• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR TABEL

2.1 Paradigma Konstruktivisme

Paradigma adalah salah satu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epistemologis yang panjang (Mulyana, 2003:9).

Paradigma yang dipakai dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme. Paradigma konstruktivisme adalah paradigma yang hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas dalam ilmu pengetahuan. Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui pengamatan secara langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara atau mengelola dunia sosial mereka (Hidayat, 2003:3).

Untuk konstruktivisme, sejarahnya dapat dirunut pada teori Popper yang membedakan pengertian alam semesta menjadi tiga bagian. Pertama, dunia fisik atau keadaan fisik. Kedua, dunia kesadaran atau mental atau disposisi tingkah laku. Ketiga, dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah, puitis, dan seni. Menurutnya, objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik melainkan melalui dunia pemikiran manusia. Pemikiran inilah yang kemudian berkembang menjadi konstruktivisme yang tidak hanya menyajikan batasan baru mengenai keobjektifan melainkan juga batasan baru mengenai kebenaran dan pengetahuan manusia (Ardianto & Q Anees, 2007:153). Namun, apabila ditelusuri lebih dalam, sebenarnya gagasan-gagasan pokok konstruktivisme telah dimulai oleh

xxv

Universitas Sumatera Utara Giambatissta Vico, seorang epistimolog dari Italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme (Suparno, 1997:24).

Kritik kaum konstruktivisme terhadap positivisme yang meyakini pengetahuan harus merupakan representasi (gambaran atau ungkapan) dari kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat (objektivisme). Konstruktivisme menolak keyakinan tersebut karena pengetahuan bukanlah gambaran dunia keyataan yang ada. Menurut mereka pengetahuan justru selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif. Selanjutnya, mereka menjelaskan bahwa subjek pengamat tidaklah kosong dan tanpa terlibat dalam tindak pengamatan. Kemudian keberadaan realitas tidak hadir begitu saja pada benak subjek pengamat. Menurut mereka, realitas ada karena pada diri manusia terdapat skema, kategori, konsep, dan struktur pengetahuan yang berkaitan dengan objek yang diamati (Ardianto & Q Anees, 2007:154).

Menurut Driver dan Bell dalam Bettencourt (1989), ilmu pengetahuan bukanlah hanya kumpulan hukum atau daftar fakta. Ilmu pengetahuan adalah ciptaan pikiran manusia dengan semua gagasan dan konsepnya yang ditemukan secara bebas. Untuk menemukan kenyataan yang sebenarnya, tidak cukup dengan hanya mengamati objek yang ada. Ada dunia yang berbeda yakni dunia kenyataan dan dunia pengertian. Maka dari itu, untuk menjembatani keduanya diperlukan proses konstruksi imajinatif.

Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang kepada orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman mereka. Substansi penting dari perspektif konstruktivisme ini adalah bahwa pengetahuan bukanlah tertentu dan deterministik, tetapi suatu proses menjadi tahu. Pentingnya pengalaman dalam proses pengetahuan membuat proses konstruksi membutuhkan tiga proses. Pertama, kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman. Kedua, kemampuan membandingkan, mengambil keputusan

(justifikasi). Ketiga, kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari yang lain.

Pieget (1970) telah membedakan dua aspek berfikir dalam pembentukan pengetahuan, yakni aspek figuratif dan aspek operatif. Aspek figuratif a dalah imajinasi keadaan sesaat dan statis. Aspek operatif lebih berkaitan dengan transformasi dari satu level ke level lain. Dengan kata lain, aspek yang lebih esensial dari berfikir adalah aspek operatif. Berfikir seperti inilah yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuan dari satu level tertentu ke level yang lebih tinggi (Ardianto & Q Anees, 2007:154-155).

Secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut :

a. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.

b. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.

c. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang (Ardianto & Q Anees, 2007:155).

Konstruktivisme memang merujukkan pengetahuan pada konstruksi yang sudah ada di benak subjek. Namun konstruktivisme juga meyakini bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi, melainkan proses panjang sejumlah pengalaman. Banyak situasi yang memaksa atau membantu seseorang untuk mengadakan perubahan terhadap pengetahunannya. Perubahan inilah yang akan mengembangkan pengetahuan seseorang. Menurut Bettencourt, situasi perubahan tersebut meliputi; konteks tindakan, konteks membuat masuk akal, konteks penjelasan dan konteks pembenaran (Ardianto & Q Anees, 2007:156-157).

xxvii

Universitas Sumatera Utara Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Komunikasi dipahami, diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Oleh karena itu analisis dapat dilakukan demi membongkar maksud dan makna-makna tertentu dari komunikasi (Ardianto & Q Anees, 2007:151).

Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistimologi merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan bukan reproduksi kenyataan. Dengan demikian dunia muncul dalam pengalaman manusia secara terorganisasi dan bermakna. Maka dari itu, konstruktivisme percaya bahwa tidak ada pengetahuan yang koheren, sepenuhnya transparan dan independen dari subjek yang mengamati (Ardianto & Q Anees, 2007:151-152).

Selain itu, menurut para konstruktivis semesta adalah suatu konstruksi, artinya bahwa semesta bukan dimengerti sebagai semesta yang otonom akan tetapi dikonstruksi secara sosial dan karenanya plural. Mereka juga menolak pengertian

ilmu sebagai yang “terberi” dari objek terhadap subjek yang mengetahui. Menurut

mereka kedua unsur tersebut sama-sama berperan dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Dengan demikian, paradigma konstruktivisme mencoba menjembatani dualisme objektivisme-subjektivisme dengan mengafirmasi peran subjek dan objek dalam konstruksi ilmu pengetahuan. Konsekuensinya, kaum konstrukvis menganggap bahwa tidak ada makna yang mandiri, tidak deskripsi yang murni objektif. Kita tidak

termediasi oleh teori, kerangka konseptual atau bahasa yang disepakati secara sosial (Ardianto & Q Anees, 2007:152).

Bahasa merupakan hasil kesepakatan sosial serta memiliki sifat yang tidak permanen sehingga terbuka dan mengalami proses evolusi. Berbagai versi tentang objek-objek dan tentang dunia muncul dari berbagai komunitas sebagai respons terhadap tertentu, sebagai upaya mengatasi masalah tertentu dan cara memuaskan kebutuhan dan kepentingan tertentu. Masalah kebenaran dalam konstruktivis bukan lagi permasalahan fondasi atau representasi, melainkan kesepakatan pada komunitas tertentu (Ardianto & Q Anees, 2007:153).

2.1.1 Konstruktivisme Dalam Ilmu Komunikasi

Dalam ilmu komunikasi, konstruktivisme adalah pendekatan teoritis yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Delia dan rekan-rekannya. Relevansi penggunaan teori ini pada waktu tersebut untuk meneliti komunikasi antarpersonal yang dikembangkan para akademisi secara sistematik dengan membuat peta terminologi secara teoritik dan hubungan-hubungannya dengan mengelaborasi sejumlah asumsi serta uji coba teori dalam ruang lingkup situasi produksi pesan. Robyn Penmann merangkum kaitan konstruktivisme dalam hubungannya dengan ilmu komunikasi :

a. Tindakan komunikatif sifatnya sukarela. Pembuat komunikasi adalah subjek yang memiliki pilihan bebas, walaupun lingkungan sosial membatasi apa yang dapat dan telah dilakukan.

b. Pengetahuan adalah sebuah produk sosial. Pengetahuan bukan sesuatu yang objektif melainkan diturunkan melalui interaksi dalam kelompok sosial. Pengetahuan itu dapat ditemukan dalam bahasa, melalui bahasa itulah konstruksi realitas tercipta.

c. Pengetahuan merupakan produk yang dipengaruhi ruang dan waktu yang dapat berubah sesuai pergeseran waktu.

xxix

Universitas Sumatera Utara d. Teori-teori menciptakan dunia. Teori bukanlah alat, melainkan suatu cara pandang yang ikut memengaruhi cara pandang kita terhadap realitas. Jadi, dunia dapat dikatakan sebagai hasil pemahaman manusia atas kenyataan diluar dirinya.

e. Pengetahuan bersifat sarat nilai (Ardianto & Q Anees, 2007:157-158).

Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu menginterpretasikan dan bereaksi menurut kategori konseptual dari pikiran. Realitas tidak menggambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara pandang orang terhadap realitas tersebut. George Keely menegaskan cara pemahaman pribadi seseorang dilakukan dengan pengelompokan peristiwa menurut persamaan dan perbedaannya. Perbedaan tersebut menjadi dasar penilaian sistem kognitif individual yang bersifat pribadi dan karenanya berbeda dengan konstruksi sosial. Aliran ini meyakini bahwa sistem kognitif individu berkembang kompleks (Ardianto & Q Anees, 2007:158-159).