• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR. Karawang 1 Agustus 2016 Pramusaji. (Drs.H.M.Solihin)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KATA PENGANTAR. Karawang 1 Agustus 2016 Pramusaji. (Drs.H.M.Solihin)"

Copied!
310
0
0

Teks penuh

(1)

KATA PENGANTAR

Proposan Perluasan dan Pembangunan Rumah Potong Hewan Pasar Cikampek, mengurai tentang pentingnya Pemerintah darah kabupaten Karawang memiliki Rumah Potong Hewan yang Representative dan Higienis.

Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan kesehatan hewan menyebutkan bahwa: Pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki rumah potong hewan yang memenuhi persyaratan teknis.

Pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner menyebutkan bahwa:

Pemotongan hewan potong harus dilaksanakan di Rumah Pemotongan Hewan atau tempat pemotongan hewan lainnya yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang.

Semua persyaratan teknis, Administrasi, keuangan dan sekaligus penanganan limbah Rumah Potong Hewanm digambarkan secara detail dalam proposal ini. Hal ini dimaksudkan agar mudah difahami dan diaplikasikan.

Kebutuhan hadirnya Rumah Potong Hewan yang Representativ dan Higienis, bukan saja kebutuhan pedagang daging Pasar Cikampek saja, melainkan merupakan kebutuhan hajat hidup orang banyak.

Semoga kehadiran Proposal ini, dapat membuka mata dan telinga kita, tentang eksistensi Rumah Potong Hewan yang ada, guna menuju perbaikan dimasa mendatang. Hanya Kepa Allah kami memohon pertolongan.

Karawang 1 Agustus 2016 Pramusaji

(2)

DAFTAR ISI

NO Uraian

Halaman

1. Bab I Pendahuluan

Berisi Gambaran Umum Rumah Potong Hewan (RPH) di Kabupaten Karawang, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Pembuatan Proposan, Biaya yang diperlukan, manfaat yang diperoleh dan sistematika penulisan.

1-13

2. Bab II Kajian Tioritis 14-29

Berisi Kajian Teoritis pembangunan Rumah Potong Hewan, persyaratan lokasi, persyaratan fisik bangunan, bangunan penunjang dan lainnya.

3. Bab III Standarisasi Manajemen Rumah Potong Hewan 30-61 Berisi Peran dan Fungsi Rumah Potong Hewan, Design Tata

Ruang Rumah Potong Hewan, Standarisasi Rumah Potong Hewan, Analisis Lingkungan Rumah Potong Hewan, Analisis Pasar dan Pemasaran, Analisis Financial dan Analisis Sosial ekonomi.

4. Bab IV Manajemen Pengolahan limbah Rumah Potong Hewan

62-110 Berisi tentang penanganan limbah Rumah Potong Hewan,

dampak limbah Rumah Potong Hewan dan Solusi pemanfaatannya.

5. Bab V Penutup

Berisi Kesimpulan dan Saran 111-125

6. Daftar Pustaka 126-132

7. Lampiran-Lampiran 133-293

7.1 Undang-undang republik Indonesia Nomor 18 tahun 2009 TentangPeternakan dan kesehatan hewan

133-186 7.2 Peraturan pemerintah republik Indonesia Nomor 95 tahun

2012012 Tentang Kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan

187-212

7.3 Peraturan menteri pertanian Nomor: 381/kpts/ot.140/10/2005 Tentang pedoman sertifikasi kontrol veteriner Unit usaha pangan asal hewan

213-225

7.4 Peraturan pemerintah republik indonesia

Nomor 22 tahun 1983 Tentang Kesehatan masyarakat veteriner

226-241

7.5 peraturan menteri pertanian republik Indonesia nomor 13/permentan/ot.140/1/2010 tentang persyaratan rumah potong hewan ruminansia dan unit penanganan daging

(3)

(meat cutting plant)

7.6 Peraturan menteri Perdagangan Nomor 41 tahun 2015 tentang Ketentuan Ekpor dan Impor Hewan

274-279 7.7 Peraturan menteri negara lingkungan hidup Nomor 02 tahun

2006 Tentang Baku mutu air limbah Bagi kegiatan rumah pemotongan hewan

280-289

7.8 Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 699 Tahun 2013 Tentang Stabilisasi harga Daging Sapi

290-293 7.9 Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 49 Tahun 2015

Tentang Rumah Potong Hewan Ruminansi

(4)
(5)

PROPOSAL

PERLUASAN PEMBANGUNAN RUMAH POTONG HEWAN (RPH) PASAR CIKAMPEK

GAMBARAN UMUM

KONDISI RUMAH POTONG HEWAN DI KABUPATEN KARAWANG

Pedagang Daging di Karawang Keluhkan RPH

Karawang, Aktual.com – Sejumlah pedagang daging sapi di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, berharap agar pemerintah daerah setempat memperbaiki kondisi rumah pemotongan hewan.

“Kondisi rumah pemotongan hewan yang ada saat ini tidak layak untuk disebut rumah pemotongan, karena sangat minim fasilitas,” kata Endang, salah seorang pedagang daging sapi Pasar Baru, di Karawang, Jumat.

(6)

Ia mengaku selama ini para pedagang daging lebih memilih memotong sapi dengan menggunakan jasa tukang potong atau tukang jagal dibandingkan di rumah pemotongan hewan.

Selain fasilitasnya minim, jasa pemotongan hewan di rumah pemotongan hewan tersebut juga tidak bisa cepat. Padahal pedagang butuh pelayanan cepat di rumah pemotongan hewan itu.

Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Perkebunan Kehutanan dan Peternakan Karawang Kadarisman menyatakan tiga rumah pemotongan hewan yang ada belum berfungsi dengan baik dan perlu dikembangkan.

“Kondisi rumah pemotongan hewan yang saat ini masih minim fasilitasnya. Jadi perlu dikembangkan,” kata dia.

Ia mengatakan, ada tiga unit rumah pemotongan hewan atau Rumah Potong Hewan (RPH) yang ada di Karawang. Masing-masing Rumah Potong Hewan (RPH) itu berada di Kecamatan Cikampek, Karawang Timur dan wilayah Rengasdengklok.

Tiga unit RPH yang tersebar di tiga kecamatan tersebut diakuinya belum memiliki fasilitas yang layak. Sehingga perlu pengembangan, agar mampu melayani pemotongan hewan dalam jumlah yang banyak.

Dalam sehari, rata-rata hanya tujuh sampai delapan ekor sapi yang dipotong di masing-masing Rumah Potong Hewan (RPH) sekitar Karawang.

Kondisi Rumah Potong Hewan (RPH) saat ini banyak yang tidak layak. Karena itu secepatnya fasilitas ini akan ditingkaktkan sehingga menjadi Rumah Potong Hewan modern. Sehingga masyarakat juga bisa memanfaatkannya.

Hal itu diungkapkan Kepala Dinas Pertanian Perkebunan Kehutanan dan Peternakan (Distanhutnak) Karawang Kadarisman, Kamis (18/2). “Dari 3 Rumah Potong Hewan yang kita miliki memang semuanya dalam kondisi yang tidak layak sebagai RPH modern. Makanya kedepan kita akan membenahi agar masyarakat juga bisa memanfaatkannya,” katanya.

Kondisi Rumah Potong Hewan di Karawang, kata dia, memang banyak dikeluhkan oleh masyarakat karena fasilitasnya sangat minim. Kondisi ini

(7)

membuat RPH yang ada tersebut kurang diminati sehingga masyarakat lebih memilih menggunakan jasa tukang jagal atau yang biasa memotong hewan. Menurut Kadarisman, Pemkab Karawang memiliki 3 unit Rumah Potong Hewan yang ada di Kecamatan Cikampek, Karawang Timur dan Rengas Dengklok. Dari ketiga Rumah Potong Hewan tersebut seluruhnya memiliki fasilitas yang minim. Dengan fasilitas yang minim membuat para pedagang sapi potong tidak mau datang dan mereka memilih tempat lain. “RPH yang di Cikampek dan Karawang Timur paling hanya memotong 6 ekor sapi. Sedangkan yang di Rengasdengklok lebih parah lagi paling hanya memotong dua ekor saja setiap harinya. Jumlah ini sangat minim sekali makanya kita akan segera memperbaiki agar jumlah hewan yang dipotong lebih banyak lagi,” katanya.

Menurut Kadarisman salah satu penyebab Rumah Potong Hewan ini sepi karena memang fasilitas yang dimiliki sangat minim. Oleh karena itu pihak dinas pertanian akan segera memperbaiki fasilitas RPH yang ada di Karawang. “Seluruh RPH akan kita perbaiki fasilitasnya dan yang kurang akan kita lengkapi sesuai dengan standar modern. Diharapkan dengan adanya penambahan fasilitas nantinya bisa lebih maksimal melayani masyarakat,” katanya.

Sementara itu salah seorang pedagang daging sapi di Pasar Baru Karawang, Endang, mengaku selama ini lebih memilih memotong sapi menggunakan jasa tukang potong. Menurutnya, Rumah Potong Hewan yang ada di Karawang tidak layak untuk disebut rumah pemotongan. Selain itu biaya pemotongan lebih mahal dibandingkan dengan pelayanan yang diharapkan pedagang. “Harusnya Rumah Potong Hewan itu bisa melayani sesuai dengan harapan para pedagang yaitu melayani lebih cepat. Selain itu juga harganya jangan terlalu mahal hingga pedagang mau ke Rumah Potong Hewan,” kata Endang.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang sehat dan sejahtera, mendorong adanya tuntutan akan kebutuhan pangan yang sempurna, mencakup didalamnya komposisi gizi yang seimbang antara karbohidrat sebagai sumber energi, dan protein sebagai zat sumber pertumbuhan badan. Kebutuhan protein nabati dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi bahan pangan dari tumbuh-tumbuhan sedang konsumsi protein hewani diperoleh dari hewan ternak yang dipelihara dengan sehat.

Permintaan masyarakat terhadap daging yang sehat khusunya daging sapi sebagai sumber utama protein hewani terus meningkat, hal ini menyebabkan

(8)

intensitas pemotongan juga meningkat, oleh karena itu keberadaan Rumah Pemotongan Hewan sangat diperlukan, yang dalam pelaksanaannya harus dapat menjaga kualitas, baik dari tingkat kebersihannya, kesehatannya, ataupun kehalalan daging untuk dikonsumsi. Berdasarkan hal tersebut maka pemerintah mendirikan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di berbagai daerah seluruh Indonesia.

Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim yang dapat mengurai/memecah beberapa komponen gizi (protein, lemak) yang akhirnya menyebabkan pembusukan daging. Oleh sebab itu, daging dikategorikan sebagai pangan yang mudah rusak (perishable food).

Salah satu tahap yang sangat menentukan kualitas dan keamanan daging dalam mata rantai penyediaan daging adalah tahap di Rumah Pemotongan Hewan (RPH). Di Rumah Pemotongan Hewan ini hewan disembelih dan terjadi perubahan (konversi) dari otot (hewan hidup) ke daging, serta dapat terjadi pencemaran mikroorganisme terhadap daging, terutama pada tahap eviserasi (pengeluaran jeroan). Penanganan hewan dan daging di Rumah Pemotongan Hewan yang kurang baik dan tidak higienis akan berdampak terhadap kehalalan, mutu dan keamanan daging yang dihasilkan. Oleh sebab itu, penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan di Rumah Pemotongan Hewan sangatlah penting, atau dapat dikatakan pula sebagai penerapan sistem produk safety Rumah Pemotongan Hewan. Aspek yang perlu diperhatikan dalam sistem tersebut adalah higiene, sanitasi, kehalalan, dan kesehatan hewan.

Dilihat dari mata rantai penyediaan daging di Indonesia, maka salah satu tahapan terpenting adalah penyembelihan hewan di RPH. Rumah pemotongan hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan disain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratatn teknis dan higiene tertentu, yang digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat. Peraturan perundangan yang berkaitan persyaratan Rumah Pemotongan Hewan di Indonesia telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang Syarat-Syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan.

Rumah Potong Hewan adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan disain tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan selain unggas bagi konsumsi masyarakat luas (Manual Kesmavet, 1993).

Dari uraian tersebut diatas, di Kabupaten Karawang diperlukan sarana untuk pelayanan kepada masyarakat baik di dalam maupun di luar Kabupaten Karawang dalam penyediaan daging sehat yang sesuai dengan perkembangan yang terjadi.

(9)

Untuk menanggapi potensi luar biasa tersebut diperlukan adanya Rumah Pemotongan Hewan yang representatif, sehingga demikian perlu perencanaan tentang Rumah Pemotongan Hewan di Cikampek yang lebih menekankan pada fungsi proses produksi sehingga tercipta keefektifan di lokasi tersebut, dengan ketentuan tentang persyaratan Rumah Pemotongan Hewan yang sesuai dengan keputusan pemerintah yang berlaku.

Rumah Potong Hewan adalah suatu komplek bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat pemotongan hewan bagi konsumsi masyarakat luas. Rumah Pemotongan Hewan Pasar Cikampek Kabupaten Karawang memiliki konsep terpadu dimana RPH tidak hanya memberikan pelayanan pemotongan berbagai macam jenis ternak seperti sapi, kerbau, kambing, domba dan unggas tetapi juga RPH dilengkapi dengan kandang-kandang penampungan, pasar hewan, klinik, meat shop dan unit pengolahan ayam ungkep, koasistensi/ magang/ penelitian/ study banding pelajar, mahasiswa dan instansi (pemerintah maupun swasta) serta menjadi kawasan eduagrowisata sehingga pelayanan yang diberikan sangat lengkap dari hulu ke hilir atau one stop shopping. RPH Terpadu Pasar Cikampek yang berdiri di atas lahan 7.000 M2 diharapkan dapat menjadi RPH percontohan di Karawang.

Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Cikampek, merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) yang berada dibawah naungan Dinas Pertanian Kabupaten Karawang. Rumah Pemotongan Hewan sebagai unit pelayanan publik memiliki fungsi teknis, ekonomis dan sosial dimana dalam pelaksanaanya mengacu pada Visi dan Misi Bupati Karawang. Dari aspek sosial RPH memberikan ketentraman batin kepada masyarakat dari kemungkinan penularan penyakit Zoonosis dan penyakit atau keracunan makanan (Food Born Disease dan Food Born Intoxication) melalui penyediaan daging yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH).

Daging merupakan salah satu bahan makanan yang hampir sempurna, karena mengandung gizi yang lengkap dan dibutuhkan oleh tubuh, yaitu protein hewani, energi, air, mineral dan vitamin (Soeparno, 2005). Kebutuhan daging sapi di Indonesia sangat tinggi, Rumah Potong Hewan sangat berperan pada penyediaan konsumsi daging di pasaran. Rumah Potong Hewan (RPH) merupakan bangunan yang di desain dengan kontruksi khusus untuk memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu serta digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat (Anonim, 1999). Untuk memperoleh kualitas daging yang baik dan ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal) maka perlu diterapkan sistem pengawasan terhadap hewan potong di RPH dengan baik serta ditunjang dengan sarana dan prasana baik yang mendukung.

(10)

Daging merupakan bahan pangan asal ternak yang dibutuhkan oleh manusia karena memiliki nilai gizi yang tinggi dan mengandung asam amino esensial yang diperlukan untuk pertumbuhan sel- sel baru, pergantian sel-sel rusak serta diperlukan bagi metabolisme tubuh. Untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan bagi masyarakat, daging harus memenuhi aspek kuantitatif, aspek kualitatif (nilai gizi), aspek kesehatan (syarat-syarat hygiene) dan aspek kehalalan, sehingga diperoleh produk yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH). Mengingat beberapa permasalahan tersebut diatas maka setiap kegiatan yang bergerak dan berhubungan dengan penanganan daging harus dilaksanakan dengan memenuhi persaratan kesehatan masyarakat veteriner. Sehingga masyarakat konsumen daging akan dapat memperoleh manfaat dan nilai kelebihan akan gizinya serta sekaligus dapat terhindar dari penularan penyakit zoonosis..

Sebagai sarana pelayanan terhadap masyarakat, khususnya jasa pelayanan pemotongan dan pemeriksaan kesehatan hewan dan daging, RPH Kabupaten Karawangberfungsi pula sebagai unit penghasil pendapatan asli daerah (PAD). Untuk dapat meningkatkan PAD RPH Kabupaten Karawang, selain tempat pelayanan yang memadai dituntut pula jasa pelayanan yang prima dan profesional dari aparatur.

Rumah Potong Hewan secara garis besar mempunyai bangunan utama dan bangunan pendukung. Bangunan utama merupakan ruangan yang secara langsung menangani hewan potong dari proses pengistirahatan hewan potong sampai proses pembagian karkas dan siap untuk dipasarkan, sedangkan bangunan pendukung merupakan kantor administrasi yang mempunyai tugas untuk mendata hewan yang masuk dan karkas yang diedarkan.

Rumah Pemotongan Hewan Terpadu Pasar Cikampek akan mengupayakan untuk memiliki sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia. Dimana setiap juru sembelih/modin sudah mendapat sertifikasi sehingga semua produk yang keluar dari RPH telah memenuhi aspek halal.

Selain akan mengupayakan memenuhi aspek halal, Rumah Pemotongan Hewan Pasar Cikampek Kabupaten Karawang juga sedang berupaya untuk memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV) yaitu suatu sertifikasi yang merupakan legitimasi telah dipenuhinya peryaratan higiene sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan pangan asal hewan. Rumah Potong Hewan Pasar Cikampek akan dilengkapi oleh Standar Operasional Prosedur (SOP) yang merupakan pedoman dalam melaksanakan setiap kegiatan dan telah memiliki standar pelayananan untuk memberikan jaminan kepastian bagi pengguna jasa.

(11)

pembenahan baik dibidang fisik bangunan maupun organisasi pengelola untuk memperoleh ISO 9001:2008 tentang Quality Management System for the provision of beef slaughtering service. Diharapkan RPH Terpadu dapat memberikan pelayanan yang berkualitas dengan berorientasi kepada kebutuhan dan kepuasan masyarakat.

1.2 Kerangka Pikir

Adapun alur pikir kegiatan yang menjadi landasan prosedur kegiatan ini disajikan dalam diagram alir sebagaimana terlihat pada gambar 1. 1.2.1 Variabel dan Indikator

Variabel dan indikator yang digunakan dalam studi ini dikelompokkan berdasarkan jenis analisis kelayakan yang digunakan, yaitu:

1) Analisis kelayakan pasar, dengan variabel permintaan dan penawaran saat ini dan yang akan datang, harga jual daging, target pasar, kendala pemasaran, distribusi pemasaran, daerah pemasaran dan prospek RPH.

2) Analisis kelayakan teknis, yang meliputi variabel lokasi usaha, sumber bahan baku, teknologi yang digunakan, kapasitas produksi, kebutuhan tenaga kerja, fasilitas air, fasilitas listrik, alat angkut.

3) Analisis kelayakan finansial, dengan variabel jumlah/kebutuhan investasi untuk tanah dan bangunan, mesin, peralatan dan biaya pemasangannya, serta biaya-biaya lainnya, modal kerja, biaya tetap, biaya tidak tetap, sumber pembiayaan.

4) Analisis kelayakan lingkungan meliputi aspek-aspek kedekatan dengan pemukiman penduduk, jalur transportasi, dan tempat pembuangan limbah.

(12)

1.2.2 Kebutuhan Dan Sumber Data

Data yang dibutuhkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari nara sumber yang antara terdiri dari atas

1. Pejabat Pemerintah terkait (Bupati, Dinas Pertanian, BAPPEDA, dll), untuk mengetahui kebijakan yang diambil dalam pendirian RPH.

2. Pengusaha/Peternak, untuk mengetahui respons dan feedback pengusaha/peternak dengan adanya rencana pendirian RPH tersebut.

3. Pengusaha Peralatan Pemotongan Hewan, untuk mendapatkan informasi mengenai harga peralatan dan mesin yang akan digunakan RPH.

Sedangkan data sekunder diperoleh melalui bahan publikasi yang diterbitkan oleh instansi terkait dan berhubungan langsung dengan studi ini.

1.2.3 Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data

Pembuatan Proposal ini dibagi dalam dua tahap pengumpulan data. Tahap pertama di fokuskan kepada aktivitas desk research yang meliputi telaah pustaka dan pencarian data sekunder. Tahap kedua akan memfokuskan pada pencirian data primer melalui wawancara mendalam (indepth interview) dengan nara sumber terpilih baik dari kalangan pejabat pemerintahan, pengusaha/peternak maupun masyarakat dengan metode random sampling. Adapun teknik pengolahan data didasarkan kepada aspek-aspek analisis kelayakan yang antara lain meliputi:

(13)

1) Aspek Kelayakan Pasar, dengan teknik analisis trend terhadap variable terpilih. Analisis ini memberikan arahan tentang volume permintaan dan penawaran daging sekarang dan masa yang akan datang.

2) Aspek Kelayakan Teknis, melalui teknik analisis deskriptif terhadap variabel-variabel yang telah ditentukan.

3) Aspek Kelayakan Finansial, melalui Net Present Value (NPV), Internal Rate of Returns (IRR) dan Net Benefit Cost Ratio.

4) Aspek Kelayakan Lingkungan diterapkan secara deskriptif untuk mengetahui dan mengukur kemanfaatan dan kerugian yang diprediksi akan muncul dengan adanya fasilitas pemotongan hewan di sekitar bangunan RPH.

1.2.3 Teknik Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan dalam studi ini adalah: 1) Teknik Analisis Deskriptif yang meliputi,

(1) Kecenderungan (trend) produksi; (2) Potensi pemasaran;

(3) Pendapatan per kapita masyarakat dan perkembangan penduduk; (4) Dampak lingkungan.

2) Teknik Analisis Kelayakan Teknis, yang mencakup: (1) Analisis bahan baku;

(2) Analisis sumber daya manusia;

(3) Analisis infrastruktur jalan, listrik, telepon, dll. 3) Teknik Analisis Kelayakan Finansial

(1) Teknik Analisis NPV

Teknik analisis NPV sangat bermanfaat untuk menilai kelayakan suatu proyek dengan menghitung nilai penerimaan sekarang dan yang akan datang. Penilaian proyek dilakukan dengan mengukur prospek penerimaan sekarang atas sejumlah dana dengan mempertimbangkan penerimaan di masa yang akan datang. Apabila dari hasil perhitungan, NPV bernilai positif maka rencana proyek layak untuk dilanjutkan, demikian pula sebaliknya.

(14)

(2) Teknik Analisis Internal Rate of Returns (IRR)

Tingkat hasil pengembalian internal didefinisikan sebagai suku bunga yang menyamakan nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan atau penerimaan kas, dengan pengeluaran investasi awal. Analisis IRR adalah proses penghitungan suatu tingkat discount rate yang menghasilkan NPV sama dengan 0 (nol).

Formula persamaan untuk menghitung nilai IRR adalah:

Jika IRR lebih besar daripada CoC (Cost of Capital) maka proyek tersebut layak untuk diteruskan, sedangkan apabila IRR lebih kecil atau sama dengan CoC maka proyek tersebut sebaiknya dihentikan.

(3) Teknik Analisis Net Benefit Cost Ratio

Teknik analisis Net B-C Ratio digunakan untuk membandingkan antara keuntungan bersih yang telah di discount positif dengan net benefit yang telah di discount negatif.

Rumus untuk menghitung IRR adalah:

Jika nilai Net B/C lebih besar dari 1 (satu) maka proyek tersebut layak untuk dikerjakan sebaliknya jika Net B/C kurang dari 1 (satu) berarti proyek tersebut tidak layak untuk diteruskan.

1.3 Perumusan Masalah

Dalam upaya mewujudkan Rumah Potong Hewan (RPH) yang berkelas dan mendapat ISO 9001:2008 tentang Quality Management System for the provision of beef slaughtering service, perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Perluasan Lahan dan Bangunan Rumah Potong Hewan yang ada; 2. Penambahan Perlengkapan alat-alat, sarana dan prasarana penunjang; 3. Penguatan Struktur Organisasi Pengelola Rumah Potong Hewan

4. Penguatan kesadaran dan Rasa memiliki terhadap Rumah Potong Hewan dari stakeholder.

1.4 Tujuan Pembuatan Proposal

(15)

yang Representatif, layak, bersih dan sehat, sehingga dapat menghasilakan produk daging yang bersih dan sehat. Dari Rumah Potong Hewan yang layak, bersih dan sehat akan menghasilkan:

1. Bertambahnya Pendapatan Asli Daerah dari sektor retribusi RPH 2. Bertambahnya pertumbuhan ekonomi di sektor perdagangan daging 3. Terjaminnya kesehatan daging yang diproduksi RPH

4. Kesejahteraan masyarakat bertambah baik. 1.5 Biaya yang dibutuhkan

Biaya yang dibutuhkan untuk perluasan dan pembangunan Rumah Potong Hewan Cikampek adalah sebagai berikut:

1. Biaya Perencanaan 122.850.000

2. Pembelian tanah seluas 3.800 m2 @Rp.1.200.000 4.560.000.000 3. Pembangunan Pisik Bangunan Rumah Potong Hewan

@Rp.2.000.000

6.000.000.000 4. Biaya Administrasi (DED. KAK, RKS, Dokumen

Lelang dan lainnya).

585.000.000

Jumlah 11.267.850.000

1.6 Analisis Financial

Internal Rate of Returns (IRR), Biaya yang dibutuhkan Rp.

11.267.850.000, Pendapatan yang dihasilkan Rp.12.775.000.000/tahun Net Present Value (NPV) = 1.507.150.000, angka ini menunjukan lebih besar dari 0(Nol)

Net B/C adalah perbandingan antara jumlah PV net benefit yang positif dengan jumlah PV net benefit yang negatif. Jumlah Present value positif sebagai pembilang dan jumlah present value negatif sebagai penyebut. Net B/C ini menunjukkan gambaran berapa kali lipat manfaat (benefit) yang diperoleh dari biaya (cost) yang dikeluarkan. Apabila net B/C > 1, maka proyek atau gagasan usaha yang akan didirikan layak untuk dilaksanakan. Demikian pula sebaliknya, apabila net B/C < 1, maka proyek atau gagasan usaha yang akan didirikan tidak layak untuk dilaksanakan. Net B/C ratio merupakan manfaat bersih tambahan yang diterima proyek dari setiap 1 satuan biaya yg dikeluarkan.

(16)

Diketahui:

1. Biaya Investasi Proyek Perluasan Rumah Potong Hewan Pasar Cikampek Rp. 11.267.850.000

2. Pendapatan Kotor RPH Rp. 11.862.500.000/tahun 3. Biaya Operasional RPH Rp.8.896.875.000 /tahun 4. Umur Proyek investasi 25 Tahun

5. Selisih Laba Usaha Netto Rp. 2.965.625.000/tahun x 25 Tahun = Rp. 74.140.625.000

6. Laba Usaha dikurangi modal investasi (74.140.625.000 - 12.407.850.000) = 61.732.775.000

7. Net B/C = 61.732.775.000/11.267.850.000 = 547,866%

1.6 Manfaat yang diperoleh

Dengan perluasan Rumah Potong Hewan Pasar Cikampek, secara otomatis berimbas pada besaran jumlah hewan yang dipotong di RPH tersebut. Hal ini membawa dampak:

1. Pelayanan RPH semakin memuaskan pelanggan;

2. Kualitas daging semakin baik untuk memenuhi konsumsi lokal, maupun regional, termasuk konsumen hotel, restoran, maupun perusahaan katering. 3. Mendorong peningkatan permintaan sapi dan daging sapi dengan harga

pasar yang kondusif sehingga pendapatan peternak membaik dan peternakan rakyat kecil turut berkembang.

4. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah; 5. Peningkatan Kesejahtraan Masyarakat; 6. Terpenuhinya kebutuhan daging dipasaran.

1.7 Sistimatika Penulisan 1. Bab I Pendahuluan

Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan Rumah Potong Hewan, sehingga dapat dirumuskan masalah-masalah yang menjadi kendala untuk selanjutnya dicarikan solusinya.

(17)

Bab ini membahas teori-teori dan konsep serta hasil-hasil penelitian sejenis yang sudah dilakukan.

3. Bab III Pembahasan

Bab ini membahas solusi alternative yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan

4. Bab IV Penutu

(18)

BAB II

KAJIAN TIORITIS

Salah satu tahapan proses penelitian yang harus diperhatikan oleh peneliti adalah menyusun kajian teori. Proses menyusun kajian teori merupakan proses yang sangat menentukan langkah penelitian berikutnya. Maka dari itu seorang peneliti harus memiliki perhatian yang tinggi terhadap masalah kajian teori.

Banyak peneliti yang terhenti proses penelitiannya hanya karena tidak memahami cara mendapatkan teori yang relevan dengan topik penelitiannya, atau peneliti tidak memiliki referensi yang cukup memadai untuk melengkapi tahapan kajian teorinya, sehingga dasar pijakan dalam penelitianya rapuh. Proses pemilihan teori yang relevan dengan topik penelitian merupakan proses yang memerlukan kecapakan dan strategi tertentu. Seorang peneliti akan mudah menyusun kajian teori manakala ia paham betul topik masalah yang hendak ditelitinya, kemudia ia memiliki kemampuan untuk menemukan referensi yang dibutuhkanya.

2.1 Pengertian Rumah Potong Hewan

Sebelum membahas tentang Rumah Potong Hewan terlebih dahulu di berikan pengertian tentang hewan potong . Untuk mendapatkan hewan potong yang baik diperlukan tempat khusus yang disebut Rumah Potong Hewan.

(19)

Rumah Potong Hewan yang selanjutnya disebut dengan RPH adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi konsumsi masyarakat umum. (Peraturan Menteri RI No.13/Permentan/OT.140/1/2010).

Rumah Pemotongan Hewan adalah kompleks bangunan dengan disain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu serta digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat. (SNI 01 - 6159 – 1999).

Unit Penanganan Daging (meat cutting plant) yang selanjutnya disebut dengan UPD adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan disain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat untuk melakukan pembagian karkas, pemisahan daging dari tulang, dan pemotongan daging sesuai topografi karkas untuk menghasilkan daging untuk konsumsi masyarakat umum.

2.1.1 Bangunan utama Rumah Potong Hewan terdiri dari a. Daerah kotor

Tempat pemingsanan, tempat pemotongan dan tempat pengeluaran darah. Tempat penyelesaian proses penyembelihan (pemisahan kepala, keempat kaki sampai tarsus dan karpus, pengulitan, pengeluaran isi dada dan isi perut). Ruang untuk jeroan, ruang untuk kepala dan kaki, ruang untuk kulit, tempat pemeriksaan postmortem.

b. Daerah bersih

Tempat penimbangan karkas, tempat keluar karkas, jika Rumah Pemotongan Hewan dilengkapi dengan ruang pendingin/pelayuan, ruang pembeku, ruang pembagian karkas dan pengemasan daging, maka ruang-ruang tersebut terletak di daerah bersih (SNI 01 - 6159 – 1999).

2.1.2 Bangunan utama Rumah Potong Hewan harus memenuhi persyaratan yaitu:

1. Tata ruang

Tata ruang harus didisain agar searah dengan alur proses serta memiliki ruang yang cukup sehingga seluruh kegiatan pemotongan hewan dapat berjalan baik dan higienis. Tempat pemotongan didisain sedemikian rupa sehingga pemotongan memenuhi persyaratan halal. Besar ruangan disesuaikan dengan kapasitas pemotongan. Adanya pemisahan ruangan yang jelas secara fisik antara “daerah bersih” dan “daerah kotor”. Di daerah pemotongan dan pengeluaran darah harus didisain agar darah dapat tertampung.

(20)

2. Dinding

Tinggi dinding pada tempat proses pemotongan dan pengerjaan karkas minimum meter. Dinding bagian dalam berwarna terang dan minimum setinggi 2 meter terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik, tahan terhadap benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas.

3. Lantai

Lantai terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah korosif, tidak licin, tidak toksik, mudah dibersihkan dan didesinfeksi dan landai ke arah saluran pembuangan. Permukaan lantai harus rata, tidak bergelombang, tidak ada celah atau lubang.

4. Sudut Pertemuan

Sudut pertemuan antara dinding dan lantai harus berbentuk lengkung dengan jari- jari sekitar 75 mm. Sudut pertemuan antara dinding dan dinding harus berbentuk lengkung dengan jari-jari sekitar 25 mm.

5. Langit-langit

Langit-langit didisain agar tidak terjadi akumulasi kotoran dan kondensasi dalam ruangan. Langit-langit harus berwarna terang, terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah mengelupas, kuat, mudah dibersihkan serta dihindarkan adanya lubang atau celah terbuka pada langit-langit.

6. Pencegahan serangga, rodensia dan burung

Masuknya serangga harus dicegah dengan melengkapi pintu, jendela atau ventilasi dengan kawat kasa atau dengan menggunakan metode pencegahan serangga lainnya. Konstruksi bangunan harus dirancang sedemikian rupa sehingga mencegah masuknya tikus atau rodensia, serangga dan burung masuk dan bersarang dalam bangunan.

7. Pertukaran udara dalam bangunan harus baik 8. Pintu

Pintu dibuat dari bahan yang tidak mudah korosif, kedap air, mudah dibersihkan dan didesinfeksi dan bagian bawahnya harus dapat menahan agar tikus/rodensia tidak dapat masuk. Pintu dilengkapi dengan alat penutup pintu otomatik.

9. Penerangan

Penerangan dalam ruangan harus cukup baik. Lampu penerangan harus mempunyai pelindung, mudah dibersihkan dam mempunyai intensitas penerangan 540 lux untuk tempat pemeriksaan

(21)

postmortem dan 220 luks untuk ruang lainnya.

10 Kandang Penampung dan Istirahat Hewan Berdasarkan SNI 01 - 6159 – 1999 yaitu:

a. Lokasinya berjarak minimal 10 meter dari bangunan utama.

b. Kapasitas atau daya tampungnya mampu menampung minimal 1,5 kali kapasitas pemotongan hewan maksimal setiap hari. c. Pertukaran udara dan penerangan harus baik.

d. Tersedia tempat air minum untuk hewan potong yang didisain landai ke arah saluran pembuangan sehingga mudah dikuras dan dibersihkan.

e. Lantai terbuat dari bahan yang kuat (tahan terhadap benturan keras), kedap air, tidak licin dan landai ke arah saluran pembuangan serta mudah dibersihkan dan didesinfeksi.

f. Saluran pembuangan didisain sehingga aliran pembuangan dapat mengalir lancar.

g. Terpasang atap yang terbuat dari bahan yang kuat, tidak toksik dan dapat melindungi hewan dengan baik dari panas dan hujan.

h. Terdapat jalur penggiring hewan (gangway) dari kandang menuju tempat penyembelihan. Jalur ini dilengkapi jaring pembatas yang kuat di kedua sisinya dan lebarnya hanya cukup untuk satu ekor sehingga hewan tidak dapat berbalik arah kembali ke kandang.

(22)

Kesehatan masyarakat veteriner adalah suatu bidang penerapan kemampuan profesional, pengetahuan dan sumberdaya kedokteran hewan dalam bidang kesehatan masyarakat untuk melindungi dan memperbaiki kesehatan manusia. Pemeriksaan antemortem adalah pemeriksaan kesehatan hewan potong sebelum disembelih yang dilakukan oleh petugas pemeriksa berwenang. Pemeriksaan postmortem adalah pemeriksaan kesehatan jeroan, kepala dan karkas setelah disembelih yang dilakukan oleh petugas pemeriksa berwenang.

Petugas pemeriksa berwenang adalah dokter hewan pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri atau petugas lain yang memiliki pengetahuan dan keterampilan pemeriksaan antemortem dan postmortem serta pengetahuan di bidang kesehatan masyarakat veteriner yang berada di bawah pengawasan dan tanggung jawab dokter hewan yang dimaksud.

Daerah kotor adalah daerah dengan tingkat pencemaran biologik, kimiawi dan fisik yang tinggi. Daerah bersih adalah daerah dengan dengan tingkat pencemaran biologik, kimiawi dan fisik yang rendah. Desinfeksi adalah penggunaan bahan kimia dan/atau tindakan fisik untuk mengurangi/ menghilangkan mikroorganisme.

Kandang Penampung adalah kandang yang digunakan untuk menampung hewan potong sebelum pemotongan dan tempat dilakukannya pemeriksaan antemortem. Kandang Isolasi adalah kandang yang digunakan untuk

(23)

mengisolasi hewan potong yang ditunda pemotongannya karena menderita penyakit tertentu atau dicurigai terhadap suatu penyakit tertentu.

Kandang Isolasi adalah kandang yang digunakan untuk mengisolasi hewan potong yang ditunda pemotongannya karena menderita penyakit tertentu atau dicurigai terhadap suatu penyakit tertentu (SNI 01 - 6159 – 1999 tentang RPH).

2.2 Syarat-syarat Rumah Potong Hewan

Syarat Rumah Potong Hewan berdasarkan (SNI 01 - 6159 – 1999) yaitu: 2.2.1 Persyaratan Lokasi

Tidak bertentangan dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan/atau Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK). Tidak berada di bagian kota yang padat penduduknya serta letaknya lebih rendah dari pemukiman penduduk, tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran lingkungan. Tidak berada dekat industri logam dan kimia, tidak berada di daerah rawan banjir, bebas dari asap, bau, debu dan kontaminan lainnya. Memiliki lahan yang relatif datar dan cukup luas untuk pengembangan rumah pemotongan hewan. 2.2.2 Persyaratan Sarana

Rumah Pemotongan Hewan harus dilengkapi dengan Sarana jalan yang baik menuju Rumah Pemotongan Hewan yang dapat dilalui kendaraan pengangkut hewan potong dan kendaraan daging. Sumber air yang cukup dan memenuhi persyaratan SNI 01-0220-1987. Persediaan air yang minimum harus disediakan yaitu : Sapi, Kerbau, Kuda dan hewan yang setara beratnya: 1000 liter/ekor/hari; Kambing, domba dan hewan yang setara beratnya: 100 liter/ekor/hari; Babi: 450 liter/ekor/hari. Sumber tenaga listrik yang cukup. Pada Rumah Pemotongan Hewan Babi harus ada persediaan air panas untuk pencelupan sebelum pengerokan bulu. Pada Rumah Pemotongan Hewan seyogyanya dilengkapi dengan instalasi air bertekanan dan/atau air panas (suhu 80).

2.2.3 Persyaratan Bangunan dan Tata Letak

Kompleks Rumah Pemotongan Hewan harus terdiri dari Utama Kandang Penampung dan Istirahat, Kandang Isolasi, Kantor Administrasi dan Kantor Dokter Hewan, Tempat Istirahat Karyawan, Kantin dan Mushola, Tempat Penyimpanan Barang Pribadi (locker)/Ruang Ganti Pakaian, Kamar Mandi dan WC, Sarana Penanganan Limbah, Insenerator, Tempat Parkir, Rumah Jaga, Gardu Listrik, Menara Air.

Kompleks Rumah Pemotongan Hewan harus dipagar sedemikian rupa sehingga dapat mencegah keluar masuknya orang yang tidak berkepentingan dan hewan lain selain hewan potong. Pintu masuk hewan

(24)

potong harus terpisah dari pintu keluar daging.

Sistem saluran pembuangan limbah cair harus cukup besar, didisain agar aliran limbah mengalir dengan lancar, terbuat dari bahan yang mudah dirawat dan dibersihkan, kedap air agar tidak mencemari tanah, mudah diawasi dan dijaga agar tidak menjadi sarang tikus atau rodensia lainnya. Saluran pembuangan dilengkapi dengan penyaring yang mudah diawasi dan dibersihkan.

Di dalam kompleks Rumah Pemotongan Hewan, sistem saluran pembuangan limbah cair harus selalu tertutup agar tidak menimbulkan bau. Di dalam bangunan utama, sistem saluran pembuangan limbah cair terbuka dan dilengkapi dengan grill yang mudah dibuka-tutup, terbuat dari bahan yang kuat dan tidak mudah korosif.

2.2.4 Syarat Peralatan

Seluruh perlengkapan pendukung dan penunjang di Rumah Pemotongan Hewa harus terbuat dari bahan yang tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta mudah dirawat. Peralatan yang langsung berhubungan dengan daging harus terbuat dari bahan yang tidak toksik, tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta mudah dirawat.

Di dalam bangunan utama harus dilengkapi dengan sistem rel (railing system) dan alat penggantung karkas yang didisain khusus dan disesuaikan dengan alur proses untuk mempermudah proses pemotongan dan menjaga agar karkas tidak menyentuh lantai dan dinding.

Sarana untuk mencuci tangan harus didisain sedemikian rupa agar tangan tidak menyentuh kran air setelah selesai mencuci tangan, dilengkapi dengan sabun dan pengering tangan seperti lap yang senantiasa diganti, kertas tissue atau pengering mekanik (hand drier). Jika menggunakan kertas tissue, maka disediakan pula tempat sampah tertutup yang dioperasikan dengan menggunakan kaki.

Sarana untuk mencuci tangan disediakan disetiap tahap proses pemotongan dan diletakkan ditempat yang mudah dijangkau, ditempat penurunan ternak hidup, kantor administrasi dan kantor dokter hewan, ruang istirahat pegawai dan/atau kantin serta kamar mandi/WC.

Pada pintu masuk bangunan utama harus dilengkapi sarana untuk mencuci tangan dan sarana mencuci sepatu boot, yang dilengkapi sabun, desinfektan, dan sikat sepatu. Pada Rumah Pemotongan Hewan untuk babi disediakan bak pencelup yang berisi air panas.

(25)

berbeda dengan yang digunakan untuk pekerjaan kotor, misalnya pisau untuk penyembelihan tidak boleh digunakan untuk pengerjaan karkas. Ruang untuk jeroan harus dilengkapi dengan sarana/peralatan untuk pengeluaran isi jeroan, pencucian jeroan dan dilengkapi alat penggantung hati, paru, limpa dan jantung. Ruang untuk kepala dan kaki harus dilengkapi dengan sarana/peralatan untuk mencuci dan alat penggantung kepala. Ruang untuk kulit harus dilengkapi dengan sarana/peralatan untuk mencuci.

Harus disediakan sarana/peralatan untuk mendukung tugas dan pekerjaan dokter hewan atau petugas pemeriksa berwenang dalam rangka menjamin mutu daging, sanitasi dan higiene di Rumah Pemotongan Hewan. Perlengkapan standar untuk karyawan pada proses pemotongan dan penanganan daging adalah pakaian kerja khusus, apron plastik, penutup kepala, penutup hidung dan sepatu boot (SNI 01- 6159 – 1999).

2.2.5 Higiene Karyawan dan Perusahaan

Rumah Pemotongan Hewan harus memiliki peraturan untuk semua karyawan dan pengunjung agar pelaksanaan sanitasi dan higiene rumah pemotongan hewan dan higiene produk tetap terjaga baik. Setiap karyawan harus sehat dan diperiksa kesehatannya secara rutin minimal satu kali dalam setahun. Setiap karyawan harus mendapat pelatihan yang berkesinambungan tentang higiene dan mutu. Daerah kotor atau daerah bersih hanya diperkenankan dimasuki oleh karyawan yang bekerja di masing-masing tempat tersebut, dokter hewan dan petugas pemeriksa yang berwenang (SNI 01 - 6159 – 1999).

2.2.6 Pengawasan Kesehatan Masyarakat Veteriner

Pengawasan kesehatan masyarakat veteriner serta pemeriksaan antemortem dan postmortem di Rumah Pemotongan Hewan dilakukan oleh petugas pemeriksa berwenang. Pada setiap Rumah Pemotongan Hewan harus mempunyai tenaga dokter hewan yang bertanggung jawab terhadap dipenuhinya syarat-syarat dan prosedur pemotongan hewan, penanganan daging serta sanitasi dan hygiene (SNI 01 - 6159 –1999). 2.2.7 Kendaraan Pengangkut Daging

Boks pada kendaraan untuk mengangkut daging harus tertutup. Lapisan dalam boks pada kendaraan pengangkut daging harus terbuat dari bahan yang tidak toksik, tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan didesinfeksi, mudah dirawat serta mempunyai sifat insulasi yang baik. Boks dilengkapi dengan alat pendingin yang dapat mempertahankan suhu bagian dalam daging segar +7 oC dan suhu bagian dalam jeroan +3 oC (SNI 01 - 6159 – 1999).

(26)

2.2.8 Persyaratan Ruang Pendingin/Pelayuan

Ruang pendingin/pelayuan terletak di daerah bersih. Besarnya ruang disesuaikan dengan jumlah karkas yang dihasilkan. Konstruksi bangunan harus memenuhi persyaratan:

- Dinding

Tinggi dinding pada tempat proses pemotongan dan pengerjaan karkas minimum 3 meter. Dinding bagian dalam berwarna terang, terbuat dari bahan yang kedap air, memiliki insulasi yang baik, tidak mudah korosif, tidak toksik, tahan terhadap benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas.

- Lantai

Lantai terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik, tahan terhadap benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas (SNI 01 - 6159 – 1999).

2.2.9 Ruang Beku

Ruang Pembeku terletak di daerah bersih. Besarnya ruang disesuaikan dengan jumlah karkas yang dihasilkan. Ruang didisain agar tidak ada aliran air atau limbah cair lainnya dari ruang lain yang masuk ke dalam ruang pendingin/pelayuan. Ruang mempunyai alat pendingin yang dilengkapi dengan kipas (blast freezer). Suhu dalam ruang di bawah –18 oC dengan kecepatan udara minimum 2 meter per detik (SNI 01 -6159 – 1999).

2.2.10 Ruang Pembagian Karkas dan Pengemasan Daging

Ruang pembagian dan pengemasan karkas terletak di daerah bersih dan berdekatan dengan ruang pendingin/pelayuan dan ruang pembeku. Ruang didisain agar tidak ada aliran air atau limbah cair lainnya dari ruang lain yang masuk ke dalam ruang pembagian dan pengemasan daging. Ruang dilengkapi dengan meja dan fasilitas untuk memotong karkas dan mengemas daging (SNI 01 - 6159 – 1999).

2.2.11 Laboratorium

Laboratorium didisain khusus agar memenuhi persyaratan kesehatan dan keselamatan kerja. Tata ruang didisain agar dapat menunjang pemeriksaan laboratorium. Penerangan dalam laboratorium memiliki intensitas cahaya 540 lux. Lampu harus diberi pelindung (SNI 01 - 6159 – 1999).

2.3 Pengertian Daging

Berikut adalah definisi daging berdasarkan SNI 3932:2008 2.3.1 Karkas

Bagian dari tubuh sapi sehat yang telah disembelih secara halal sesuai dengan CAC/GL 24-1997, telah dikuliti, dikeluarkan jeroan, dipisahkan kepala dan

(27)

kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, organ reproduksi dan ambing, ekor serta lemak yang berlebih.

a. Ketebalan Lemak Karkas

Jaringan lemak subkutan (sub cutaneous) b. Konformasi Karkas

Jaringan otot skeletal dan jaringan lemak sebagai unit komersial yang berhubungan dengan ukuran tulang rangka (skeleton)

c. Warna Karkas

Warna pada sayatan segar otot punggung (back muscle) atau otot daging kelapa pada paha belakang (round)

2.3.2 Daging

Daging adalah bagian hewan yang disembelih (sapi, kerbau, kambing, domba) yang dapat dimakan dan berasal dari otot rangka atau yang terdapat di lidah, diagfragma, jantung dan oeshopagus dengan atau tidak mengandung lemak. Daging merupakan otot hewan yang tersusun dari serat-serat yang sangat kecil yang masing- masing serat berupa sel memanjang, terdiri dari tiga komponen utama, yaitu jaringan otot (muscle tissue), jaringan lemak (adipose tissue) dan jaringan ikat (connective tissue). Sel serat otot mengandung dua macam protein yang tidak larut, yaitu kolagen dan elastin yang terdapat pada jaringan ikat. Banyaknya jaringan ikat yang terkandung di dalam daging akan menentukan tingkat kealotan/kekerasan daging. Istilah daging dibedakan dengan karkas, karena daging merupakan bagian tidak mengandung tulang, sedangkan karkas adalah daging yang belum dipisahkan dari tulang atau kerangkanya (Foxit PDF, 2009 dalam Afiati).

Daging sapi merupakan pangan asal ternak yang kaya gizi, khususnya sumber protein hewani yang bersifat perishable. Cara pemotongan dan penanganan yang kurang higienis di RPH merupakan titik kritis kontaminasi mikroorganisme pada daging. Mikroorganisme kontaminan yang bersifat patogen dan perusak diantaranya adalah E. coli, L. monocytogenes dan S. Typhimurium. Penghambatan pertumbuhan mikroorganisme kontaminan pada daging dapat dilakukan secara fisik, kimia, dan biologis. Penggunaan biopreservatif, misalnya dengan penambahan bakteriosin sudah mulai menjadi pilihan produsen, karena lebih aman dan tidak meninggalkan residu yang membahayakan konsumen (Usmiati et al, 2007 dalam Takasari).

Komposisi kimia daging terdiri dari air 56%, protein 22%, lemak 24%, dan substansi bukan protein terlarut 3,5% yang meliputi karbohidrat, garam organik, substansi nitrogen terlarut, mineral, dan vitamin. Daging merupakan bahan makanan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi, selain mutu proteinnya yang tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang (Lawrie, 1995).

(28)

Kualitas daging dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebelum dan sesudah pemotongan. faktor-faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik dan mineral), dan stress. faktor-faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan dan nilai pH karkas (Soeparno, 1994 dalam Fatimah).

Penanganan hewan saat pemotongan harus diatur dengan baik untuk mempertahankan standar yang berkualitas karena kesejahteraan hewan merupakan bagian dari kualitas daging (Grandin, 2001 dalam Fatimah).

Umumnya daging sapi di Indonesia dijual di pasar tradisonal pada masing- masing daerah yang diperoleh dari hasil pemotongan di setiap RPH ataupun pemotongan secara konvensional oleh para pedagang/pemilik ternak. Rendahnya kemampuan penanganan daging sapi dalam proses pemotongan di RPH mengakibatkan potensi penurunan daya simpan menjadi semakin besar dan cepat. Begitu juga dengan perlakuan yang kurang baik selama proses penjualan di pasar tradisional yang juga merupakan salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi kualitas dan daya simpan dari daging sapi tersebut (Kurniawan, 2011)

Menurut SNI 3932:2008 daging adalah Bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin, atau daging beku.

a. Daging Segar

Daging yang belum diolah dan atau tidak ditambahkan dengan bahan apapun.

b. Daging Segar Dingin

Daging yang mengalami proses pendinginan setelah penyembelihan sehingga temperature bagian dalam daging antara 0 °C dan 4 °C.

c. Daging Beku

Daging segar yang sudah mengalami proses pembekuan di dalam blast freezer dengan temperatur internal minimum -18 °C.

d. Marbling Butiran lemak putih yang tersebar dalam jaringan otot daging (lemak intra muskuler).

e. Perubahan Warna

Penyimpangan warna karena terdapat memar, pendarahan, "freeze burn" dan atau perubahan warna lainnya yang disebabkan oleh mikroorganisme atau zat-zat kontaminan

f. Memar

Perubahan warna dan konsistensi pada daging akibat benturan fisik g) Freeze Burn Perubahan warna pada daging akibat kontak dengan permukaan yang sangat dingin, di bawah temperatur -18 °C

(29)

2.3.3 Daging Normal

Kriteria yang dipakai sebagai pedoman untuk menentukan kualitas daging yang layak dikonsumsi adalah:

1. Keempukan daging ditentukan oleh kandungan jaringan ikat. Semakin tua usia hewan susunan jaringan ikat. Semakin tua usia hewan susunan jaringan ikat semakin banyak sehingga daging yang dihasilkan semakin liat. Jika ditekan dengan jari daging yang sehat akan memiliki konsistensi kenyal.

2. Kandungan lemak (marbling) adalah lemak yang terdapat diantara serabut otot (intramuscular). Lemak berfungsi sebagai pembungkus otot dan mempertahankan keutuhan daging pada waktu dipanaskan. Marbling berpengaruh pada cita rasa.

3. Warna daging bervariasi tergantung dari jenis hewan secara genetik dan usia, misalkan daging sapi potong lebih gelap daging sapi perah, daging sapi muda lebih pucat daripada daging sapi dewasa. Warna daging yang baru diiris biasanya merah ungu gelap dan akan berubah menjadi terang bila dibiarkan terkena udara dan bersifat reversible (dapat balik). Namun bila dibiarkan terlalu lama dibiarkan di udara akan berubah menjadi cokelat.

4. Rasa dan aroma dipengaruhi oleh jenis pakan. Daging berkualitas baik mempunyai rasa gurih dan aroma yang sedap.

5. Kelembaban daging secara normal dapat dilihat pada bagian permukaan. Bila permukaan daging relatif kering, daging tersebut dapat menahan pertumbuhan mikroorganisme dari luar, sehingga mempengaruhi daya simpan (Afiati 2009)

2.3.4 Standar Asuh

Jaminan keamanan pangan atau bahan pangan telah menjadi tuntutan seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan. Jaminan keamanan pangan juga telah menjadi tuntutan dalam perdagangan nasional maupun internasional. Standar Nasional Indonesia (SNI) yang berkaitan dengan keamanan pangan asal ternak diharapkan dapat memberikan jaminan keamanan produk pangan asal ternak (Afiati 2009).

Dikatakan aman, daging tidak tercemar bahaya biologi (mikroorganisme, serangga, tikus), kimiawi (pestisida dan gas beracun) fisik (kemasan tidak sempurna bentuknya karena benturan) serta tidak tercemar benda lain yang mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Sehat, daging memiliki zat-zat yang dibutuhkan, berguna bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh manusia.

(30)

Zat gizi meliputi unsure makro seperti karbohidrat, protein dan lemak serta unsure mikro seperti vitamin dan mineral. Utuh, daging tidak dicampur dengan bagian lain dari hewan tersebut atau bagian dari hewan lain. Halal, hewan maupun dagingnya disembelih dan ditangani sesuai syariat agama Islam. Kehalalan menjadi hak asasi manusia yang diakui keberadaannya sehingga harus dijamin dan dilindungi oleh semua pihak secara brtanggung jawab. Sertifikasi halal mutlak dibutuhkan untuk menghilangkan keraguan masyarakat akan kemungkinan adanya bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong yang tidak halal dalam suatu produk yang dijual (Widowati et al. dan Apriyatono, 2003 dalam Afiati 2009).

2.3.5 Uji Fisik dan Mikrobiologi a. Uji Fisik

Penilaian mutu fisik daging dimaksudkan untuk memprediksi palatabil itas daging dengan melihat penampilan warna daging dan lemak, derajat marbling dan tekstur daging. Pengujian mutu fisik daging dilakukan secara organoleptik dengan menggunakan indra penglihatan terhadap penampilan fisik otot dan lemak. Nilai penampilan fisik daging dan lemak selanjutnya ditentukan dengan menggunakan alat bantu standar mutu. Penampilan fisik daging yang dievaluasi meliputi warna daging dan lemak, intensitas marbling dan tekstur (SNI 3932:2008 Mutu Karkas dan Daging Sapi).

b. Organoleptik

Uji organoleptik adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui rasa dan bahu (kadang-kadang termasuk penampakan) dari suatu produk makanan, minuman, obat dan produk lain (Wiryawan, 2011).

Untuk melaksanakan penilaian organoleptik diperlukan panel yang bertindak sebagai instrumen atau alat. Panel adalah orang atau kelompok yang bertugas menilai sifat atau mutu komoditi berdasarkan kesan subjektif. Orang yang menjadi anggota panel disebut panelis. Terdapat tujuh macam panel dalam penilaian organoleptik, yaitu panel perseorangan, panel terbatas, panel terlatih, panel agak terlatih, panel tak terlatih, panel konsumen, dan panel anak-anak. Masing-masing penilaian didasarkan pada keahlian dalam melakukan penilaian organoleptik (Rahayu, 2013).

Berikut adalah macam-macam panel dalam penilaian organoleptik menurut Rahayu (2013).

a. Panel Perseorangan

orang yang sangat ahli dengan kepekaan spesifik sangat tinggi yang diperoleh karena bakat atau latihan-latihan yang sangat intensif. Panel perseorangan sangat

(31)

mengenal sifat, peranan, dan cara pengolahan bahan yang akan dinilai dan menguasai metoda-metoda analisis organoleptik dengan sangat baik.

Keuntungan menggunakan panelis ini adalah Kepekaan tinggi, bias dapat dihindari, penilaian cepat, efisien, dan tidak cepat fatik. Panel perseorangan biasanya digunakan untuk mendeteksi penyimpangan yang tidak terlalu banyak dan mengenali penyebabnya. Keputusan yang dihasilkan sepenuhnya hanya seorang saja.

b. Panel Terbatas

Terdiri dari 3-5 orang yang mempunyai kepekaan tinggi. Panelis ini mengenal dengan baik faktor-faktor dalam penilaian organoleptik dan dapat mengetahui cara pengolahan serta pengaruh bahan baku terhadap hasil akhir. Keputusan diambil setelah berdiskusi diantara angota-anggotanya.

c. Panel Terlatih

Terdiri dari 15-25 orang yang mempunyai kepekaan cukup baik. Untuk menjadi panelis terlatih perlu didahului dengan seleksi dan latihan-latihan. Panelis ini dapat menilai beberapa sifat rangsangan, sehingga tidak terlampau spesifik. Keputusan diambil setelah data dianalisis secara statistik.

d. Panel Agak Terlatih

Terdiri dari 15-25 orang yang sebelumnya dilatih untuk mengetahui sifat sensorik tertentu. Panel agak terlatih dapat dipilih dari kalangan terbatas dengan menguji kepekaannya terlebih dahulu.

e. Panel Tidak Terlatih

Terdiri dari 25 orang awam yang dapat dipilih berdasarkan jenis kelamin,

suku bangsa, tingkat sosial, dan pendidikan. Panel tidak terlatih hanya diperbolehkan menilai sifat-sifat organoleptik yang sederhana seperti sifat kesukaan, tetapi tidak boleh digunakan dalam uji pembedaan. Untuk itu panel tidak terlatih biasanya terdiri dari orang dewasa dengan komposisi panelis pria dengan panelis wanita.

f. Panel Konsumen

tergantung pada target pemasaran suatu komoditi. Mempunyai sifat yang sangat umum dan dapat ditentukan berdasarkan daerah atau kelompok tertentu.

g. Panel Anak-anak

Menggunakan anak-anak berusia 3-10 tahun. Panelis anak-anak ini dilakukan secara bertahap, yaitu dengan pemberitahuan atau undangan bermain bersama, kemudian dipanggil untuk diminta responnya terhadap produk yang dinilai dengan alat bantu gambar seperti boneka, snoopy yang sedang sedih, biasa dan tertawa.

(32)

c. Uji Mikrobiologi

Jenis mikroba yang terdapat dalam makanan meliputi bakteri, kapang / jamur, dan ragi serta virus yang dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang tidak diinginkan seperti peampilan, tekstur, rasa dan bau dari makanan. Pengelompokkan mikroba dapat berdasarkan atas aktifitas mikroba (proteolitik, lipofik, dsb) ataupun atas pertumbuhannya (psikrofilik, mesofilik, halofilik dsb).

Banyak factor yang mempengaruhi jumlah serta jenis mikroba yang terdapat dalam makanan, diantaranya adalah sifat makanan itu sendiri (pH, kelembaban, nilai gizi), keadaan lingkungan dari mana makanan tersebut diperoleh, serta kondisi pengolahan ataupun penyimpanan. Jumlah mikroba yang terlalu tinggi dapat mengubah karakter organoleptik, mengakibatkan perubahan nutrisi / nilai gizi atau bahkan merusak makanan tersebut. Bahkan bila terdapat mikroba patogen, besar kemungkinan akan berbahaya bagi yang mengonsumsinya (Badan POM, 2008).

(33)

e. Kerangka konsep

Kerangka konsep merupakan astraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal yang khusus (Notoatmodjo, 2010)

Berdasarkan kerangka teori diatas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(34)

BAB III

STANDARISASI MANAJEMEN RUMAH POTONG HEWAN 3.1 Umum

Rantai pasok daging sapi (beef supply chain) global menjadi salah satu komponen yang strategis di dalam pemenuhan pangan dan sistem logistik daging sapi nasional. Pada saat ini industri daging sapi atau rantai pasok daging sapi nasional, dihadapkan pada lingkungan pasar global yang sangat kompetitif. Semakin senjangnya kapasitas produksi daging sapi nasional dengan laju pertumbuhan permintaan konsumsi menyebabkan Indonesia semakin berkepentingan dengan rantai global untuk mereduksi tingkat kesenjangan tersebut. Oleh sebab itu, pada akhir-akhir ini, tuntutan terhadap Indonesia untuk dapat menyelaraskan diri terhadap berbagai norma dan regulasi perdagangan internasional (terms of trade) sapi potong dan daging sapi tampaknya semakin keras disuarakan oleh berbagai pihak yang menjadi mitra perdagangan internasional Indonesia. Khususnya untuk komoditas perdagangan sapi potong, isu-isu mengenai kepuasan dan kepercayaan konsumen atas atribut-atribut non ekonomi, seperti keamanan pangan (food

safety), kemamputelusuran (traceability) dan kesejahteraan hewan (animal welfare) semakin intensif dikemukakan di berbagai forum perdagangan

internasional.

Pasca penayangan kekejaman pemotongan sapi impor di salah satu RPH (Rumah Potong Hewan) di Indonesia oleh TV ABC di acara Four Corners pada bulan Mei 2011, pemerintah Australia secara resmi mengumumkan embargo ekspor sapi potong ke Indonesia. Pada faktanya, embargo tersebut, telah menimbulkan dampak bagi kestabilan stok daging sapi pada tingkat nasional. Setelah embargo, volume stok daging sapi di tingkat nasional diperkirakan mengalami penurunan yang cukup nyata. Meskipun tidak terdapat data resmi mengenai perubahan stok daging sapi nasional, penurunan volume stok tersebut dapat teramati dari pergerakan harga daging sapi di sebagian besar wilayah Indonesia, terutama di kota-kota besar yang merupakan wilayah utama konsumsi daging sapi nasional. Secara berangsur, harga daging sapi mengalami kenaikan sebesar (20-30) % di dalam jangka waktu 8 bulan terakhir ini.

Selain dari permasalahan embargo tersebut, pemberlakuan pembatasan tingkat impor sapi potong yang dilakukan oleh pemerintah tampaknya juga berkontribusi secara nyata terhadap ketersediaan daging sapi di tingkat nasional. Berdasarkan hasil sensus sapi potong dan kerbau (PSPK) tahun 2011, dimana populasi sapi potong nasional telah mencapai 14,8 juta ekor, pemerintah mulai berkeyakinan bahwa Indonesia mulai dapat berswasembada daging sapi. Keyakinan ini didasarkan atas perhitungan-perhitungan yang termuat di dalam “Cetak Biru Swasembada Daging Sapi

(35)

tahun 2014”, yang menyatakan bahwa swasembada daging sapi nasional akan tercapai pada saat populasi sapi potong Indonesia mencapai besaran antara 14,2 juta ekor. Oleh karena itu, sejak tahun 2011, tingkat impor sapi potong diturunkan secara drastis. Namun begitu, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, tingkat harga daging sapi berangsur mengalami kenaikan. Pada perspektif ekonomi, kondisi ini menyiratkan timbulnya kelebihan permintaan (excess demand) atas daging sapi secara nasional.

Kedua fenomena tersebut setidaknya dapat menunjukkan bahwa untuk beberapa tahun mendatang, rantai pasok daging sapi nasional akan semakin terintegrasi dengan rantai pasok global, baik secara fisik maupun kelembagaan. Di dalam konteks ini, setiap pelaku di dalam rantai pasok nasional (chain actor) masing-masing memiliki peran yang signifikan di dalam menjamin keintegrasian rantai pasok daging sapi nasional tersebut. Di antara sekian banyak pelaku dalam rantai, Rumah Potong Hewan (RPH) merupakan salah satu pelaku dalam rantai yang diyakini menjadi simpul strategis yang menghubungkan antara rantai pasok nasional, global, dan konsumen daging sapi nasional. Di sisi produksi, RPH merupakan lembaga yang menjadi muara tataniaga sapi potong, baik nasional atau pun global, sementara pada sisi konsumsi, RPH merupakan lembaga yang berfungsi untuk menjamin ketersediaan daging sapi bagi konsumen, baik kuantitasnya atau pun kualitasnya.

Namun dibalik fungsi pentingnya sebuah RPH, khususnya bagi konsumen, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012) menunjukkan bahwa dari sekitar 800 unit RPH yang ada di Indonesia, ternyata baru 25 unit RPH yang telah memiliki NKV (Nomor Kontrol Veteriner). NKV merupakan tolok ukur resmi dan sah yang menunjukkan telah dipenuhinya persyaratan higienis-sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan pangan asal hewan yang diproduksi oleh sebuah RPH. Pada tahun 2012 ini, pemerintah Indonesia menargetkan untuk memberikan NKV pada 150 unit RPH. Selain itu, auditor indenpenden telah mengaudit RPH di Indonesia yang sesuai dengan National Livestock Identification System (NLIS) nya Australia, ternyata hanya sebanyak 11 unit RPH yang dapat memenuhi standar rantai pasok dan NLIS tersebut.

3.2 FUNGSI RUMAH POTONG HEWAN

Rumah Potong Hewan yang selanjutnya disebut dengan RPH adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi konsumsi masyarakat umum (Permentan No. 13/2010 tentang RPH). Lebih lanjut, dijelaskan bahwa RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal, serta berfungsi sebagai sarana untuk melaksanakan:

(36)

a. pemotongan hewan secara benar, (sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama);

b. pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (ante-mortem

inspection) dan pemeriksaan karkas, dan jeroan (post-mortem inspektion) untuk mencegah penularan penyakit zoonotik ke manusia;

c. pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditemukan pada pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan

post-mortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit

hewan menular dan zoonosis di daerah asal hewan.

Pendapat lain dikemukakan oleh Lestari (1994) bahwa Rumah Pemotongan Hewan mempunyai fungsi antara lain sebagai:

a. Sarana strategis tata niaga ternak ruminansia, dengan alur dari peternak, pasar hewan, RPH yang merupakan sarana akhir tata niaga ternak hidup, pasar swalayan/pasar daging dan konsumen yang merupakan sarana awal tata niaga hasil ternak.

b. Pintu gerbang produk peternakan berkualitas, dengan dihasilkan ternak yang gemuk dan sehat oleh petani sehingga mempercepat transaksi yang merupakan awal keberhasilan pengusaha daging untuk dipotong di RPH terdekat.

c. Menjamin penyediaan bahan makanan hewani yang sehat, karena di RPH hanya ternak yang sehat yang bisa dipotong.

d. Menjamin bahan makanan hewani yang halal, dengan dilaksanakannya tugas RPH untuk memohon ridlo Yang Kuasa dan perlakuan ternak tidak seperti benda atau yang manusiawi.

e. Menjamin keberadaan menu bergizi tinggi, yang dapat memperkaya masakan khas Indonesia dan sebagai sumber gizi keluarga/rumah tangga. Menunjang usaha bahan makanan hewani, baik di pasar swalayan, pedagang kaki lima, industri pengolahan daging dan jasa boga.

Pada pasal 62 UU 18/2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan dinyatakan, bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki rumah potong hewan yang memenuhi persyaratan teknis. Dari pernyataan ini, jelaslah bahwa undang- undang mengamanatkan kepada pemerintah daerah untuk memenuhi persyaratan teknis RPH di wilayahnya. Namun, pada realitanya RPH yang memiliki fungsi utama melindungi konsumen terhadap kehalalan ternak yang dipotong, kesehatan daging dan menjaga kualitas daging yang dihasilkan, pada saat ini fungsi tersebut masih terabaikan. Para pengusaha jagal (pemotong ternak) masih berfikir sangat sederhana, yaitu pemotongan ternak dan prosesing daging dilakukan asal halal menurut syariat Islam.

Sesungguhnya dalam proses pemotongan, ternak perlu diistirahatkan dengan waktu yang cukup, dan perlakuannya tidak boleh “dilakukan penyiksaan”. Seharusnya ternak sebelum dipotong dalam keadaan istirahat, dimandikan

(37)

dan dipotong pada keadaan tenang sehingga proses ketegangan otot dapat dihindarkan. Faktanya, dalam proses pemotongan, ternak masih diperlakukan semena-mena. Dampak dari cara pemotongan yang tradisional tersebut, diperoleh daging yang berkualitas rendah.

Selain itu, dalam proses pasca pemotongan ternak, hampir tidak pernah dilakukan pelayuan, daging atau karkas langsung dibawa oleh pedagang dan dijual dalam “keadaan panas” (hot meat). Keadaan ini dilakukan karena konsumen lebih menyukai daging panas dari pada daging dingin (chill meat atau frozen meat). Hal inilah yang menyebabkan seluruh RPH bekerja pada malam hari, karena setelah dilakukan pemotongan, pada malam itu juga daging didistribusikan ke pasar-pasar yang mulai berdagang pada dinihari dan sampainya di konsumen rumah tangga pada pagi hari.

Kenyataan tersebut yang menyebabkan, turunan bisnis pemotongan sapi yang berlanjut pada kegiatan “prosessing meat” atau “meat handling” berjalan dan dilakukan secara terpencar di masing-masing pasar, bukannya disuatu tempat yang mudah diawasi. Akibatnya seluruh bisnis ini menjadi tidak efesien, para jagal tidak menikmati keuntungan yang seharusnya diperoleh lebih besar, demikian pula halnya pemerintah tidak memperoleh manfaat dan sangat sulit melakukan pembinaan kepada para para jagal dan bisnis turunannya.

3.3 DESAIN DAN TATA RUANG RPH

Desain dan tata ruang akan membicarakan permasalahan kompleks Rumah Potong Hewan yang meliputi bangunan dan perlengkapannya beserta denah dari berbagai tipe RPH. Pembahasan ini banyak diambil dari pendapat Lestari (1993b).

3.3.1 Bangunan Utama dan Peralatan

Lestari (1993b) menerangkan , secara umum bangunan dan peralatan Rumah Potong Hewan meliputi fasilitas sebagai berikut:

a. Tempat penyembelihan hewan yang merupakan suatu bangunan berguna untuk tempat hewan disembelih. Ruang ini dilengkapi dengan alat penjepit sapi, pemingsan sapi, pisau sembelih dan penampungan saluran darah.

b. Tempat proses penyelesaian penyembelihan merupakan bangunan yang digunakan untuk pengulitan hingga proses pembelahan karkas untuk dipasarkan. Ruangan ini dilengkapi dengan beberapa peralatan hoist dan kait penggerek/pembentang karkas sapi, meja/rak pengulitan, gergaji atau pisau pengulitan dan pengeluaran jeroan, gerobak transportasi, gergaji pembelah karkas dan tangga untuk pembelah karkas.

(38)

Gambar 3.1 Ruang penyembelihan

c. Tempat pemeriksaan kesehatan daging merupakan suatu ruang fasilitas pemeriksaan kesehatan baik ante mortem dan post mortem. Ruang ini diusahakan berdampingan dengan rel kepala dan jeroan sehingga mudah untuk mencocokan antara karkas dengan jeroan atau kepalanya. Rel dilengkapi dengan rel rijek yang berfungsi untuk tempat memberhentikan karkas.

d. Penimbangan merupakan

ruang yang dilengkapi dengan alat penimbangan secara langsung yang menyatu dengan rel dan secara otomatis akan mencatat berat karkas tersebut.

Gambar 3.2 Ruang bagi daging

e. Ruangan kulit merupakan ruangan penampungan kulit dan kaki dari hewan yang sudah disembelih yang diperlengkapi dengan sarana pencucian dan penggaraman.

f. Ruang jeroan/isi rumen merupakan ruangan untuk proses membersihan jeroan yang diperlengkapi dengan sarana pengeluaran kotoran, meja dan tempat perebusan.

Gambar

Gambar 3.1 Ruang penyembelihan
Gambar 3.3 Ruang pelayuan
Gambar 3.4 Kandang tempat hewan diistirahatkan
Gambar 3.5 Bak pengendap pada saluran pembuangan cairan dan bak  penampungan limbah padat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan PPL diawali dengan bimbingan kepada guru pembimbing yang telah dibagi pada saat observasi. Disini praktikan mendapat 3 kelas untuk mata pelajaran

Dalam penelitian ini telah dilakukan percobaan pembuatan generator 99 Mo/99mTc dengan melihat pengaruh penambahan pencucian menggunakan larutan NaOCl terhadap Yield dan

Data yang terkumpul ditranskipkan satu persatu, kemudian dianalisissecara tematik berdasarkan teori yang dijadikan landasan dalam penelitian.Hasil penelitian

Risiko abortus meningkat sesuai dengan peningkatan umur, kecuali pada wanita hamil berusia ku- rang dari 20 tahun berisiko abortus lebih tinggi daripada usia 20-24 tahun,

Proses inti dari analisis faktor adalah melakukan ekstraksi terhadap sejumlah Proses inti dari analisis faktor adalah melakukan ekstraksi terhadap sejumlah variabel sehingga

Leukemia mieloid akut (acute myeloid leukemia acute myeloid leukemia/ AML), dapat disebut / AML), dapat disebut dengan beberapa nama, diantaranya adalah leukemia

Faktor-faktor stimulasi koloni (granulocyte colony stimulating factor G-CSF dan granulocyte macrophage colony stimulating factor GM-CSF) menginduksi pelepasan netrofil

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara persepsi terhadap program pembinaan