• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Pengkajian Klien Harga Diri Rendah dan Isolasi

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 93-103)

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1.2.1 Hasil Pengkajian Klien Harga Diri Rendah dan Isolasi

Hasil pengkajian karakteristik klien terdiri usia, pendidikan, status pekerjaan, status perkawinan sebagai berikut:

a. Karakteristik Klien 1) Usia

Klien yang dirawat dengan masalah isolasi sosial dan harga diri rendah di ruang Saraswati rata-rata berusia 66,2 tahun dengan usia terendah 58 tahun dan usia tertua adalah 74 tahun, hal ini sesuai dengan data yang diungkapkan dalam Riskesdas (2007) menunjukkan bahwa risiko gangguan jiwa meningkat dengan bertambahnya usia seseorang. Perkembangan psikososial lanjut usia (>65 tahun) adalah tercapainya integritas diri yang utuh. Pemahaman terhadap makna hidup secara keseluruhan menyebabkan lansia berusaha membimbing generasi berikutnya (anak dan cucu)

berdasarkan sudut pandangnya. Lansia yang tidak mencapai integritas diri akan merasa putus asa dan menyesali masa lalu karena tidak merasakan hidupnya bermakna (Keliat, 2011).

Tugas perkembangan yang tidak dapat diselesaikan dengan baik dapat menjadi stresor untuk perkembangan berikutnya. Kondisi tersebut akan menyebabkan individu merasa rendah diri merasa gagal dalam memenuhi tuntutan sosialnya dan apabila berlangsung lama akan menjadi harga diri rendah kronis yang mengakibatkan munculnya perilaku menarik diri dari lingkungan.

2) Jenis kelamin

Jenis kelamin merupakan bagian dari aspek sosial budaya faktor predisposisi dan presipitasi terjadinya gangguan jiwa. Karakteristik jenis kelamin pada lansia secara keseluruhan paling banyak adalah perempuan 6 orang (60%). Fakta ini sesuai dengan dikemukakan oleh Stuart (2009) yang menyatakan bahwa wanita berisiko 20-30 % untuk mengalami gangguan jiwa dibandingkan laki-laki. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Norman, Whooley dan Lee yang menunjukkan bahwa wanita 2 kali lebih berisiko mengalami gangguan jiwa dibandingkan laki-laki (Landefeld et al, 2004). Hal ini dimungkinkan terjadi karena wanita mempunyai peran yang lebih kompleks mulai dari mengurus rumah tangga, mengasuh anak sampai menjadi tulang punggung keluarga hal ini makin diperparah dengan adanya konflik yang terjadi didalam keluarga.

3) Pendidikan

Latar belakang pendidikan yang paling banyak adalah Sekolah Rakyat (SR) yaitu setingkat SD sebanyak 6 orang (60%), 3 orang SMP dan hanya 1 orang yang SMA. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi cara berfikir, menganalisa suatu masalah, membuat keputusan dan memecahkan masalah, serta mempengaruhi cara

penilaian klien terhadap stresor. Stuart (2009) menyatakan bahwa strategi koping sangat berhubungan dengan fungsi kognitif. Semakin tinggi tingkat pendidikan akan berbanding lurus dengan keterampilan koping yang dimiliki. Dengan demikian maka latar belakang pendidikan seseorang secara tidak langsung berpengaruh terhadap pola pikir dalam menghadapi suatu masalah dimana alternatif pemecahan masalah lebih terbatas, apabila tindakan atau keputusan yang diambil tidak dapat menyelesaikan masalah dengan baik maka akan menimbulkan frustasi dan dapat berdampak pada munculnya gangguan jiwa.

Pendidikan memungkinkan seseorang memiliki penalaran yang rasional dan bersikap kritis terhadap masalah yang dihadapinya. Dengan demikian tingkat pendidikan yang dimiliki oleh klien sangat mempengaruhi proses pemberian terapi sebagai proses belajar yang bertujuan terjadinya perubahan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor kearah yang lebih adaptif. Pendidikan akan mempengaruhi seseorang dalam menyelesaikan masalah dan mengambil suatu keputusan terhadap kondisi kesehatan jiwa yang saat ini terganggu. Stuart (2009) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi ditemukan lebih sering menggunakan pelayanan kesehatan jiwa.

4) Status Pekerjaan

Karakteristik riwayat pekerjaan pada lansia secara keseluruhan adalah tidak bekerja 10 orang (100%). Status pekerjaan biasanya dapat dihubungkan dengan status ekonomi. Klien yang tidak memiliki pekerjaan tentu tidak memiliki penghasilan atau disebut status sosial ekonomi rendah. Townsend (2009) mengatakan sosial ekonomi yang rendah merupakan salah satu faktor sosial yang menyebabkan tingginya angka gangguan jiwa.

Usia lanjut ditandai dengan menurunnya produktifitas kerja, hal ini berakibat pada menurunnya pendapatan dan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (Mauk, 2006). Hal ini dapat terjadi dikarenakan kondisi lansia yang tidak memungkinkan lagi untuk bekerja sehingga mereka tidak produktif lagi dan mereka harus bergantung pada orang lain.

Sebagian besar lansia tidak memiliki pekerjaan dan tidak memiliki sumber ekonomi yang memadai, sehingga memasuki usia tua mereka tidak memiliki sumber penghasilan yang tetap seperti dana pensiun, asuransi atau pasive income yang lain. Dampaknya sumber koping (dukungan finansial) tidak mendukung sehingga bisa timbul berbagai masalah kesehatan dan masalah psikologis bagi lansia seperti harga diri rendah, ketidakberdayaan, keputusasaan dan keterasingan dari lingkungan atau isolasi sosial. Untuk itu support system, dukungan finansial, jaminan sosial dan perawatan kesehatan bagi lansia sangat dibutuhkan.

5) Status Perkawinan

Karakteristik perkawinan pada lansia yang paling banyak adalah duda/janda (60%). Karakteristik perkawinan pada penelitian sebelumnya terkait dengan psikoterapi depresi pada lansia antara lain (Syarniah, Keliat, Hastono & Daulima, 2010) secara keseluruhan paling banyak adalah tidak menikah yakni 65 orang (86,7%). (Barathy, Keliat & Besral, 2011) secara keseluruhan paling banyak adalah tidak menikah yakni 34 orang (47,2%) dan penelitian yang dilakukan oleh Wiyono, Keliat, Daulima (2013) juga mengungkapkan bahwa karakteristik lansia yang mengalami gangguan jiwa adalah yang tidak menikah. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa lansia yang tidak menikah, janda atau duda lebih berisiko mengalami gangguan jiwa.

Suardiman (2011) menyebutkan bahwa lansia yang kehilangan pasangan atau menjadi janda atau duda serta tidak adanya support

system dari keluarga dapat meningkatkan resiko terjadinya depresi.

Keluarga, suami atau istri merupakan support system yang utama dan sebagai sumber koping bagi lansia untuk membantu menangani berbagai permasalahan yang dihadapi oleh lansia.

b. Faktor Predisposisi 1) Aspek biologis

Hasil pengkajian terhadap faktor predisposisi klien didapatkan yaitu dari faktor biologi sebagian besar dari faktor genetik (60,%). Factor genetik memiliki peran terjadinya gangguan jiwa pada klien yang menderita Skizofrenia (Kaplan dan Sadock, 2007). Menurut Townsend (2009), faktor genetik biasanya ditemukan pada individu yang memiliki keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa.

Klien yang dirawat oleh anggota keluaga yang mengalami gangguan jiwa akan mengadopsi perilaku orang yag mengasuh berpotensi mengalami gangguan jiwa dibandingkan dengan populasi. Berdasarkan hasil pengkajian diketahui bahwa ada 3 orang klien yang mempunyai orang tua (ibu) yang mengalami gangguan jiwa dan memberikan pengasuhan pada klien sedangkan pada klien lainnya yang memiliki faktor genetik didapatkan dari kakek dan paman. Hal ini membuktikan bahwa memang secara genetik, gangguan jiwa memang diturunkan.

2) Faktor psikologis

Faktor psikologi pada sebagian besar klien yakni kepribadian yang tertutup sedangkan pada pengalaman kehilangan atau kegagalan ditemukan pada 6 orang (60%). Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart (2009) bahwa faktor psikologis, yang meliputi konsep diri, intelektualitas, kepribadian, moralitas, pengalaman masa lalu, koping

dan keterampilan komunikasi secara verbal mempengaruhi perilaku seseorang dalam hubungannya dengan orang lain.

Pengalaman masa lalu berupa kehilangan dan kegagalan yang dialami klien akan mempengaruhi respon individu dalam mengatasi stresornya dimana klien menjadi tidak percaya diri dalam berhubungan dengan orang lain. Kondisi ini akan membuat individu lebih cenderung merasa rendah diri dan menarik diri dari orang lain dan lingkungannya.

3) Aspek sosial Budaya

Faktor predisposisi selanjutnya adalah sosial budaya. Hasil manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa mengidentifikasi adanya faktor usia (100%), pendidikan yang rendah (90%), ekonomi menengah kebawah (80%) dan jarang terlibat dalam kegiatan social (50%). Aspek-aspek ini merupakan penyebab seseorang dapat mengalami gangguan jiwa. Hasil ini senada dengan teori sosial budaya yang menyatakan bahwa pengalaman seseorang sulit beradaptasi terhadap permintaan sosial budaya dikarenakan konsep diri yang rendah dan mekanisme koping yang buruk (Shives, 2012). Kemampuan komunikasi yang rendah akibat konsep diri yang negatif menyebabkan seseorang sulit dalam menyelesaikan masalah sehingga seseorang kehilangan minat dalam bersosialisasi.

Stuart (2009) menyatakan bahwa status ekonomi merupakan salah satu faktor pendukung klien dalam mengatasi masalah. Rendahnya kehidupan sosioekonomi juga akan mempengaruhi kehidupan sosial klien dan keluarga, rendahnya pemenuhan kebutuhan dan nutrisi keluarga sehingga menimbulkan perasaan tidak berdaya, perasaan ditolak oleh lingkungan dan menimbulkan perasaan rendah diri.

c. Faktor Presispitasi

Presipitasi faktor biologis klien didapatkan yaitu putus obat (70%). Putus obat yang dilaporkan klien karena rasa bosan dan jenuh harus selalu meminum obat, selain itu ada beberapa pasien yang tidak mampu bertoleransi terhadap efek samping. Kondisi ini yang sering memicu penghentian pengobatan secara sepihak dan memunculkan kembali gejala gangguan jiwa. Muller (2004) dalam penelitiannya mengatakan bahwa penyebab utama relaps penderita Schizophrenia adalah berhenti mengkonsumsi antipsikotik sehingga fokus utama pengobaan schizophrenia adalah tindakan pencegahan relaps.

Seluruh klien yang mengalami masalah isolasi sosial dan harga diri rendah memiliki stresor berasal dari diri klien sendiri dan juga ditambah dengan stresor dari luar diri pasien. Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart dan Laraia (2005) bahwa stresor dapat berasal dari internal maupun eksternal. Waktu terpaparnya stresor pada klien sebagian besar sudah mengalami gangguan jiwa > 6 bulan (60%) dan jumlah stresor yang dialami oleh klien lebih dari 2 stresor (70%). Kondisi ini menujukkan bahwa rata-rata klien sudah mengalami gangguan jiwa kronis. Jumlah stresor lebih dari satu yang dialami oleh individu dalam satu waktu yang bersamaan akan lebih sulit diselesaikan dibandingkan dengan satu stresor dalam satu waku. Setiap stresor atau masalah yang muncul membutuhkan penyelesaian sehingga semakin banyak stresor yang dimiliki oleh individu maka individu tersebut makin dituntut untuk memiliki penyelesaian koping yang adekuat dan makin bervariasi dalam mengatasi stresornya (Stuart dan Laraia, 2005).

Presipitasi faktor psikologis yakni keinginan yang tidak terpenuhi (50%), gagal bekerja (50%) dan adanya perasaan tidak berguna (60%). Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart (2009) bahwa faktor psikologis, yang meliputi konsep diri, intelektualitas, kepribadian, moralitas, pengalaman masa lalu, koping dan ketrampilan komunikasi secara

verbal mempengaruhi perilaku seseorang dalam hubungannya dengan orang lain.

d. Penilaian Stressor

Respon terhadap stresor merupakan suatu proses evaluasi yang dilakukan klien secara menyeluruh terhadap sumber stres dengan tujuan untuk melihat tingkat kemaknaan dari suatu kejadian yang dialami (Stuart, 2009). Berdasarkan hasil asuhan keperawatan yang telah dilakukan terhadap klien harga diri rendah dan isolasi sosial dapat dilihat bahwa rata-rata penilaian terhadap stressor pada 10 klien isolasi sosial pada respon kognitif 26,25, respon afektif sebesar 24,87, respon perilaku sebesar 26,66, respon sosial sebesar 27,33, respon fisiologis sebesar 25,37 dan secara keseluruhan respon klien isolasi sosial sebesar 130,48. Sedangkan penilaian stresor pada masalah harga diri rendah didapatkan gambaran rata-rata respon kognitif klien sebelum diberikan terapi reminiscence sebesar 27,14 respon afektif sebesar 25,57, respon perilaku sebesar 27,83, respon sosial sebesar 30, respon fisik sebesar 28,6 dan secara komposit didapatkan respon klien harga diri rendah sebesar 139,14.

Respon klien dengan isolasi sosial dan harga diri rendah dalam menghadapi stresor tersebut sesuai dengan pendapat Stuart dan Laraia (2005) yang melihatnya dari aspek kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan sosial. Kelima aspek tersebut dijadikan pedoman dalam penilaian terhadap respon klien dengan isolasi sosial dan harga diri rendah kronis dalam karya ilmiah ini. Didapatkannya penilaian terhadap stresor pada kelima respon tersebut mendorong penulis untuk memberikan terapi

Reminiscence yang bertujuan untuk meningkatkan respon kognitif,

afektif, fisiologis, perilaku, dan sosialnya melalui kegiatan mengenang kembali dan memaknai peristiwa yang menyenangkan dalam hidupnya sejak masa kanak-kanak hingga dewasa.

e. Sumber Koping

Kemampuan personal yang dimiliki klien yaitu telah dilatih dan diajarkan bagaimana mengenal tentang masalah harga diri rendah dan isolasi sosial, klien sudah mampu menilai, memilih dan melatih aspek positif yang ada pada dirinya, sedangkan pada masalah isolasi sosial klien sudah mampu mengenal masalah isos dan berlatih berkenalan secara bertahap.

Rendahnya dukungan yang dimiliki klien terlihat nyata bahwa hanya sedikit dukungan keluarga dan tidak ditemukan dukungan kelompok. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya kunjungan keluarga dan motivasi yang kurang dari keluarga untuk merawat klien dirumah. Menurut Stanhope & Lancaster (1996), keluarga sebagai struktur atau konteks menunjukkan bahwa keluarga merupakan sumber kesehatan ataupun sumber sakit bagi anggota keluarganya. Keluarga memiliki peranan yang sangat besar dalam mempengaruhi kondisi anggota keluarga baik secara fisik maupun mental. Jika ditilik dari pendekatan keluarga sebagai sistem, keluarga merupakan penderita yang pertama dan tampilan keluarga menunjukkan interaksi berbagai sistem yang terdapat pada keluarga tersebut.

Adanya keluarga yang belum dapat memaksimalkan akses pelayanan kesehatan jiwa merupakan salah satu fungsi keluarga. Hal ini sesuai dengan konsep Friedman (2008) yang menyebutkan bahwa salah satu fungsi keluarga adalah fungsi perawatan kesehatan. Sistem pendukung utama yang dibutuhkan oleh klien adalah orang terdekat dengan klien yaitu keluarga, jadi dalam hal ini seharusnya keluarga dapat berperan sebagai care giver dengan syarat keluarga telah mengetahui dan menguasai cara perawatan klien. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Stuart dan Laraia (2005) bahwa keluarga seharusnya menjadi tempat atau lembaga pengasuhan (care giver) yang paling dapat memberi kasih sayang, afektif, dan ekonomis.

Ketersediaan aset ekonomi sangat mendukung klien dalam mendapatkan pengobatan yang baik. Penggunaan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas/Jamkesda) untuk biaya perawatan dan pengobatan selama di RS terbukti sangat membantu klien dan keluarga. Pengobatan yang gratis hendaknya meningkatkan motivasi klien dan keluarga untuk menuntaskan pengobatan.

Hasil pengkajian sumber koping keyakinan positif pada klien, semuanya merasa yakin mampu mengatasi masalah yang dihadapi dan dapat sembuh. Timbulnya penilaian ini berdasarkan keyakinan klien terhadap diri, pengobatan, petugas (perawat dan dokter). Keyakinan positif ini akan membantu proses penyembuhan klien karena akan membangkitkan semangat untuk sembuh.

f. Mekanisme Koping

Mekanisme koping merupakan cara yang dilakukan klien sebagai upaya mengatasi stressor untuk melindungi diri (Stuart, 2009). Mekanisme koping yang digunakan oleh klien rata-rata adalah mekanisme koping destruktif yaitu diam atau memendam masalah dan marah-marah, hanya ada 4 orang (40%) yang menggunakan koping yang konstruktif yaitu menceritakan masalahnya pada keluarga atau orang yang terdekat.

Mekanisme koping merupakan gambaran kemampuan klien dalam mengatasi masalah. Berdasarkan hasil asuhan keperawatan menunjukkan bahwa sebagian besar klien tidak menggunakan mekanisme koping yang efektif dalam mengatasi masalahnya, hal inilah yang menyebabkan klien tidak mampu mengatasi perasaan rendah diri akibat stressor yang dialami, akhirnya mengakibatkan munculnya masalah harga diri rendah yang juga memunculkan masalah isolasi sosial.

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 93-103)

Dokumen terkait