hak pekerja media dalam hal misalnya memperoleh upah layak, memperjuangkan jurnalis yang menjadi korban kekerasan termasuk juga jurnalis yang harus berhadapan dengan masalah-masalah ketenagakerjaan. Itu makanya selain punya divisi advokasi, tapi kita punya divisi serikat pekerja. Selain memang masalah independensi yang penting bagi seorang jurnalis untuk bisa menghasilkan suatu karya jurnalistik yang tinggi. Nah, alasan ikut bergabung karena aku melihat AJI ini berbeda dengan organisasi pers yang ada di dunia terutama misalnya dari masalah-masalah bagaimana roda organisasi ini berputar termasuk siapa-siapa orang yang ada dibelakangnya, ‘track record’ orang-orang yang ada di AJI dan itu menjadi salah satu pertimbangan. Artinya memang, aku memilih bukan karena dipaksa, diajak teman atau disuruh senior atau bagaimana gitu, tapi aku memang disini karena kemauanku sendiri, gitu”.

Selain latar belakang historis yang membuat Agus ikut bergabung, ia juga memandang bahwa organisasi AJI memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan organisasi jurnalis yang lain. Pergerakan organisasi, integritas orang-orang yang berada dibelakang AJI dan kapabilitas orang-orang di dalam tubuh organisasi menjadi pertimbangan kuat oleh Agus dalam memilih AJI. Beliau juga menambahkan bahwa

lxxxv

Universitas Sumatera Utara pilihannya untuk bergabung bukan karena rekomendasi atau intervensi dari pihak manapun.

Dengan latar belakang sebagai jurnalis yang senantiasa mengetahui informasi-informasi terbaru, pertama kalinya Agus mengetahui undang-undang keterbukaan informasi publik (UU KIP) ketika ia dan sesama anggota AJI lainnya ikut serta memberikan saran terhadap undang-undang itu.

“Ya, kitakan orang wartawan. Artinya, info-info terbaru harus kita tahu terutama di AJI itu sendiri ketika awal undang-undang KIP itu masih berbentuk ‘draft’, belum disahkan jadi undang-undang kitakan (anggota AJI) sudah ikut memberikan masukan dan saran juga”.

Tak sekadar memberikan saran, ia juga menyambut baik kelahiran undang-undang ini. Agus memandang rezim orde baru yang tidak banyak diketahui publik tentang informasi disetiap badan publiknya kini berubah total. Serba tertutup yang terjadi dalam rezim orde baru menjadi titik awal kemajuan dalam keterbukaan informasi. Oleh karena itu, dengan hak yang dimiliki publik sebagaimana yang diatur