• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nama : Herman Saleh

Pekerjaan : Wartawan Harian Medan Bisnis

Jabatan : Redaktur Perdagangan dan Politik

Tempat wawancara : Kantor Medan Bisnis Jalan S Parman.

Tanggal/waktu wawancara : 29 April 2015, Pukul 13:11 WIB

T : Apa posisi atau jabatan anda di AJI cabang Medan ?

J : “PJS (pejabat sementara ketua) ketuanyakan lagi pindah ke Pontianak. Kalau di AJI itu anggotanya harus berdomisili di Kota. Kan dia sudah pindah, otomatis dia tidak bisa lagi menjadi pengurus AJI Medan”.

T : Apa alasan anda bergabung dengan AJI cabang Medan ?

J : “Begini ya, kitakan orang dilapangan. Pasti adalah masalah, kendala dan pasti butuh perlindungan. Jadi, untuk meminimalisir kemungkinan buruk itu, kita harus berserikat. Intinya itu. Jadi setelah berproses, apa yang kita dapatkan setelah masuk organisasi ? jadi, mungkin disetiap organisasi itu punya program ‘capacity building’ (peningkatan kapasitas). Bagaimana sih menulis isu-isu itu. Di AJI itu kan isu yang diangkat isu lingkungan, jaminan sosial, isu perburuhan. Mulai tahun 2000, AJI itu menyatakan bahwa jurnalis itu adalah buruh”.

T : Sejak kapan anda menjadi wartawan ?

J : “2007, awal”.

T : Di media manakah anda bekerja saat ini ?

J : “Medan Bisnis”

T : Apa jabatan atau posisi anda di media tersebut ?

J : “sekarang Redaktur Perdagangan sama Politik “

T : Kapan anda pertama kali mengetahui adanya undang-undang keterbukaan informasi publik (UU KIP) ? Dan dari mana anda mengetahuiya ?

cxxvii

Universitas Sumatera Utara J : “aku gabung di AJI itukan 2007. Jadi, pembikinan (rancangan) untuk sebuah payung hukum agar informasi ini bisa diserap semua orang, tidak hanya jurnalis dengan Undang-Undang Persnya, Inikan sudah dimulai sejak 2005-an, tapi idenya itukan masih dari kawan-kawan di Jakarta. 2005-an inikan (UU KIP) sudah mulai digodok, didiskusikan, FGD (focus group discussion) kan. Inikan masuknya ke DPR tahun 2007-an lalu disahkan tahun 2008 dan berlaku tahun 2010”.

T : Apakah anda sudah menggeluti dunia jurnalistik semenjak UU KIP disahkan pertama kalinya ? (kalau tidak, apa profesi anda saat itu ?)

J : “sudah”

T : Bagaimana pandangan anda saat pertama kali mengetahui adanya UU KIP tersebut ?

J : “begini, ketika Undang-Undang (UU KIP) ini ada, inikan kewajibannya membentuk di daerah, tahap awalnya di provinsi. Yang kami (AJI) lakukan itu membahas ini”.

T : Apa yang dibahas ?

J : “inikan Undang-Undang sudah ada nih, inikan kawan-kawan di Jakarta ‘concern’ terus, kewajibannya harus dibentuk di daerah dengan komisi informasi daerah. Jadi, dulukan namanya itu mau dibuat komisi informasi daerah, terakhir disederhanakan menjadi komisi informasi provinsi atau KI. Jadi, ketika itu yang saya lihat ini (UU KIP) bagus”.

T : Maksudnya ?

J : “jadikan, selama ini kewajiban (informasi) tidak kepada publik, itukan disampaikan secara satu arah. Misalkan ada program dari Pemko (Pemerintah Kota), Humas menyampaikan melalui media, sebelum ada KIP ini, informasi disampaikan kepada jurnalis, dan jurnalislah yang menyampaikannya kepada masyarakat. Artinya, tidak ada semacam interaksi ketika kita butuh informasi seperti dana BOS. Jadi dulunya ketika kita butuh informasi, kita harus nunggu koran, nunggu media. Jadi, kita tidak bisa meminta apa yang kita inginkan sebagai pembaca. Jadi, kita hanya menunggu apa yang diberikan media massa karena ketika itu belum ada kewajiban, payung hukum ketika kita meminta informasi itu caranya bagaimana ? begitu”.

T : Bagaimana menurut anda keadaan informasi disetiap badan publik sebelum hadirnya UU KIP ?

J : “intinya yang aku tangkap ya, sebelum UU KIP ini ada, gak ada kewajiban mereka untuk menyampaikan informasi. Inikan wajib. Misalnya begini, ketika ada program bantuan Desa, sebelum ada UU KIP ini dia kan tersembunyi. Artinya begini, kita hanya bisa berharap bahwa jurnalislah yang bisa mengungkap itu karena dia punya otoritas. Tapi kalau sekarang, kita bisa minta dengan membuat surat ke dinas pendidikan misalnya atau langsung ke Wali Kota, kita bisa minta dengan menggunakan UU KIP”.

T : Sudah pernahkah anda membaca UU KIP ? Dan kapan itu dilakukan ? J : “Pernah. Aku ‘concern’bacanya itu tahun 2009”.

T : Bagaimana pendapat anda terhadap UU KIP ini ?

J : “sebenarnya begini, setelah disahkan itu masih agak vakum, misalkan dia harus menunggu PP atau apa untuk meneruskan ini (UU KIP). Jadikan dia, Undang-Undang itukan ada turunannya misalkan bagaimana sih pembentukan komisi informasi daerah. Kalau aku sih begini, yang terdetak pertama kali, sebenarnya ada enam hal pengecualian di dalam UU KIP. Jadi, UU KIP ini mulai heboh lagi ketika masuk Undang-Undang Intelijen dan masuk lagi Undang-Undang ITE. Yang aku lihat, ada ketidak inginan sebenarnya ketika misalkan Undang-Undang KIP ini membuka informasi sebesar-besarnya masih ada pasal pengecualian. Ditambah lagi dengan UU ITE, UU Intelijen, UU Pornografi. Artinya begini, ada celah yang menutup. Yang aku pikir begitu”.

T : Apakah anda mengetahui hak anda sebagai warga negara seperti yang diatur dalam UU KIP ?

J : “Ya”

T : Apa yang anda ketahui tentang informasi yang dikecualikan ? Dan bagaimana padangan anda terhadap hal tersebut ?

J : “Keuangan, kebijakan strategis”. T : Pandangan Anda ?

J : “Yang kami (internal AJI) perdebatkan itu. Semua sudah satu persepsi belum dengan pengecualian itu ? inikan sudah Undang-Undang nih, sudah ada nih pasal pengecualian. Begini, kalau semua sudah satu persepsi, pengecualian itu apa ?, mungkin ini bisa ‘clear’. Pertanyannya begini, PPID (Panitia Penyedia Informasi dan Data) inikan bukan orang profesional. Misalnya, di Humas ada orang yang tidak punya struktural, dialah yang jadi PPID-nya. Inikan ‘basic-nya’ apa ya ?. Artinya,

cxxix

Universitas Sumatera Utara kalau kepentingannya untuk si penyedia informasi sepertinya bisa ditutup. Jadi ketika nanti itu dibutuhkan dia punya alasan ini dikecualikan. Artinya, ada hal-hal yang ketika terbuka sendiri itu dikatakan terbuka. Dan ketika bisa ditutup, itu dikecualikan”.

T : Bagaimana pandangan anda terhadap mekanisme memperoleh informasi yang diatur dalam UU KIP ?

J : “ Kesiapan orang itu belum ada. Itukan harus ada PPID, bisa kita ceklah di Sumut berapa sih lembaga publik atau instansi pemerintah yang punya PPID ? belum semua. Di Pemko (Pemerintah Kota Medan) itu baru satu. harusnyakan begini, kalau kita lihat KPID, dia itukan sendiri, ada staf-stafnya. KI pun ada stafnya. Kayak yang aku bilang tadi, dia Humas, nganggur, gak ada kerja, karena ada UU KIP ini dibuatlah struktural, dia masuk PPID, ngerti gak dia dengan kewajiban dia, ngerti gak dia dengan tugas dia ? Jadi, pernah kami buat diskusi dengan Komisi Informasi, ternyata orang-orang yang ditugaskan di PPID itu pun belum tahu. Lebih parah lagi orang itu dari pada awak. Artinya, orang inikan (PPID) yang mengerjakan ini, tapi gimana sih caranya mendapatkan informasi ? mereka pun tak tahu. Tahunya orang itu, datang surat, dibalas, tanya atasan, tanya ke kabag Humas atau ke Sekda atau ke Wali Kota. Jadi, ini bisa gak di apain ? Seharusnyakan orang ini tahu, diproses dulu, jadi tinggal mereka buat semacam permohonan untuk membuka informasi ini”.

T : Apakah anda setuju bahwa mekanisme memperoleh informasi yang diatur dalam UU KIP sesuai dengan tuntutan deadline berita wartawan ? (Jika tidak, mengapa demikian ?)

J : “Tidak. Jadi begini, di UU KIP ini memberikan tiga puluh hari kerja, ada yang empat belas hari kerja. Jadi ketika kita meminta itu, kita harus buat surat lagi. Bayangkan misalkan media yang terbitnya harian, kita itu (wartawan) kerja dari jam tujuh sampai sepuluh malam. PNS kerja jam berapa ? jam delapan sampai jam empat, kita masukkan surat, istirahat orang ini, nyari data lagi, gak bisa sehari dan di UU KIP pun gak dibilang sehari, gak segera datanya. Kalau aku pribadi, jurnalis ngapain pakai UU KIP. Jadikan begini, semangatnya inikan membuka informasi ke publik, apakah UU KIP ini harus dijadikan pegangan bagi jurnalis ? kalau aku bilang gak perlu, pakai UU Pers aja. Jadi, kalau misalkan masyarakat, kalian pakai apa coba ? Ya, harus pakai UU KIP”.

J : “Kalau aku lihat sih sudah jalan. Masalahnya begini, selain masalah di organ penyelenggaranya misalkan KI, instansi pemerintah dan badan publik, masalahnya di publiknya. Misalnya begini, pernah gak kita membuka informasi ? Masalahnya disitu. Jadi, kita (publik) inikan punya hak untuk meminta informasi, pernah gak kita minta informasi itu ? KI (Komisi Informasi) ini hampir sama dengan pengadilan, diakan hakim. Ada nih yang gak mau kasih informasi, apakah KI-nya salah ? kita lihat dulu ada gak pengaduan, karena mereka itu bekerja berdasarkan pengaduan. Tapi, apakah UU KIP ini sudah berjalan ? sudah berjalan. Kalau kita lihat KI Sumut, sudah banyak putusan. Artinya mereka itu bekerja dengan TUPOKSI-nya. Tapi, ketika informasi ini masih tertutup, kita butuh analisis lagi, karena mereka itu (KI) pasif. Jadi, datang nih pengaduan, kita (KI) ambil, kita ajudikasi, mediasilah, gimana nih ? Nah, ketika keputusannya itu harus dibuka, mereka (KI) buat rekomendasi itu harus dibuka. Ketika tidak ada pengaduan, kita gak bisa nilai kinerja KI ini. Kalau bisa dibilang ini lembaga perdata. Tapi apakah itu sudah berjalan ? berjalan. Tapi yang gak jalan itu PPID-nya”.

T : Bagaimana pandangan anda terhadap ketentuan pidana yang diatur dalam UU KIP ?

J : “Itukan udah masuk ke teknis. Disitukan (UU KIP) ada katanya kalau tidak menyampaikan kewajibannya, itu dua tahun atau lima ratus juta. Jadikan semangatnya KIP itu bukan pidananya. Jadi, di keterbukaan informasi publiknya, makanya sebisa mungkin itu diselesaikan melalui persidangan di Komisi Informasi. Kalau menurut aku, kurang suka juga aku pidana-pidana ini. Lebih sukanya bagaimana di Komisi Informasi ini betul-betul final. Jadi, bisa memaksa karena itu sudah kewajiban, yang ada sanksi pidana dua tahun dan denda lima ratus juta. Lebih bagus sih di mediasi aja. Jadi kalau masuk pidana, bahaya juga itu”.

T : Pernahkah anda memakai UU KIP dalam kegiatan jurnalistik ? (Jika pernah, kapan anda lakukan ?

J : “Kalau sampai sekarang belum”.

T : Menurut anda, bagaimana fungsi UU KIP dalam mendukung tugas jurnalistik ?

J : “Untuk jurnalis, ya liputan ‘depth news’. Tapi lebih enak pakai UU Pers dan kode etik karena sudah mengatur liputan investigasi. Artinya begini, jurnalis itukan punya ‘deadline’ dan si penyedia ini pun punya tenggang waktu, jadi tinggal menyesuaikan, kalau misalnya harus menunggu tiga puluh hari, gak dapat itu”.

cxxxi

Universitas Sumatera Utara T : Apakah anda setuju bahwa UU KIP berperan dalam mendukung kebebasan pers ? Dan bagaimana anda memandang hal ini ?

J : “Ya, setuju. Jadi kalau misalkan ini (UU KIP) dimanfaatkan publik, pers inikan sekarang sudah jadi industri, UU Pers pun kadang sudah gak patuh lagi orang itu. Ini (UU KIP) bisa jadi kontrol atau semacam kritik untuk kebebasan pers, UU KIP ini bisa dipakai oleh masyarakat pembaca. Maksudnya begini, ketika misalkan berita yang disajikan itu tidak sesuai dengan yang kita harapkan atau ada bias disitu, kita bisa pakai UU KIP. Artinya begini, harapannya kalau semua orang baca UU KIP seperti itu, pers ini akan berfikir ulang kembali ke ‘khittah-nya’, baliklah dia, kalian itu bukan alat penguasa, kalian itu bukan industri, kalian itu alatnya massa, kalian itu media massa. Bisa balik kesitu. Bisa menjaga kehormatan pers bebas itulah jika UU KIP ini dimanfaatkan oleh yang punya hak. Saya pikir itu kaitannya”.

Transkrip Wawancara

Nama : Agus Salim Perdana

Pekerjaan : Wartawan Kabar Medan.com

Jabatan : Pemimpin Redaksi

Tempat wawancara : Dwi Kupe Uleekareng Jalan Ring Road

Tanggal/waktu wawancara : Tanggal 1 Mei 2015 pukul 19:30 WIB.

T : Apa posisi atau jabatan anda di AJI cabang Medan ?

J : “Koordinator Divisi Advokasi”.

T : Apa alasan anda bergabung dengan AJI cabang Medan ?

J : “Yang pertama, dari sekian banyak organisasi pers yang ada di Indonesia memang saya memilih AJI karena beberapa hal; pertama, dipilih dari sejarah berdirinya AJI. AJI itukan berdiri awalnya karena pembredelan beberapa media di zaman rezim orde baru dan muncul disaat, waktu itu cuman ada satu organisasi pers di Indonesia. Nah, AJI muncul sebagai satu organisasi wartawan atau jurnalis yang baru di Indonesia dan dalam definisinya perjuangannyakan lebih kearah kebebasan pers, memperjuangkan hak-hak pekerja media dalam hal misalnya memperoleh upah layak, memperjuangkan jurnalis yang menjadi korban kekerasan termasuk juga jurnalis yang harus berhadapan dengan masalah-masalah ketenagakerjaan. Itu makanya selain punya divisi advokasi, tapi kita punya divisi serikat pekerja. Selain memang masalah independensi yang penting bagi seorang jurnalis untuk bisa menghasilkan suatu karya jurnalistik yang tinggi. Nah, alasan ikut bergabung karena aku melihat AJI ini berbeda dengan organisasi pers yang ada di dunia terutama misalnya dari masalah-masalah bagaimana roda organisasi ini berputar termasuk siapa-siapa orang yang ada dibelakangnya, ‘track record’ orang-orang yang ada di AJI dan itu menjadi salah satu pertimbangan. Artinya memang, aku memilih bukan karena dipaksa, diajak teman atau disuruh senior atau bagaimana gitu, tapi aku memang disini karena kemauanku sendiri, gitu”.

T : Sejak kapan anda menjadi wartawan ?

cxxxiii

Universitas Sumatera Utara T : Di media manakah anda bekerja saat ini ?

J : “Kabar Medan.com”.

T : Apa jabatan atau posisi anda di media tersebut ?

J : “Editor in chief atau pemimpin redaksi”.

T : Kapan anda pertama kali mengetahui adanya undang-undang keterbukaan informasi publik (UU KIP) ? Dan dari mana anda mengetahuiya ?

J : “Sebenarnya sejak pertama kali undang-undang KIP disahkan tahun 2008, itu kita sudah tahu. Nah, memang untuk komisi informasi ditingkat provinsi itukan belum terbentuk disaat undang-undang itu keluar, belakangan baru ada di Sumatera Utara misalnya, cuman agak beberapa tahun belakangan ini ajakan ? Tapi, tahunya sih, dari awal sudah tahu”.

T : Dari mana anda mengetahui UU KIP tersebut ?

J : “Ya, kitakan orang wartawan. Artinya, info-info terbaru harus kita tahu terutama di AJI itu sendiri ketika awal undang-undang KIP itu masih berbentuk ‘draft’, belum disahkan jadi undang-undang kitakan (anggota AJI di Jakarta) sudah ikut memberikan masukan dan saran juga”.

T : Apakah anda sudah menggeluti dunia jurnalistik semenjak UU KIP disahkan pertama kalinya ? (kalau tidak, apa profesi anda saat itu ?)

J : “Sudah”.

T : Bagaimana pandangan anda saat pertama kali mengetahui adanya UU KIP tersebut ?

J : “Ya, tentunya kita menyambut baik munculnya undang-undang KIP itu. Artinya, selama ini aktifitas informasi yang tidak bisa diketahui masyarakat, itu siapa saja boleh mengetahui apalagi itu berkaitan dengan kepentingan publik dan aku pikir itu sejalan juga dengan perjuangan kebebasan pers. Bukan cuma media saja sekarang yang butuh keterbukaan informasi publik, tapi masyarakat juga bisa mengakses. Artinya, masyarakat yang ingin mendapatkan suatu informasi dari lembaga publik atau lembaga pemerintahan, mereka berhak untuk meminta dan lembaga itu berhak untuk memberikan sepanjang apa yang diminta itu tidak termasuk kategori rahasia negara. Misalnya, masalah penggunaan anggaran, kita masih bisa meminta dan bagi kita itu jadi salah satu kemajuan dari hak atas informasi yang dulunya ketika di rezim orde baru kita (publik) seperti ‘katak dalam tempurung’ sekarang kita sudah

keluar tempurung. Artinya, undang-undang itu menjadi kekuasaan negara, berhak untuk bisa mendapatkan informasi yang termasuk kategori publik”.

T : Bagaimana menurut anda keadaan informasi disetiap badan publik sebelum hadirnya UU KIP ?

J : “Ya, memang sebelum munculnya undang-undang KIP ini sendiri, kita (publik) agak susah untuk mendapatkan akses ke informasi publik termasuk misalnya data-data pemberitaan. Terutama lembaga-lembaga negara, cenderung mereka berbentuk sifat tertutup. Bahkan sekarang pun sebenarnya masih banyak juga lembaga-lembaga pemerintahan yang mereka sebenarnya tahu ada undang-undang KIP itu. Tapi, ketika kita meminta informasi mereka enggan untuk memberikannya. Akhirnya, kita terpaksa mengadu ke Komisi Informasi provinsi untuk mengeluarkan rekomendasi supaya dokumen itu dibuka”.

T : Sudah pernahkah anda membaca UU KIP ? Dan kapan itu dilakukan ? J : “Sudah”.

T : Kapan ?

J : “awal undang-undang itu keluar (2008)”.

T : Bagaimana pendapat anda terhadap UU KIP ini ?

J : “Ya, sekarang lembaga-lembaga publik lebih terbuka. Cuman aku gak tahu, terbukanya karena memang suka atau terpaksa membuka. Jadi, kita pun, kalau seandainya mereka tidak memberikan informasi itu, kita bisa menempuh jalur-jalur mediasi dengan Komisi Informasi. Jadi, mau gak mau mereka harus buka”.

T : Apakah anda mengetahui hak anda sebagai warga negara seperti yang diatur dalam UU KIP ?

J : “Ya”.

T : Apa yang anda ketahui tentang informasi yang dikecualikan ? Dan bagaimana padangan anda terhadap hal tersebut ?

J : “Seperti rahasia negara”. Ya, itukan ada undang-undangnya lagi. Nah, kalau misalkan informasinya dibuka ke publik bisa membahayakan kedaulatan negara, contoh; ada agen-agen intelijen, kitakan gak tahu siapa mereka, bisa jadi diantara kita ini ada agen BIN misalnya. Kalau itu informasi terbuka bagi dia sendiri, kita gak mungkin minta daftar agen BIN di Indonesia, atau misalnya; katakanlah strategi

cxxxv

Universitas Sumatera Utara militer. Ada kategori-kategori seperti itu yang dikecualikan dalam keterbukaan informasi publik”.

T : Bagaimana pandangan anda terhadap hal tersebut ?

J : “Aku tergiur untuk memilih posisi ditengah. Artinya, dibilang setuju, ya setuju. Tapi, dibilang gak setuju, ya gak setuju karena kalau misalnya ada kategori informasi yang dikecualikan tadi dibuka, kita harus tahu efeknya apa. Sepanjang efeknya tidak merusak ketatanegaraan atau mengganggu kedaulatan negara, aku pikir gak masalah. Jadi, harus ‘di-setting’ lagi dia. Rahasia negara itu seperti apa, begitu”.

T : Bagaimana pandangan anda terhadap mekanisme memperoleh informasi yang diatur dalam UU KIP ?

J : “Mekanismekan sudah jelas. Artinya begini, ketika misalnya kita sebagai jurnalis atau sebagai warga masyarakat ingin mendapatkan informasi dari sebuah lembaga publik, kitakan menyampaikan itu harus kepada mereka, menyampaikan surat bahwasanya kita atas nama siapa, kita minta informasi untuk apa. Nantikan itu ada jangka waktu, kalau gak ditanggapi kita bisa melapor ke Komisi Informasi (KI) provinsi. Tapi, baiasanya KI akan memanggil lembaga publik tadi sebagai termohon, ya nantinya KI akan mengeluarkan rekomendasi. Kalau misalnya nanti KI menilai bahwasanya informasi itu penting untuk dibuka mereka akan buat rekomendasi untuk lembaga itu untuk membuka informasi dan kalau misalnya mereka gak buka, kan ada pidananya”.

T : Apakah anda setuju bahwa mekanisme memperoleh informasi yang diatur dalam UU KIP sesuai dengan tuntutan deadline berita wartawan ? (Jika tidak, mengapa demikian ?)

J : “Tidak. Menurutku itu (UU KIP) terlalu lama. Artinya, butuh beberapa hari kerja. Menurutku terlalu lama prosesnya. Walaupun KI sudah mengeluarkan rekomendasi untuk lembaga publik itu untuk mengeluarkan informasinya, kita menunggu waktu juga dari mereka. Mereka taat gak dengan rekomendasi KI itu. Kalau sudah sampai di lapangan, kita semua ke pengadilan, panjang lagi ceritanyakan. Bayangkan kita mau buat ‘deadline’ besoknya, terlalu lama menurutku”.

T : Bagaimana pandangan anda terhadap peran komisi informasi (pusat atau daerah) ?

J : “Memang KI (Sumut) secara garis besar, kinerja mereka masih baiklah. Artinya, mereka juga ‘intens’ dan laporan aduan masyarakat yang masuk ke KI itu banyak jumlahnya. Bisa jadi kita memohon sekarang, bulan depan baru disidangkan karena

antrian banyaknya itu (pengaduan) tadi. Lalu, KI itukan Cuma ada di ibu kota provinsi dan itu jadi masalah ketika ada masyarakat yang mengadu misalnya dari Sibolga atau Mandailing Natal, mereka harus kesana. Jadi, itu proses lamanya waktu. Tapi, kalau kinerjanya (KI) sudah cukup baiklah. Artinya, rekomendasi-rekomendasi yang mereka keluarkan juga, sedikit banyak berpengaruh terhadap realisasi UU KIP itu sendiri”.

T : Bagaimana pandangan anda terhadap ketentuan pidana yang diatur dalam UU KIP ?

J : “Sampai sekarang, di Sumatera Utara sendiri belum ada kasusnya yang sampai ke pengadilan. Jadi aku gak bisa mengatakan efektif atau tidak. Katakanlah kemarin Wali Kota Medan dipanggil misalnya, emang iya, Wali Kota Medan mau dipenjara gara-gara gak buka informasi ?”.

T : Pernahkah anda memakai UU KIP dalam kegiatan jurnalistik ? (Jika pernah, kapan anda lakukan ?

J : “Belum, tapi rencana ada”.

T : Menurut anda, bagaimana fungsi UU KIP dalam mendukung tugas jurnalistik ?

J : “Ada tiga lembaga negara independen, dimana anggota AJI bisa masuk di dalamnya tanpa melepas keanggotaannya. Dewan Pers, Komisi Penyiaran, Komisi Informasi Publik. Artinya apa, dari situkan kita bisa melihat bahwa ini sejalan dengan kepentingan media, masih sejalan dengan tugas jurnalistik kita sehari-hari. Beda dengan anggota AJI yang masuk ke KPU misalnya. Dia harus non-aktif”.

T : Lebih spesifiknya UU KIP seharusnya dimana letaknya dalam kegiatan jurnalistik ?

J : “Aku pikir di ‘straigt news dia gak dapat ya. Mungkin lebih masuk ke ‘indepth news’ dimana kita punya banyak waktu untuk mengerjakannya dan laporan lebih mendalam lebih baik kan ? dan berita yang disampaikan lebih mendalam”.

T : Apakah anda setuju bahwa UU KIP berperan dalam mendukung kebebasan pers ? Dan bagaimana anda memandang hal ini ?

J : “Setuju. Indonesia ini unik. Unik dalam artian Indonesia adalah salah satu