• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR TABEL

2.5 Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)

Desakan untuk melahirkan payung hukum Keterbukaan Memperoleh Informasi Publik (KMIP) bukan tanpa dasar. TAP MPR XVII/MPR/1998, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, dan sejumlah konvensi internasional sudah mengakomodir hak atas informasi. Koalisi akhirnya mengajukan usul Rancangan Undang-Undang KMIP ke DPR. Rancangan itu kemudian diterima sebagai usul inisiatif DPR. Melalui pembahasan yang panjang selama beberapa tahun, termasuk perubahan judul, Pemerintah dan DPR setuju untuk mengesahkan RUU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) menjadi Undang. Akhirnya 30 April 2008, Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan mulai berlaku dua tahun

setelah pengundangan, yakni tanggal 30 April 2010. Selain itu, diskursus perlunya jaminan hukum bagi keterbukaan informasi terus bergulir baik di tingkatan masyarakat, birokrasi, hingga legislator. Bahkan di beberapa daerah, meskipun UU KIP belum disahkan karena pembahasan yang sangat lama, telah terbit aturan hukum tentang transparansi atau keterbukaan informasi, baik dalam bentuk Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah (Subagiyo dkk, 2009:iii).

Bagi masyarakat, UU KIP merupakan bentuk pengakuan hak masyarakat atas informasi dan bagaimana hak tersebut harus dipenuhi dan dilindungi oleh negara. Sedangkan bagi pemerintah maupun badan publik lainnya, UU KIP merupakan pedoman hukum untuk memenuhi dan melindungi hak atas informasi masyarakat. Pedoman hukum tersebut untuk menghindari terjadinya pelanggaran hak masyarakat atas informasi sekaligus jaminan agar keterbukaan tidak merugikan kepentingan setiap orang dan kepentingan negara yang dilindungi oleh hukum (Subagiyo dkk, 2009:iii).

Dengan kata lain, dalam pendekatan akuntabilitas publik, kebebasan informasi merupakan kewajiban dinas atau badan publik untuk menyebarluaskan produk kebijakan, aturan, rencana dan hasil kedinasan serta kelembagaannya kepada masyarakat luas. Maka dari itu, hak dari masyarakat luaslah untuk mengetahui produk kedinasan tersebut sebagai pengetahuan untuk mengikuti penyelenggaraan negara yang transparan dan yang berpola umpan balik (koalisi untuk kebebasan informasi, tanpa tahun:vii).

Sebaliknya, dalam pendekatan masyarakat yang bertanggung jawab sosial, kebebasan informasi merupakan kewajiban masyarakat luas untuk memberikan data dan informasi mengenai dirinya atau lembaganya secara benar dan lengkap, dan hak dinas atau badan publik untuk memperolehnya sebagai bahan pembangunan secara menyeluruh. Jadi, dinas atau badan publik dan masyarakat luas sama -sama mempunyai hak dan kewajiban untuk terwujudnya penyelenggaraan informasi yang sehat (koalisi untuk kebebasan informasi, tanpa tahun:vii).

xlix

Universitas Sumatera Utara Praktisnya, sebagai sarana hukum, UU KIP mengatur hak setiap warga negara untuk mengakses informasi. Dalam merespon permintaan informasi, UU KIP mewajibkan setiap pejabat publik untuk menyediakan informasi secara proaktif. UU KIP juga menjabarkan kewajiban pejabat publik untuk menyediakan dan memberikan informasi yang diminta dengan cepat dan dengan harga yang wajar; kategori informasi dengan perkecualian; dan kewajiban pejabat publik untuk mengatur dan menyimpan informasi (Karanicolas dalam Erdianto dkk, 2012:12-13).

2.5.1 Pokok-pokok Pikiran UU KIP

Sebagai undang-undang yang tidak hanya sekedar mengatur hak atas informasi melainkan juga mengatur tentang hak akses terhadap informasi tersebut, UU KIP mengandung beberapa pokok pikiran sebagai berikut ini :

a. Setiap badan publik wajib menjamin keterbukaan informasi publik.

Pada saat reformasi, diskursus tentang pentingnya praktek-praktek penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) semakin mengemuka dan memunculkan wacana publik tentang pentingnya jaminan hukum yang komprehensif bagi hak atas informasi. Jaminan hukum tersebut diharapkan dapat mempertegas kewajiban badan publik dalam pemenuhan hak atas informasi sebagai implikasi dari jaminan pengakuan hak masyarakat terhadap informasi.

b. Setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh publik.

Konsep negara demokrasi memandang bahwa penyelenggaraan pemerintahan merupakan amanat rakyat. Oleh karena itu, segala informasi yang dihasilkan dan mengenai penyelenggaraan pemerintah tersebut merupakan milik rakyat sebagai pemberi mandat. Dengan demikian sudah selayaknya jika informasi tentang kegiatan yang didanai dengan dana publik menjadi informasi milik publik pula.

c. Informasi publik yang dikecualikan bersifat ketat, terbatas dan tidak mutlak/tidak permanen.

Meskipun pada dasarnya informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses, namun dalam praktek tidak semua informasi dapat dibuka. Ada informasi tertentu yang apabila dibuka dapat menimbulkan kerugian atau bahaya bagi kepentingan publik maupun kepentingan yang sah dilindungi oleh Undang-Undang. Namun, pada prinsipnya pengecualian informasi publik tersebut haruslah untuk melindungi kepentingan publik itu sendiri. Pengecualian informasi bersifat ketat mengindikasikan bahwa UU KIP menghendaki adanya dasar keputusan yang objektif dalam melakukan pembatasan melalui pengecualian informasi. Sifat ketat juga menghendaki pengecualian informasi harus dilakukan secara teliti dan cermat. Sedangkan pengecualian informasi bersifat tidak mutlak/permanen artinya bahwa tidak ada pengecualian informasi berlaku selama-lamanya.

d. Setiap informasi publik harus dapat diperoleh dengan cepat, tepat waktu, biaya ringan dan cara sederhana.

Badan publik harus menjamin akses setiap orang terhadap informasi publik sedemikian rupa secara cepat, tepat waktu, biaya ringan, dan dengan cara sederhana. Selain itu, asas ini juga dijadikan dasar bagi pengembangan aturan tentang mekanisme memperoleh informasi.

e. Informasi publik bersifat proaktif

Prinsip bahwa informasi bersifat proaktif menunjukkan bahwa badan publiklah yang seharusnya secara proaktif menyampaikan informasi, khususnya mengenai informasi dasar yang dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya. UU KIP mengatur tentang informasi aktif dimana informasi publik tertentu harus disampaikan kepada publik tanpa menunggu adanya permintaan.

f. Informasi publik harus bersifat utuh, akurat dan dapat dipercaya.

Melekat dalam hak atas informasi tentunya adalah informasi yang utuh, akurat dan dapat dipercaya (reliable).

li

Universitas Sumatera Utara UU KIP membagi penyelesaian sengketa dalam tingkat badan publik melalui pengajuan keberatan, di tingkat komisi informasi melalui mediasi dan ajudikasi, serta di tingkat pengadilan melalui pengadilan negeri dan pengadilan tata usaha negara. Mahkamah Agung tetap dipilih oleh perumus UU KIP sebagai lembaga terakhir bagi seluruh penyelesaian sengekta informasi tersebut.

h. Ancaman pidana bagi penghambat informasi.

Sanksi pidana merupakan salah satu perangkat untuk menimbulkan efek jera (deterrent effect) bagi pelanggar ketentuan UU KIP. Namun demikian penggunaan sanksi pidana harus dilakukan secara selektif mengingat efektifitas suatu aturan tidak dapat hanya mengandalkan pendekatan ancaman pidana semata yang berimplikasi pada pengurangan kemerdekaan seseorang. Selain itu, UU KIP juga mengatur tentang ancaman pidana bagi penyalahgunaan informasi dan pembocoran informasi rahasia (Subagiyo dkk, 2009:13-18).

2.5.2 Struktur UU KIP

Pokok-pokok pikiran di atas termuat dalam 12 bab dan 64 pasal yang tersusun dalam struktur sebagai berikut ini :

BAB I Ketentuan umum Pasal 1

BAB II Asas dan tujuan Pasal 2 – 3

BAB III Hak dan kewajiban pemohon dan pengguna Pasal 4 – 8 informasi publik serta hak dan kewajiban

badan publik

BAB IV Informasi yang wajib disediakan dan Pasal 9 – 16 diumumkan

BAB V Informasi yang dikecualikan Pasal 17 – 20 BAB VI Mekanisme memperoleh informasi Pasal 21 – 22

BAB VII Komisi informasi Pasal 23 – 34

BAB VIII Keberatan dan penyelesaian sengketa Pasal 35 – 39 melalui komisi informasi

BAB IX Hukum acara komisi Pasal 40 – 46

BAB X Gugatan ke pengadilan dan kasasi Pasal 47 – 50

BAB XI Ketentuan pidana Pasal 51 - 57

BAB XII Ketentuan lain-lain Pasal 58

BAB XIII Ketentuan peralihan Pasal 59 - 62

BAB XIV Ketentuan penutup Pasal 63 – 64

liii

Universitas Sumatera Utara BAB III

METODOLOGI PENELITIAN