• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isolasi Sosial

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 42-48)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Konseptual Model Asuhan dan Pelayanan Keperawatan

2.2.1 Input

2.2.1.2. Isolasi Sosial

Stuart (2009) menyatakan stressor predisposisi adalah faktor resiko yang menjadi sumber terjadinya stres yang terdiri dari biologi, psikologis, dan sosial kultural

1) Faktor Biologis

Faktor predisposisi biologis meliputi riwayat genetik, status nutrisi, status kesehatan secara umum, sensitivitas biologi, dan terpapar racun (Stuart 2009). Pada kembar dizigot risiko terjadi skizofrenia 15%, kembar monozigot 50%, anak dengan salah satu orang tua menderita skizofrenia berisiko 13%, dan jika kedua orang tua mendererita skizofrenia berisiko 45%. Struktur otak juga mempengaruhi, klien dengan skizofrenia yang mempunyai masalah dalam hubungan sosial terdapat struktur yang abnormal pada otak seperti atropi otak, perubahan ukuran dan bentuk sel-sel dalam limbik dan daerah kortikal. Gangguan pada korteks frontal mengakibatkan gejala negatif dan gangguan pada sistem limbik mengakibatkan gejala positif (Stuart, 2009). Isolasi sosial merupakan salah satu gejala negatif yang ditemukan pada klien dengan skizoprenia.

Seseorang dengan gangguan hubungan interpersonal memiliki penurunan volume prefrontal dibandingkan rata-rata aktifitas lobus frontal didalam otaknya. Ketidakseimbangan neurotransmiter berpengaruh terhadap terjadinya isolasi sosial. Penurunan katekolamin, peningkatan asetilkolin dan penurunan serotinin menyebabkan seseorang berusaha menghindari lingkungan sosial dan cenderung menjadi depresi. Faktor biologis akibat kondisi patologis, yakni tumor otak, infeksi otak dan stroke dapat pula menyebabkan terjadinya perubahan fungsi otak sebagai pengatur perilaku manusia.

2) Faktor Psikologis

Faktor predisposisi psikologis meliputi intelektualitas, ketrampilan verbal, kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, motivasi, dan pertahanan

kegagalan mencapai tugas perkembangan. Kegagalan mencapai tugas perkembangan pada setiap tahapan usia tumbuh kembang seperti sejak bayi atau pada tahapan usia remaja berakibat terjadinya penurunan kemampuan dalam mengembangkan hubungan sosial pada individu.

Kegagalan dalam melaksanakan tugas perkembangan dapat

mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah, pesisimis, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain, menghindar dari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan, dan merasa tertekan. Perilaku dan perasaan ini dapat menimbulkan tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain, menghindar dari orang lain, lebih menyukai berdiam diri sendiri, kegiatan sehari-hari terabaikan

Seseorang dengan tipe kepribadian introvert, menutup diri sehingga tidak memiliki orang terdekat atau orang yang berarti dalam hidupnya merupakan salah satu penyebab dari isolasi sosial. Individu dengan harga rendah akan menyebabkan klien merasa tidak mampu untuk berinteraksi dengan orang lain yang berlanjut menjadi isolasi sosial

3) Faktor Sosial

Faktor sosial budaya dikaitkan dengan terjadinya isolasi sosial meliputi; umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan keyakinan. Faktor sosial ekonomi yang rendah lebih banyak mengalami skizofrenia dibandingkan dengan status sosial ekonomi yang tinggi, pendidikan dapat dijadikan tolak ukur kemampuan seseorang berinteraksi dengan orang lain secara efektif (Townsand, 2009; Stuart, 2009). Sulistiwati (2005) menyatakan perubahan nilai budaya, perubahan sistem kemasyarakatan dan pekerjaan mengakibatkan gangguan keseimbangan emosional sehingga terjadi penurunan produktifitas seseorang. Kondisi ini berpengaruh terhadap respon klien dalam hubungan interpersonal dengan orang lain dan lingkungan. Uraian yang telah dijelaskan diatas, menggambarkan sangatlah penting untuk mengetahui sosial budaya klien terkait hubungannya dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitarnya.

b. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi adalah stimulus yang bersifat menantang dan mengancam individu serta menimbulkan kondisi tegang dan stres sehingga memerlukan energi yang besar untuk menghadapinya (Stuart, 2009). Faktor presipitasi dapat bersifat stresor biologis, psikologis, serta sosial budaya yang berasal dari dalam diri individu (internal) maupun dari lingkungan eksternal individu. Selain sifat dan asal stresor, waktu dan jumlah stresor juga merupakan komponen faktor presipitasi. Dimensi waktu meliputi kapan stresor terjadi, seberapa lama terpapar stresor, dan frekuensi terpapar stresor.

c. Penilaian Stresor

Penilaian terhadap stresor merupakan suatu proses evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan oleh individu terhadap stresor dengan tujuan untuk melihat tingkat kemaknaan dari suatu kejadian yang dialaminya (Stuart, 2009). Penilaian stresor adalah proses dari situasi stres yang komprehensif yang berada pada beberapa tingkatan. Secara spesifik proses ini melibatkan respon kognitif, respon afektif, respon fisiologis, respon perilaku dan respon sosial (Stuart, 2009). Penjelasan tentang penilaian terhadap stresor, dijabarkan sebagai berikut:

1) Respon kognitif

Respon kognitif : merupakan suatu mediator bagi interaksi antara individu dan lingkungan. Individu dapat menilai adanya suatu bahaya/potensi terhadap suatu stresor yang dipengaruhi oleh: a) Pandangan/pengertian: sikap, terbuka terhadap adanya perubahan, peran serta seseorang secara aktif dalam suatu kegiatan, dan kemampuan untuk kontrol diri terhadap pengaruh lingkungan. b) Sumber untuk toleransi terhadap masalah yang dihadapi selama ini yang berasal dari diri sendiri serta lingkungannya. c) Kemampuan koping, hal ini seringkali berhubungan dengan pengalaman secara individual. d) Efektifitas koping yang dipergunakan oleh klien dalam mengatasi masalahnya. e) Koping yang tersedia dan dapat dipergunakan oleh klien.

Penilaian klien isolasi sosial terhadap stresor secara kognitif adalah merasa kesepiam, merasa ditolak orang lain atau lingkungan, dan merasa orang lain tidak dimengerti akan dirinya, merasa tidak berguna, merasa putus asa dan tidak mempunyai tujuan dalam hidup, dan merasa dirinya tidak aman berada didekat orang lain, serta tidak mampu berkonsentrasi dan mengambil keputusan (Keliat, 2006; NANDA 2012; Townsend, 2009).

2) Respon Afektif

Respon afektif, terkait dengan: a) Ekspresi emosi: respons emosi dalam menghadapi masalah dapat berupa perasaan sedih, gembira, takut, marah, menerima, tidak percaya, antisipasi, surprise. b) Klasifikasi dari emosi akan tergantung pada tipe, lama dan intensitas dari stresor yang diterima dari waktu ke waktu. c) Mood dapat berupa emosi dan sudah berlangsung lama yang akan mempengaruhi suasana hati seseorang. d) Sikap (attitude): hal ini terjadi bila stresor telah berlangsung lama, sehingga sudah menjadi suatu kebiasaan/pola bagi individu tersebut. Penilaian afektif sangat dipengaruhi oleh kegagalan individu dalam menyelesaikan tugas perkembangan di masa lalu, terutama berkaitan dengan pengalaman berinteraksi dengan orang lain. Menurut Townsend (2009); NANDA (2012); secara afektif klien dengan isolasi social merasa bosan dan lambat dalam menghabiskan waktu, sedih, afek tumpul, dan kurang motivasi. 3) Respon Fisiologis

Respon Fisiologis, respon ini berkaitan dengan reflek dari interaksi beberapa neuroendokrin. Neurotransmiter dan beberapa hormon endokrin seperti hormon pertumbuhan, prolaktin, hormon adenokortikotropik, hormon luteinising dan stimulasi folikel, hormon tiroid, vasopresin, oksitosin, insulin, epineprin, norepineprin akan memegang peranan dalam berespon terhadap suatu stresor. Respons fight atau flight yang dilakukan oleh seseorang dalam menghadapi suatu permasalahan akan distimulasi oleh sistem saraf otonom serta meningkatkan aktivitas dari kelenjar pituitari adrenal. Respon fisiologis yang terjadi pada klien isolasi sosial berupa lemah, penurunan/peningkatan nafsu makan, malas beraktivitas, lemah, kurang energi (NANDA, 2012; Stuart,2009).

4) Respon Perilaku

Respon perilaku merupakan suatu reflek dari respons emosi dan perubahan fisiologis sebagai suatu kemampuan analisis kognitif dalam menghadapi suatu situasi yang penuh dengan stres. Respon perilaku pada perilaku kekerasan bermacam-macam seperti perilaku mencari perhatian (malas melakukan apa-apa, malas untuk bekerja, sekolah bahkan dapat melakukan penyimpangan seksual), perilaku bermusuhan, dendam, keyakinan yang tidak rasional hingga melarikan diri dari interaksi dengan orang lain.

Klien dengan masalah isolasi sosial menurut Townsend (2009) menunjukkan perilaku malas untuk merawat diri, tidak mempunyai tenaga melakukan aktivitas atau berinteraksi dengan orang lain, menyendiri. Biasanya posisi hanya pada satu tempat/tidak berubah walaupun sebenarnya posisi tersebut tidak nyaman bagi klien, pergerakan lambat, kemunduran perilaku dari usia yang sebenarnya (regresi). Ini juga dinyatakan oleh NANDA (2012) dan Keliat (2006) bahwa perilaku yang ditunjukkan klien isolasi sosial meliputi menarik diri, menjauh dari orang lain, tidak atau jarang melakukan komunikasi, tidak ada kontak mata, kehilangan gerak dan minat, malas melakukan kegiatan sehari-hari, berdiam diri di kamar, menolak hubungan dengan orang lain, dan sikap bermusuhan.

5) Respon Sosial

Respons sosial terhadap stres, pada langkah awal biasanya mencari makna, seseorang akan mencari berbagai informasi mengenai masalah mereka. Hal ini sangat diperlukan untuk mendefinisikan strategi koping sebab hanya dengan melalui berbagai ide yang muncul sehingga individu mampu memberi respons secara rasional. Langkah yang kedua dalam respons sosial adalah atribut sosial, dimana seseorang mencoba untuk identifikasi berbagai faktor yang berkontribusi terhadap masalah yang ada. Individu memandang bahwa masalah yang muncul berasal dari kegagalan mereka sendiri dengan koping yang dipergunakannya (Stuart

Respon sosial isolasi sosial diantaranya menarik diri, pengasingan, penolakan karena klien merasa malu dengan orang-orang disekitarnya.

d. Sumber Koping

Sumber koping merupakan kekuatan yang dimiliki individu dalam berespon terhadap berbagai stresor yang dihadapi. Dengan mengetahui sumber koping yang dimiliki klien perawat dapat menentukan tindakan yang tepat dalam melakukan asuhan keperawatan. Menurut Stuart (2009), sumber koping terdiri dari kemampuan individu, dukungan sosial, ketersediaan materi dan keyakinan positif

Kemampuan yang diharapkan pada klien isolasi sosial yaitu kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan lanjutan yang harus dikuasai untuk mengatasi isolasi sosial adalah kemampuan mengungkapkan atau menyampaikan kenangan yang menyenangkan atau yang paling berkesan yang pernah dialami didalam kelompok.

Dukungan sosial adalah dukungan untuk individu yang didapat dari keluarga, teman, kelompok atau orang-orang disekitar klien dan dukungan terbaik yang diperlukan oleh klien adalah dukungan dari keluarga. Klien dengan harga diri rendah dan isolasi sosial sangat memerlukan dukungan sosial ini karena mereka nantinya juga akan kembali ke keluarga. Kemampuan keluarga dalam mendukung klien sangat mempengaruhi perkembangan perawatan pada klien.

Ketersediaan materi antara lain yaitu akses pelayanan kesehatan, dana atau finansial yang memadai, asuransi, jaminan pelayanan kesehatan dan lain-lain. Keyakinan positif merupakan keyakinan spiritual dan gambaran positif seseorang sehingga dapat menjadi dasar dari harapan yang dapat mempertahankan koping adaptif walaupun dalam kondisi penuh stresor. Kemampuan klien dan keluarga untuk mengetahui ketersedian aset sangat diperlukan seperti pengetahuan akan jaminan pelayanan kesehatan yang

diberikan pemerintah atau bentuk pelayanan kesehatan yang diberikan di berbagai tatanan pelayanan kesehatan.

Sumber koping yang dimiliki oleh klien harga diri rendah dan isolasi sosial inilah yang menjadi perhatian khusus perawat karena dengan mengetahui sumber koping ini akan menjadi dasar dalam pemberian suatu terapi kepada klien untuk mencapai standar kemampuan yang harus dimiliki oleh klien atau keluarga. Terapi yang dapat diberikan untuk mencapai kemampuan tersebut diatas antara lain terapi generalis dan terapi spesialis yaitu terapi Reminiscence.

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 42-48)

Dokumen terkait