• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil dari Pengolahan Limbah

MANAJEMEN PENGOLAHAN LIMBAH RUMAH PEMOTONGAN HEWAN (RPH)

4.6 Hasil dari Pengolahan Limbah

Pendayagunaan limbah adalah teknik pengelolaan limbah hasil proses industri dengan cara memanfaatkan hasil produk atau hasil sampingnya dalam berbagai bentuk/cara seperti limbah di gunakan sebagai bahan baku proses produksi lain menjadi suatu produk yang bermanfaat. RPH pada umunya dalam pendayagunaan limbah cair dan limbah padatnya menggunakan cara biologi, karena diharapkan akan adanya pemanfaatan limbah cair yang dapat digunakan sebagai energi alternatif serta dihasilkannya kompos dari proses limbah padat. Proses pendayagunaan limbah cair RPH dilakukan secara biologi dengan sistem anaerobik menggunakan reaktor tipe Fixed Bed. Proses dimulai dimulai dengan pemisahan limbah padat yang kasar dengan menggunakan penyaring otomatis dengan tujuan untuk melindungi pompa dari padatan kasar yang mungkin akan menyumbat pompa. Limbah cair yang keluar dari saringan kasar dialirkan langsung menuju penampung dan selanjutnya dialirkan ke atas saringan halus. Limbah cair yang keluar dari saringan dialirankan menuju tangki pencampuran dan penyimpanan, sedangkan limbah padat yang terbuang ditampung pada tempat penampungan.

Limbah cair dari tangki penampung dialirkan dengan pompa ke dalam tangki pengendapan/sedimentasi. Endapan lumpur padatan organik dipompa ke penampung lumpur yang lebih padat Limbah cair yang sudah dipisahkan akan dialirkan ke dalam dua unit Fixed Bed reaktor pengolahan limbah cair

anaerobik melalui stasiun pompa. Fungsi pengolahan anaerobik ini adalah untuk mendegradasi bahan organik di limbah cair dan merubah bahan organik yang terdegradasi menjadi biogas. Kemudian gas yang dihasilkan oleh proses reaktor anaerobik disimpan dalam penampungan gas, pengisian gas akan dilakukan secara otomatis dengan sistim tekanan yang kemudian dialirkan untuk menjalankan generator dengan tenaga listrik kurang lebih 70 KW, diperkirakan akan dihasilkan gas sebanyak 757 m3 per hari dengan kandungan gas metana 76,5 %. Energi yang dihasilkan dalam bentuk biogas akan digunakan energi listrik untuk menjalankan keseluruhan proses pendayagunaan limbah cair dan limbah padat.

Gambar 3. Tangki pencampuran dan sedimentasi awal sebelum limbah cair dimasukkan ke reaktor anaerobik.

Biogas yang dihasilkan dari Fixed Bed digester digunakan untuk memproduksi listrik dengan menggunakan generator. Mesin tersebut berjalan bersamaan dengan jaringan listrik PLN. Kapasitas maksimum adalah 45 kW, generator di atur menjadi 35 kW pada saat tes dilakukan. Mesin yang digunakan adalah Gas Otto Engine yang hanya dijalankan menggunakan biogas tanpa menggunakan bahan baker disel.

Sedangkan untuk limbah padat yang berasal dari penampung isi rumen dimasukkan kedalam screw press untuk dikurangi airnya, kemudian padatannya dibawa oleh wheel loader menuju tempat penampungan sementara, sedangkan limbah padat yang berasal dari kandang yang berupa kotoran dan sisa pakan dikumpulkan untuk dibawa ke tempat penampung sementara.

Demikian pula dengan lumpur hasil proses limbah cair dibawa ketempat penampungan sementara dan didiamkan selama 7 hari, dari tempat penampungan sementara limbah padat tersebut dibawa ke ruang pengkomposan untuk diproses selama 35 hari dengan proses pembalikan dua kali setiap minggumya. Hasil proses pengkomposan selama kurang lebih 42 hari kemudian dibawa ke tempat penyaringan untuk dilakukan proses penyaringan sehingga dihasilkan kompos halus dan kompos kasar yang kemudian dikemas sesuai ukuran kantong dan dibawa menuju gudang kompos.

Kompos yang dihasil dari RPH diperkirakan akan menghasilkan sebanyak 7 ton per harinya dengan jumlah 70 % kompos halus dan 30 % kompos kasar. Produk yang dihasilkan berupa kompos yang berkualitas tinggi dan bernilai ekonomis, karena mengandung unsur hara yang lebih tinggi dibandingkan dengan kompos sejenisnya, bebas bibit gulma, bebas dari bahan beracun dan berbahaya, tersedia dalam berbagai ukuran dan siap pakai.

Bilamana lumpur limbah tidak dapat dimanfaatkan untuk membuat kompos, maka lumpur yang dipadatkan dikembalikan ketempat pengeringan Lumpur, sedangkan air rembesan dialirkan kembali ke tangki air limbah didepan. Pengolahan limbah padat menjadi kompos menggunakan sistem Open Windraw, pada minggu pertama dilakukan pengumpulan dan proses pembusukan pendahuluan di interim store . Setelah 6 (enam) sampai 7 (tujuh) minggu dalam proses pengomposan dengan penambahan sludge dari proses pengolahan limbah cair, kompos dapat dianggap sudah matang. Hasil kompos yang telah matang kemudian disaring dengan saringan 10, 15 dan 25 mm. Selama proses pengomposan dilakukan pembalikan 2(dua) kali dalam semimggu, selain itu temperature akan naik mencapai 60 oC dan waktu tinggal temperature yang agak lama akan menginaktifkan bakteri pathogen, parasit dan mematikan bibit rumput. Hasil produksi pupuk dari pengolahan limbah padat adalah 744 ton/tahun.

4.10 Digester (bio reaktor)

Bahan yang dapat digunakan untuk membuat digester, alat atau bejana pembuat dan penampung biogas, juga tidak perlu dari bahan yang mahal atau sukar untuk didapatkannya. Drum bekas asal masih kuat, merupakan bahan yang paling umum dipergunakan. Digester bentuk bejana dari tembok juga sering digunakan untuk proses pembuatan biogas yang lebih besar kapasitasnya. Bahan plastik juga bias dijadikan digester tapi sebaiknya memakai plastik polyotilen. Bahan-bahan yang lain juga bisa dipakai asal kedap udara.

Membuat biogas bukan semata-mata tergantung kepada bahan yang dipergunakan, kepada alat atau bejana yang digunakan, tetapi juga masih ada faktor-faktor lain yang menyertainya, yang langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap hasil.

Misalnya kita sudah memasukkan bahan-bahan yang diperlukan dalam bejana pembuat yang disertai dengan starter yang dibutuhkan. Tetapi ternyata beberapa hari kemudian, tekanan bejana penampung hasil tidak naik-naik. Kalau hal ini terjadi ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama bejana penampung hasil bocor, hingga secepatnya harus dicari dan ditambal atau proses pembuatan biogas tidak berjalan.

Berikut adalah gambar rangkaian alat penghasil biogas yang lebih modern.

Gambar 4 Rangkaian Alat Pembuatan Biogas Modern Keamanan

Biogas merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan sangat tinggi dan cepat daya nyalanya. Karenanya sejak biogas berada pada bejana pembuatnya sampai digunakan untuk penerangan ataupun memasak, harus selalu dihindari kehadirannya dari api yang dapat menyebabkan kebakaran atau ledakan. Hal ini berhubungan dengan kemungkinan terjadinya kebocoran pada peralatan yang tidak diketahui.

Sifat cepat menyala biogas, juga merupakan masalah tersendiri. Artinya dari segi keselamatan pengguna. Sehingga tempat pembuatan atau penampungan biogas harus selalu berada jauh dari sumber api yang kemungkinan dapat menyebabkan ledakan kalau tekanannya besar. Untuk mengatasi masalah ini, sebaiknya setiap digester atau penampung gas metan dilengkapi dengan pengukur tekanan sehingga dapat memperkecil resiko terjadinya kecelakaan atau ledakan.

Biogas dapat dipergunakan dengan cara yang sama seperti gas-gas mudah terbakar yang lain. Pembakaran biogas dilakukan dengan mencampurnya dengan sebagian oksigen (O2). Namun demikian, untuk mendapatkan hasil pembakaran yangoptimal, perlu dilakukan pra kondisi sebelum biogas dibakar yaitu melalui proses pemurnian /penyaringan karena biogas mengandung beberapa gas lain yang tidakmenguntungkan. Sebagai salah satu contoh, kandungan gas hidrogen sulfida yang tinggi dalam biogas, jika dicampur dengan oksigen dengan perbandingan 1:20, makaakan menghasilkan gas yang sangat

mudah meledak. Tetapi sejauh ini belum pernah dilaporkan terjadinya ledakan pada sistem biogas sederhana.

Limbah Biogas

Limbah biogas, yaitu kotoran Rumah Potong Hewan yang telah hilang gasnya (slurry) merupakan pupuk organik yang sangat kaya akan unsur-unsur yang dibutuhkan olehtanaman. Bahkan, unsur-unsur tertentu seperti protein, selulose, lignin, dan lain-lain tidak bisa digantikan oleh pupuk kimia. Bahan pembuat biogas juga merupakan bahan organik berkandungan nitrogen tinggi. Selama proses pembuatan kompos yang akan keluar dan tergunakan adalah unsur-unsur C, H, dan 0 dalam bentuk CH4 dan CO2. Karenanya nitrogen yang ada akan tetap bertahan dalam sisa bahan, kelak menjadi sumber pupuk organik.

Pupuk organik yang dihasilkan dari memiliki kualitas yang baik, yang merupakan sisa proses fermentasi untuk mendapatkan biogas, dikarenakan bakteri patogen dan biji tanaman gulma dalam kotoran Rumah Potong Hewan menjadi mati selama proses fermentasi, dan pupuk kandang tersebut langsung dapat digunakan sebagai pupuk terhadap tanaman.

Kandungan zat organik yang tinggi di dalam limbah cair RPH adalah bahan pencemar yang dapat menimbulkan bahaya bagi kehidupan biota perairan dan kehidupan manusia.

Kesimpulan

1. Limbah Rumah Potong Hewan dapat mencemari lingkungan dan menimbulkan wabah penyakit apabila tidak ditangani dengan baik dan benar.

2. Perlu dibangun sistem pengolahan limbah Rumah Potong Hewan.

3. Penanganan limbah Rumah Potong Hewan perlu dibuat Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).

4. Penanganan limbah Rumah Potong Hewan dengan menggunakan teknologi tepat guna, akan menghasilkan biogas dan pupuk organic.

5. Biogas dapat dipergunakan untuk pembangkit listri dan untuk keperluan dapur.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kebutuhan Rumah Potong Hewan yang representative dan Higienis, merupakan kebutuhan yang mendesak dan tidak boleh dituinda-tunda. Hal ini disebabkan kebutuhan masyarakat terhadap daging semakin hari semakin meningkat. Penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (bagi masyarakat penganut agama Islam) adalah hal pokok yang menjadi tuntutan masyarakat. Pengelolaan penyediaan daging sebagaimana yang dibutuhkan oleh masyarakat tersebut merupakan tugas yang harus dipenuhi oleh Pemerintah, baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota.

Penyediaan daging yang sesuai dengan permintaan masyarakat dapat diwujudkan salah satunya dengan pengelolaan yang tepat terhadap Rumah Potong Hewan. Rumah Potong Hewan atau yang biasa dikenal dengan sebutan RPH (sesuai penjelasan Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan) adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan beserta peralatannya dengan desain yang memenuhi persyaratan sebagai tempat menyembelih hewan, antara lain sapi, kerbau, kambing, domba, babi dan unggas bagi konsumsi masyarakat.

Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner menyebutkan bahwa:

(1) Setiap hewan potong yang akan dipotong harus sehat dan diperiksa kesehatannya oleh petugas pemeriksa yang berwenang.

(2) Jenis-jenis hewan potong ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.

(3) Pemotongan hewan potong harus dilaksanakan di Rumah Pemotongan

Hewan atau tempat pemotongan hewan lainnya yang ditunjuk oleh pejabat

yang berwenang.

(4) Pemotongan hewan potong untuk keperluan keluarga, upacara adat dan keagamaan serta penyembelihan hewan potong secara darurat dapat dilaksanakan menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Pasal ini, dengan mendapat izin terlebih dahulu dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan atau pejabat yang ditunjuk.

(5) Syarat-syarat rumah pemotongan hewan, pekerja, pelaksanaan pemotongan, dan cara pemeriksaan kesehatan dan pemotongan harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri.

Ketentuan Pasal 2 ayat (3) di atas mengatur bahwa pemotongan hewan harus dilakukan di RPH. Berkenaan dengan hal tersebut, maka proses produksi daging di RPH harus memenuhi persyaratan teknis, baik fisik, sumber daya manusia maupun prosedur pelaksaannya.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan kesehatan hewan mengamanatkan dalam Pasal 61, Pasal 62 dan Pasal 63 sebagai berikut:

Pasal 61

(1) Pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan harus: a. dilakukan di rumah potong; dan

b. mengikuti cara penyembelihan yang memenuhi kaidah kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan.

(2) Dalam rangka menjamin ketenteraman batin masyarakat, pemotongan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memerhatikan kaidah agama dan unsur kepercayaan yang dianut masyarakat.

(3) Menteri menetapkan persyaratan rumah potong dan tata cara pemotonga n hewan yang baik.

(4) Ketentuan mengenai pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan bagi pemotongan untuk kepentingan hari besar keagamaan, upacara adat, dan pemotongan darurat.

Pasal 62

(1) Pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki rumah potong hewan yang memenuhi persyaratan teknis.

(2) Rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan oleh setiap orang setelah memiliki izin usaha dari bupati/walikota.

(3) Usaha rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan di bawah pengawasan dokter hewan berwenang di bidang pengawasan kesehatan masyarakat veteriner.

Pasal 63

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya wajib menyelenggarakan penjaminan higiene dan sanitasi.

(2) Untuk mewujudkan higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan:

a. pengawasan, inspeksi, dan audit terhadap tempat produksi, rumah pemotongan hewan, tempat pemerahan, tempat penyimpanan, tempat pengolahan, dan tempat penjualan atau penjajaan serta alat dan rnesin produk hewan;

b. surveilans terhadap residu obat hewan, cemaran mikroba, dan/atau cemaran kimia; dan

c. pembinaan terhadap orang yang terlibat secara langsung dengan aktivitas tersebut.

(3) Kegiatan higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter hewan berwenang di bidang kesehatan masyarakat veteriner.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Potong Hewan Diatur Dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 13/Permentan/Ot.140/1/2010 Tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia Dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plant) Bab II Persyaratan Rumah Potong Hewan Bagian Kesatu Persyaratan Teknis RPH mengamanatkan sebagai berikut:

Pasal 4

RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal, serta berfungsi sebagai sarana untuk melaksanakan:

a. pemotongan hewan secara benar, (sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama);

b. pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (ante-mortem inspection) dan pemeriksaan karkas, dan jeroan (post-mortem inspektion) untuk mencegah penularan penyakit zoonotik ke manusia;

c. pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditemukan pada pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan post-mortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis di daerah asal hewan.

Pasal 5

(1) Untuk mendirikan rumah potong wajib memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.

(2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan peraturan perundangan.

(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. lokasi;

b. sarana pendukung;

c. konstruksi dasar dan disain bangunan; d. peralatan.

Bagian Keempat Persyaratan Tata Letak, Disain, dan Konstruksi Pasal 8 (1) Kompleks RPH harus dipagar, dan harus memiliki pintu yang terpisah

untuk masuknya hewan potong dengan keluarnya karkas, dan daging (2) Bangunan dan tata letak dalam kompleks RPH paling kurang meliputi:

a. bangunan utama;

b. area penurunan hewan (unloading sapi) dan kandang penampungan/kandang istirahat hewan;

c. kandang penampungan khusus ternak ruminansia betina produktif; d. kandang isolasi;

e. ruang pelayuan berpendingin (chilling room); f. area pemuatan (loading) karkas/daging;

h. kantin dan mushola;

i. ruang istirahat karyawan dan tempat penyimpanan barang pribadi (locker)/ruang ganti pakaian;

j. kamar mandi dan WC;

k. fasilitas pemusnahan bangkai dan/atau produk yang tidak dapat dimanfaatkan atau insinerator;

l. sarana penanganan limbah; m. rumah jaga.

(3) Dalam kompleks RPH yang menghasilkan produk akhir daging segar dingin (chilled) atau beku (frozen) harus dilengkapi dengan:

a. ruang pelepasan daging (deboning room) dan pemotongan daging

(cutting room);

b. ruang pengemasan daging (wrapping and packing); c. fasilitas chiller;

d. fasilitas freezer dan blast freezer; e. gudang dingin (cold storage)

(4) RPH berorientasi ekspor dilengkapi dengan laboratorium sederhana. Pasal 9

(1) Bangunan utama RPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a harus memiliki daerah kotor yang terpisah secara fisik dari daerah bersih.

(2) Daerah kotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. area pemingsanan atau perebahan hewan, area pemotongan dan area pengeluaran darah;

b. area penyelesaian proses penyembelihan (pemisahan kepala, keempat kaki sampai metatarsus dan metakarpus, pengulitan, pengeluaran isi dada dan isi perut);

c. ruang untuk jeroan hijau; d. ruang untuk jeroan merah; e. ruang untuk kepala dan kaki; f. ruang untuk kulit; dan

g. pengeluaran (loading) jeroan.

(3) Daerah bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi area untuk: a. pemeriksaan post-mortem;

b. penimbangan karkas;

c. pengeluaran (loading) karkas/daging. Pasal 10

Disain dan konstruksi dasar seluruh bangunan dan peralatan RPH harus dapat memfasilitasi penerapan cara produksi yang baik dan mencegah terjadinya kontaminasi.

Pasal 11

a. tata ruang didisain sedemikian rupa agar searah dengan alur proses serta memiliki ruang yang cukup, sehingga seluruh kegiatan pemotongan hewan dapat berjalan baik dan higienis, dan besarnya ruangan disesuaikan dengan kapasitas pemotongan;

b. adanya pemisahan ruangan yang jelas secara fisik antara “daerah bersih” dan “daerah kotor”;

c. memiliki area dan fasilitas khusus untuk melaksanakan pemeriksaan

postmortem;

d. lampu penerangan harus mempunyai pelindung, mudah dibersihkan dan mempunyai intensitas cahaya 540 luks untuk area pemeriksaan

post-mortem, dan 220 luks untuk area pengerjaan proses pemotongan;

e. dinding bagian dalam berwarna terang dan paling kurang setinggi 3 meter terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik, tahan terhadap benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas;

f. dinding bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang memungkinkan dipakai sebagai tempat untuk meletakkan barang;

g. lantai terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah korosif, tidak licin, tidak toksik, mudah dibersihkan dan didesinfeksi dan landai ke arah saluran pembuangan;

h. permukaan lantai harus rata, tidak bergelombang, tidak ada celah atau lubang, jika lantai terbuat dari ubin, maka jarak antar ubin diatur sedekat mungkin dan celah antar ubin harus ditutup dengan bahan kedap air;

i. lubang ke arah saluran pembuangan pada permukaan lantai dilengkapi dengan penyaring;

j. sudut pertemuan antara dinding dan lantai harus berbentuk lengkung dengan jari-jari sekitar 75 mm;

k. sudut pertemuan antara dinding dan dinding harus berbentuk lengkung dengan jari-jari sekitar 25 mm;

l. di daerah pemotongan dan pengeluaran darah harus didisain agar darah dapat tertampung;

m. langit-langit didisain agar tidak terjadi akumulasi kotoran dan kondensasi dalam ruangan, harus berwarna terang, terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah mengelupas, kuat, mudah dibersihkan, tidak ada lubang atau celah terbuka pada langit-langit;

n. ventilasi pintu dan jendela harus dilengkapi dengan kawat kasa untuk mencegah masuknya serangga atau dengan menggunakan metode pencegahan serangga lainnya;

o. konstruksi bangunan harus dirancang sedemikian rupa sehingga mencegah tikus atau rodensia, serangga dan burung masuk dan bersarang dalam bangunan;

p. pertukaran udara dalam bangunan harus baik;

q. kusen pintu dan jendela, serta bahan daun pintu dan jendela tidak terbuat dari kayu, dibuat dari bahan yang tidak mudah korosif, kedap air, tahan benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi dan bagian bawahnya

harus dapat menahan agar tikus/rodensia tidak dapat masuk;

r. kusen pintu dan jendela bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang memungkinkan dipakai sebagai tempat untuk meletakkan barang.

Pasal 12

(1) Area penurunan (unloading) ruminansia harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. dilengkapi dengan fasilitas untuk menurunkan ternak (unloading) dari atas kendaraan angkut ternak yang didisain sedemikian rupa sehingga ternak tidak cedera akibat melompat atau tergelincir;

b. ketinggian tempat penurunan/penaikan sapi harus disesuaikan dengan ketinggian kendaraan angkut hewan;

c. lantai sejak dari tempat penurunan hewan sampai kandang penampungan harus tidak licin dan dapat meminimalisasi terjadinya kecelakaan;

d. harus memenuhi aspek kesejahteraan hewan.

(2) Kandang penampung dan istirahat hewan harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:

a. bangunan kandang penampungan sementara atau kandang istirahat paling kurang berjarak 10 meter dari bangunan utama;

b. memiliki daya tampung 1,5 kali dari rata-rata jumlah pemotongan hewan setiap hari;

c. ventilasi (pertukaran udara) dan penerangan harus baik;

d. tersedia tempat air minum untuk hewan potong yang didisain landai ke arah saluran pembuangan sehingga mudah dibersihkan;

e. lantai terbuat dari bahan yang kuat (tahan terhadap benturan keras), kedap air, tidak licin dan landai ke arah saluran pembuangan serta mudah dibersihkan dan didesinfeksi;

f. saluran pembuangan didisain sehingga aliran pembuangan dapat mengalir lancar;

g. atap terbuat dari bahan yang kuat, tidak toksik dan dapat melindungi hewan dengan baik dari panas dan hujan;

h. terdapat jalur penggiringan hewan (gang way) dari kandang menuju tempat penyembelihan, dilengkapi dengan pagar yang kuat di kedua sisinya dan lebarnya hanya cukup untuk satu ekor sehingga hewan tidak dapat kembali ke kandang;

i. jalur penggiringan hewan yang berhubungan langsung dengan bangunan utama didisain sehingga tidak terjadi kontras warna dan cahaya yang dapat menyebabkan hewan yang akan dipotong menjadi stres dan takut.

Pasal 14

Kandang isolasi harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut: a. terletak pada jarak terjauh dari kandang penampung dan bangunan utama,

b. memiliki ventilasi dan penerangan yang baik;

c. dilengkapi dengan tempat air minum yang didisain landai ke arah saluran pembuangan sehingga mudah dibersihkan;

d. lantai terbuat dari bahan yang kuat (tahan terhadap benturan keras), kedap air, tidak licin dan landai ke arah saluran pembuangan serta mudah dibersihkan dan didesinfeksi;

e. saluran pembuangan didisain sehingga aliran pembuangan dapat mengalir lancar;

f. atap terbuat dari bahan yang kuat, tidak toksik dan dapat melindungi hewan dengan baik dari panas dan hujan.

Pasal 15

Ruang pendingin/pelayuan (chilling room) harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:

a. ruang pendingin/pelayuan terletak di daerah bersih;

b. besarnya ruang disesuaikan dengan jumlah karkas yang dihasilkan dengan mempertimbangkan jarak antar karkas paling kurang 10 cm, jarak antara karkas dengan dinding paling kurang 30 cm, jarak antara karkas dengan lantai paling kurang 50 cm, dan jarak antar baris paling kurang 1 meter; c. konstruksi bangunan harus memenuhi persyaratan:

1. tinggi dinding pada tempat proses pemotongan dan pengerjaan karkas minimal 3 meter;

2. dinding bagian dalam berwarna terang, terbuat dari bahan yang kedap air, memiliki insulasi yang baik, tidak mudah korosif, tidak toksik, tahan terhadap benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas;

3. lantai terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik, tahan terhadap benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas;

Dokumen terkait